Keutamaan-Keutamaan
Puasa
Allah ta’ala telah berfirman :
إِنّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ
وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ
وَالصّادِقِينَ وَالصّادِقَاتِ وَالصّابِرِينَ وَالصّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ
وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدّقِينَ وَالْمُتَصَدّقَاتِ والصّائِمِينَ
والصّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِـظَاتِ وَالذّاكِـرِينَ
اللّهَ كَثِيراً وَالذّاكِرَاتِ أَعَدّ اللّهُ لَهُم مّغْفِرَةً وَأَجْراً
عَظِيماً
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim,
laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam
ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang
sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang
bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan
perempuan yang menjaga kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak
menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala
yang besar” (QS. Al-Ahzab : 35).
Dalam ayat lain Allah juga telah berfirman :
وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لّكُمْ إِن كُنْتُمْ
تَعْلَمُونَ
“Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”
(QS. Al-Baqarah : 184).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah menjelaskan dalam sunnahnya bahwasannya puasa merupakan benteng dari hawa
nafsu syahwat, penangkal dari sambaran api neraka, dan Allah ta’ala
telah mengkhususkannya sebagai nama salah satu pintu surga. Beberapa keutamaan tersebut adalah sebagai
berikut :
1.
Puasa Sebagai Perisai
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada orang yang diliputi nafsu birahi
untuk menikah. Jika dia tidak mampu
untuk melaksanakannya, maka ia diperintahkan berpuasa untuk mengekang nafsu
syahwatnya. Sebab puasa bisa menahan
gejolak anggota tubuh dengan kelemahannya sehingga dapat mengekangnya dari
tindakan yang menyimpang. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam telah bersabda :
يا معشر الشباب من
استطاع منكم الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر وأحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم
فإنه له وجاء
“Wahai
para pemuda, barangsiapa diantara kalian telah mampu (ba’ah), maka hendaknya
dia menikah, karena menikah itu dapat menjaga pandangan dan memelihara
kemaluan. Dan barangsiapa yang tidak
mampu untuk menikah, maka hendaknya dia berpuasa, karena puasa itu bisa menjadi
perisai baginya” (HR. Al-Bukhari no. 5065 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu
Mas’ud radliyallaahu ‘anhu ;
dan ini adalah lafadh Muslim).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa surga itu dikelilingi oleh
hal-hal yang tidak disukai, sedangkan neraka dikelilingi oleh berbagai
kesenangan syahwat. Oleh sebab itu,
jelaslah kiranya bagi kita bahwa puasa itu dapat mementahkan syahwat dan
menumpulkan ketajamannya yang bisa mendekatkan kepada api neraka, dan puasa itu
bisa menjadi penyekat antara orang yang berpuasa dengan neraka. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda :
إنما الصيام جنة
يستجن بها العبد من النار
“Puasa
itu adalah perisai yang dapat melindungi diri seorang hamba dari api neraka”
(HR. Ahmad 3/396; shahih bisyawaahidihi
sebagaimana yang disimpulkan oleh Syaikh Al-Arna’uth).
Dan
tentunya, hanya puasa yang ikhlash dan sesuai dengan petunjuk Allah dan
Rasul-Nya sajalah yang dapat menjadi perisai dari api neraka.
2.
Puasa Dapat Memasukkan Seseorang ke
dalam Surga
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa puasa itu
dapat menjauhkan diri dari api neraka, yang otomatis mendekatkan dapat
pelakunya kepada surga, bi-idznillaah.
Diriwayatkan dari Abu Umamah radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata :
أتيت رسول الله صلى
الله عليه وسلم فقلت مرني بأمر آخذه عنك قال عليك بالصوم فإنه لا مثل له
Aku pernah mendatangi
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam. Maka aku
berkata kepada beliau : ”(Wahai Rasulullah), tunjukkan kepadaku suatu amalan
yang dapat aku ambil darimu”. Maka
beliau menjawab : “Hendaknya kamu berpuasa, karena
puasa itu tidak ada tandingan (pahala)-nya” (HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2220, Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid
hal. 232, dan Al-Hakim no. 1533 dengan sanad shahih. Lafadh ini adalah milik
An-Nasa’i. Lihat Shahih Sunan An-Nasa’i
2/122).
3.
Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan Pahala Tak Terhitung
Nilainya.
4.
Orang yang Berpuasa akan Mendapatkan
Dua Kebahagiaan.
5.
Bau Mulut Orang yang Berpuasa Lebih
Harum di Hadapan Allah Ta’ala daripada Bau Misk (Kesturi).
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata
: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Telah
berfirman Allah ta’ala (merupakan hadits qudsi) :
كل عمل بن آدم له
إلا الصيام فإنه لي وأنا أجزي به والصيام جنة فإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث
يومئذ ولا يسخب فإن سابه أحد أو قاتله فليقل إني امرؤ صائم والذي نفس محمد بيده
لخلوف فم الصائم أطيب عند الله يوم القيامة من ريح المسك وللصائم فرحتان يفرحهما
إذا أفطر فرح بفطره وإذا لقي ربه فرح بصومه
“Setiap amal anak Adam adalah untuk dirinya sendiri
kecuali puasa, sesungguhnya puasa itu untuk-Ku dan Aku akan memberi pahala
atasnya. Puasa itu adalah perisai, maka
pada saat berpuasa hendaknya seseorang diantara kamu tidak melakukan rafats
(yaitu : berjima’ dan berbicara keji - Pent.) dan tidak juga membuat
kegaduhan. Jika ada orang yang
mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan,”Sesungguhnya aku
berpuasa”. Demi Allah yang jiwa Muhammad
berada di tangan-Nya, sesungguhnya bau mulut orang yang berpuasa itu lebih
harum di sisi Allah daripada bau minyak kesturi di hari kiamat. Dan bagi orang yang berpuasa itu mempunyai
dua kegembiraan, yaitu ketika berbuka dan ketika berjumpa dengan Rabbnya, ia
gembira dengan puasanya” (HR. Al-Bukhari
no. 1904 dan Muslim no. 1151; dan ini lafadh Muslim).
6.
Puasa dan Al-Qur’an akan Memberi
Syafa’at Bagi Orang Yang Menjalankannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الصيام والقرآن
يشفعان للعبد يوم القيامة يقول الصيام أي رب منعته الطعام والشهوات بالنهار فشفعني
فيه ويقول القرآن منعته النوم بالليل فشفعني فيه قال فيشفعان
“Puasa dan
Al-Qur’an itu akan memberikan syafa’at kepada seorang hamba pada hari kiamat
nanti. Puasa akan berkata : “Wahai
Tuhanku, saya telah menahannya dari makan dan nafsu syahwat di waktu siang,
karenanya perkenankanlah aku untuk memberikan syafa’at kepadanya”. Dan Al-Qur’an berkata : “Saya telah
melarangnya dari tidur di malam hari, karenanya perkenankan aku untuk memberi
syafa’at kepadanya”. Beliau
bersabda,”Maka syafa’at keduanya diperkenankan” (HR. Ahmad 2/174, Al-Hakim
no. 2088, dan Abu Nu’aim 8/161 dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma
; hasan shahih. Lihat Shahihul-Jaami’
no. 3882).
7.
Puasa Sebagai Kaffarat (Penebus
Dosa)
Diantara keutamaan yang hanya dimiliki oleh ibadah puasa
adalah bahwa Allah ta’ala telah menjadikan puasa sebagai penebus dosa
bagi orang yang mencukur kepala dalam ihram karena ada halangan baginya, baik
karena sakit atau karena gangguan yang terdapat pada kepala (lihat QS.
Al-Baqarah : 196). Dan puasa juga dapat
menjadi kaffarat (penebus) karena
tidak mampu memotong hewan kurban (QS. Al-Baqarah : 196), membunuh seseorang
yang berada dalam perjanjian karena kesalahan atau tidak sengaja (QS. An-Nisaa’
: 92), melanggar sumpah (QS. Al-Maaidah : 89), membunuh binatang buruan pada saat
ihram (QS. Al-Maaidah : 95), dan dhihar[1] (QS. Al-Mujaadilah : 3-4).
Demikian halnya dengan puasa dan shadaqah, keduanya
berperan serta dalam penebus pelanggaran dosa seseorang, baik di dalam
keluarga, harta, atau tetangga. Dari
Hudzaifah bin Yaman radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فتنة الرجل في أهله
وماله وولده وجاره تكفرها الصلاة والصوم والصدقة والأمر والنهي
“Fitnah
(ujian) seseorang dalam keluarga (istri), harta, anak, dan tetangganya dapat
ditutupi dengan shalat, puasa, shadaqah, dan amar ma’ruf nahi munkar” (HR. Al-Bukhari no. 525 dan Muslim no. 144; dan ini lafadh
Al-Bukhari).
8.
Ar-Rayyan Disediakan Bagi Orang-Orang yang
Berpuasa
إن في الجنة بابا
يقال له الريان يدخل منه الصائمون يوم القيامة لا يدخل معهم أحد غيرهم يقال أين
الصائمون فيدخلون منه فإذا دخل آخرهم أغلق فلم يدخل منه أحد (من دخل شرب ومن شرب
لم يظمأ أبدا)
“Sesungguhnya di dalam surga itu terdapat satu pintu
yang diberi nama Ar-Rayyaan. Dari pintu
tersebut orang-orang yang berpuasa akan masuk di hari kiamat nanti dan tidak
seorang pun yang masuk ke pintu tersebut kecuali orang-orang yang
berpuasa. Dikatakan kepada mereka :
“Dimana orang-orang yang berpuasa ?”. Maka mereka pun masuk melaluinya. Dan apabila
orang terakhir dari mereka telah masuk, maka pintu tersebut ditutup sehingga
tidak ada seorangpun yang masuk melalui pintu tersebut. (Barangsiapa yang
masuk, maka ia akan minum minuman surga. Dan barangsiapa yang minum minuman
surga, maka ia tidak akan haus selamanya)” (HR. Al-Bukhari no. 1896 dan
Muslim 1152, dan tambahan terakhir – di dalam kurung – adalah riwayat dari Ibnu
Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 1902).
Keutamaan-Keutamaan
Bulan Ramadlan
1.
Bulan Al-Qur’an
Allah
ta’ala telah menurunkan Kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi umat
manusia, obat penyembuh bagi orang-orang yang beriman, petunjuk kepada jalan
yang lurus, penunjuk kepada jalan kebajikan, dan menjadikan Lailatul-Qadar di bulan Ramadlan penuh
dengan kebaikan. Allah ta’ala
berfirman :
شَهْرُ رَمَضَانَ
الّذِيَ أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لّلنّاسِ وَبَيّنَاتٍ مّنَ الْهُدَىَ
وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“(Beberapa
hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadlan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan
yang bathil). Karena itu, barangsiapa di
antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia
berpuasa pada bulan itu” (QS. Al-Baqarah : 185).
2.
Setan-Setan Dibelenggu, Pintu-Pintu
Neraka Ditutup, dan Pintu-Pintu Surga Dibuka
Pada bulan yang penuh berkah ini, kejahatan di muka bumi
ini menjadi sedikit, karena jin-jin jahat dibelenggu dengan rantai dan diborgol
sehingga mereka tidak bisa melakukan pengrusakan terhadap umat manusia
sebagaimana mereka bisa melakukannya pada bulan-bulan selain Ramadlan. Karenanya kaum muslimin menjadi lebih
berkonsentrasi menjalankan puasa yang merupakan pengekang hawa nafsu, dan juga
mereka sibuk membaca Al-Qur’an dan berbagai macam ibadah lainnya yang mampu
mendidik sekaligus menyucikan jiwa.
Ditutup pintu Jahannam dan dibuka pintu-pintu surga
karena banyak amal shalih serta ucapan dan perkataan yang bagus dilakukan. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا جاء رمضان فتحت
أبواب الجنة وغلقت أبواب النار وصفدت الشياطين
“Jika bulan Ramadlan tiba, maka
pintu-pintu surga dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup, dan setan-setan pun
dibelenggu” (HR. Al-Bukhari no. 3277 dan Muslim no. 1079; ini adalah lafadh
Muslim).
3.
Lailatul-Qadr
Allah
ta’ala telah memilih bulan Ramadlan dikarenakan pada bulan tersebut
Al-Qur’an diturunkan. Pada bulan
tersebut terdapat Lailatul-Qadar, malam penuh barakah yang lebih baik daripada
seribu bulan. Penjelasan selanjutnya
akan diuraikan kemudian.
Dorongan
Mengerjakan Puasa Ramadlan
1.
Pengampunan Dosa
Pembuat
Syari’at yang Maha Bijaksana telah memotivasi untuk berpuasa di bulan Ramadlan
seraya menjelaskan keutamaan dan ketinggian kedudukannya. Sekalipun orang yang menjalankan puasa itu
memiliki tumpukan dosa bak buih di lautan, niscaya dosa-dosa itu akan diampuni
dengan melaksanakan ibadah yang penuh berkah ini, yaitu ibadah puasa. Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu
ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
:
من صام رمضان
إيمانا واحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barangsiapa
berpuasa di bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala
(ihtisaaban)[2], niscaya akan
diberikan ampunan kepadanya atas dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Al-Bukhari no. 1901 dan Muslim
no. 759).
Dari
Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam :
الصلاة الخمس
والجمعة إلى الجمعة كفارة لما بينهن ما لم تغش الكبائر
“Shalat
yang lima waktu, antara Jum’at ke Jum’at berikutnya, antara Ramadlan ke
Ramadlan berikutnya; bisa menghapuskan dosa-dosa yang terjadi diantaranya, jika dosa-dosa besar dihindari”[3] (HR. Muslim no. 233).
2.
Dikabulkannya Doa dan Pembebasan dari
Api Neraka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda
:
إن لله عتقاء في كل
يوم وليلة لكل عبد منهم دعوة مستجابة
“Sesungguhnya
setiap hari Allah membebaskan (beberapa hamba-Nya yang muslim dari api neraka)
dari api neraka. Setiap muslim yang berdoa (di waktu tersebut) pasti akan
dikabulkan” (HR. Ahmad 2/254, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/257, ; dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth dalam
ta’liq-nya atas Musnad Ahmad).[4]
3.
Termasuk dalam Golongan Para
Shiddiqiin dan Syuhadaa’
Dari ‘Amar bin Murrah Al-Juhhani bercerita :
جاء رجل إلى النبي
صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله أرأيت إن شهدت أن لا إله إلا الله وأنك رسول
الله وصليت الصلوات الخمس وأديت الزكاة وصمت رمضان وقمته فممن أنا قال من الصديقين
والشهداء
Ada seseorang yang datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata : “Wahai Rasulullah,
bagaimana pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang haq untuk
disembah melainkan Allah dan aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah, (dan
aku) mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, dan berpuasa di bulan
Ramadlan dan shalat (tarawih) di dalamnya; termasuk golongan siapakah aku
ini?”. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Termasuk golongan para
shiddiqiin dan syuhadaa’ “ (HR. Ibnu Hibban dalam Mawaaridudh-Dham’aan hal. 36 dengan
sanad shahih).
Syarat Wajib dan Rukun Puasa
1. Syarat Wajib Puasa Ada Empat :
a.
Islam
b.
Baligh (Dewasa)
c.
Berakal Sehat
d.
Mukim
e.
Berkesanggupan Puasa
f. Tidak dalam Keadaan Haidl dan Nifas
2.
Rukun Puasa Ada Lima :
a.
Niat (dalam Hati)
b. Meninggalkan Hal-Hal yang Membatalkan Puasa (Makan,
Minum, Jima’ di Siang Hari, dan Muntah yang Disengaja).
Larangan Berbuka dengan Sengaja pada Bulan Ramadlan
Dari Abu Umamah Al-Bahili radliyallaahu
‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
بينا انا نائم إذ أتاني رجلان فأخذا بضبعي فأتيا
بي جبلا وعرا فقالا لي اصعد حتى إذا كنت في سواء الجبل فإذا انا بصوت شديد فقلت ما
هذه الأصوات قال هذا عواء أهل النار ثم انطلق بي فإذا بقوم معلقين بعراقيبهم مشققة
اشداقهم تسيل اشداقهم دما فقلت من هؤلاء فقيل هؤلاء الذين يفطرون قبل تحلة صومهم
“Ketika aku tidur, aku didatangi
oleh dua orang laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke
gunung yang terjal seraya berkata : “Naiklah”. Hingga sampailah aku di puncak
gunung. Tiba-tiba aku mendengar suara yang keras sekali. Maka aku tanyakan,”Suara apakah itu?”. Salah satu dari mereka menjawab,”Itu
adalah suara jeritan para penghuni neraka”.
Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan ternyata aku sudah bersama
orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut mereka robek, dan dari robekan itu
mengalir darah. Kemudian aku
bertanya,”Siapakah mereka itu?”. Maka dikatakan, ”Mereka adalah orang-orang
yang berbuka (dengan sengaja) sebelum tiba waktunya” (HR. An-Nasa’i dalam Al-Kubra no. 3274, Ibnu Hibban no. 7491,
Ibnu Khuzaimah no. 1986, dan lain-lain. Lafadh ini milik Ibnu Hibban. Lihat Ta’liqatul-Hisaan ‘alaa Shahih Ibni Hibban
10/456 no. 7448).
Cara Penentuan Bulan Ramadlan
1.
Menghitung Bilangan Hari di Bulan
Sya’ban
Islam adalah agama yang mudah. Dalam penentuan awal Ramadlan, hendaknya umat
Islam membiasakan diri untuk menghitung bilangan hari pada bulan Sya’ban. Dalam kalender Qamariyyah (kalender Islam),
jumlah hari dalam satu bulan adalah 29 hari atau 30 hari. Kita diwajibkan berpuasa jika telah melihat bulan (hilal bulan Ramadlan). Dan jika tertutup oleh awan (bulan
tidak terlihat), maka bulan Sya’ban kita genapkan menjadi 30 hari. Hal itu sangat sesuai dengan amalan
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya sebagaimana
telah shahih dalam riwayat.
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma,
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
الشهر تسع وعشرون
ليلة فلا تصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
”Bulan itu ada 29 malam (hari).
Janganlh kalian mulai berpuasa hingga melihat bulan. Apabila ia tertutup dari
pandangan kalian, maka sempurnakanlah hitungan hari (dalam satu bulan) menjadi
30 hari”
(HR. Al-Bukhari no. 1907).
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata :
Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
صوموا لرؤيته
وأفطروا لرؤيته فإن غبي عليكم فأكملوا عدة شعبان ثلاثين
“Berpuasalah jika kalian telah melihat bulan, dan
berbukalah jika kalian melihatnya pula.
Dan apabila bulan tertutup (awan) dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah
bulan Sya’ban menjadi 30 hari” (HR. Al-Bukhari no. 1909 dan Muslim no. 1081)[5].
2.
Jika Ada Orang (Saksi) yang Telah Melihat Bulan, Maka
Berpuasalah atau Berbukalah
Melihat
bulan (hilal) awal Ramadlan ditentukan dengan kesaksian dua orang saksi yang
adil. Hal ini didasarkan oleh sabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
:
صوموا لرؤيته
وأفطروا لرؤيته وانسكوا لها فإن غم عليكم فأكملوا ثلاثين فإن شهد شاهدان فصوموا
وأفطروا
“Berpuasalah
jika kalian melihat bulan dan berbukalah jika kalian melihatnya pula, serta
menyembelihlah (pada bulan Dzulhijjah) karena melihatnya. Jika bulan itu tertutup dari pandangan
kalian, maka sempurnakanlah (bulan Sya’ban) menjadi 30 hari. Dan jika ada dua orang yang memberi kesaksian
melihat bulan, maka berpuasalah dan berbukalah kalian” (HR. Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2116, Ahmad 4/321, dan
Ad-Daruquthni 3/120 no. 2193; lafadh ini milik An-Nasa’i. Dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil
no. 909).
3.
Barangsiapa yang Berpuasa di Hari Syakk (Meragukan), Maka Dia Telah Bermaksiat kepada Abul-Qasim
(Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam).
Dengan
demikian, tidak sepatutnya bagi seorang muslim untuk mendahului untuk berpuasa
sebelum bulan Ramadlan, sehari atau dua hari – dengan alasan untuk berhati-hati. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
telah bersabda :
لا يتقدمن أحدكم
رمضان بصوم يوم أو يومين إلا أن يكون رجل كان يصوم صومه فليصم ذلك اليوم
“Janganlah seseorang di antara kalian mendahului
puasa Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya; kecuali bagi
yang biasa berpuasa, maka tidaklah mengapa ia berpuasa pada hari itu” (HR. Al-Bukhari no. 1815 dan
Muslim no. 1082; lafadh ini adalah lafadh Al-Bukhari).
‘Ammar
berkata :
من صام اليوم الذي
يشك فيه الناس فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه وسلم
“Barangsiapa
berpuasa pada hari yang meragukan (syak), berarti dia telah mendurhakai
Abul-Qasim (Rasulullah) shallallaahu ‘alaihi wa sallam”
(HR. Abu Dawud no. 2334, At-Tirmidzi no. 686 – dan ia berkata : hasan shahih,
Ibnu Majah no. 1645, An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa
no. 2190, dan yang lainnya; ini adalah lafadh At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi
Dawud 2/52).
Imam An-Nawawi berkata :
فِيهِ التَّصْرِيح
بِالنَّهْيِ عَنْ اِسْتِقْبَال رَمَضَان بِصَوْمِ يَوْم وَيَوْمَيْنِ ، لِمَنْ
لَمْ يُصَادِف عَادَة لَهُ أَوْ يَصِلهُ بِمَا قَبْله ، فَإِنْ لَمْ يَصِلهُ وَلَا
صَادَفَ عَادَة فَهُوَ حَرَام ، هَذَا هُوَ الصَّحِيح فِي مَذْهَبنَا
“Hadits ini secara tegas melarang menyambut bulan
Ramadlan dengan berpuasa sehari atau dua hari sebelumnya bagi orang-orang yang
tidak memiliki kebiasaan berpuasa atau tidak menyambungnya dengan puasa
sebelumnya. Jika ia tidak menyambungnya dengan puasa sebelumnya atau ia tidak
memiliki kebiasaan berpuasa, maka itu diharamkan dan inilah pendapat yang benar
dalam madzhab kami” (Syarh Shahih Muslim
lin-Nawawi hal. 789).
4.
Doa Ketika Melihat Hilal (Bulan Baru
Hijriyah) Ramadlan
Apabila hilal telah terlihat yang menandakan tanda
mulainya Bulan Ramadlan (atau bulan-bulan yang lainnya), maka disunnahkan
membaca doa :
اَللهُ أَكْـبَرُ،
اَللّهُمَّ أَهِلَّـهُ عَلَيْـنَا بِاْلأَمْـنِ وَاْلإِيْمـَانِ، وَالسَّلامَـةِ
وَاْلإِسْلامِ، وَالتَّـوْفِيْـقِ لِمَا تُحِـبُّ وَتَـرْضَـى، رَبُّنـَا
وَرَبُّكَ اللهُ
[Alloohu akbar. Alloohumma ahillahu ‘alainaa bil-amni
wal-iimaan. Was-salaamati wal-islaami, wat-taufiiqi limaa tuhibbu wa tardloo.
Robbunaa wa robbukallooh]
“Allah Maha Besar. Ya Allah, tampakkan
bulan satu itu kepada kami dengan membawa keamanan dan keimanan, keselamatan
dan Islam serta mendapat taufiq untuk menjalankan apa yang Engkau senang dan
rela. Rabb kami dan Rabbmu (wahai bulan sabit) adalah Allah”
(HR. At-Tirmidzi
no. 3451, Ad-Daarimi no. 1730, dan Ibnu Hibban dalam Mawaridudh-Dham’an hal. 589. At-Tirmidzi berkata : Hadits hasan
gharib. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 3/423).
Menetapkan
Niat Puasa
Wajib menetapkan niat untuk puasa fardlu (Ramadlan) pada
malam harinya, yaitu sebelum terbit fajar shadiq. Yang demikian itu berdasarkan
sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من لم يجمع الصيام قبل الفجر فلا صيام له
“Barangsiapa tidak berniat puasa
sebelum terbit fajar, maka tidak sah puasa baginya” (HR. Abu Dawud no.
2454, Ibnu Khuzaimah no. 1933, Al-Baihaqi 4/202, An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2333, dan At-Tirmidzi
no. 730. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 3/82).
من لم يبيت الصيام قبل الفجر فلا صيام له
“Barangsiapa tidak berniat atas
puasanya di malam hari, maka tidak sah puasa baginya” (HR. Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 2331; dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil
no. 914).
Niat itu tempatnya di dalam hati,
karena niat maknanya adalah tujuan (al-qashdu)
sebagaimana penjelasan An-Nawawi.
Melafadhkan niat dalam ibadah puasa Ramadlan tidak ada contohnya dan
bukan merupakan bagian dari sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Para imam seperti Imam Abu Hanifah, Imam
Malik, Imam Syafi’i, Imam Ahmad, dan para imam kaum muslimin lainnya tidak
pernah melakukannya, apalagi mengajarkannya.
Kewajiban niat di malam hari/sebelum
fajar hanya berlaku pada puasa wajib. Adapun untuk puasa sunnah, niat boleh
dilakukan pada siang harinya. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mendatangi ‘Aisyah di luar bulan
Ramadlan seraya bertanya :
هل عندكم شيء فقلنا لا قال فإني إذن صائم
“Apakah kamu punya persediaan
makanan? Aisyah menjawab : Tidak ada. Maka beliau berkata : “Maka aku akan
berpuasa”
(HR. Muslim no. 1154).
Waktu Berpuasa
Waktu untuk berpuasa adalah dimulai
dari terbitnya fajar shadiq (fajar kedua) sampai terbenamnya matahari.[6]
Sebagai permulaan waktu puasa, Allah ta’ala telah berfirman :
وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتّىَ يَتَبَيّنَ لَكُمُ
الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ
“Dan makan minumlah kamu hingga
terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al-Baqarah
: 187).
Dan untuk berakhirnya waktu puasa,
yaitu tiba waktu berbuka puasa, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
إذا أقبل الليل من ها هنا وأدبر النهار من ها هنا
وغربت الشمس فقد أفطر الصائم
“Apabila malam telah tiba dari arah
sini dan siang telah berlalu dari arah sini serta matahari pun terbenam, maka
orang yang berpuasa sudah boleh berbuka” (HR. Al-Bukhari no. 1954 dan
Muslim 1100; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Sahur
1.
Hukum Sahur
Hukum
makan sahur adalah sunnah, berdasarkan hadits dari Anas bin Malik radliyallaahu
‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda :
تسحروا فإن في
السحور بركة
“Sahurlah
kalian, karena sesungguhnya dalam sahur itu terdapat barakah” (HR.
Al-Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).
Imam
Nawawi rahimahullah berkata : “Dalam
hadits tersebut terdapat dorongan untuk melakukan sahur (sebelum puasa). Para
ulama telah bersepakat tentang sunnahnya makan sahur dan bukan suatu kewajiban.
Adapun barakah yang terdapat di dalamnya, maka secara dhahir maknanya
menunjukkan bahwa sahur dapat menguatkan badan dan memantapkan seseorang untuk
melaksanakan puasa, sehingga dapat menjadi sebab adanya pengharapan tambahan
pahala dari puasa yang dilakukan. Juga, barakah itu ada karena menjadi
ringannya kesulitan yang mungkin dialami oleh orang yang berpuasa. Dan inilah
makna yang benar” (Syarah Shahih Muslim
hal. 793).
Penganjuran
sahur sangat ditekankan kepada kaum muslimin walau hanya dengan seteguk air,
karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
السحور أكله بركة
فلا تدعوه ولو أن يجرع أحدكم جرعة من ماء فإن الله عز وجل وملائكته يصلون على
المتسحرين
“Sahur adalah makanan yang penuh barakah. Maka
janganlah kalian meninggalkannya sekalipun salah seorang diantara kalian hanya
minum seteguk air. Karena sesungguhnya
Allah ’azza wa jalla dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang yang makan
sahur” (HR. Ahmad no. 11101; dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Al-Jami’ish-Shaghiir no. 3683).
2.
Keutamaan Sahur
a.
Dalam sahur terdapat barakah.
b.
Pujian Allah dan doa para malaikat
terhadap orang-orang yang makan sahur.
c.
Menyelisihi puasanya ahlul-kitaab.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah
bersabda :
فصل ما بين صيامنا
وصيام أهل الكتاب أكلة السحر
“Perbedaan antara puasa kita dengan puasanya Ahli
Kitab terletak pada makan sahur” (HR. Muslim no. 1096).
3.
Waktu Sahur
Disunnahkan
untuk mengakhirkan waktu makan sahur sampai menjelang terbit fajar, karena Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam mengakhirkan sahur sampai menjelang shalat
shubuh tiba. Telah diriwayatkan dari
Anas radliyallaahu ‘anhu dari Zaid bin Tsabit bahwa dia pernah berkata :
تسحرنا مع النبي
صلى الله عليه وسلم ثم قام إلى الصلاة قلت كم كان بين الأذان والسحور قال قدر
خمسين آية
”Kami pernah makan sahur bersama Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, kemudian kami berangkat shalat
(shubuh). Maka aku
(Anas) berkata : “Berapa lama jarak antara adzan dan makan sahur? Ia (Zaid)
menjawab : خمسين آية (kira-kira bacaan lima puluh
ayat dari Al-Qur’an)” (HR. Bukhari no. 1921 dan Muslim no. 1097; ini adalah
lafadh Al-Bukhari).
4.
Bagaimana Jika Kita Sedang Makan Sahur, Namun Adzan Telah
Berkumandang ???
Sebagian
masyarakat berpandangan, jika kita sedang makan sahur dan adzan telah
berkumandang, maka kita wajib berhenti dari makan dan minum dan
memuntahkan/membuang apa-apa yang ada di dalam mulut kita. Ini adalah pandangan yang keliru. Mari kita simak hadits berikut :
Abu
Hurairah radliyallaahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
إذا سمع أحدكم
النداء والإناء على يده فلا يضعه حتى يقضي حاجته منه
“Jika
salah seorang kalian mendengar panggilan (adzan) sedangkan bejana (minumnya)
ada di tangannya, maka janganlah ia meletakkannya hingga ia menunaikan
keinginannya dari bejana (tersebut)” (HR. Ahmad 2/510 dan Abu Dawud no. 2350; hasan shahih. Lihat Shahih Sunan Abi Dawud 3/58).
أقيمت الصلاة
والإناء في يد عمر قال أشربها يا رسول الله قال نعم فشربها
“Pernah
iqamah dikumandangkan sedangkan bejana masih di tangan Umar (bin Khaththab)
radliyallaahu ‘anhu. Dia bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : Apakah aku boleh meminumnya?”. Beliau menjawab : “Boleh”. Maka Umar pun meminumnya” (HR. Ibnu Jarir
3/527/3017 dengan dua sanad darinya; shahih. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 1394).
Bila
ditaqdirkan adzan telah dikumandangkan sedangkan kita masih bersantap sahur,
maka hendaklah kita selesaikan makan kita dengan tenang, tidak terburu-buru,
baru kemudian shalat shubuh.
Namun
perlu dipahami bahwa tidaklah yang dimaksud dalam pembahasan ini untuk
menyengaja/membiasakan sahur persis menjelang akan adzan dikumandangkan [7]. Dengan adanya jam atau
jadwal waktu sahur dan berbuka puasa (sebagaimana banyak dibagikan menjelang
bulan Ramadlan), maka kita dapat mengatur waktu untuk mengakhirkan sahur
sehingga kita dapat selesai sebelum adzan berkumandang yang dengan itu kita
dapat berjalan dengan tenang melangkahkan kaki menuju masjid untuk menunaikan
shalat shubuh.[8]
5.
Membangunkan Orang untuk Sahur ?
Ada
satu sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
yang ditinggalkan oleh banyak kaum muslimin tentang hal ini, dan mereka
menggantinya dengan sesuatu yang lain (yang bukan berasal dari beliau). Imam
Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa
sebagai berikut :
أن بلالا كان يؤذن
بليل فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم كلوا واشربوا حتى يؤذن بن أم مكتوم فإنه
لا يؤذن حتى يطلع الفجر
“Sesungguhnya Bilal adzan pada waktu malam. Maka
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Makan
minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum adzan. Karena dia tidak akan adzan
kecuali setelah terbitnya fajar shadiq”[9] (HR. Bukhari no. 1918, 1919).
Dari
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa
sallam bersabda :
لا يمنعن أحدا منكم
أذان بلال أو قال نداء بلال من سحوره فإنه يؤذن أو قال ينادي بليل ليرجع قائمكم ويوقظ
نائمكم
“Janganlah
adzannya Bilal itu menghalangi salah seorang di antara kalian dari sahurnya.
Karena Bilal menyerukan adzan di malam hari supaya orang-orang yang shalat
malam kembali beristirahat sejenak dan orang yang masih tidur segera bangun” (HR. Bukhari no. 621 dan Muslim no. 1093; ini adalah
lafadh Muslim).
Imam
An-Nawawi menjelaskan maksud hadits (ويوقظ نائمكم)
“membangunkan orang yang masih tidur” :
“Yaitu untuk mempersiapkan diri menjelang waktu shubuh bagi seseorang yang
ingin melakukan amal-amal (yang disyari’atkan) seperti shalat tahajjud ringan,
shalat witir bagi mereka yang belum melaksanakan shalat witir, makan sahur
bagi mereka yang ingin melaksanakan puasa, mandi, berwudlu’, atau yang
lainnya dari apa-apa yang ingin dilaksanakan sebelum Fajar” (Syarh Shahih Muslim hal. 793).
6.
Tamr adalah Sebaik-Baik Makanan untuk Sahur
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
نعم سحور المؤمن
التمر
“Sebaik-baik
makanan sahur seorang mukmin adalah tamr” (HR. Abu Dawud no. 2345.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 2/55).
Tamr
adalah kurma kering yang telah masak dan berwarna coklat tua (sebagaimana umum
dijual di pasaran).
7.
Tidak Tidur Setelah Shalat Shubuh
Para
ulama telah menjelaskan tentang dibencinya tidur setelah shalat shubuh. Dalil
yang mendasari itu adalah :
عن صخر الغامدي قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم اللهم بارك لأمتي في بكورها
Dari Sakhr Al-Ghamidi ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :”Ya Allah, berkahilah bagi umatku pada pagi harinya” (HR. Abu Dawud
no. 2606, At-Tirmidzi no. 1212, Ibnu Majah no. 2236, Ad-Darimi no. 2479, dan
Ibnu Hibban no. 4754. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/124).
Ibnul-Qayyim telah berkata tentang keutamaan awal
hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata :
“Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang-orang shalih – adalah tidur
antara waktu shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah
waktu yang sangat berharga. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali
mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai
walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat
pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan
sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya
pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan
segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka
seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang
terpaksa”.[10]
Hendaknya seorang muslim menggunakan waktu dengan
sebaik-baiknya di bulan Ramadlan. Setelah shalat shubuh, ia bisa menggunakannya untuk berdzikir, membaca
Al-Qur’an, atau kegiatan positif lainnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
من صلى الغداة في
جماعة ثم قعد يذكر الله حتى تطلع الشمس ثم صلى ركعتين كانت له كأجر حجة وعمرة قال
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم تامة تامة تامة
“Barangsiapa
shalat Shubuh berjama’ah, kemudian duduk dan berdzikir kepada Allah hingga
terbit matahari, kemudian ia shalat dua raka’at (yaitu shalat Dluha/Isyraq), ia
akan memperoleh pahala ibadah haji dan umrah, sempurna, sempurna, sempurna” (HR.
At-Tirmidzi nomor 586; hasan lighairihi).
Hal-Hal yang Membatalkan Puasa
1.
Makan dan Minum dengan Sengaja
Allah
ta’ala telah berfirman :
وَكُلُواْ
وَاشْرَبُواْ حَتّىَ يَتَبَيّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ
الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمّ أَتِمّواْ الصّيَامَ إِلَى الّليْلِ
“Dan
makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu
fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu
sampai malam.” (QS. Al-Baqarah : 187).
Dari
ayat tersebut bisa dipahami bahwa puasa adalah menahan diri dari makan dan
minum. Apabila orang yang berpuasa makan dan
minum, berarti ia telah berbuka. Jika ia
lakukan dengan sengaja, maka jelas hal ini membatalkan ibadah puasa. Adapun jika seseorang makan dan minum karena
tidak sengaja (lupa), maka hal ini tidak membatalkan puasa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
من نسي وهو صائم
فأكل أو شرب فليتم صومه فإنما أطعمه الله وسقاه
“Barangsiapa yang berpuasa, kemudian ia lupa makan dan minum, hendaklah ia
menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya
Allah ta’ala telah memberikan makan dan minum kepadanya” (HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155; ini adalah lafadh
Muslim).
2.
Muntah dengan Sengaja[11]
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من ذرعه قيء وهو
صائم فليس عليه قضاء وإن استقاء فليقض
“Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja dalam
keadaan berpuasa, maka tidak ada qadla’ baginya; dan barangsiapa yang muntah
dengan sengaja, maka ia harus mengqadla (puasanya)” (HR. Abu Dawud no.
2380, At-Tirmidzi no. 720, Ibnu Majah no. 1676, dan Ahmad 2/498; ini adalah
lafadh Abu Dawud. Lihat Shahih Sunan Abu
Dawud 2/63).
3.
Haidl dan Nifas
Apabila
wanita kedatangan haidl dan nifas di siang hari bulan Ramadlan, baik di awal
maupun di akhir, maka ia harus berbuka (batal puasanya) dan mengqadlanya
(menggantinya) di hari lain. Jika ia
tetap puasa, maka puasanya tidak sah.[12]
Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
تمكث الليالي ما
تصلي وتفطر في رمضان فهذا نقصان الدين
“Dia
(wanita) berdiam diri beberapa malam tidak shalat, dan berbuka puasa Ramadlan
(karena haidl), maka inilah kekurangan agamanya” (HR. Muslim 79).
Diriwayatkan
dari Mu’adzah ia berkata :
سألت عائشة فقلت ما
بال الحائض تقضي الصوم ولا تقضي الصلاة فقالت أحرورية أنت قلت لست بحرورية ولكني
أسأل قالت كان يصيبنا ذلك فنؤمر بقضاء الصوم ولا نؤمر بقضاء الصلاة
Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah. Aku katakan,”Bagaimana dengan wanita haidl,
ia mengqadla puasa namun tidak mengqadla shalat?”. Aisyah menjawab,”Apakah kamu seorang
Haruriyyah (Khawarij)?”. Aku
menjawab,”Aku bukan Haruriyyah, tapi aku sekedar bertanya”. Aisyah berkata,”Kami pernah mengalami
begitu. Lalu kami diperintahkan untuk
mengqadla puasa dan kami tidak diperintahkan untuk mengqadla shalat” (HR. Muslim no. 335).
4.
Infus Makanan
Yaitu
memasukkan zat-zat makanan ke dalam tubuh seseorang melalui infus sebagai
pengganti makan kepada orang yang sakit.
Ini termasuk perkara yang membatalkan puasa; karena infus tersebut
mengandung zat makanan[13] yang dapat membuat badan
tidak lemah sebagaimana keadaan orang yang sehat.
5.
Jima’ (Berhubungan Badan).
Hal
ini berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah. Imam Asy-Syaukani rahimahullah
dalam kitab Ad-Darari Mudli’ah (2/22) berkata,”Tidak ada perbedaan di
kalangan ulama bahwa jima’ membatalkan puasa, apabila terjadi dengan
sengaja. Apabila terjadi karena lupa,
sebagian ulama’ mengkatagorikannya termasuk (dalam hukum) orang yang makan dan
minum karena lupa”.
Yang
raajih
dalam permasalahan ini adalah pendapat yang menyatakan tidak membatalkan puasa
(jika jima’ tersebut dilakukan tanpa sengaja/lupa).[14]
Dalil
dalam Al-Qur’an terdapat dalam QS. Al-Baqarah ayat 187. Adapun kaffaratnya
(tebusannya) dijelaskan dalam Sunnah Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dari hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu :
جاء رجل إلى النبي
صلى الله عليه وسلم فقال هلكت يا رسول الله قال وما أهلكك قال وقعت على امرأتي في
رمضان قال هل تجد ما تعتق رقبة قال لا قال فهل تستطيع أن تصوم شهرين متتابعين قال
لا قال فهل تجد ما تطعم ستين مسكينا قال لا قال ثم جلس فأتي النبي صلى الله عليه
وسلم بعرق فيه تمر فقال تصدق بهذا قال أفقر منا فما بين لابتيها أهل بيت أحوج إليه
منا فضحك النبي صلى الله عليه وسلم حتى بدت أنيابه ثم قال اذهب فأطعمه أهلك
Seseorang
pernah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
seraya berkata,”Aku telah binasa, wahai Rasulullah”. Beliau bertanya,”Apa yang telah membinasakanmu?”.
Ia menjawab,”Aku telah menggauli istriku di (siang hari) bulan
Ramadlan”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau mampu memerdekakan
budak?”. Ia menjawab,”Tidak”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau mampu berpuasa selama dua bulan berturut-turut?”. Ia menjawab,”Tidak”. Beliau bertanya lagi,”Apakah engkau mampu memberi makan enam puluh orang miskin?”. Ia menjawab,”Tidak”. Orang itu pun duduk. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dibawakan satu wadah kurma
kemudian beliau bersabda,”Sedekahkanlah
dengan kurma ini”. Ia
berkata,”Kepada orang yang lebih miskin dari kami ? Tidak ada satu keluarga di
tempat ini yang lebih membutuhkan daripada kami”. Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam tertawa hingga nampak gigi taringnya. Beliau bersabda,”Ambillah, dan berikanlah sebagai makanan untuk keluargamu” (HR.
Al-Bukhari no. 1936, Muslim no. 1111, At-Tirmidzi no. 724, dan lain-lain; ini
adalah lafadh Muslim).
6.
Niat untuk Membatalkan Puasa.
Jika
seseorang berniat dan bertekad untuk membatalkan puasa secara sengaja dan dalam
keadaan sadar bahwa ia sedang berpuasa, maka puasanya batal walaupun ia belum
makan ataupun minum. Hal itu didasarkan oleh sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa
sallam :
لكل امرئ ما نوى
“Setiap orang hanya akan mendapatkan
sesuai yang ia niatkan” (HR. Al-Bukhari no.
1, Muslim no. 1907, dan yang lainnya).
Ini adalah madzhab Asy-Syafi’i, dhahir madzhab Ahmad
(bin Hanbal), Abu Tsaur, Dhahiriyyah, dan Ashhaabur-Ra’yi.[15]
7.
Keluar dari Agama Islam (Murtad).
Tidak diketahui adanya perbedaan pendapat di kalangan
ahli ilmu akan hal ini, bahwasannya siapa saja yang murtad dari Islam di tengah
ia menjalankan ibadah puasa, maka puasanya itu menjadi rusak dan batal. Ia
harus mengqadlanya jika ia kembali memeluk agama Islam. [16]
Hal-Hal
yang Harus Ditinggalkan oleh Orang yang Berpuasa
Untuk meraih kesempurnaan puasa, orang yang berpuasa
selayaknya tidak hanya menahan diri dari perkara-perkara yang membatalkan puasa
saja. Namun ia juga harus menahan diri
dari akhlaq-akhlaq yang tercela dan perbuatan dosa lainnya. Salah satu tujuan yang diinginkan oleh
seorang yang berpuasa adalah mencapai derajat taqwa, sebagaimana firman Allah ta’ala
:
يَأَيّهَا الّذِينَ
آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ
لَعَلّكُمْ تَتّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah : 183).
Beberapa hal yang harus ditinggalkan
oleh orang yang berpuasa diantaranya adalah :
1.
Perkataan Dusta
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam :
من لم يدع قول
الزور والعمل به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta
dan mengamalkannya, maka Allah tidak memerlukan (puasa orang itu yang)
meninggalkan makan dan minumnya” (HR. Bukhari no. 1903).
2.
Pembicaraan yang Tidak Bermanfaat dan
Kata-Kata Kotor
Dari Abi Hurairah radliyallaahu ‘anhu ia berkata
: Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
ليس الصيام من
الأكل والشرب إنما الصيام من اللغو والرفث فإن سابك أحد أو جهل عليك فلتقل إني
صائم إني صائم
“Puasa itu bukan hanya dari makan dan minum saja,
tetapi puasa itu (menahan diri) dari kata-kata tidak bermanfaat dan kata-kata
kotor. Oleh karena itu jika ada orang
yang mencacimu atau membodohimu, maka katakanlah kepadanya : “Sesungguhnya aku
sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang berpuasa” (HR. Ibnu Khuzaimah no.
1996 dan Al-Hakim no. 1571 dengan sanad shahih; ini adalah lafadh Ibnu
Khuzaimah).
3.
Ghibah (Menggunjing/Ngrumpi)
Ghibah
adalah menceritakan keburukan seseorang dimana orang tersebut tidak suka jika
hal itu diketahui oleh orang lain. Allah telah berfirman :
وَلاَ يَغْتَب
بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً
فَكَرِهْتُمُوهُ
“Dan janganlah sebagian
kamu menggunjing sebagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang
telah mati? Maka tentulah kamu merasa
jijik kepadanya “ (QS. Al-Hujuraat : 12).
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
أتدرون ما الغيبة
قالوا الله ورسوله أعلم قال ذكرك أخاك بما يكره قيل فرأيت إن كان في أخي ما أقول
قال إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته وإن لم يكن فيه فقد بهته
“Apakah kalian tahu apa
ghibah itu ? Mereka menjawab : ‘Allah dan Rasul-Nya lebih
tahu’. Beliau bersabda : ‘Jika kamu
menyebut saudaramu tentang apa yang ia benci, (maka kamu telah melakukan
ghibah)’. Beliau ditanya :
‘Bagaimana jika sesuatu yang aku katakan ada pada saudaraku?’ Beliau menjawab : ‘Bila sesuatu yang kamu
bicarakan ada padanya maka kamu telah melakukan ghibah, dan apabila yang kamu
bicarakan tidak ada maka kamu telah membuat kebohongan atasnya “ (HR. Muslim no. 2589, At-Tirmidzi no. 1934, Malik no.
1998, dan Ahmad 2/384; ini adalah lafadh Muslim).
4.
Namimah (Mengadu Domba)
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لا يدخل الجنة نمام
“Tidak akan masuk surga
orang yang mengadu domba” (HR. Al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 105; ini
adalah lafadh Muslim).
Sebagian ulama menjelaskan
bahwa namimah itu lebih buruk
daripada ghibah, karena ia merupakan
satu oengkhianatan dan kehinaan yang kemudian akan berakhir dengan percekcokan
dan pemutusan silaturahim.
5.
Mengumbar Syahwat
Fenomena
yang hampir terjadi di setiap tempat di sekitar kita adalah banyaknya kaum
muslimin yang menghabiskan waktu sehabis sahur dan menjelang berbuka untuk
“nongkrong”, “mejeng”, berdua-duaan dengan lain mahram, dan yang
semisalnya dengan alasan jalan sehat, cuci mata, atau ngabuburit. Alangkah meruginya mereka dengan perbuatan sia-sia dan
maksiat itu. Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk
menundukkan pandangan dan memelihara kemaluannya :
قُلْ
لّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضّواْ مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُواْ فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ
أَزْكَىَ لَهُمْ إِنّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ* وَقُل لّلْمُؤْمِنَاتِ
يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنّ
“Katakanlah
kepada laki-laki yang beriman : Hendaklah mereka menahan pandangannya dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat. Katakanlah kepada wanita yang beriman :
Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara kemaluannya…. (QS. An-Nuur : 30-31).
عن جرير بن عبد
الله قال سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن نظر الفجاءة فأمرني أن أصرف بصري
Dari
Jabir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Aku bertanya kepada
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dari pandangan tidak sengaja (terhadap sesuatu yang diharamkan), maka beliau
memerintahkan kepadaku untuk memalingkan pandanganku” (HR. Muslim no. 2159).
كُتِبَ عَلَى ابْنِ
أدَمَ نَصِيْبُهُ مِنَ الزِّنَا، مُدْرِكٌُ ذَلِكَ لَا مَحَالَةَ، فَالْعَيْنَانِ
زِنَاهُمَا النَّظَرُ، وَالْأُذُنَانِ زِنَاهُمَا الْإِسْتِمَاعُ، وَاللِّسَانُ
زِنَاهُ الْكَلَامُ، وَالْيَدُ زِنَاهَا الْبَطْشُ، وَالرِّجْلُ زِنَاهَا
الْخُطَا، وَالْقَلْبُ يَهْوَى وَيَتَمَنَّى، وَيُصَدِّقُ ذَلِكَ الْفَرْجُ
وَيُكَذِّبُهُ
”Telah dituliskan atas Bani
Adam bagian dari zina yang pasti ia melakukannya, tidak bisa tidak. Maka, zina
kedua mata adalah melihat (yang diharamkan), zina kedua telinga adalah
mendengar (yang diharamkan), zina lisan adalah berkata-kata (yang diharamkan),
zina tangan adalah memegang (yang diharamkan), zina kaki adalah melangkah (ke
tempat yang diharamkan), hati berkeinginan dan berangan-angan, dan kemaluan
membenarkan itu semua atau mendustakannya” (HR. Bukhari no. 6243 dan Muslim no. 2657, ini
adalah lafadh Muslim)
Oleh karena itu, muncul ancaman keras
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bagi orang-orang yang melakukan
keburukan-keburukan tersebut di atas. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
رب صائم ليس له من صيامه إلا الجوع ورب قائم ليس
له من قيامه إلا السهر
“Berapa banyak orang yang berpuasa hanya mendapatkan
rasa haus dan lapar dari puasanya” (HR. Ibnu Majah no. 1690, Al-Hakim no.
1572, Ahmad 2/373, dan Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa
no. 8097; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Syaikh Al-Albani berkata dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/81 no. 1380 :
Hasan shahih).
Hal ini dikarenakan orang yang berpuasa tersebut tidak
memahami hakikat puasa yang sebenarnya sebagaimana yang Allah ta’ala
telah perintahkan kepada kita……..sehingga Allah membalasnya dengan mengharamkan
pahala dan ganjaran puasanya.
Yang Boleh Dilakukan Oleh Orang yang Berpuasa
1.
Bersiwak
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لولا أن أشق على
أمتي أو على الناس لأمرتهم بالسواك مع كل صلاة
“Jika aku tidak takut menyulitkan umatku – atau
menyulitkan manusia – , niscaya akan kuperintahkan mereka bersiwak setiap
hendak shalat” (HR. Al-Bukhari
no. 887 dan Muslim no. 252; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak
mengkhususkan hal itu hanya pada orang yang tidak berpuasa saja. Namun secara umum berlaku untuk orang yang
berpuasa maupun yang tidak berpuasa. Dan bahkan, bersiwak ini sangat dianjurkan……
2.
Masuk Waktu Fajar dalam Keadaan Junub (Belum Mandi).
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bangun pagi ketika fajar, sedangkan
beliau dalam keadaan junub setelah bercampur dengan istrinya, lalu beliau mandi
setelah terbit fajar dan kemudian berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits :
عن عائشة وأم سلمة
- رضي الله عنهما- : أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يدركه الفجر وهو جنب من
أهله ثم يغتسل ويصوم
Dari
Aisyah dan Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah mendapati fajar telah terbit dan ketika itu beliau dalam keadaan junub
setelah bercampur dengan istrinya.
Kemudian beliau mandi dan berpuasa
(HR. Al-Bukhari no. 1926 dan Muslim no. 1109; ini lafadh Al-Bukhari).
3.
Berkumur dan Memasukkan Air ke dalam Hidung (Ketika
Wudlu’).
Hal
ini karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
biasa berkumur dan memasukkan air ke hidung saat beliau berpuasa. Hanya saja beliau melarang orang yang
berpuasa untuk berlebih-lebihan dalam melakukan kedua hal tersebut. Laqith bin Shabirah meriwayatkan bahwa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
bersabda :
... وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون
صائماً
“Dan
bersungguh-sungguhlah kalian dalam ber-istinsyaaq (memasukkan air ke dalam
hidung saat berwudlu’) kecuali bila kalian berpuasa” (HR. At-Tirmidzi no.
788, Abu Dawud no. 142, Ibnu Abi Syaibah no. 84, Ibnu Majah no. 407, dan Nasa’i
dalam Al-Mujtabaa no. 87; dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaa’ul-Ghalil
no. 935).
4.
Bercumbu dan Berciuman Bagi Suami Istri yang Sedang
Berpuasa
Hal ini ditegaskan oleh hadits berikut :
عن
عائشة رضى الله تعالى عنها قالت كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يقبل وهو صائم
ويباشر وهو صائم ولكنه أملككم لإربه
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ta’ala ‘anhaa bahwasannya ia berkata : ”Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
pernah mencium dan bercumbu pada saat beliau sedang berpuasa. Namun beliau adalah orang yang paling kuat menahan
nafsunya diantara kalian” (HR. Al-Bukhari
no. 1927 dan Muslim no. 1106; ini adalah lafadh Muslim).
Hal itu dimakruhkan bagi orang yang masih muda dan tidak
bagi yang sudah tua. Telah diriwayatkan
dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
كنا
عند النبي صلى الله عليه وسلم فجاء شاب فقال يا رسول الله أقبل وأنا صائم قال لا
فجاء شيخ فقال أقبل وأنا صائم قال نعم قال فنظر بعضنا إلى بعض فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم قد علمت لم نظر بعضكم إلى بعض ان الشيخ يملك نفسه
Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba seorang pemuda mendekati
beliau seraya berkata,”Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium istriku sedangkan
aku dalam kondisi berpuasa?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab,”Tidak boleh”. Kemudian datang seorang
yang telah tua seraya berkata,”Apakah aku boleh mencium (istriku) sedangkan aku
dalam kondisi berpuasa?”. Beliau
menjawab,”Boleh”. Abdullah
berkata,”Lalu kami saling berpandangan, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya
orang yang sudah tua tersebut mampu untuk menahan nafsunya” (HR.
Ahmad 2/185 dan 2/220. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1606).
5.
Tranfusi Darah dan Suntikan yang Tidak
Dimaksudkan Sebagai Makanan.
Syaikh Ibnu ’Utsaimin pernah ditanya tentang hukum
suntikan untuk pengobatan yang dilakukan di siang hari bulan Ramadlan bagi
orang yang berpuasa, maka beliau menjawab : ”Suntikan pengobatan ada dua :
Pertama, suntikan infus dimana dengan suntikan ini bisa mencukupi kebutuhan
makan dan minum. Maka dalam hal ini orang yang melakukannya termasuk dalam
orang yang telah berbuka (batal puasanya). Nash-nash syar’i bertemu dengan satu
makna yang mencakup satu bentuk dari keumuman bentuk-bentuk hukum dalam nash,
maka hal itu dihukumi dengan nash tersebut. Adapun jenis yang kedua adalah
suntikan yang tidak mengandung makanan dan minuman. Maka orang yang
melakukannya ini bukan termasuk orang yang berbuka (tidak batal puasanya). Hal
itu disebabkan karena suntukan tersebut tidak tercakup dalam konteks nash
secara lafadh maupun makna. Ia bukanlah termasuk cakupan makan dan minum. Bukan
pula sesuatu yang mempunyai makna makan dan minum. Hukum asal (seseorang yang
melakukan puasa) adalah sah puasanya hingga tetap adanya sesuatu yang
menyebabkan rusaknya berdasarkan dalil syar’i” (Fataawaa Ash-Shiyaam oleh Ibnu ’Utsaimin, hal. 58; dikumpulkan oleh
Muhammad Al-Musnad).[17]
6.
Berbekam
Pada awalnya berbekam (canduk) termasuk perkara yang membatalkan puasa sebagaimana hadits
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
أفطر
الحاجم والمحجوم
“Telah
berbuka (batal puasa) orang yang berbekam dan yang dibekam” (HR.
At-Tirmidzi no. 774; Abu Dawud no. 2367, 2370,2371; Ibnu Majah no. 1679; dan
lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/68).
Jumhur
ulama mengatakan bahwa hukum ini di-mansukh
(dihapuskan) sehingga berbekam tidaklah membatalkan puasa.[18] Hal ini terlihat
dari perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau berbekam
pada saat berpuasa, sebagaimana hadits berikut :
عن
بن عباس رضى الله تعالى عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم احتجم وهو محرم واحتجم
وهو صائم
Dari
Ibnu ‘Abbas radliyallaahu anhuma bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
berbekam saat beliau dalam keadaan ihram (haji) dan pernah berbekam dalam
keadaan berpuasa (HR.
Bukhari no. 1938, 1939).
عن
أبي سعيد الخدري قال : رخص للصائم في الحجامة والقبلة
Dari Abu Sa’id Al-Khudri ia berkata : ”Telah diberikan keringanan bagi orang
yang berpuasa untuk berbekam dan mencium istrinya (tidak menyebabkan batal)”
(HR. Ibnu Khuzaimah no. 1969 dan Ad-Daruquthni no. 2262; ini adalah lafadh Ibnu
Khuzaimah. Syaikh Al-Albani mengatakan dalam ta’liqnya atas Shahih Ibni Khuzaimah bahwa sanad hadits
ini shahih).
7.
Mencicipi Makanan
Mencicipi
makanan dibolehkan bagi orang yang berpuasa dengan catatan tidak sampai masuk
ke tenggorokan (tertelan). Hal tersebut
didasarkan atsar dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
لا
باس أن يذوق الخل ، أو الشيء ما لم يدخل حلقه وهو صائم
“Tidak
ada masalah untuk mencicipi cuka atau yang lainnya selama tidak dimasukkan ke
dalam kerongkongannya, sedangkan dia dalam keadaan berpuasa” (HR. Ibnu Abi
Syaibah no. 9369 dengan sanad hasan).
8.
Celak, Obat Tetes Mata, dan Semisalnya
yang Dimasukkan ke dalam Mata
Memakai celak dan obat tetes mata tidak termasuk perkara
yang membatalkan puasa, baik pengaruh rasanya sampai tenggorokan maupun
tidak. Pendapat ini dikuatkan (ditarjih)
oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah di dalam risalahnya Haqiiqatush-Shiyaam,
dan juga oleh muridnya Ibnul-Qayyim dalam Zaadul-Ma’aad.
Imam Bukhari berkata dalam Shahih-nya :
ولم
ير أنس والحسن وإبراهيم بالكحل للصائم بأسا
”Anas, Al-Hasan, dan Ibrahim tidak
mempermasalahkan celak mata bagi orang yang berpuasa” (HR. Al-Bukhari 2/39 secara mu’allaq).[19]
9.
Membasahi Kepala dengan Air Dingin dan Mandi
Al-Bukhari
dalam Shahih-nya bab Ightisal Ash-Shaaim,”Ibnu Umar membasahi
baju (dengan air) lalu memakainya, sedang dia berpuasa.[20] Asy-Sya’bi masuk ke kamar mandi, sedang dia
berpuasa.[21]
Al-Hasan
berkata,”Tidak ada masalah dengan berkumur-kumur dan mendinginkan (badan) bagi
orang yang berpuasa”.[22]
Dalam suatu hadits
disebutkan :
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم يصب الماء على رأسه من الحر وهو صائم
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menyiramkan air di atas kepalanya, sedang dia
berpuasa karena kepanasan” (HR. Abu Dawud no. 2365 dan Ahmad 4/63, 5/376.
Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih
Sunan Abi Dawud 2/61).
Hal-Hal yang Disunnahkan di
Bulan Ramadlan
1.
Memperbanyak Membaca Al-Qur’an
Sebagaimana
telah dijelaskan sebelumnya, bulan Ramadlan merupakan bulan Al-Qur’an (QS.
Al-Baqarah : 185). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
para shahabat, dan para ulama setelahnya telah memberikan keteladanan bagi kita
dalam hal ini. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam biasa membaca ulang
Al-Qur’an/bertadarus di hadapan Jibril setiap malam bulan Ramadlan, sebagaimana
yang dikhabarkan oleh Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
وكان
يلقاه في كل ليلة من رمضان فيدارسه القرآن
“Jibril biasa menemui beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam setiap malam di bulan Ramadlan
untuk bertadarus Al-Qur’an” (HR. Bukhari no. 6).
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
خيركم
من تعلم القرآن وعلمه
”Sebaik-baik kalian adalah orang yang
belajar dan mengajarkan Al-Qur’an” (HR. Al-Bukhari
no. 5027, Abu Dawud no. 1452, At-Tirmidzi no. 2909, dan Ibnu Majah no. 211).
الماهر
بالقرآن مع السفرة الكرام البررة والذي يقرأ القرآن ويتتعتع فيه وهو عليه شاق له
أجران
“Orang yang mahir membaca Al-Qur’an akan bersama para
malaikat yang mulia dan baik, sedangkan orang yang membaca Al-Qur’an dengan
terbata-bata (tidak lancar – tapi tetap berkemauan keras), maka baginya dua
pahala” (HR. Al-Bukhari
no. 4937, Muslim no. 798, Abu Dawud no. 1454, ‘Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 4194, dan yang lainnya;
ini adalah lafadh Muslim).
مثل
المؤمن الذي يقرأ القرآن كمثل الأترجة ريحها طيب وطعمها طيب ومثل المؤمن الذي لا
يقرأ القرآن كمثل التمرة لا ريح لها وطعمها حلو ومثل المنافق الذي يقرأ القرآن مثل
الريحانة ريحها طيب وطعمها مر ومثل المنافق الذي لا يقرأ القرآن كمثل الحنظلة ليس
لها ريح وطعمها مر
“Permisalan seorang mukmin yang membaca Al-Qur’an bagaikan
buah Utrujah, baunya wangi dan lezat rasanya. Sedangkan seorang mukmin yang
tidak membaca Al-Qur’an, maka ia seperti tamr (kurma), tidak berbau tetapi
manis rasanya. Permisalan seorang munafiq yang membaca Al-Qur’an seperti
raihan, baunya wangi akan tetapi rasanya pahit. Sedangkan permisalan seorang
munafik yang tidak membaca Al-Qur’an, maka ia seperti buah handhalah, tidak
wangi lagi pahit rasanya”
(HR. Al-Bukhari no. 5427 dan Muslim no. 797).
Selain
membaca Al-Qur’an, kita juga dituntut untuk mentadaburi dan mengamalkannya.
2.
Memperbanyak Shadaqah
Bershadaqah
adalah satu kesempatan bagi kita untuk mencari keridlaan Allah serta maghfirah-Nya di bulan Ramadlan.
Shadaqah yang kita berikan haruslah berasal dari harta yang halal untuk
diberikan kepada faqir miskin, sanak kerabat, tetangga, anak-anak yatim piatu,
dan kaum muslimin pada umumnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda :
إن
الله طيب لا يقبل إلا طيبا
“Sesungguhnya Allah itu Maha Bagus, Allah tidak akan
menerima kecuali yang baik (halal)” (HR. Muslim no. 1015).
كان
رسول الله صلى الله عليه وسلم أجود الناس وكان أجود ما يكون في رمضان حين يلقاه
جبريل وكان يلقاه في كل ليلة من رمضان فيدارسه القرآن فلرسول الله صلى الله عليه
وسلم أجود بالخير من الريح المرسلة
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan. Beliau lebih
dermawan lagi ketika bulan Ramadlan pada saat Jibril menemui beliau. Jibril
biasa menemui beliau di setiap malam di bulan Ramadlan untuk bertadarus
Al-Qur’an. Maka pada saat itu, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan dalam kebaikan daripada angin yang
berhembus” (HR. Al-Bukhari
no. 6).
3.
Memberi Makanan Berbuka kepada Orang
yang Sedang Berpuasa
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
من
فطر صائما كان له مثل أجرهم من غير أن ينقص من أجورهم شيئا
“Barangsiapa yang memberikan makanan
berbuka kepada orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti pahala orang
yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi dari pahala orang berpuasa itu
sedikitpun” (HR. Ahmad 4/114, At-Tirmidzi no.
807, dan Ibnu Majah no. 1746. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah 2/85 no. 1428).
4.
Memperbanyak Do’a
Ketahuilah
wahai saudaraku muslimin, bahwa doa orang yang berpuasa sangat mustajab. Mari kita ambil kesempatan itu untuk banyak
berdoa dengan hati yang ikhlash, mengikuti sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam, dan berkeyakinan bahwa doa kita akan dikabulkan oleh
Allah ta’ala. Dari Abi Hurairah radliyallaahu
‘anhu ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah bersabda :
ثلاث
دعوات مستجابات : دعوة الصائم ودعوة المظلوم ودعوة المسافر
“Ada
tiga doa yang dikabulkan : Doa orang yang berpuasa, doa orang yang dianiaya,
dan doa orang yang bepergian (musafir)” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul-Iman no. 3324; dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah no.
1797)
5.
I’tikaf
Yaitu berdiam diri di masjid untuk beribadah dalam
rangka taqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah ta’ala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ber-i’tikaf pada sepuluh
hari terakhir di bulan Ramadlan.
عن
عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال : كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يعتكف
العشر الأواخر من رمضان
Dari ‘Abdillah bin ‘Umar
radliyallaahu ‘anhuma ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam melakukan i’tikaf apabila masuk malam-malam sepuluh hari yang terakhir
dari bulan Ramadlan” (HR. Al-Bukhari no. 2025 dan Muslim no. 1171).
6.
Melakukan ‘Umrah
Dalil yang menunjukkan keutamaan ber-‘umrah pada
bulan Ramadlan adalah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang wanita Anshar
yang tidak sempat berhaji bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فإذا
جاء رمضان فاعتمري فإن عمرة فيه تعدل حجة
“Apabila datang bulan Ramadlan,
maka ber-umrah-lah kamu, sesungguhnya ‘umrah di bulan Ramadlan itu nilainya
sama dengan ibadah haji” (HR. Muslim
no. 1256).
Melatih Anak-Anak untuk Berpuasa
Melatih anak-anak sedini mungkin untuk berpuasa (sesuai
dengan kadar kesanggupannya) sangatlah penting untuk menanamkan rasa cinta
terhadap syari’at Islam. Selain itu, fisik mereka akan terlatih di kemudian
hari tahapan-demi tahapan sehingga pada satu waktu, si anak dapat mengerjakan
ibadah puasa secara sempurna (mulai fajar shadiq sampai matahari terbenam). Ada
teladan yang cukup baik dari para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa
sallam dalam hal ini :
عن
الربيع بنت معوذ قالت أرسل النبي صلى الله عليه وسلم غداة عاشوراء إلى قرى الأنصار
من أصبح مفطرا فليتم بقية يومه ومن أصبح صائما فليصم قالت فكنا نصومه بعد ونصوم
صبياننا ونجعل لهم اللعبة من العهن فإذا بكى أحدهم على الطعام أعطيناه ذاك حتى
يكون عند الإفطار
Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz ia berkata : Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengirim utusan di suatu pagi hari ‘Asyuura (10 Muharram)
di pedesaan kaum Anshar. Ia berkata : ‘Barangsiapa di waktu pagi tidak berpuasa, maka hendaklah ia
berpuasa pada sisa harinya. Dan barangsiapa di waktu pagi berpuasa, maka
teruskanlah puasanya itu’. Maka Rubayyi’ berkata : “Kami pun berpuasa dan menyuruh
anak-anak kami berpuasa. Kami memberikan boneka-boneka dari wol apabila mereka
menangis karena lapar dan haus. Hal itu terus berlangsung hingga waktu berbuka
tiba” (HR. Al-Bukhari no. 1859).
[1] Dhihar adalah ucapan seorang suami
kepada istrinya : anti ‘alayya ka-dhahri
ummiy (kamu bagiku seperti punggung ibuku). Maksudnya, engkau haram bagiku
dan aku tidak halal menggaulimu. Perkataan ini adalah haram menurut Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan ijma’.
[2] Makna iimaanan
wah-tisaaban (إيمانا واحتسابا)
berarti percaya sepenuhnya akan kewajiban puasa tersebut serta mengharapkan
pahalanya. Menjalankan puasa dengan
sepenuh jiwa tanpa adanya unsur keterpaksaan dan juga tidak merasa keberatan
untuk menjalaninya.
[3] Pengampunan dosa-dosa tersebut hanya merupakan dosa-dosa kecil
saja. Adapun dosa-dosa besar akan
diampuni oleh Allah apabila pelakunya bertaubat kepada Allah ta’ala dengan taubat nashuha. Maka, di bulan Ramadlan ini, pergunakanlah
waktu yang mustajab ini untuk bertaubat meminta ampunan kepada Allah untuk
semua dosa yang pernah kita lakukan.
[4] Syaikh Al-Arna’uth menukil perkataan Ibnu Hajar dalam Athraaful-Musnad (7/203) bahwasannya
kandungan hadits ini terkait bulan Ramadlan. Diriwayatkan pula oleh Al-Bazzar
(962 – Kasyful-Astaar) dengan lafadh
:
إن الله تبارك
وتعالى عتقاء في كل يوم وليلة - يعنى في رمضان - وإن لكل مسلم في كل يوم وليلة
دعوة مستجاب له
“Sesungguhnya setiap hari Allah tabaraka wa ta’ala membebaskan (beberapa
orang dari api neraka) yaitu pada bulan Ramadlan, dan sesungguhnya bagi setiap
orang muslim apabila memanjatkan doa, maka pasti dikabulkan”.
Sanad hadits Al-Bazzar di atas
adalah dla’if dengan sebab rawi yang bernama Abaan bin Abi ’Ayyaasy ---- (namun
hadits tersebut adalah shahih dengan keseluruhan jalannya sebagaimana
penshahihan Syaikh ’Ali Al-Halaby dan Syaikh Salim Al-Hilaly dalam kitab Shifat Shaumin-Nabiy, wallaahu a’lam).
Makna ’Utaqaa’ (عتقاء) dalam hadits ini adalah pembebasan
dari siksa api neraka dengan sebab maghfirah Allah (di bulan Ramadlan). [lihat
ta’liq dan takhrij selengkapnya dalam Musnad
Ahmad (12/421 no. 7450) dengan tahqiq, ta’liq, dan takhrij Syau’aib
Al-Arna’uth dan ’Adil Mursyid; dan syarah Ahmad Syakir atas kitab yang sama
(7/250-251 no. 7443)].
[5] Dalam penentuan awal bulan Ramadlan dan awal bulan Syawal,
maka dalam Islam hanya mengenal metode Ru’yatul-Hilal
(melihat bulan) pada malam hari tanggal 29.
Bila ternyata bulan tidak terlihat, maka hitungan bulan disempurnakanl
menjadi 30 hari. Adapun metode hisab
adalah metode baru (bid’ah) dan selayaknya untuk dihindari oleh umat
Islam. Dan inilah yang membuktikan bahwa
Islam adalah agama yang mudah.
[6] Fajar itu ada 2 (dua) :
a)
Fajar Kadzib : adalah warna putih
di arah timur, panjang yang menjulur ke atas seperti ekor serigala.
b)
Fajar Shadiq : adalah warna merah
yang naik dan muncul dari arah timur (setelah berlalunya Fajar Kadzib),
sehingga terlihat jelas perbedaan antara malam dan siang.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
الفجر فجران فأما
الأول فإنه لا يحرم الطعام ولا يحل الصلاة واما الثاني فإنه يحرم الطعام ويحل
الصلاة
“Fajar itu ada dua
macam : Adapun fajar yang pertama, tidak
diharamkan makan dan tidak dibolehkan mengerjakan shalat (shubuh); sedangkan
fajar yang kedua, diharamkan makan dan dibolehkan mengerjakan shalat shubuh”
(HR. Ibnu Khuzaimah no. 1927; Al-Hakim no. 690-691; dan Ad-Daruquthni 3/116 no.
2186; shahih).
[7] Dengan
asumsi bahwa muadzin tepat waktu mengumandangkan adzan, yaitu ketika tepat
fajar shadiq telah nampak.
[8] Perlu juga kami sampaikan bahwa kebiasaan masyarakat mengumandangkan waktu imsak (dengan sirine,
kentongan, bedug, atau ucapan) sekitar 15 menit sebelum shubuh merupakan
kebiasaan yang kurang tepat tanpa berlandaskan dalil. Mereka melakukannya dengan tujuan agar orang
yang melakukan sahur menghentikan sahurnya karena akan masuk waktu shubuh.
Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-’Asqalani Asy-Syafi’iy rahimahullah telah memperingatkan kebiasaan salah ini semenjak
beratus-ratus tahun yang lalu dimana beliau mengatakan :
(تنبيه) : من البدع المنكرة
ما أحدث في هذا الزمان من إيقاع الأذان الثاني قبل الفجر بنحو ثلث ساعة في رمضان
واطفاء المصابيح التي جعلت علامة لتحريم الأكل والشرب على من يريد الصيام زعما ممن
أحدثه أنه للاحتياط في العبادة ولا يعلم بذلك الا آحاد الناس وقد جرهم ذلك إلى أن
صاروا لا يؤذنون الا بعد الغروب بدرجة لتمكين الوقت زعموا فاخروا الفطر وعجلوا
السحور وخالفوا السنة فلذلك قل عنهم الخير وكثير فيهم الشر والله المستعان
“(Peringatan)
: Termasuk bid’ah yang munkar adalah apa yang terjadi di jaman ini
(yaitu jamannya Ibnu Hajar) yakni adanya pengumandangan adzan kedua sekitar 1/3
jam (= 20 menit) sebelum waktu fajar bulan Ramadlan. Serta memadam lampu-lampu
sebagai pertanda telah datangnya waktu haram untuk makan dan minum bagi yang
berpuasa keesokan harinya. Orang yang berbuat seperti ini beranggapan bahwa
hal itu dimaksudkan untuk berhati-hati dalam beribadah, sebab yang
mengetahui persis batas akhir sahur hanya segelintir manusia. Sikap hati-hati
yang demikian, juga menyebabkan mereka tidak diijinkan untuk berbuka puasa
kecuali setelah matahari terbenam beberapa saat agar lebih mantap lagi (menurut
anggapan mereka). Akibatnya mereka suka mengakhirkan waktu berbuka puasa, suka
mempercepat waktu sahur, dan suka menyalahi Sunnah. Oleh sebab itulah mereka
sedikit mendapatkan kebaikan, tetapi banyak mendapatkan keburukan” (selesai – Fathul-Baari juz 4 hal. 199).
Hal
di atas merupakan imsak versi jaman Ibnu Hajar dengan pengumandangan adzan 20
menit sebelum fajar plus memadamkan lampu sebagai tanda berhentinya makan dan
minum. Selain tidak ada contohnya dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam dan para shahabat, secara bahasa pun tidak dapat dibenarkan. Karena imsak secara bahasa berarti menahan
diri (untuk tidak makan dan minum).
Sedangkan dalam syari’at Islam, waktu imsak itu sendiri adalah dengan
terbitnya fajar (dikumandangkannya adzan shubuh). Adapun waktu 20 menit sebelum shubuh masih
merupakan waktu yang utama untuk melaksanakan makan sahur. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
[9] Hadits ini menjelaskan
pada kita bahwa di jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, adzan
dilakukan dua kali. Adzan pertama dilakukan saat
fajar kadzib tiba (waktu utama melaksanakan sahur dimana orang-orang
dibangunkan dari tidurnya – sepertiga malam terakhir). Sedangkan adzan
kedua dilakukan saat waktu shubuh tiba (fajar shadiq).
Pada saat adzan pertamalah
dikumandangkan bacaan tatswib (ash-sholaatu khairum-minan-naum =
“Shalat itu lebih baik daripada tidur”). Ibnu ‘Umar meriwayatkan :
كان في الأذان
الأول بعد الفلاح : الصلاة خير من النوم مرتين
“Pada adzan pertama setelah membaca Hayya ‘alal-Falah,
hendaknya membaca Ash-Sholaatu Khorum-Minan-Naum” (HR. Al-Baihaqi 1/423 dan
Ath-Thahawi dalam Syarh Ma’anil-Atsar
1/82 dengan sanad hasan sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar dalam At-Talkhiishul-Habiir 1/212 – lihat Tamaamul-Minnah oleh Al-Albani, hal.
146-147).
Ibnu Ruslan menukil perkataan
Imam Ibnu Khuzaimah ketika menshahihkan riwayat ini dalam Takhrij Az-Zarkasyi li Ahaadits Ar-Rafi’i sebagai berikut :
فشرعية التثويب
إنما هي في الأذان الأول للفجر ، لأنه لإيقاظ النائم ، وأما الأذان الثاني فإنه
إعلام بدخول الوقت ، ودعاء إلى الصلاة
”Syari’at (pengucapan) tatswib ini dilakukan dalam adzan awal
di Fajar untuk membangunkan orang yang tidur. Adapun adzan yang kedua (tanpa tatswib), maka adzan ini merupakan
pemberitahuan masuknya waktu (Shubuh) dan panggilan untuk shalat” (lihat Tamaamul-Minnah hal. 147).
[10] Madaarijus-Saalikiin
1/459 - dikutip melalui perantaraan kitab : At-Tabarruk,
Anwa’uhu wa Ahkaamuhu karya Dr. Naashir bin ’Abdirahman bin Muhammad
Al-Juda’i, hal. 309-310.
[11]
Ini menurut
sebagian ulama. Adapyun menurut ulama lain, tidak membatalkan puasa – dan
pendapat inilah yang raajih. Silakan baca artikel : Muntah Ketika Puasa.
[12] Keterangan tambahan :
a)
Jika seorang wanita haidl di
tengah hari saat berpuasa, maka puasanya batal dan tidak perlu meneruskannya
hingga maghrib. Sebaliknya, ia diperbolehkan berbuka, akan tetapi diusahakan
agar tidak terlihat oleh orang yang sedang berpuasa.
b)
Jika seorang wanita mengalami
haidl di bulan Ramadlan lalu suci di siang hari, maka dia tetap boleh makan dan
minum. Dan seandainya suaminya datang dari perjalanan (safar) dan tidak
berpuasa, maka dia boleh berjima’ (berhubungan badan) dengan suaminya,
sebagaimana hal itu dijelaskan oleh Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Umm, bab : Maa
Yufthirush-Shaaimu was-Sahuuru wal-Khilaafu fiihi.
c)
Jika wanita yang haidl itu telah
suci sebelum fajar dan berniat berpuasa, maka puasanya sah, sekalipun ia
menunda mandi besarnya hingga setelah fajar. Ini adalah pendapat jmhur ulama
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul-Bari (4/192).
[13] Lihat Haqiiqatush-Shiyaam
karya Ibnu Taimiyyah.
[14] Para ulama berbeda pendapat apakah permasalahan jima’ dapat
diqiyaskan dengan makan minum apa tidak jika ia dilakukan dengan tidak sengaja
(lupa). Imam Ahmad dan shahabat-shahabatnya mengatakan bahwa jima’ membatalkan
puasa meskipun dilakukan oleh orang yang tidak tahu atau lupa. Jika dilakukan
pada siang hari pada bulan Ramadlan, maka ia wajib melakukan kaffarat. Ini
termasuk pendapat tunggal yang ternukil dari Imam Ahmad. Pendapat ini terbangun
dari pemahaman dalil bahwa hadits yang memberikan udzur (tidak batal) karena
tidak sengaja/lupa hanyalah terbatas pada makan dan minum saja. Tidak dalam
masalah jima’ (lihat kembali HR. Al-Bukhari no. 1933 dan Muslim no. 1155
sebelumnya). Di samping itu – menurut mereka – sangat sulit rasanya orang yang
melakukan melakukan jima’ karena lupa.
Adapun Imam Abu Hanifah, Imam
Asy-Syafi’i, Imam Dawud, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, dan yang lainnya
menyatakan tidak batalnya puasa seseorang akibat jima’ yang dilakukan karena
ketidaksengajaan (lupa). Mereka berhujjah dengan beberapa dalil, diantaranya
adalah keumuman nash Al-Qur’an :
رَبَّنَا لا
تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا
”(Mereka berdo`a): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah” (QS. Al-Baqarah : 286).
Juga sabda Nabi shallallaahu
’alaihi wa sallam :
عفى لأمتي عن الخطأ
والنسيان وما استكرهوا عليه
”Dimaafkan bagi umatku karena kesalahan dan lupa, serta
karena sesuatu yang dipaksakan kepadanya” (HR. Ibnu Majah no. 2045, dishahihkan oleh
Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Ibni
Majah 2/178 no. 1675).
Mereka menjawab pendalilan
Imam Ahmad bahwasannya pengaitan hukum jima’ dengan makan dan minum termasuk
masalah penempatan hukum dengan sebutan, sehingga tidak menafikkan hal-hal yang
lainnya. Pendapat terakhir inilah yang rajih, insyaAllah. (Lihat pembahasan ini
dalam Taisirul-’Allam Syarh
’Umdatil-Ahkaam oleh Syaikh ’Abdullah bin ’Abdirrahman Aali Bassaam,
1/573-575 hadits no. 179).
[15] Shahih Fiqhis-Sunnah
oleh Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim (2/106).
[16] Idem.
[17] Dinukil melalui perantaraan kitab Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fataawaa
’Ulamaa Al-Baladil-Haraam oleh Dr. Khalid Al-Juraisy, hal. 295-296.
[18] Ada ulama lain yang berusaha menjama’ (menggabungkan) beberapa
hadits yang seakan-akan bertentangan dengan penjelasan bahwasannya berbekam
saat puasa itu makruh bagi orang yang fisiknya lemah yang dengan ia berbekam
bisa menjadi sebab batal puasanya. Namun sebaliknya, hal itu bukan menjadi satu
kemakruhan bagi orang yang mempunyai fisik kuat dimana jika ia berbekam tidak
menyebabkan badannya lemah yang dengan itu bisa membatalkan puasa. (Lihat
penjelasan Asy-Syaukani dalam Nailul-Authaar
4/228)
Pembolehan berbekam saat
berpuasa (dan tidak menyebabkan batal) ini merupakan pendapat yang dipegang
oleh Abu Sa’id Al-Khudri, Ibnu Mas’ud, Ummu Salamah, Al-Hasan bin ’Ali, ’Urwah
bin Az-Zubair, Sa’id bin Jubair, dan imam yang tiga (kecuali Ahmad). Adapun
Imam Ahmad berpendapat batalnya orang yang berpuasa karena berbekam atau
membekam karena beliau men-ta’lil
tambahan lafadh (واحتجم وهو صائم) ”dan berbekam dalam keadaan berpuasa”.
Yang benar, tambahan lafadh tersebut adalah shahih. Silakan lihat Taudlihul-Ahkaam min-Buluughil-Maraam
(2/489-493 – dalam kitab ini berbeda kesimpulan dengan apa yang kami sebutkan
di sini).
[19] Atsar Anas diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dan ia mendla’ifkannya
dari jalan marfu’. Atsar Al-Hasan
disambungkan sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dan Ibnu Abi Syaibah (3/47) dengan
sanad shahih darinya. Adapun atsar Ibrahim, disambungkan sanadnya oleh Sa’id
bin Manshur, Ibnu Abi Syaibah, dan Abu Dawud dengan beberapa jalan darinya, dan
riwayat tersebut berkualitas shahih. (Mukhtashar
Shahih Al-Bukhari 1/560 no. 368-370).
[20] HR. Bukhari 2/603 secara mu’allaq.
Disambungkan sanadnya oleh Al-Bukhari dalam At-Taarikh
dan Ibnu Abi Syaibah dari jalan ’Abdullah bin Abi ’Utsman bahwasannya ia
melihat Ibnu ’Umar melakukan hal tersebut. (Mukhtashar
Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 359).
[21] Idem. Disambungkan
sanadnya oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih darinya. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no.
360).
[22] Idem. Disambungkan
sanadnya oleh ’Abdurrazzaq dengan lafadh yang semakna dengannya. Dikeluarkan
juga oleh Malik dan Abu Dawud yang semisal dengannya secara marfu’. (Mukhtashar Shahh Al-Bukhari 1/560 no. 362).
Comments
Jazakallaah atas artikelnya yang lengkap ini akhi. Lumayan buat bahan nasihat kepada diri sendiri dan keluarga serta tetangga. Sekali lagi jazakallaah khoiron katsiir
Jazakallahu khoiro..
Mau sdikit koreksi:
Syarat wajib puasa ada empat, tp yg disebutkan ada 6 (a - f)
Rukun puasa ada 5, tp yg disebutkan cuma 2.
Terima kasih atas koreksiannya. Segera saya perbaiki. Jazaakallaahu khairan.
Assalaamu'alaikum akhi...
Ane mau tanya mengenai hisab yang digunakan oleh sebagian kalangan untuk menentukan awal Romadhon, Syawal, dan 'Iedul Adha.
Jadi begini, mereka mengatakan bahwa para sahabat ada illat, yaitu belum ada yang bisa menghitung hisab astronomi, yang ada hanya yang bisa menghitung/hisab zakat. bagaimana itu akh?
mereka berhujjah dengan artikel : http://www.alees.com/Dr_Zulfiqar_Article.pdf. antum tau siapa Dr. Zulfikar akh?
Karena di artikel itu, pada halaman 24 disebutkan bantahan terhadap pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikul Islam Ibnul Qoyyim Aljauziyyah.
kemudian pertanyaan lainnya, ada tidak artikel KH Ahmad Dahlan memakai metode hisab untuk penentuan awal puasa?
baarokalloohu fiik
Wa'alaikumus-salaam.
Untuk sementara, saya belum ada untuk membaca dan menelaah artikel Dr. Zulfiqar.
Akan tetapi dalam hadits jelas kok 'illat-nya :
الشهر تسع وعشرون ليلة فلا تصوموا حتى تروه فإن غم عليكم فأكملوا العدة ثلاثين
”Bulan itu ada 29 malam (hari). Janganlh kalian mulai berpuasa hingga melihat bulan. Apabila ia tertutup dari pandangan kalian, maka sempurnakanlah hitungan hari (dalam satu bulan) menjadi 30 hari” [HR. Al-Bukhari no. 1907].
Jadi, 'illat dimulainya puasa adalah 'melihat bulan'. Apakah dengan hisab itu bisa mewujudkan 'illat tersebut ?. Jawabnya tidak.
Jika dikatakan bahwa orang 'Arab belum mengenal teknologi (sehingga itu dianggap sebagai faktor penghalang), seharusnya perwujudannya bukan dengan hisab - karena ia tidak bisa mewujudkan 'illat - , tapi dengan teropong atau sejenisnya. Dengan teropong, tetap akan mewujudkan 'illat yang ada dalam hadits.
Tentang ilmu astronomi, orang 'Arab dulu telah mengenalnya, meski dalam bentuk yang sederhana.
Allah berfirman :
وَعَلامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ
"Dan (Dia ciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan). Dan dengan bintang-bintang itulah mereka mendapat petuntuk" [QS. An-Nahl : 16].
Para musaafir jaman dulu telah mempu memanfaatkan 'jasa' bintang untuk menentukan arah. Begitu pula Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda dengan hadits yang saua sebut di atas, bahwa usia bulan Qamariyyah itu 29 atau 30 hari. Nash-nash ini 'membuka' peluang untuk dilakukannya hisab. Akan tetapi, Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam, para shahabat, dan para ulama setelahnya dari kalangan tabi'iin dan taabi'ut-taabi'iin sepakat untuk meninggalkan metode hisab ini. Walhasil, ini merupakan satu pentunjuk bahwa hisab memang bukan metode yang disyari'atkan dalam menentukan awal atau akhir bulan. Ia hanya dapat digunakan sebagai alat bantu saja.
Wallaahu a'lam.
Mungkin, tidak tertera diatas... tapi ini masih berkaitan tentang ramadhan..
Bagaimana tanggapan ustadz dengan mereka yang berkata:
"tidak mengapa berpuasa bersama ormas tertentu. pemerintah sendiri memberikan keluasan untuk berbeda pendapat."
sehingga mereka pun tetap berpuasa dan berhari raya bersama pemerintah.
trima kasih ustadz.
'Keluasan' pemerintah itu sendiri menurut saya terbentuk dari kengeyelan beberapa ormas akan keputusan kelompoknya dan enggan menaati keputusan pemerintah. Jadi, tetap disyari'atkan untuk berpuasa dan berbuka bersama pemerintah.
wallaahu a'lam.
Posting Komentar