Kaidah : Menolak Mafsadat Lebih Didahulukan daripada Mencari Maslahat

2 komentar

Dasar kaidah ini adalah :

  1. Firman Allah ta’ala :

    يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا

    Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" [QS. Al-Baqarah : 219].

    Ibnu Katsir rahimahullah berkata : “Dosanya itu menyangkut masalah agama, sedangkan manfaatnya berhubungan dengan masalah duniawi, yaitu minuman itu bermanfaat bagi badan, membantu pencernaan makanan, mengeluarkan sisa-sisa makanan, mempertajam sebagian pemikiran, kenikmatan, dan daya tariknya yang menyenangkan. Sebagaimana dikatakan oleh Hasan bin Tsabit pada masa Jahiliyyah :

    Kami meminumnya hingga kami terasa sebagai raja dan singa
    Yang pertemuan itu tidak menghentikan kami



    Demikian juga menjualnya dan memanfaatkan uang hasil dari penjualannya. Dan juga keuntungan yang mereka dapatkan dari permainan judi, lalu mereka nafkahkan untuk diri dan keluarganya. Tetapi faedah tersebut tidak sebanding dengan bahaya dan kerusakan yang terkandung di dalamnya, karena berhubungan dengan akal dan agama. Untuk itu Allah berfirman : ”tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" [selesai – Tafsir Ibni Katsir 2/291-292].

  2. Firman Allah ta’ala :

    وَلا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ كَذَلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَى رَبِّهِمْ مَرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

    “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” [QS. Al-An’am : 108].

    Memaki sembahan mereka sebenarnya merupakan upaya membuat mereka marah, menghinakan mereka dan sembahan mereka, serta sebagai satu pembelaan terhadap agama Allah. Namun Allah melarangnya karena jika kita menempuh jalan tersebut akan terbuka jalan/sebab mereka memaki Allah tanpa ilmu. Hal itu merupakan mafsadat yang lebih besar lagi. Oleh karena itu maslahat untuk tidak memaki sembahan mereka lebih besar daripada maslahat yang dicapai dengan memaki sembahan mereka.

  3. Hadits ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :

    يا عائشة لولا أن قومك حديث عهد بجاهلية لأمرت بالبيت فهدم فأدخلت فيه ما أخرج منه وألزقته بالأرض

    “Wahai ‘Aisyah, seandainya bukanlah karena kaummu baru saja lepas dari Jahiliyyah, niscaya aku akan perintahkan meruntuhkan Ka’bah, lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang pernah dikeluarkan daripadanya, dan niscaya aku akan tempelkan (pintunya) ke tanah…” [HR. Al-Bukhari no. 1586 dan Muslim no. 1333].

    Hadits di atas memberikan satu pelajaran bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam meninggalkan kemaslahatan pembangunan Ka’bah sesuai aslinya berdasarkan asas Nabi Ibrahim ‘alaihis-salaam demi menolak mafsadah; yaitu jika beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meruntuhkannya, maka manusia akan lari dari Islam atau murtad karenanya. Maka, beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mendahulukan menolak mafsadah daripada upaya mencari maslahat.

  4. Hadits Jabir radliyallaahu ‘anhu tentang ‘Abdullah bin Ubay bin Salul dan kaum munafiqin lainnya :

    وقال عبد الله بن أبي بن سلول أقد تداعوا علينا لئن رجعنا إلى المدينة ليخرجن الأعز منها الأذل فقال عمر ألا نقتل يا رسول الله هذا الخبيث لعبد الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم لا يتحدث الناس أنه كان يقتل أصحابه

    “’Abdullah bin Ubay bin Salul berkata : ‘Apakah orang-orang Muhajirin menantang kita ? Jika kita sudah kembali ke Madinah, pasti kelompok yang kuat akan mengusir kelompok yang lemah dari Madinah’. ‘Umar berkata : ‘Ya Rasulullah, mengapa tidak kita bunuh saja orang jahat ini ?’. Maksudnya : ’Abdullah bin ’Ubay bin Salul. Maka Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ’Jangan sampai orang-orang berkata bahwa Muhammad membunuh shahabatnya sendiri” [HR. Al-Bukhari no. 3518].

    Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam menahan diri dari membunuh kaum munafiqin padahal (kalaupun dilakukan) terdapat maslahat. Namun hal itu tidak dilakukan agar tidak menjadi sebab larinya manusia (dari Islam) dan mereka mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh para shahabatnya.

Jika terkumpul di dalamnya antara maslahat dan mafsadat dalam satu perkara, maka harus dipertimbangkan dengan benar untuk mengambil kesimpulan dalam amalan. Wajib baginya untuk merajihkan, mana yang lebih dominan antara maslahat atau mafsadatnya yang akan timbul. Jika maslahat yang dihasilkan lebih besar daripada mafsadatnya, maka dianjurkan baginya untuk melakukan amalan tersebut. Akan tetapi jika sebaliknya, mafsadat yang ditimbulkan lebih besar daripada maslahatnya, maka ia tidak boleh untuk melaksanakannya. Bahkan haram dilakukan. Jika maslahat dan mafsadat yang ditimbulkan sama, maka hendaknya ia tetap tidak melakukannya sebagai langkah kehati-hatian (terhadap mafsadah yang diperkirakan timbul).

Oleh karena itu, tidak selamanya kemaslahatan itu harus dilakukan. Perlu pemikiran yang jernih dan analisis yang jeli sehingga amalan yang dilakukan tepat sesuai dengan keinginan Pembuat syari’at.


Abul-Jauzaa’.


NB : Saya jadi ingat dalam pembicaraan beberapa waktu silam tentang usaha yang dilakukan sebagian ikhwah untuk membuka wawasan keilmuan pada salafiyyin dengan menampilkan pendapat-pendapat yang kurang ’populer’ (pake apostrof) di kalangan ulama (baik klasik atau kontemporer). Maslahat yang hendak dicapai agar ikhwah salafiyyun tidak jumud dalam ilmu. Namun sayangnya hal itu justru menimbulkan mafsadat dicelanya beberapa da’i salafiyyin oleh pihak yang tidak senang dengan dakwah salaf karena mereka dianggap hanya memunculkan satu pendapat saja yang sesuai dengan mereka, dan terkesan ’menyembunyikan’ khilaf. Padahal, sifat fatwa, penjelasan, dan jawaban pada asalnya adalah ringkas sesuai dengan yang ditanyakan karena tujuannya adalah untuk segera diamalkan. Berbeda halnya jika hal itu merupakan pembahasan khusus sehingga perlu ditampilkan keluasan pandangan dari berbagai fuqahaa’ beserta dalil-dalil yang mungkin mereka pergunakan untuk membangun pendapatnya. Mungkin ini masih debatable tergantung dari sisi mana ia memandangnya. Oleh karena itu, usaha-usaha semacam ini – yang pada asalnya baik - menurut hemat saya hendaknya memperhatikan faktor kapan, dimana, dan pada siapa. Semoga Allah memberikan keistiqamahan, barakah, dan hidayah kepada kita semua. Amien...

Posisi Tangan Setelah Bangun dari Rukuk : Bersedekap atau Irsal ? (Sebuah Sanggahan)

29 komentar

Telah dimafhumi bahwa dalam permasalahan ini terdapat 2 (dua) khilaf yang sangat masyhur di kalangan ulama. Satu pendapat mengatakan bahwa seorang yang berdiri ketika i’tidal setelah bangun dari rukuk adalah irsal (melepaskan tangannya dan tidak sedekap di atas dada). Dan sebagian yang lain mengatakan bahwa posisi tangan dalam berdiri setelah rukuk adalah bersedekap di atas dada.

Bahasan ini akan dimulai dengan hadits yang dijadikan hujjah bagi orang yang berpendapat bahwa posisi tangan setelah rukuk adalah irsal (melepaskan tangannya/tidak sedekap di atas dada), yaitu :

ثم ارفع رأسك حتى تعتدل قائماً؛ [فيأخذ كل عظم مأخذه] وفي رواية : وإذا رفعت فأقم صلبك، وارفع رأسك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها

“Kemudian, angkatlah kepalamu sehingga engkau berdiri lurus, dan setiap tulang (kullu ‘adhmin) dapat mengambil tempatnya”. (dan di dalam sebuah riwayat mengatakan : ) “Dan apabila engkau bangkit dari rukuk, maka luruskanlah tulang punggungmu (fa-aqim shulbaka) dan angkatlah kepalamu hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya [HR. Bukhari, Muslim, Ad-Daarimi, Al-Hakim, Asy-Syafi’i, dan Ahmad. Lihat dalam kitab Shifat Shalat Nabi hal. 138 oleh Syaikh Al-Albani].

Mereka yang berpendapat melepaskan tangan ketika berdiri setelah rukuk mengatakan :

“Maksud hadits ini jelas dan gamblang, yaitu thuma’ninah di dalam berdiri ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah memerintahkan untuk meluruskan semua tulang, termasuk tulang lengan/tangan, ketika berdiri i’tidal. Lantas, bagaimana bisa dikatakan bahwa posisi tangan ketika berdiri i'tidal setelah rukuk adalah sedekap ?”.

Sanggahan (Ta’qib) atas pendapat tersebut akan diuraikan sebagai berikut :

  1. Beberapa hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahih telah menjelaskan kepada kita bagaimana posisi tangan ketika berdiri dalam shalat. Diantaranya adalah hadits :

    كان الناس يؤمرون أن يضع الرجل اليد اليمنى على ذراعه اليسرى في الصلاة

    “Adalah para shahabat diperintahkan (oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam) bahwa seseorang agar meletakkan tangan kanannya di atas hasta kirinya dalam shalat” [HR. Al-Bukhari no. 740 dari Sahl bin Sa’d radliyallaahu ‘anhu].

    إنا معشر الأنبياء أمرنا أن نؤخر سحورنا ونعجل فطرنا وأن نمسك بأيماننا على شمائلنا في صلاتنا

    “Sesungguhnya kami para nabi telah diperintahkan untuk mengakhirkan sahur kami, menyegerakan buka puasa kami, dan untuk mengeratkan tangan-tangan kanan kami di atas tangan-tangan kiri kami dalam shalat” [HR. Ibnu Hibban dalam Shahih-nya no. 1770].

    صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ووضع يده اليمنى على يده اليسرى على صدره

    “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau meletakkan tangan kanannya atas tangan kirinya di atas dadanya” [HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 479 dari Wail bin Hujr radliyallaahu ‘anhu].

    رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم واضعا بيمينه على شماله في الصلاة

    “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya dalam shalat" [HR. Ad-Daruquthni 1/286 dari Wail Al-Hadlramy radliyallaahu ‘anhu].

    Empat hadits di atas (dan juga beberapa hadits yang lain) menjelaskan kepada kita bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya (bersedekap) dalam shalat. Dan hal itu tentu tidak bisa dipahami kecuali beliau lakukan dalam keadaan berdiri ketika shalat (mencakup semua macam berdiri : berdiri sebelum rukuk dan setelah rukuk). Ini adalah lafadh umum.

    Jikalau ada yang bertanya : “Bukankah dalam hadits telah dijelaskan secara tafshil (rinci) dari keumuman hadits di atas bahwasannya bersedekap itu hanya dilakukan 4 keadaan :

    a) Berdiri setelah takbiratul-ihram, sebagaimana hadits :

    عن وائل بن حجر أنه رأى النبي صلى الله عليه وسلم رفع يديه حين دخل في الصلاة كبر وصف همام حيال أذنيه ثم التحف بثوبه ثم وضع يده اليمنى على اليسرى

    “Dari Wail bin Hujr radliyallaahu anhu : "Bahwasannya ia melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kedua tangannya ketika masuk dalam shalatnya………… kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya” [HR. Muslim no. 401 dimana Imam Muslim meletakkan hadits ini pada bab yang berjudul : وضع يده اليمنى على اليسرى بعد تكبيرة الإحرام...... = Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri setelah takbiratul ihraam] .

    b) Berdiri ketika bangun dari sujud

    c) Berdiri ketika bangun dari at-tahiyat awal; dimana butir a dan b berdasarkan keumuman hadits yang menyebutkan bahwa apa yang dilakukan pada waktu berdiri pada raka’at dua, tiga, atau empat adalah sama dengan apa yang dilakukan pada saat raka’at pertama. (HR. Muslim, Ahmad, dan lainnya).

    Hal itu kita jawab :

    Penyebutan 3 (tiga) kondisi sebagaimana tersebut di atas bukanlah merupakan perincian dan batasan yang menyeluruh. Banyak contoh serupa yang terdapat dalam hadits. Contohnya adalah, ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan sucinya kulit yang telah disamak dengan sabdanya :

    إذا دبغ الإهاب فقد طهر

    “Apabila telah disamak kulit binatang, maka, maka ia menjadi suci” [HR. Muslim no. 366, Ahmad no. 1895, dan yang lainnya].

    Pemahaman yang didapat dari hadits adalah semua kulit yang telah disamak adalah suci. Akan tetapi, konteks yang dibicarakan dalam hadits hanyalah kulit bangkai kambing. Tidak semua kulit binatang disebutkan dalam hadits. Namun, ini bukan berarti kulit yang lain yang tidak disebutkan dalam hadits – seperti misal : kulit kerbau, kulit kelinci, atau kulit sapi – tidak termasuk dalam keumuman hadits kesucian kulit yang telah disamak. Bahkan semua kulit binatang yang telah disamak adalah suci. Tegasnya, sesuatu yang telah ada asalnya atau pokoknya, bila perinciannya tidak disebutkan disebutkan dalam riwayat, tidak otomatis bahwa “yang tidak disebutkan” itu tidak ada. Begitu juga dengan bersedekap ketika berdiri setelah rukuk. Walaupun tidak disebutkan secara sharih oleh riwayat, maka hal itu termasuk keumuman dari berdiri dalam shalat yang di dalamnya diperintahkan untuk bersedekap. Dan hal itu akan lebih jelas pada penjelasan berikutnya.

  2. Ketika menyebutkan keadaan waktu berdiri setelah rukuk, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan meluruskan punggung sehingga setiap tulang kembali ke tempatnya. Hal ini sebagaimana hadits :

    فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار مكانه

    “Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya, beliau berdiri rata sehingga setiap tulang belakang kembali kepada tempatnya” (HR. Al-Bukhari no. 827 dari Abu Humaid As-Saidi radliyallaahu ‘anhu].

    ثم قال سمع الله لمن حمده ورفع يديه واعتدل حتى يرجع كل عظم إلى موضعه معتدلا

    Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : Sami’allaahu liman hamidah dan mengangkat kedua tangannya dan berdiri i’tidal sehingga setiap tulang mengambil posisi di tempatnya dengan lurus” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 587 dari Abu Haumaid As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu].

    فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها

    (Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :) “Apabila engkau mengangkat kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya” [HR. Ahmad no. 19017 dari Rifa’ah bin Rafiq Az-Zarqi radliyallaahu 'anhu].

    ثم يمكث قائماً حتى يقع كل عضو موضعه

    “…Kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menunggu sambil berdiri hingga setiap anggota badan terletak (kembali) pada tempatnya” [Subulus-Salam, Kitaabush-Shalah].

    Dan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa posisi tangan/tulang tangan sebelum rukuk (yaitu ketika berdiri) adalah bersedekap. Pemahaman yang didapatkan adalah, ketika ada perintah untuk mengembalikan tulang (العظم) pada posisinya/tempatnya/sendinya semula, maka hal ini tentu merujuk pada posisi bersedekap.

    Jikalau ada yang bertanya : “Bagaimana bisa dikatakan bersedekap jikalau hadits di atas menyuruh kita untuk mengembalikan tulang dengan lurus (sehingga menunjukkan posisi tangan adalah irsal) sebagaimana riwayat Ibnu Khuzaimah dan At-Tirmidzi berikut :

    واعتدل حتى يرجع كل عظم في موضعه معتدلا

    “Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berdiri tegak hingga setiap tulang kembali kepada tempatnya masing-masing dengan lurus” [HR. Ibnu Khuzaimah no. 677 dan At-Tirmidzi no. 304 dari Abu Humaid As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu, dan ia berkata : hadits hasan shahih].

    Maka kita jawab : “Lurus yang dimaui dalam hadits tersebut bukan lurusnya tangan, akan tetapi lurusnya punggung sehingga seseorang berdiri dengan tegap ketika i’tidal dalam shalat setelah rukuk”. Dalam beberapa hadits yang telah dituliskan di atas disebutkan dengan menggunakan lafadh [كل عظم] dan [العظام]. Bentuk kalimat ini adalah muthlaq, yaitu lebih umum yang meliputi semua tulang, tiap-tiap tulang, atau tulang-tulang. Setelah itu, coba kita perhatikan riwayat Abu Humaid di atas dari Al-Bukhari :

    فإذا رفع رأسه استوى حتى يعود كل فقار مكانه

    “Apabila beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam mengangkat kepalanya, beliau berdiri rata sehingga setiap tulang belakang (فقار) kembali kepada tempatnya”.

    Dan juga hadits dari Rifa’ah :

    فإذا رفع رأسك فأقم صلبك حتى ترجع العظام إلى مفاصلها

    “Apabila engkau mengangkat kepalamu di waktu rukuk, maka tegakkanlah tulang punggungmu (صلبك) hingga tulang-tulang kembali kepada sendi-sendinya”.

    Dua hadits di atas telah membatasi (men-taqyid) dari ke-muthlaq-an kalimat [كل عظم] dan [العظام]. Jadi yang dimaksud dengan “setiap tulang” yang hendaknya diluruskan adalah tulang punggung. Dan yang menguatkan hal tersebut adalah bahwa penafsiran atau pen-taqyid-an (pembatasan) ke dalam makna tulang punggung ini merupakan ucapan dan perintah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dilihat dan didengar oleh para shahabat. Adapun lafadh-lafadh {[كل عظم] dan [العظام]} merupakan perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dikhabarkan oleh para shahabat dari apa yang mereka lihat. Tentu pengkhabaran ini sesuai dengan pemahaman dan bahasa dari orang yang mengkhabarkan, walaupun mereka ini (para shahabat) merupakan thabaqat yang paling tsiqah. Kedudukan yang terakhir ini tidak bisa mengalahkan kedudukan yang pertama dalam hal pengambilan pemahaman sebagaimana mafhum diketahui.

KESIMPULAN : Posisi tangan ketika berdiri setelah rukuk adalah bersedekap, bukan irsal (melepaskan/meluruskan kedua tangan ke bawah). Allaahu a’lam.




Abul-Jauzaa'

Ahlush-Shuffah - Siapa Sajakah Mereka ?

2 komentar

Jumlah penghuni komplek Shuffah tidak menentu, tergantung situasi dan kondisinya. Jumlah mereka bisa bertambah saat ada banyak rombongan delegasi yang datang ke Madinah, dan menjadi berkurang ketika tidak banyak orang asing (dari luar Madinah) yang datang. Rata-rata jumlah mereka sekitar 70 orang (Abu Nu’aim, Al-Hilyah 1/339, 341). Jumlah mereka juga bisa bertambah banyak, sampai-sampai yang ditampung sebagai tamu di rumah Sa’ad bin Abu ‘Ubadah saja jumlahnya mencapai 80 orang. Itu belum termasuk yang ditampung oleh shahabat-shahabat Anshar lainnya. (Abu Nu’aim, Al-Hilyah 1/341).

Menurut As-Samhudi, Abu Nu’aim menyebutkan lebih dari 100 nama dalam kitabnya
Al-Hilyatul-‘Auliyaa'. (As-Samhudi, Al-Wafa’ul-Wafaa’ 1/321).

Akan tetapi, jumlah yang disebutkan oleh Abu Nu’aim hanya 52 orang saja. Di antara mereka ada lima nama yang dihapus oleh Abu Nu’aim karena dianggap bukan termasuk Ahlush-Shuffah. Abu Nu’aim sendiri juga membuat daftar yang cukup panjang tentang nama-nama mereka yang terkenal. Ia mengutip dari sumber lama yang tidak ia katakan secara tegas. Mungkin sumber tersebut adalah kitab yang disusun oleh Abu 'Abdirrahman As-Sulami (wafat tahun 412 H) tentang orang-orang yang termasuk
Ahlush-Shuffah. (Haji Khalifat, Kasyfudh-Dhunun 1/286; dan Ibnu Hajar, Al-Ishabah 1/606 dan 6/550).

Berikut ini adalah nama-nama
Ahlush-Shuffah, seperti yang disebutkan oleh Abu Nu’aim (Abu Nua’im, Al-Hilyah 1/347), ditambah dengan beberapa nama yang disebutkan oleh sumber-sumber lain di luar yang disebutkan oleh Abu Nu’aim :

  1. Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu yang menghubungkan dirinya kepada mereka. (Al-Bukhari, Ash-Shahih Kitab Al-Buyu’ Bab I; Ibnu Sa’ad, Ath-Thabaqat Al-Kubraa 1/256; Ibnu Sayyidinnas, Uyunul-Atsar 2/317; dan Ibnu Hajar, Al-Ishabah nomor 5505).

  2. Abu Dzarr Al-Ghifary radliyallaahu ‘anhu yang menghubungkan diri kepada mereka. (Ibnu Sayyidinnas, Uyunul-Atsar 2/317; dan Ibnu Sa’ad Ath-Thabaqat Al-Kubra 2/256).

  3. Watsilah bin Al-Asqa’ radliyallaahu ‘anhu. ( Ibnu Sayyidinnas, Uyunul-Atsar 2/317)

  4. Qais bin Thafat Al-Ghifary radliyallaahu ‘anhu yang menghubungkan dirinya kepada mereka. (Ibnu Sa’ad, Thabaqat Al-Kubra 1/256).

  5. Ka’ab bin Malik Al-Anshary radliyallaahu ‘anhu (Ibnu Abi Hatim, Al-Jarh wat-Ta’dil 3/2 halaman 160).

  6. Said bin Amir bin Hudzaim Al-Jumahi radliyallaahu ‘anhu.

  7. Salman Al-Farisi radliyallaahu ‘anhu.

  8. Asam’ bin Haritsah bin Sa’id Al-Aslami radliyallaahu ‘anhu.

  9. Handlalah bin Abu Amir Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu (orang yang dimandikan oleh malaikat).

  10. Hazim bin Harmalah radliyallaahu ‘anhu.

  11. Haritsah bin Nu’man Al-Anshari An-Najjari radliyallaahu ‘anhu.

  12. Hudzaifah bin Usaid alias Abu Sarihah Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu.

  13. Hudzaifah bin Al-Yaman radliyallaahu ‘anhu, seorang shahabat Muhajirin yang sangat dekat dengan kaum Anshar sehingga ia dianggap termasuk golongan mereka.

  14. Jariyah bin Jamil bin Syabat bin Qarath radliyallaahu ‘anhu.

  15. Ju’ail bin Saraqah Adh-Dhamri radliyallaahu ‘anhu.

  16. Jurhud bin Khuwailid Al-Aslami radliyallaahu ‘anhu (Abu Dawud, As-Sunan, kitab Tempat Pemandian Bab Larangan Telanjang 2/363; Ahmad Al-Musnad 3/479).

  17. Rifa’ah Abu Lubabah Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu. Konon namanya adalah Basyir bin Abdul-Mundzir dari Bani ‘Amr bin ‘Auf.

  18. Abdullah Dzul Bajadain radliyallaahu ‘anhu.

  19. Dakban bin Sa’id Al-Muzani Al-Khats’ami radliyallaahu ‘anhu. (Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/365 berkata,”Aku tidak tahu ada atsar shahih yang menyebutkan bahwa ia pernah tinggal dalam Ahlush-Shuffah).

  20. Khubaib bin Yassaf bin ‘Utbah radliyallaahu ‘anhu.

  21. Khuraim bin ‘Aus Ath-Tha’i radliyallaahu ‘anhu.

  22. Khuraim bin Fatik Al-Asadi radliyallaahu ‘anhu.

  23. Khanis bin Hudzafah As-Sahmi radliyallaahu ‘anhu.

  24. Khabbab bin Al-Art radliyallaahu ‘anhu.

  25. Al-Hakam bin ‘Umair Ats-Tsamali radliyallaahu ‘anhu.

  26. Harmalah bin ‘Iyas. Konon dialah Harmalah bin Abdillah Al-Anbari radliyallaahu 'anhu.

  27. Zaid bin Khaththab radliyallaahu ‘anhu.

  28. Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu.

  29. Ath-Thafawi Ad-Dausi radliyallaahu ‘anhu.

  30. Thalhah bin ‘Amr An-Nadhri radliyallaahu ‘anhu.

  31. Shafwan bin Baidlaa’ Al-Fahri radliyallaahu ‘anhu.

  32. Shuhaib bin Sanan Ar-Rumi radliyallaahu ‘anhu.

  33. Syaddad bin Usaid radliyallaahu ‘anhu.

  34. Syaqran radliyallaahu ‘anhu, budak Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

  35. As-Sa’ib bin Kallad radliyallaahu ‘anhu.

  36. Salim bin ‘Umair Al-Aus radliyallaahu ‘anhu dari Bani Tsa’labah bin ‘Amr bin ‘Auf.

  37. Sail bin ‘Ubaid Al-Asyja’i radliyallaahu ‘anhu. (Ia juga disebut-sebut oleh An-Nasa’i termasuk Ahlush-Shuffah – Keutamaan-keutamaan para shahabat, hadits nomor 8).

  38. Safinah radliyallaahu ‘anhu, budak Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

  39. Salim radliyallaahu ‘anhu, budak Abu Hudzaifah.

  40. Abu Razin radliyallaahu ‘anhu.

  41. Al-Aghar Al-Muzani radliyallaahu ‘anhu.

  42. Bilal bin Rabbah radliyallaahu ‘anhu.

  43. Al-Barra’ bin Malik Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu.

  44. Tsauban radliyallaahu ‘anhu, budak Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam.

  45. Tsabit bin Wadi’ah Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu.

  46. Tsaqif bin ‘Amr bin Syamith Al-Asadi radliyallaahu ‘anhu.

  47. Sa’ad bin Malik alias Abu Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu.

  48. Al-‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu (As-Siraj, Haditsus-Siraj hadits nomor 78; dan Ibnu Hajar, Al-Ishabah, nomor 5505).

  49. Gharfat bin Al-Azdi radliyallaahu ‘anhu. (Al-Ishabah nomor 6913).

  50. Abdurrahman bin Qarth radliyallaahu ‘anhu. (Al-Ishabah nomor 5190).

  51. ‘Ubbad bin Khalid Al-Ghifari radliyallaahu ‘anhu (Al-Ishabah nomor 4463).

Abu Nu’aim juga menyebutkan nama-nama lain yang juga termasuk Ahlush-Shufah, tetapi ia tidak mau menghubungkan kepadanya. Mereka adalah :

  1. Sa’ad bin Abi Waqqash radliyallaahu ‘anhu. Orang yang menghubungkan Sa’ad bin Abi Waqqash dengan Ahlush-Shuffah dengan berpegang pada ucapan Sa’ad,”Ayat : ”Dan janganlah kamu mengusir orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi hari dan petang hari, sedang mereka menghendaki keridlaan-Nya” (QS. Al-An’am : 52), ini turun menyinggung tentang kami”. Padahal ayat tersebut, seperti disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir, diturunkan di Makkah. Jadi bukan diturunkan menyinggung tentang Ahlush-Shuffah.

  2. Habib bin Zaid bin ‘Ashim An-Najjari radliyallaahu ‘anhu. Sebenarnya ia penghuni Al-Aqqat, karena terjadi salah penulisan, maka menjadi Ash-Shuffah.

  3. Abu Ayyub Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu. Ia juga sama seperti Habib.

  4. Hajjaj bin ‘Amr Al-Mazini Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu.

  5. Tsabit bin Adl-Dlahhak Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu.

Wallaahu a’lam

Abul-Jauzaa' : 1429



Sumber :
السيرة النبوية الصحيحة

Umur Pernikahan 'Aisyah - Studi Sanad Hadits

59 komentar

Beberapa hari lalu, saya dikirimin imel dari salah seorang teman tentang sebuah tulisan yang berasal dari 'antah-berantah' (Penulisnya ghairu mu'tabar) yang mengkritisi tentang umur 'Aisyah radliyallaahu 'anhaa ketia menikah. Di situ dilemparkan beberapa syubhaat, mulai dari sisi sanad, sejarah, dan studi fiqhiyyah yang berkaitan. Ada yang memang 'nyambung' (pake tanda petik), tapi banyak juga yang nggak 'nyambung' dengan bahasan.
Di sini saya sedikit akan memberikan sumbangan tulisan ringkas untuk menjawab syubhat ini, khususnya di sisi riwayat hadits yang dikritisi.
Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber

Sebagian
besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya
diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari
bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist
serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Medinah, dimana Hisham
ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping
kenyataan adanya banyak murid-murid di Medinah termasuk yang kesohor Malik ibn
Anas, tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang
Iraq , di mana Hisham tinggal disana dan pindah dari Medinah ke Iraq pada usia
tua.

Tehzibu'l-Tehzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan
para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat : " Hisham sangatbisa
dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah
pindah ke Iraq " (Tehzi'bu'l- tehzi'b, Ibn Hajar Al-`asqala'ni, Dar Ihya
al-turath al-Islami, 15th century. Vol 11, p.50).

Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham
yang dicatat dari orang-orang Iraq : " Saya pernah diberi tahu bahwa Malik
menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq " (Tehzi'b
u'l-tehzi'b, IbnHajar Al- `asqala'ni, Dar Ihya al-turath al-Islami,
Vol.11,
p. 50).

Mizanu'l-ai` tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat
hadist Nabi saw mencatat: "Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran
yang mencolok" (Mizanu'l-ai` tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu' l-athriyyah,
Sheikhupura , Pakistan , Vol. 4, p. 301).

KESIMPULAN:

berdasarkan referensi ini, Ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya
setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai
umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel.
Hadits yang berbicara tentang usia menikah ‘Aisyah mempunyai beberapa jalan, diantaranya :
  1. Dari jalan Hisyam bin ‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

    Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (no. 3894, 3896, 5133, 5134, 5158, 5160), Muslim (no. 1422), Abu Dawud (no. 2121, 4933, 4934, 4936), An-Nasa’i (6/82, 131), Ad-Daarimi (2/159-160), Ibnu Majah (no. 1876), Ibnul-Jarud (no. 711), Al-Baihaqi (7/113), Ath-Thayalisi (no. 1454), Ahmad (6/118, 280), Al-Humaidi (no. 231), Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat (8/40) dan yang lainnya.
  2. Dari jalan Az-Zuhri, dari ‘Urwah, dari ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa.

    Dikeluarkan oleh Muslim (no. 1422), ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf (no. 10349), An-Nasa’i dalam Al-Kubraa (no. 5570), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (23/44), dan Al-Baghawi dalam Syarhus-Sunnah (no. 2258).
  3. Dari jalan Abu Mu’awiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

    Dikeluarkan oleh Muslim (no. 1422), An-Nasa’i (no. 6/82) dan dalam Al-Kubraa (no. 5368), dan Ahmad (6/42), Ibnu Sa’d (8/60), Ibnu Abi Syaibah (13/46), Ishaq bin Rahawaih (no. 1538), dan Al-Baihaqi (7/114).

    Dari jalan Israail, dari Al-A’masy, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

    Dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad (8/62).
  4. Dari jalan Muhammad bin Busyr, dari Muhammad bin ‘Amru, dari Abu Salamah dan Yahya, dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

    Dikeluarkan oleh Ahmad (6/210-211).

    Dari dua jalan yaitu Yahya bin Said Al-Umawy dan ‘Abdullah bin Idris Al-Audy, keduanya dari Muhammad bin ‘Amru, dari Yahya bin ‘Abdirrahman bin Haathib, dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa.

    Dikeluarkan oleh Ibnu Abi ‘Ashim dalam Al-Ahaaditsul-Matsaaniy (no. 3006, 3061), Ath-Thabary dalam At-Taarikh (3/162-163), Ath-Thabarani dalam Al-Kabiir (23/57, 24/80), Ibnul-Atsir dalam Usdul-Ghaabah (dalam biografi ‘Aisyah), dan Al-Baihaqi dalam Dalaailun-Nubuwwah (2/411-412).
Dari sini saja sudah kelihatan kesalahan anggapan bahwa poros sanad riwayat yang menceritakan usia pernikahan ‘Aisyah enam atau tujuh tahun itu hanya pada Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya (‘Urwah), dari ‘Aisyah. Riwayat Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya (‘Urwah) ini ada mutaba’ah, yaitu riwayat Az-Zuhri dari ‘Urwah. Adapun riwayat ‘Urwah sendiri mempunyai mutaba’ah dari Al-Aswad dan Yahya bin ‘Abdirrahman Al-Haathib. Dari sini saja sudah bisa menunjukkan keshahihan haditsnya dengan keyakinan yang sangat kuat. Dan dari sini pula sebenarnya pembahasan selanjutnya sudah tidak diperlukan lagi.

Dikatakan bahwa Hisyam bin ’Urwah adalah seorang yang lemah hafalannya. Ini adalah perkataan yang keliru dan berlebih-lebihan. Memang benar bahwa ketika masa tua Hisyam, hafalannya mengalami penurunan. Namun maksud ingatannya menurun ini adalah menurut kewajaran dimana tentu saja ingatan ketika tua tidaklah sama dengan ingatan ketika masih muda. Dan ingatannya (hafalannya) ini tidaklah selamanya tercampur. Adz-Dzahabi memberikan pembelaan kepadanya tentang kehujjahan haditsnya. Termasuk pembelaannya terhadap perkataan sebagian pihak yang mengatakan bahwa ingatan Hisyam telah tercampur dan berubah sehingga menjadikannya termasuk jajaran perawi lemah, termasuk sanggahan terhadap perkataan Ibnu Khurasy yang menukil perkataan Imam Malik yang mencela hadits Hisyam. Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi yang dinukil Penulis sendiri memberikan penguatan terhadap kehujjahan hadits Hisyam.

Dan yang penting lagi, tidak ada satu pun pendahulu dari kalangan ahli hadits yang melemahkan secara mutlak hadits Hisyam bin ’Urwah sebagaimana Penulis risalah syubhat di atas.
[Lihat Mizaanul-I’tidaal 4/301 no. 9233, Daarul-Ma’rifah, Beirut; Tahdzibut-Tahdzib 11/31-32 no. 89, Maktabah Sahab; dan Taqribut-Tahdzib no. 7302].
Semoga ada manfaatnya........
Abul-Jauzaa' - Perumahan Ciomas Permai Bogor.

Apakah 'Aisyah Berniat Memerangi 'Ali dalam Perang Jamal ?

7 komentar

Oleh : Asy-Syaikh Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil hafidhahullah.

Di antara fitnah yang terjadi setelah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ’anhu adalah terjadinya perang Jamal yang terkenal antara ‘Ali bin Abi Thalib dengan ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhum. Kronologi peristiwa ini adalah ketika terbunuhnya ‘Utsman, maka orang-orang mendatangi ‘Ali di Madinah dimana mereka berkata kepadanya : ”Ulurkan tanganmu, kami akan berbaiat kepadamu”. ‘Ali berkata : “Tunggu dulu, sampai orang-orang bermusyawarah”. Maka sebagian di antara mereka berkata : “Apabila orang-orang kembali ke negerinya masing-masing etelah terbunuhnya ‘Utsman, sementara itu belum ada seorang pun yang menggantikan kedudukannya (sebagai khalifah), niscaya akan terjadi perselisihan dan kerusakan umat”. Mereka terus-menerus membujuk ‘Ali agar mau menerima baiat, dan akhirnya ‘Ali pun menerimanya. Di antara orang yang membaiatnya itu adalah Thalhah dan Az-Zubair radliyallaahu ‘anhuma. Kemudian, mereka berdua pergi ke Makkah untuk menunaikan ibadah ‘umrah, dan di sana mereka bertemu dengan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Setelah membicarakan masalah terbunuhnya ‘Utsman bin ‘Affan, mereka pergi ke Bashrah untuk menuntut ‘Ali agar menyerahkan orang yang telah membunuh ‘Utsman [1] ; akan tetapi ‘Ali tidak memenuhi permintaan mereka. Hal itu dikarenakan ‘Ali masih menunggu para wali dari keluarga ‘Utsman untuk menyelesaikan perkara kepadanya; yaitu, apabila telah dapat ditetapkan orang yang membunuh ‘Utsman, maka akan dijatuhkan hukum qishash padanya. Maka mereka pun (yaitu ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair dengan ‘Ali radliyallaahu ‘anhum) berbeda pendapat dengan sebab ini. Sementara itu, orang-orang yang tertuduh sebagai pembunuh ‘Utsman – yaitu mereka yang menentang ‘Utsman - merasa khawatir bahwa ‘Ali, ‘Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair bersepakat untuk menghukum bunuh mereka. Maka mereka pun mengobarkan peperangan antara dua kelompok tadi [2].

Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mengkhabarkan ‘Ali bahwasannya antara dia dan ‘Aisyah akan timbul permasalahan. Dalam sebuah hadits dari Abu Raafi’ bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada ‘Ali bin Abi Thalib :

إنه سيكون بينك وبين عائشة أمر. قال : أنا يا رسول الله ؟. قال : نعم. قال : فأنا أشقاهم يا رسول الله ؟. قال : لا، ولكن إذا كان ذلك، فارددها إلى مأمنها.

“Bahwasannya antara kamu dan ‘Aisyah nanti akan ada satu permasalahan”. ’Ali bertanya : ”Saya kah wahai Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Ya”. ’Ali kembali bertanya : ”Apakah saya orang yang celaka (dalam permasalahan itu) ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab : ”Tidak, akan tetapi jika hal itu nanti terjadi, maka kembalikanlah ia (’Aisyah) ke tempatnya yang aman”.[3]

Dan hal yang menunjukkan bahwasannya ’Aisyah, Thalhah, dan Az-Zubair tidak keluar untuk mengadakan peperangan (terhadap ’Ali), melainkan mereka hanya bertujuan untuk mendamaikan (perselisihan) di antara kaum muslimin adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Hakim dari jalan Qais bin Abi Haazim, ia berkata :

لما بلغت عائشة رضي الله عنها بعض ديار بني عامر، نبحت عليها الكلاب. فقالت : أي ماء هذا ؟. قالوا : الحوأب. قالت : ما أظنني إلا راجعة. فقال لها الزبير : لا بعد، تقدمي فيراك الناس فيصلح الله ذات بينهم. فقالت : ما أظنني إلا راجعة، سمعت رسول ٰلله صلى الله عليه وسلم يقول : كيف بإحداكن إذا نبحتها كلاب الحوأب

”Ketika ’Aisyah radliyallaahu ’anhaa sampai di sebagian perkampungan Bani ’Amir, tiba-tiba anjing-anjing (di tempat tersebut) menggonggong. Berkata ’Aisyah : ”Perairan apakah ini ?”. Mereka pun menjawab : ”Al-Hauab” [4]. ’Aisyah berkata : ”Aku kira aku harus kembali pulang”. Lalu Az-Zubair berkata kepadanya : ”Tidak, bahkan engkau harus maju hingga manusia melihatmu dan (dengan itu) Allah akan mendamaikan (perselisihan) di antara mereka”. ’Aisyah berkata : ”Namun aku kira aku harus kembali, karena aku mendengar Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Bagaimana keadaan salah seorang di antara kalian apabila anjing-anjing menggonggong kepadanya ?”.[5]

Dan dalam riwayat Al-Bazzar dari Ibnu ’Abbas, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam berkata kepada istri-istrinya :

أيتكن صاحبة الجمل الأدبب، تخرج حتى تنبحها كلاب الحوأب، يقتل عن يمينها وعن شمالها قتلى كثيرة، وتنجو من بعد ما كادت

”Siapakah di antara kalian yang mempunyai onta adbab [6], lantas ia keluar (dengan mengendarainya) sehingga anjing-anjing Hauab menggonggong kepadanya. Banyak orang yang terbunuh di samping kanan dan kirinya, dan dia sendiri selamat setelah sebelumnya hampir terbunuh”.[7]

Ibnu Taimiyyah berkata :

إن عائشة لم تخرج للقتال، وإنما خرجت بقصد الإصلاح بين المسلمين، وظنت أن في خروجها مصلحة للمسلمين، ثم تبين لها فيما بعد أن ترك الخروج كان أولى، فكانت إذا ذكرت خروجها، تبكي حتى تبل خمارها، وهكذا عامة السابقين ندموا على ما دخلوا فيه من القتال، فندم طلحة والزبير وعلي رضي الله عنهم أجمعين.
ولم يكن يوم الجمال لهؤلاء قصد في القتال، ولكن وقع الاقتتال بغير اختيارهم، فإنه لما تراسل عليا وطلحة والزبير، وقصدوا الاتفاق على المصلحة، وأنهم إذا تمكنوا، طلبوا قتلة عثمان أهل الفتنة، وكان علي غير راض بقتل عثمان، ولا معينا عليه، كما كان يحلف، فيقول : والله ما قتلت عثمان ولا مالأتُ على قتله. وهو الصادق البار في يمينه، فخشي القتلة أن يتفق علي معهم على إمساك القتلة، فحملوا على عسكر طلحة والزبير، فظن طلحة والزبير أن عليا حمل عليهم، فحملوا دفعا عن أنفسهم، فظن علي أنهم حملوا عليه، فحمل دفعا عن نفسه، فوقعت الفتنة بغير اختيارهم، وعائشة راكب، لا قاتلت، ولا أمرت بالقتال، وهكذا ذكره غير واحد من أهل المعرفة بالأخبار

”Sesungguhnya ’Aisyah tidak keluar untuk berperang, melainkan dengan tujuan untuk mendamaikan kaum muslimin. Dia mengira bahwa keluarnya itu akan membawa kemaslahatan bagi kaum muslimin. Namun yang tampak olehnya setelah itu bahwa seandainya ia tidak keluar maka hal itu lebih baik. Oleh karena itu, jika ia teringat keluarnya (menuju Bashrah) itu, ia menangis hingga membasahi kerudungnya.[8] Demikian pula halnya dengan kaum muslimin terdahulu, mereka merasa menyesal karena terlibat peperangan itu. Thalhah, Az-Zubair, dan ’Ali radliyallaahu ’anhum; mereka semua juga merasa menyesal.

Dan peristiwa Jamal itu pada mulanya tidak meraka maksudkan untuk berperang, akan tetapi peperangan itu terjadi di luar kehendak mereka. Ketika ’Ali, Thalhah, dan Az-Zubair saling surat menyurat dan berkeinginan mencari kesepakatan untuk mencapai kemaslahatan, dan ketika mereka telah bertekad mencari pencetus fitnah pembunuh ’Utsman; ’Ali dalam keadaan tidak ridla dengan terbunuhnya ’Utsman dan tidak pula membantu membunuhnya sebagaimana diucapkan dalam sumpahnya : ”Demi Allah, aku tidak membunuh ’Utsman dan tidak pula berkomplot membunuhnya” – sedang ’Ali itu orang yang jujur dan benar sumpahnya. Maka, para pembunuh itu takut apabila ’Ali bersepakat dengan mereka untuk menangkap para pembunuh itu. Lalu, mereka menghasut laskar Thalhah dan Az-Zubair. Kemudian Thalhah dan Az-Zubair mengira bahwa ’Ali telah menyerang mereka, lalu keduanya membela diri. Begitu juga ’Ali mengira bahwa mereka berdua telah menyerangnya, lalu ia pun membela diri. Maka terjadilah fitnah (peperangan) tanpa diinginkan oleh mereka. Dan pada waktu itu, ’Aisyah sedang naik kendaraan (onta). Tidak ikut berperang, tidak pula memerintahkan berperang. Demikianlah yang dikemukakan oleh para ahli ma’rifah tentang sejarah”.[9]

Selesai ditulis oleh Abul-Jauzaa’, hari Sabtu ba’da ’Asar, 15.50, 15 Nopember 2008.

Dari buku Asyraathus-Saa’ah karya Yusuf bin ’Abdillah bin Yusuf Al-Wabil, Daar Ibnil-Jauziy, hal. 98-102 dengan beberapa tambahan.



[1] Abu Bakr bin Al-‘Arabiy mengemukakan pendapatnya dalam kitanya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim, bahwasannya perginya mereka ke Bashrah hanyalah untuk mendamaikan kaum muslimin. Ia mengatakan :

هذا هو الصحيح، لا شيء سواه، وبذلك وردت صحاح الأخبار

“Inilah yang benar, tidak ada lagi selain itu. Dan demikianlah berita-berita yang shahih”.

[2] Lihat perincian penjelasan tersebut dalam Fathul-Bari 13/54-59.

[3] Musnad Al-Imam Ahmad 2/393 – beserta hamisy (catatan pinggir) Muntakhab Kanzil-’Ummaal.

Hadits ini adalah hasan. Lihat Fathul-Bari 13/55.

Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Al-Bazzar, dan Ath-Thabarani. Para perawinya adalah terpercaya” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].

[4] Al-Hauab adalah sebuah tempat yang terletak dekat Bashrah. Ia merupakan salah satu mata air bagi bangsa Arab di jaman Jahimiyyah. Tempat ini berada di jalan yang dilalui orang-orang yang datang dari Makkah ke Bashrah. Tempat ini disebut Hauab sebagai nisbat kepada Abu Bkr bin Kilaab Al-Hauab. Atau dinisbatkan kepada Al-Hauab binti Kalb bin Wabrah Al-Qadla’iyyah.

Lihat : Mu’jamul-Buldaan 2/314 dan catatan kaki Muhibbuddin Al-Khaathib atas kitab Al-’Awaashim minal-Qawaashim hal. 148.

[5] Mustadrak Al-Hakim 3/120.

Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya sesuai syarat As-Shahih”. Lihat : Fathul-Bari 13/55.

Al-Haitsami berkata : ”Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Ya’la, dan Al-Bazzar; rijalnya Ahmad adalah rijal Ash-Shahih” [Majma’uz-Zawaaid 7/234].

Hadits tersebut tercantum dalam Musnad Al-Imam Ahmad 6/52 dengan hamisy (catatan pinggir)-nya Mutakhab Kanzil-’Ummaal.

[6] Al-Adbab artinya yang banyak bulunya di bagian muka. Lihat : An-Nihayah oleh Ibnul-Atsir 2/96.

[7] Fathul-Bari 13/55.

Ibnu Hajar berkata : “Para perawinya terpercaya”.

Hadits “Al-Hauab” tersebut diingkari oleh Al-Imam Abu Bakr bin Al-‘Arabiy dalam kitabnya Al-‘Awaashim minal-Qawaashim (hal. 161) dimana hal itu diikuti oleh Asy-Syaikh Muhibbuddin Al-Khathiib dalam catatan kaki kitab Al-‘Awaashim. Beliau menyebutkan alasannya bahwa hadits ini tidak terdapat dalam kitab-kitab Islam yang mu’tabar.

Akan tetapi hadits itu shahih. Dishahihkan oleh Al-Haitsami dan Ibnu Hajar sebagaimana yang telah lewat (penyebutannya). Al-Hafidh berkata dalam Al-Fath (13/55) ketika mengomentari hadits Al-Hauab : “Hadits ini dikeluarkan oleh Ahmad, Abu Ya’laa. Al-Bazzar, dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim. Sanadnya sesuai dengan syarat Ash-Shahih”.

Al-Albani menshahihkannya dalam Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah, dan ia membantah pihak-pihak yang mencela keshahihan hadits ini; serta ia jelaskan para imam yang telah mengeluarkan hadits tersebut.

Lihat : Silsilah Ash-Shahihah no. 475.

[8] Az-Zaila’i berkata :

وقد أظهرت عائشة الندم، كما أخرجه ابن عبد البر في ((كتاب الاستعاب)) عن ابن أبي عتيق - وهو عبد الله بن محمد بن عبد الرحمن بن أبي بكر الصديق - قال : قالت عائشة لابن عمر : يا أبا عبد الرحمن، ما منعك أن تنهاني عن مسيري ؟. قال : رأيت رجلا غلبت عليك - يعني : ابن الزبير -. فقالت : أما والله، لو نهيتني ما خرجت

“Telah nampak rasa penyesalan pada diri ‘Aisyah, sebagaimana sebuah riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abdil-Barr dalam kitab Al-Isti’ab dari Ibnu Abi ‘Atiq – ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdirrahman bin Abi Bakr Ash-Shiddiq – ia berkata : ‘Aisyah pernah berkata kepada Ibnu ‘Umar : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, apa yang mencegahmu untuk melarangku pergi dalam perjalananku (menuju Bashrah) ?”. Ibnu ‘Umar berkata : “Aku melihat seorang laki-laki yang telah menguasai dirimu – yaitu Ibnuz-Zubair”. ‘Aisyah berkata : “Jika saja – demi Allah – engkau melarangku, niscaya aku tidak akan pergi” [Nashbur-Rayah 4/69-70] – Abul-Jauzaa’.

Adz-Dzahabi berkata :

وكانت تحدث نفسها أن تدفن في بيتها فقالت إني أحدثت بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم حدثا ادفنوني مع أزواجه فدفنت بالبقيع رضي الله عنها قلت تعني بالحدث مسيرها يوم الجمل فإنها ندمت ندامة كلية وتابت من ذلك على أنها ما فعلت ذلك إلا متأولة قاصدة للخير كما اجتهد طلحة بن عبيد الله والزبير بن العوام وجماعة من الكبار رضي الله عن الجميع .......قالت عائشة إذا مر ابن عمر فأرونيه فلما مر بها قيل لها هذا ابن عمر فقالت يا أبا عبد الرحمن ما منعك أن تنهاني عن مسيري قال رأيت رجلا قد غلب عليك يعني ابن الزبير

”Dahulu ‘Aisyah berkeinginan untuk dikuburkan di dalam rumahnya, kemudian beliau berkata : ‘Sesungguhnya aku telah berbuat kesalahan sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka kuburkanlah aku bersama istri-istri beliau lainnya di kuburan Baqi’’. Aku (yaitu Adz-Dzahabi) berkata : “Yang beliau maksud dengan kesalahan ialah kepergiannya pada tragedi perang Jamal, karena sesungguhnya beliau amat menyesali kepergiannya itu, dan beliau bertaubat darinya. Padahal beliau melakukannya atas dasar ijtihad dan bertujuan baik, sebagaimana Thalhah dan Az-Zubair bersama beberapa pembesar sahabat juga telah berijtihad, semoga Allah senantiasa meridhai mereka semua.” (Kemudian Imam Adz-Dzahabi menukilkan dari sebuah kisah, yaitu) pada suatu saat ‘Aisyah berpesan : ”Bila Ibnu Umar lewat, hendaknya kalian tunjukkanlah dia kepada aku”. Dan ketika Ibnu Umar telah melintas, maka dikatakan kepada ’Aisyah : ”Inilah Ibnu Umar” ; maka ia pun berkata kepadanya: “Wahai Abu Abdirrahman, apa yang menghalangimu untuk mencegahku dari kepergianku (pada tragedi perang Jamal)?” Beliau menjawab : “Aku melihat bersamamu seorang lelaki yang telah menguasai dirimu, yaitu Ibnu Zubair.” [Siyaru A’alamin- Nubalaa’ 2/324 no. 193; Maktabah Al-Misykah] – Abul-Jauzaa’.

[9] Minhajus-Sunnah 2/185.

[pada kitab terbitan Universitas Muhammad bin Su’ud, cetakan I/1406, , tahqiq Dr. Muhammad Rasyad Salim : 4/316-317 – Abul-Jauzaa’]