Telah
sampai kepada saya satu makalah yang berjudul : Asas-Asas Syari’ah Sistem
Khilafah Islamiyyah. Makalah ini sebenarnya merupakan terjemahan dari satu kutaib
yang berjudul Al-Usus Asy-Syar’iyyah li-Nidhaam Al-Khilafah
Al-Islamiyyah terbitan Majalah Al-Wa’ie (Beirut), Cet. II, Syawwal
1415 H, Maret 1995 M; yang kemudian diterjemahkan oleh Muhammad Shiddiq
Al-Jawi.
Ada
satu hal – diantara beberapa hal – yang menarik bagi saya dari isi makalah
tersebut, khususnya tentang sebuah pernyataan bahwa seseorang tidak akan
menjadi khalifah kecuali bila diangkat (dibaiat) oleh kaum muslimin.
Kongkritnya, begini yang tertulis pada halaman 18 – 20 :
KEKUASAAN DI TANGAN UMAT ISLAMKAUM MUSLIMIN SELURUHNYA MENGEMBAN TANGGUNG JAWAB MENJAGA DAN MENERAPKAN ISLAM
Seseorang Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila Diangkat (Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin…… (menyebutkan 3 buah hadits dalam Shahih Muslim tentang ketaatan pada imam dan baiat terhadap imam yang pertama)…..Ijma’ Shahabat telah terwujud dalam hal bahwa seseorang tidak akan dapat memegang kekuasaan Khilafah kecuali bila diangkat (dibaiat) oleh kaum muslimin untuk memegang kekuasaan Khilafah tersebut. Setiap khalifah dari Al Khulafa’ Ar Rasyidin mendapat kekuasaan (sebagai khalifah) dengan jalan baiat. Istikhlaf (penunjukan pengganti) yang dilakukan Abu Bakar terhadap ‘Umar bin Khaththab terjadi berdasarkan tafwidh (perwakilan/penyerahan urusan) dari para shahabat kepada Abu Bakar. Setelah istikhlaf, kaum muslimin tetap membaiat Umar bin Khaththab…..(menyebutkan 2 perkataan ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ’anhu dari referensi Syi’ah Rafidlah, yaitu kitab Nahjul-Balaghah dan penjelasan ‘Abdurrahman Al-Jaziri dalam kitab Al-Fiqhu ‘alal-Madzaahibil-Arba’ah)…..
Perhatian :
Istikhlaf (penunjukan pengganti) yang dilakukan Abu Bakar terhadap Umar terjadi atas dasar tafwidh (perwakilan/penyerahan urusan) dari para shahabat yang merupakan Ahlul Halli wal ‘Aqdi. Demikian pula istikhlaf yang dilakukan oleh Umar kepada enam orang, juga berdasarkan tafwidh dari para shahabat. Dengan demikian, kekuasaan hanya terwujud dengan baiat Ahlul Halli wa ‘Aqdi.
Begitulah
yang tertulis dalam makalah tersebut.
Ada
hal yang “mengganjal” ketika membaca tulisan di atas. Penulis makalah
sepertinya hendak mengatakan bahwa khalifah itu hanya sah melalui jalan
pengangkatan dan baiat yang dilakukan oleh kaum muslimin melalui Ahlul-Halli
wal-‘Aqdi. Mafhum-nya, jika ada seseorang yang menjadi khalifah tanpa melalui
pengangkatan dan baiat dari Ahlul-Halli wal-‘Aqdi, maka kekhalifahannya
tersebut tidak sah. Proses istikhlaf yang terjadi pada Abu Bakar kepada ‘Umar
bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhuma pun juga disimpulkan melalui proses
tersebut.
Hal
itu tercermin dari kalimat Penulis :
“Seseorang
Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila
Diangkat (Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin”.
dan
:
“Dengan
demikian, kekuasaan hanya terwujud dengan
baiat Ahlul Halli wa ‘Aqdi”.
Kata
“kecuali” dan “hanya” dalam dua kalimat di atas mempunyai makna pembatas (hasr).
Juga, bisa bermakna sebagai syarat. Jika maksud dua kata tersebut sebagai
syarat, bila gugur sesuatu yang dipersyaratkan maka yang disyarati itu pun
otomatis tidak ada atau tidak sah. Seperti misal : Wudlu adalah syarat sahnya
shalat. Jika seseorang shalat tanpa berwudlu, maka shalatnya itu tidak sah lagi
tidak diterima.
Maka
di sini saya akan memberikan sedikit catatan dan perincian ringkas mengenai hal
di atas. Para ulama/fuqahaa’ telah menjelaskan bahwa sahnya jabatan imamah (kepemimpinan)
dalam syari’at Islam itu melalui 4 (empat) jalan, yaitu : adanya penegasan dari
nash (hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam), baiat (dari ahlul-halli
wal-’aqdi), penunjukkan pengganti (istikhlaf) dari khalifah
sebelumnya, dan penaklukan/pemaksaan.[1] Penjelasannya
adalah sebagai berikut :
1.
Adanya penegasan
dari nash.
Sebagian ulama
mengatakan bahwa Abu Bakr radliyallaahu ’anhu diangkat sebagai
khalifah berdasarkan nash. Dalam hal ini pun terbagi menjadi dua, yaitu
berdasarkan nash khafiy dan berdasarkan nash jaliy.
Di antara mereka yang berpendapat berdasarkan nash khafiy adalah
Al-Hasan Al-Bashriy[2],
satu riwayat dari Imam Ahmad[3],
dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya. Adapun yang berpendapat
berdasarkan nash jaliy adalah Ibnu Hazm Adh-Dhaahiriy[4],
Ibnu Hajar Al-Haitamiy[5],
dan beberapa kalangan dari ahli hadits lainnya.
2.
Pemilihan dan baiat
dari ahlul-halli wal-’aqdi.
Ini merupakan
proses yang berlaku secara umum dalam daulah Islamiyyah. Sebagian ulama
berpendapat bahwa kepemimpinan Abu Bakr radliyallaahu ’anhu didasarkan
pada kesepakatan ahlul-halli wal-’aqdi yang berasal dari kaum
Muhajirin dan Anshar setelah sebelumnya terjadi perselisihan di antara mereka.
Dalam hal ini, ketidaksepakatan sebagian orang di antara mereka tidaklah
dianggap (yaitu misalnya ketidaksepakatan Sa’d bin ’Ubadah radliyallaahu
’anhu).
Berkata Al-Mawardi
:
فَإِذَا
اجْتَمَعَ أَهْلُ الْعَقْدِ وَالْحَلِّ لِلِاخْتِيَارِ تَصَفَّحُوا أَحْوَالَ
أَهْلِ الْإِمَامَةِ الْمَوْجُودَةِ فِيهِمْ شُرُوطُهَا فَقَدَّمُوا لِلْبَيْعَةِ
مِنْهُمْ أَكْثَرَهُمْ فَضْلًا وَأَكْمَلَهُمْ شُرُوطًا وَمَنْ يُسْرِعُ النَّاسُ
إلَى طَاعَتِهِ وَلَا يَتَوَقَّفُونَ عَنْ بَيْعَتِهِ
”Apabila ahlul-halli
wal-’aqdi berkumpul untuk memilih seorang pemimpin, maka mereka segera
mempelajari siapa saja individu yang memenuhi syarat untuk memangku jabatan.
Mereka mendahulukan untuk membaiat di antara mereka yang mempunyai keutamaan,
paling memenuhi syarat, serta orang yang mempunyai kedudukan di kalangan
manusia dalam hal ketaatan kepadanya dan tidak menahan baiat kepadanya”.[6]
Al-Baghdadiy
berkata :
قال
الجمهور الأعظم من أصحابنا (أي أهل السنة) ومن المعتزلة والخوارج والنجارية : إن
طريق ثبوتها (أي الامامة) الاختيار من الأمة
”Telah berkata
kebanyakan shahabat kami (yaitu Ahlus-Sunnah), dan juga dari kalangan
Mu’tazillah, Khawarij, serta An-Nijariyyah : Bahwasannya jalan yang tetap dalam
hal imamah adalah dengan cara pemilihan yang dilakukan oleh umat”.[7]
3.
Penunjukan yang
dilakukan oleh khalifah sebelumnya.
Cara seperti ini
adalah seperti yang dilakukan oleh Abu Bakr kepada ’Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
’anhuma. Setelah Abu Bakr meminta pandangan dari beberapa orang shahabat
tentang diri ’Umar bin Al-Khaththab (diantaranya ’Abdurrahman bin ’Auf, ’Utsman
bin ’Affan, Sa’id bin Zaid, Usaid bin Hudlair, dan yang lainnya), maka beliau
memanggil ’Utsman dan menyuruhnya untuk menulis wasiat penunjukkan ’Umar bin
Al-Khaththab sebagai pengganti beliau menjadi khalifah.[8]
Al-Mawardi berkata
:
وَأَمَّا
انْعِقَادُ الْإِمَامَةِ بِعَهْدِ مَنْ قَبْلَهُ فَهُوَ مِمَّا انْعَقَدَ
الْإِجْمَاعُ عَلَى جَوَازِهِ وَوَقَعَ الِاتِّفَاقُ عَلَى صِحَّتِهِ لِأَمْرَيْنِ
عَمِلَ الْمُسْلِمُونَ بِهِمَا وَلَمْ يَتَنَاكَرُوهُمَا أَحَدُهُمَا : أَنَّ
أَبَا بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَهِدَ بِهَا إلَى عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ فَأَثْبَتَ الْمُسْلِمُونَ إمَامَتَهُ بِعَهْدِهِ . وَالثَّانِي : أَنَّ
عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَهِدَ بِهَا إلَى أَهْلِ الشُّورَى فَقَبِلَتْ
الْجَمَاعَةُ دُخُولَهُمْ فِيهَا وَهُمْ أَعْيَانُ الْعَصْرِ اعْتِقَادًا
لِصِحَّةِ الْعَهْدِ بِهَا وَخَرَجَ بَاقِي الصَّحَابَةِ مِنْهَا
”Adapun
pengangkatan khalifah/imam berdasarkan penunjukan oleh imam sebelumnya, maka
ini diperbolehkan menurut ijma’. Telah terjadi kesepakatan akan benarnya metode
ini berdasarkan dua peristiwa yang telah dilakukan oleh kaum muslimin tanpa
adanya pengingkaran. Pertama, bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ’anhu telah
menyerahkan mandat imamah kepada ’Umarradliyallaahu ’anhu dan kaum
muslimin telah menetapkan (sahnya) keimamahannya dengan penyerahan mandat
tersebut. Kedua, bahwasannya ’Umar radliyallaahu ’anhu menunjukkan
dengannya kepada ahlusy-syuuraa[9] yang
dengan masyarakat menerima masuknya keenam orang tersebut di dalamnya. Ahlusy-Syuuraa tersebut
adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan di masanya. Hal ini menunjukkan
kebenaran metodologi tersebut. Sementara itu, para shahabat lain berada di luar ahlusy-syuuraa”.[10]
Ijma’/kesepakatan
tentang keabsahan penunjukkan metodologi ini juga dikatakan oleh An-Nawawiy[11],
Ibnu Hazm[12],
dan yang lainnya.
Namun di sini para
ulama berselisih pendapat apakah baiat yang diberikan oleh Khalifah sebelumnya
itu bisa dibenarkan tanpa adanya keridlaan dari kaum muslimin/ahlul-halli
wal-‘aqdi ? Ada dua pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama berpendapat
bahwasannya dipersyaratkan adanya keridlaan dari kaum muslimin atas baiat
tersebut. Sebagian ulama lainnya mengatakan bahwa hal itu bukan menjadi
persyaratan berdasarkan dhahir penunjukkan Abu Bakr terhadap ’Umar bin
Al-Khaththabradliyallaahu ’anhuma.
Al-Mawardi
merajihkan pendapat yang terakhir dengan mengatakan :
لَكِنْ
اخْتَلَفُوا هَلْ يَكُونُ ظُهُورُ الرِّضَا مِنْهُمْ شَرْطًا فِي انْعِقَادِ
بَيْعَتِهِ أَوْ لَا ؟ فَذَهَبَ بَعْضُ عُلَمَاءِ أَهْلِ الْبَصْرَةِ إلَى أَنَّ
رِضَا أَهْلِ الِاخْتِيَارِ لِبَيْعَتِهِ شَرْطٌ فِي لُزُومِهَا لِلْأُمَّةِ ؛
لِأَنَّهَا حَقٌّ يَتَعَلَّقُ بِهِمْ فَلَمْ تَلْزَمْهُمْ إلَّا بِرِضَا أَهْلِ
الِاخْتِيَارِ مِنْهُمْ . وَالصَّحِيحُ أَنَّ بَيْعَتَهُ مُنْعَقِدَةٌ وَأَنَّ الرِّضَا
بِهَا غَيْرُ مُعْتَبَرٍ ؛ لِأَنَّ بَيْعَةَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ لَمْ
تَتَوَقَّفْ عَلَى رِضَا الصَّحَابَةِ ؛ وَلِأَنَّ الْإِمَامَ أَحَقُّ بِهَا
فَكَانَ اخْتِيَارُهُ فِيهَا أَمْضَى ، وَقَوْلُهُ فِيهَا أَنْفَذَ
”Akan tetapi mereka
berselisih pendapat apakah keridlaan mereka (ahlul-halli wal-’aqdi)
merupakan syarat dalam pengangkatan dalam baiatnya (yang dilakukan oleh
khalifah sebelumnya) atau tidak ? Sebagian ulama Bashrah berpendapat
bahwasannya keridlaan dewan pemilih (ahlul-halli wal-’aqdi) terhadap
baiat tersebut merupakan syarat dalam keabsahannya bagi umat. Karena, imamah
itu merupakan kebenaran yang berhubungan dengan mereka. Maka imamah itu tidak
mengikat mereka kecuali dengan keridlaan dewan pemilih dari kalangan mereka.
Namun yang benar adalah bahwasannya baiatnya itu terselenggara (sah) karena
keridlaan mereka itu tidaklah dipertimbangkan. (Hal itu dikarenakan) baiat
’Umar radliyallaahu ’anhu tidak bergantung pada shahabat yang
lain.[13]
Juga, (hal itu disebabkan) imam itu lebih berhak atasnya (yaitu masalah imamah).
Maka pilihannya itu lebih kuat, dan perkataannya mengenai masalah itu juga
lebih layak untuk dilaksanakan”.[14]
4.
Penaklukan atau
pemaksaan.
Yaitu, imamah diperoleh
dengan jalan mengalahkan pemerintah yang berkuasa dengan menggunakan pedangnya,
lalu dia dapat merebut tampuk kekhilafahan dengan kekuatan yang dimilikinya,
sehingga kekuasaan atas umat Islam pun beralih kepadanya. Pada saat itulah,
umat Islam wajib untuk taat kepadanya, karena upaya untuk melakukan
pembangkangan terhadapnya dapat memecahkan persatuan umat Islam.
Tidak dipungkiri
bahwa apa yang dilakukan orang tersebut ketika bughat merebut
kekuasaan merupakan satu kemaksiatan yang besar menurut pandangan syari’at
Islam, karena Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam pernah
bersabda :
مَنْ
حَمَلَ عَلَينَا السِّلاحَ فَلَيسَ مِنَّا
“Barangsiapa
yang memberontak kepada kami dengan senjata, maka dia bukan golongan kami” [HR.
Al-Bukhari no. 6874, 7070 dan Muslim no. 98].
Namun bila ini
terjadi, maka sah kepemimpinannya tersebut dan umat wajib berbaiat untuk
mentaatinya. Ini adalah pendapat masyhur dari kalangan Ahlus-Sunnah. Tidak ada
perbedaan pendapat mengenai masalah ini.
Imam Al-Baihaqi
meriwayatkan dari Harmalah, beliau berkata :
سمعت
الشافعي يقول : كل من غلب على الخلافة بالسيف حتى يسمي خليفة، ويجمع الناس عليه،
فهو خليفة
”Aku mendengar
Asy-Syafi’i berkata : ’Siapapun yang menang dalam merebut kekhalifahan
(kekuasaan) dengan pedang, lalu disebut khalifah, dan manusia bersepakat (atas
kepemimpinan)-nya, maka orang itu adalah khalifah (yang wajib untuk ditaati)”.[15]
Imam Ahmad berkata
dalam masalah aqidah, yang perkataan beliau ini diriwayatkan oleh Abdus-Salam
bin Malik Aththar :
ومن
غلب عليهم يعني: الولاة – بالسيف حتى صار خليفة، وسمي أمير المؤمنين، فلا يحل لأحد
يؤمن بالله واليوم الآخر أن يبيت ولا يراه إماماً، براً كان أو فاجراً
“…. Dan barangsiapa
mengalahkan mereka – yaitu : pemimpin Negara (sebelumnya) - dengan pedang
sampai menjadi khalifah dan digelari Amirul-Mukminin, maka bagi seorang yang
masih beriman kepada Allah dan hari akhir tidak halal baginya untuk
bermalam/beristirahat sedangkan ia masih beranggapan bahwa sesungguhnya tidak
ada lagi imam (yang wajib dia baiat). Baik yang telah berkuasa tersebut seorang
yang shalih ataupun jahat”.[16]
Ibnu Hajar berkata
:
أجمع
الفقهاء على وجوب طاعته السلطان المتغلب والجهاد معه، وأن طاعته خير من الخروج
عليه، لما في ذلك من حقن الدماء، وتسكين الدهماء،
“Para ahli fiqh
telah bersepakat atas wajibnya mentaati penguasa yang menang (ketika merebut
kekuasaan), dan wajibnya jihad bersamanya. Dan sesungguhnya mentaati penguasa
yang menang itu lebih baik daripada memberontak kepadanya. Karena perbuatan ini
akan mengakibatkan pertumpahan darah dan pengangkatan rakyat jelata (maksudnya
: orang bodoh) menduduki jabatan”.[17]
Tentu saja dipahami
dari hal ini tidak ada baiat pengangkatan oleh kaum muslimin/ahlul-halli
wal-’aqdi. Yang ada adalah baiat ketaatan dari rakyat.
Oleh
karena itu, perkataan :
“Seseorang Tidak Akan Menjadi Khalifah Kecuali Bila Diangkat (Dibaiat) Oleh Kaum Muslimin”.
dan
:
“Dengan demikian, kekuasaan hanya terwujud dengan baiat Ahlul Halli wal-‘Aqdi”.
perlu tafshil (perincian).
Memang benar, bahwa yang paling ideal adalah adanya pembaiatan dari kaum
muslimin. Namun, syari’at dan juga kesepakatan ulama telah menetapkan bahwa
pada keadaan-keadaan tertentu baiat ini bukan menjadi syarat sahnya
kepemimpinan sebagaimana dituliskan di atas.
Semoga
tulisan singkat di atas bermanfaat. Tentu saja, bagi mereka yang ingin menggali
lebih dalam tentang permasalahan ini, dapat ditengok dalam kitab-kitab induk
para ulama yang membahas tentang hukum ketatanegaraan Islam.
Wallaahu
a’lam bish-shawaaab.
Abul-Jauzaa’
– Ciomas Permai, Muharram 1430; 22:34 WIB.
Catatan
kaki :
[1] Al-Fiqhul
Islamiy wa Adillatuhu oleh Prof.
Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, 6/673 dan Adlwaaul-Bayaan, oleh Al-’Allamah
Muhammad Amin Asy-Syinqithiy, 1/72-73.
[2] Syarh
Al-’Aqidah Ath-Thahawiyyah oleh Ibnu
Abil-’Izz Al-Hanafiy, hal. 471.
[3] Al-Mu’taqad
fii Ushuuliddin oleh Abu
Ya’la Al-Farraa’, hal. 226.
[4] Al-Fashl
fil-Milal wal-Ahwaa’ wan-Nihaal, 4/108.
[5] Ash-Shawaa’iqul-Muharriqah, hal 26.
[6] Al-Ahkaam
As-Sulthaaniyyah hal. 7
dan Hujjatullaahil-Baalighah oleh Ad-Dahlawiy, 2/111.
[7] Ushuuludiin oleh Al-Baghdadiy, hal. 279.
[8] As-Suyuthi dalam Tarikh
Khulafaa’ membawakan
riwayat dari wasiat Abu Bakr tersebut sebagai berikut :
اكتب
بسم الله الرحمن الرحيم هذا ما عهد أبو بكر بن أبي قحافة في آخر عهده بالدنيا
خارجا منها وعند أول عهده بالاخرة داخلا فيها حيث يؤمن الكافر ويوقن الفاجر ويصدق
الكاذب إني استخلفت عليكم بعدي عمر بن الخطاب فاسمعوا له وأطيعوا وإني لم آل الله
ورسوله ودينه ونفسي وإياكم خيرا فإن عدل فلذلك ظني به وعلمي فيه وإن بدل فلكل
امرىء ما اكتسب والخير أردت ولا أعلم الغيب وسيعلم الذين ظلموا أي منقلب ينقلبون
والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته
“Tulislah bismillaahi-rahmaanir-rahiim.
Inilah apa yang diwasiatkan oleh Abu Bakr bin Abi Quhafah di akhir hidupnya di
dunia saat akan keluar darinya, dan awal hidupnya di ambang akhirat. Dimana
orang-orang kafir telah beriman, orang yang durhaka telah yakin, dan orang yang
menyatakan dusta telah membenarkan (agama Islam). Sesungguhnya aku telah
menetapkan ‘Umar sebagai khalifah atas kalian setelah aku meninggal. Maka
dengar dan taatilah ia. Aku telah melakukan yang terbaik kepada Allah, Rasul,
dan agama-Nya kepada kalian serta aku sendiri. Maka jika dia berlaku adil,
itulah yang aku harapkan dan yang aku ketahui dari dirinya. Namun jika dia
berubah, maka setiap orang akan menanggung apa yang dia lakukan. Sedangkan aku
menginginkan hal yang baik, dan aku tidak mengetahui hal yang ghaib. Dan
orang-orang yang telah melakukan kedhaliman akan tahu kemana mereka akan
dikembalikan. Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh
[Tarikh Khulafaa’ oleh As-Suyuthi, Pasal : Saat Sakit
Abu Bakr, Wafatnya, Wasiatnya, serta Penunjukan ‘Umar (Sebagai Pengganti
Khalifah) – Free Program from http://www.islamspirit.com/].
[9] ‘Umar menunjukkan
enam orang dari kalangan tokoh-tokoh shahabat yang utama (yaitu ‘Utsman bin
‘Affan, ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Zubair bin ‘Awwam, Thalhah
bin ‘Ubaidillah, dan Sa’d bin Abi Waqqash) agar bermusyawarah untuk memilih
siapa di antara mereka yang akan menjadi khalifah pengganti ’Umar.
[10] Al-Ahkaamus-Sulthaaniyyah, hal. 12.
[11] Shahih
Muslim bi-Syarhin-Nawawiy, 15/205.
[12] Maraatibul-Ijmaa’, hal. 145.
[13] Riwayat yang
dibawakan oleh As-Suyuthi dalam Tarikh Khulafaa’ dari Al-Waqidi mengenai dipanggilnya
beberapa orang shahabat untuk dimintai pendapat Abu Bakr mengenai diri ‘Umar
tidak tercermin pensyaratan keridlaan tersebut. Sebab ketika mereka ditanya
tentang diri ’Umar, maka ada diantara mereka ada yang mengisyaratkan
ketidaksetujuannya. Namun Abu Bakr tetap mempunyai independensi dalam
menentukan keputusannya dimana beliau berkata kepada mereka :
بالله
تخوفني أقول اللهم إني استخلفت عليهم خير أهلك أبلغ عني ما قلت وراءك
“Demi Allah, apakah engkau menakut-nakutiku ? Aku akan katakan :
’Ya Allah, sesungguhnya aku memutuskan untuk menjadikan penggantiku bagi mereka
adalah orang yang paling baik dari hamba-Mu’. Sampaikan perkataanku ini kepada
orang-orang yang ada di belakangmu !!” [selesai].
Ini menunjukkan bahwa keridlaan mereka bukanlah menjadi syarat
sahnya imamah ’Umar bin Al-Khaththab.
[14] Al-Ahkaamus-Sulthaaniyyah, hal. 12.
[15] Manaaqibusy-Syafi’iy, 1/448.
[16] Al-Ahkaamus-Sulthaniyyah oleh Abu Ya’la hal. 23. Lihat pula Ath-Thabaqat
Al-Hanabillah oleh
Ibnu Abi Ya’la 1/241-246.
[17] Fathul-Baariy, 13/7.
Comments
Bismillah,
Afwan ya akhil karim, bolehkah tulisan antum saya masukkan dalam blog saya (tentunya tanpa perubahan dan tetap mencantumkan nama antum sebagai penulis).
Blog saya di mantanht.wordpress.com
silakan...
bismillah
saya punya pemahaman rasul sudah tidak ada kitab tidak diturunkan lagi,maka yang akan memilah imamah adalah ulama (qs:Fathir :28)dengan bentuk kesepakatan ulama dunia(qs: Al Baqorah :208 ) melalui mudzakarah.Sehingga nanti terpilih imamah dunia.Maka siapa yang akan menyatukan ini ?
akhi itu tidak sesuai judul, ganti aja dengan bantahan terhadap artikel yang dikeluarkai majalah Al Wa'i, dan diartikel antum tidak ada apapun yang memuat usul dialog.
Bolehkah saya mendiskusikan artikel antum ini?
Posting Komentar