SALAF
DALAM RASA TAKUT DAN MURAQABAH[1]
MEREKA KEPADA ALLAH
Dari
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ’anhu bahwasannya ia pernah berkata suatu saat
ketika sedang duduk :
إنكم في ممرِّ الليل والنهار في اجال
منقوصة، وأعمال محفوظة، والموتُ يأتي بغتة، من زرع خيراً يُوشكُ أن يَحصُدَ رغبة،
ومن زرع شرًّا يُوشكُ أن يحصد ندامةً، ولكل زارع مثل ما زرع، ولا يسبق بطيءٌ بحظه،
ولا يُدرك ُ حريص ما لم يُقدَّرْ له، فمن أُعطيَ خيرًا، فاللهُ أَعطاه، ومن وُقي
شرًّا، فاللهُ وقاه، المتقون سادة، والفقهاءُ قادة، ومجالستهم زيادة
”Sesungguhnya
kalian berada di tengah perjalanan malam dan siang, dalam ajal/usia yang selalu
berkurang, dalam amal-amal yang selalu dalam penjagaan (Allah). Sedangkan maut
senantiasa datang dengan tiba-tiba. Barangsiapa yang menanam kebaikan, niscaya
ia akan menuai kebahagiaan. Dan barangsiapa yang menanam kejelekan, niscaya ia
akan menuai penyesalan. Setiap orang yang menanam akan menuai hasil sebagaimana
yang ia tanam. Seorang yang lambat tidaklah mendahului (orang lain) dengan
keberuntungannya. Begitu juga seorang yang tamak tidaklah mendapatkan apa-apa
yang tidak ditetapkan baginya. Barangsiapa yang diberikan kebaikan, maka Allah
lah yang memberikan (kebaikan itu) kepadanya. Dan barangsiapa yang dijauhkan
dari kejelekan, maka Allah lah yang menjauhkan (kejelekan ) itu darinya.
Orang-orang yang bertaqwa itu adalah orang-orang yang mulia, dan para fuqahaa
(ahli fiqh) para pembimbung umat. Adapun duduk bermajelis dengan mereka semua
adalah keutamaan”.[2]
Dari
Ibnu Syaudzab ia berkata : ”Ketika menjelang kematiannya, Abu Hurairah radliyallaahu
’anhu sempat menangis. Maka dikatakan kepadanya : ”Apa gerangan yang
membuatmu menangis (wahai Abu Hurairah) ?”. Maka ia menjawab :
بُعد المفازة وقلة الزاد وعَقبة كؤود،
المهبط منها إلى الجنة أو النا
”Jauhnya
perjalanan, sedikitnya bekal, dan banyaknya rintangan yang menyusahkan.
Sedangkan akhir persinggahan itu bisa ke surga ataupun ke neraka”.[3]
Dari
’Ubaidillah bin Sirriy ia berkata : Ibnu Sirrin pernah berkata : ”Sungguh
akhirnya aku mengetahui dosa yang telah membawaku terlanda hutang ini. Aku
pernah berkata kepada seorang laki-laki sekitar empat puluh tahun yang lalu :
’Wahai orang yang bangkrut !’. Maka aku menceritakan hal tersebut kepada Abu
Sulaiman Ad-Daraniy, maka ia berkata :
قلَّت ذنوبهم فعرفوا من أين يُؤتَون، وكثرت
ذنوبي وذنوبك فليس ندري من أين نُؤتى
”Betapa
sedikit dosa yang mereka perbuat namun mereka mengetahui darimana datangnya.
Dan betapa banyak dosaku dosamu, namun kita tidak mengetahui darimana datangnya
dosa itu”.[4]
Dari
Qabishah bin Qais Al-’Anbariy ia berkata : ”Adalah Adl-Dlahhak bin Muzaahim
apabila datang waktu sore ia menangis. Maka dikatakan kepadanya : ’Apa gerangan
yang membuatmu menangis (wahai Adl-Dlahhak) ?’. Maka ia menjawab :
لا أدري ما صَعَدَ اليوم من عملي
“Aku
tidak tahu amalku yang mana yang naik pada hari ini”.[5]
Dari
Kinanah bin Jibillah As-Sulamiy ia berkata : Telah berkata Bakr bin ’Abdillah :
إذا رأيت مَن هو أكبر منك، فقل : هذا سبقني
بالإيمان والعمل الصالح فهو خير منى، وإذا رأيت مَن هو أصغر منك فقل : سبقْتُه إلى
الذنوب والمعاصي فهو خير مني، وإذا رأيت إخوانك يكرمونك ويعظّمونك فقل : هذا فضل
أُخذوا به، وإذا رأيت منهم تقصيرًا فقل : هذا ذنب أحدثته
”Apabila
engkau melihat orang yang lebih tua darimu maka katakanlah : Ia telah
mendahuluiku dalam keimanan dan amal shalih yang dengan ia ia lebih baik
daripadaku. Dan jika engkau melihat orang yang lebih muda darimu maka
katakanlah : Aku telah mendahuluinya dalam hal dosa dan maksiat yang dengan itu
ia lebih baik daripadaku. Apabila engkau melihat saudara-saudaramu memuliakanmu
dan menghormatimu maka katakanlah : Ini adalah keutamaan yang akan diambil
(hisabnya kelak). Dan apabila engkau melihat mereka merendahkanmu, maka
katakanlah : ’Ini adalah dosa (dari apa) yang aku perbuat”.[6]
Dari
Al-Qaasim bin Muhammad ia berkata :
كنا نسافر مع ابن المبارك فكثيرا ما كان
يخطر ببالي فأقول في نفسي : بأيّ شيء فُضِّل هذا الرجل علينا حتى اشتهر في الناس
هذه الشهر؟ إن كان يصلّي إنا لنصلي، ولإن كان يصوم إنا لنصوم، وإن كان يغزُو
فإنَّا نغزو، وإن كان يحجّ إنَّا لنحجُّ. قال فكنَّا في بعض مَسيرنا في طريق الشام
ليلةً نتعشَّى في بيت إذ طفىء السراجُ فقام بعضنا فأخذ السراج [وخرج يستصبح فمكث
هنيهة ثم جاء بالسراج] فنظرت إلى وجه ابن المبارك ولحيته قد ابتلَّت من الدموع،
فقلت في نسي : بهذه الخشية فُضِّل هذا الرجل علينا، ولعله حين فَقَد السراج فصار
إلى الظلمة ذكر القيامة
”Kami
pernah melakukan suatu perjalanan bersama Ibnul-Mubarak. Maka, seringkali
terlintas dalam pikiranku (tentang kemasyhuran Ibnul-Mubarak) hingga aku
berkata pada diriku sendiri : ’Apakah gerangan yang membuatnya laki-laki ini
mempunyai keutamaan yang lebih dibandingkan kami sehingga ia begitu
masyhur/terkenal di kalangan manusia ?. Apabila ia shalat, kami pun juga
melakukan shalat. Jika ia berpuasa, kami pun berpuasa. Jika ia berjihad, kami
pun berjihad. Dan jika ia melakukan haji, kami pun juga melakukannya”.
Al-Qaasim
pun melanjutkan : ”Maka satu ketika saat kami berada dalam sebagian perjalanan
kami menuju Syam di waktu malam, kami sedang makan malam di sebuah rumah.
Ketika itu lampu padam. Maka sebagian di antara kami berdiri untuk mengambil
lampu [keluar untuk beberapa saat untuk menyalakan lampu, kemudian datang
membawa lampu yang telah menyala]. (Setelah keadaan menjadi terang), maka aku
melihat wajah dan jenggot Ibnul-Mubarak telah basah karena air mata. Maka
akupun berkata pada diriku sendiri : ”Rasa takut inilah yang membuatnya
mempunyai keutamaan lebih dibandingkan kami. Mungkin ketika lampu tadi padam,
ia teringat akan kedahsyatan hari kiamat”.[7]
Dari
Al-Marrudzi ia berkata : ”Aku pernah bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) :
Bagaimana kabarmu di pagi hari ini ?”. Maka ia menjawab :
كيف أصبح مَن ربُّهُ يُطالبه بأداء
الفرائض، ونبيه يُطالبه بأداء السنة، والملكان يُطَلبانه بتصحيح العمل، ونفسه
تُطالبه بهواها، وإبليس يُطالبه بالفحشاء، والملكُ المَوت يقارب قبض روحه، وعياله
يُطالبونه بالنفقة؟
”Bagaimanakah
keadaan pagi seorang hamba dimana Rabb-nya senantiasa menuntutnya untuk
menunaikan kewajiban-kewajiban (yang telah ditetapkan-Nya), Nabi-nya yang
senantiasa menuntutnya untuk menunaikan Sunnah, dua orang malaikat yang
senantiasa menuntutnya untuk mengerjakan amal yang benar, nafsunya yang
senantiasa menuntutnya untuk memenuhi hawa nafsu, iblis yang senantiasa
menuntutnya untuk mengerjakan berbagai macam kekejian, malaikat maut yang
senantiasa siap mendekat untuk mencabut ruhnya, dan keluarganya yang senantiasa
menuntutnya untuk pemenuhan nafkah ?”.[8]
Diambil dari kitab Aina
Nahnu min Akhlaaqis-Salaf karya Asy-Syaikh ’Abdul-’Aziz bin Naashir
Al-Jalil, hal. 17 – 19 (dengan peringkasan); Daaru Thayyibah lin-Nasyr
wat-Tauzi’; Cet. 8/1422 H.
Ikhwah,.....
sungguh keadaan kita masih terlampau ”jauh” dibanding para pendahulu kita baik
dalam ilmu dan amal. Semoga Allah memudahkan kita untuk meniti jalan mereka di
atas kebenaran...... amien.
[1] Perasaan merasa selalu diawasi oleh Allah ta’ala.
[2] Siyaru A’lamin-Nubalaa’, 1/497.
[3] Shifatush-Shafwah, 1/694.
[4] Shifatush-Shafwah, 3/246.
[5] Shifatush-Shafwah, 4/150.
[6] Shifatush-Shafwah, 3/248.
[7] Shifatush-Shafwah, 4/145.
[8] Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 11/227.
Comments
lalu bagaimana bermuraqabah itu? bagaimana mencapai keadaaan mental selalu diawasi itu?
aamiin
Posting Komentar