عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا
رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا يا رسول
الله كأنها موعظة مودع فأوصنا قال أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع والطاعة وإن تأمر
عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين
من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة
Dari Abi Nujaih ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memberi
pelajaran kepada kami sehingga hati kami takut kepadanya dan mata mencucurkan
air mata. Kami berkata : “Wahai Rasulullah, sepertinya pelajaran ini adalah
pelajaran orang yang akan berpisah ? Oleh karena itu, berilah kami nasihat”.
Beliau bersabda : “Aku wasiatkan hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah,
mendengar dan taat kendati kalian diperintah oleh seorang budak, karena
orang-orang yang hidup (sepeninggalku) dari kalian akan melihat pertentangan
yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah
para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat)
sunnah tersebut dengan gigi geraham. Tinggalkanlah hal-hal yang baru, karena
setiap bid’ah adalah sesat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607;
At-Tirmidzi no. 2676; Ahmad 4/126-127; Ad-Darimi 1/44; Ibnu Majah no. 43,44;
Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 27; Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Atsar
2/69; Al-Baghawi no. 102; Al-Aajurriy dalam Asy-Syari’ah hal. 46;
Al-Baihaqi 6/541; Al-Lalika’i dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 81;
Al-Marwadzi dalam As-Sunnah no. 69-72; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah
5/220, 10/115; dan Al-Hakim 1/95-97. Hadits tersebut berkualitas shahih].
Banyak pelajaran yang dapat diambil terkait dengan
hadits di atas. Akan tetapi, di sini saya hanya akan sedikit menyinggung
permasalahan terkait dengan judul tema yang diangkat.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
: “Karena orang-orang yang hidup (sepeninggalku) dari kalian akan melihat
pertentangan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku
dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit
(pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham” ; adalah penjelasan dari
beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang akan terjadi pada
umat, yaitu banyaknya perselisihan dalam prinsip-prinsip agama dan
cabang-cabangnya, perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Hal ini sesuai dengan
riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang perpecahan umat
beliau menjadi tujuh kelompok dimana semua kelompok tersebut tersebut masuk
neraka kecuali satu; yaitu kelompok yang berpegang teguh dengan sunnah beliau
dan sunnah para shahabat. Dalam hadits tersebut juga terdapat perintah ketika
terjadi perselisihan agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin
sepeninggal beliau. As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya
berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan
perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para al-khulafaur-rasyidin.
Itulah sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi salaf dulu tidak
menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut.
Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail bin ‘Iyadl [Jami’ul-Ulum
wal-Hikam, hal. 341-342; Daarul-Hadits; 1424].
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan :
وفي أمره صلى الله عليه وسلم باتباع سنته وسنة الخلفاء
الراشدين بعد أمره بالسمع والطاعة لولاة الأمور عموما دليل على أن سنة الخلفاء الراشدين
متبعة كاتباع السنة بخلاف غيرهم من ولاة الأمور
“Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para al-khulafaur-rasyidin
setelah mendengar dan taat kepada pemimpin merupakan bukti bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin
harus diikuti sebagaimana halnya mengikuti sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam. Ini tidak berlaku bagi sunnah para pemimpin selain al-khulafaur-rasyidin”
[idem; hal. 342].
Dari penjelasan Ibnu Rajab tersebut jelaslah bagi
kita bahwasannya sunnah al-khulafaur-rasyidin mempunyai kedudukan khusus
yang berbeda dengan kedudukan selainnya. Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu
Salman menjelaskan (dalam ceramah beliau di Unibraw Malang tanggal 7 Desember
2004) bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin dan sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam adalah satu. Karena itulah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam bersabda : [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء
الراشدين من بعدي]; lalu
setelah itu beliau berkata : [عضوا عليها بالنواجذ] dengan
lafadh yang satu (tunggal/mufrad). Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
tidak berkata : [عضوا عليهما بالنواجذ]. Pada
hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya dari
kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabi-Nya shahabat-shahabat yang
pilihan. Abdullah bin Mas’ud pernah menegaskan tentang hal ini :
إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله
عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد
قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما
رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيء
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya
dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam
adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu
‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah,
kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka
didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya.
Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang
atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu
baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat
Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek” [HR. Ahmad no. 3600 dan
dinyatakan shahih oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir. Lihat Majma’uz-Zawaid
no. 832 dimana Al-Haitsami berkata : Rijalnya adalah tsiqat].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : “Beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam menggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para
khalifah beliau dengan sunnahnya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana beliau
memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, beliau
bersungguh-sunguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi
geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka
sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam. Namun hal itu dianggap sebagai sunnah beliau. Demikian
juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau
sebagian mereka. Karena beliau mensyaratkan hal itu dengan menjadi ketetapan
Al-Khulafaur-Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkan
ketika mereka menjadi khalifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui
bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka
itu termasuk sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin” [I’lamul-Muwaqqi’in 2/388;
Darul-Hadits; 1422].
Apa
yang menjadi ketetapan/sunnah dari Al-Khulafaur-Rasyidin memerlukan
perincian sebagaimana diterangkan oleh para ulama dalam kajian ilmu Ushulul-Fiqh.
Jikalau salah satu atau lebih dari Al-Khulafaur-Rasyidin tersebut
berkata atau berbuat tanpa ada pertentangan dari yang lain, maka inilah sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin
yang diterima. Bahkan inilah yang disebut ijma’. Kesepakatan Al-Khulafaur-Rasyidin
adalah ma’shuum. Hal ini didasari oleh hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary
radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda :
إن الله تعالى قد أجار أمتي
من أن تجتمع على ضلالة
“Sesungguhnya
Allah telah melindungi umatku dari bersepakat di atas kesesatan” [Shahih
bi syawahidihi sebagaimana penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah
no. 80-85].
Adapun
jika terdapat perselisihan pendapat, maka hal itu dirinci :
1.
Jikalau yang berselisih
pendapat itu salah satu atau lebih pembesar shahabat (Al-Khulafaur-Rasyidin,
Ibnu ‘Abbas, atau Ibnu Mas’ud) di satu pihak dengan selain mereka di pihak
lain; maka pendapat yang diunggulkan adalah pendapat para pembesar shahabat
dengan syarat tidak bertentangan (kontradiktif) dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahiihah.
2.
Jikalau yang berselisih
pendapat itu antar pembesar shahabat, maka dalam hal ini tidak ada kecondongan.
Pendapat yang dipilih adalah yang paling dekat dengan dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah
Ash-Shahihah).
Mungkin
dari sini timbul pertanyaan : “Apakah Sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin
tersebut bukan merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?”. Maka kita
jawab : Bukan !! Perhatikan hadits ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu
di atas. Penyebutan [وإياكم ومحدثات الأمور]
“Tinggalkanlah hal-hal yang baru” ; diucapkan setelah kalimat [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ] “Maka,
hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin
yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan
gigi geraham”. Ini menunjukkan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin dan para
shahabat lainnya yang telah diterima bukanlah sesuatu hal yang muhdats
(sehingga disebut bid’ah). Apalagi jika hal itu adalah ijma', maka kedudukannya
semakin kuat sebagaimana tertandas dalam hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary di
atas.
Contoh
dalam kasus ini dapat saya cuplikkan dari penjelasan Ibnu Rajab Al-Hanbali
dalam Jami’ul-Ulum wal-Hikam; yaitu tentang beberapa keputusan ‘Umar bin
Khaththab radliyallaahu ‘anhu di masa pemerintahannya yang kemudian
disepakati oleh para shahabat lainnya di masa itu. Misalnya keputusan ‘Umar bin
Khaththab tentang masalah warisan seperti al-aul, dan dalam masalah
suami dan ibu bapak, serta istri dan bapak-ibu bahwa ibu mendapat sepertiga
dari sisa warisan. Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang
orang yang melakukan hubungan suami-istri hendaknya orang tersebut tetap
melanjutkan ibadah hajinya namun ia wajib menggantinya di tahun lain dan
menyembelih unta. Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang
istri orang hilang dan kesamaan pendapatnya dengan khalifah lain dari keempat
khalifah. Contoh lain adalah kesepakatan Umar bin Khaththab dengan para shahabat
tentang talak tiga dan keharaman mut’ah bagi para wanita. Contoh lain adalah
perbuatan ‘Umar bin Khaththab membentuk dewan, menentukan pajak terhadap lahan
yang dikuasai kaum muslimin dengan senjata, pemberian jaminan kepada orang
kafir dzimmi dengan syarat-syarat yang disyaratkan kepada mereka, dan
lain-lain.
Kebenaran
kesepakatan ‘Umar bin Khaththab dengan para shahabat yang tidak ada penentangan
di dalamnya semasa kekhalifahannya diperkuat oleh sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam :
رأيتني في المنام أنزع على
قليب فجاء أبو بكر فنزع ذنوبا أو ذنوبين وفي نزعه ضعف والله يغفر له ثم جاء عمر بن
الخطاب فاستحالت غربا فلم أر أحدا يفري فريه حتى روى الناس وضربوا بعطن وفي رواية فلم
أر عبقريا من الناس ينزع نزع ابن الخطاب وفي رواية أخرى حتى تولى الحوض يتفجر
“Di
mimpiku aku melihat diriku menarik air dari sumur kemudian Abu Bakar datang
lalu menarik air beberapa timba atau dua timba, namun tarikannya lemah. Lalu
Allah mengampuninya. Kemudian anak Khaththab (Umar) datang, lalu timba-timba
tersebut menjadi besar. Aku tidak melihat orang yang bekerja secermat ‘Umar
hingga manusia minum dengan puas dan unta mereka minum dengan puas serta
berhenti di mata air”. Di riwayat lain : “Aku tidak melihat orang cerdas
dari manusia yang menarik seperti tarikan anak Khaththab”. Di riwayat lain
: “Hingga ia pergi sedang kolam tetap memancarkan air” [Diriwayatkan
oleh Imam Ahmad 2/368, Al-Bukhari no. 3664, dan Muslim no. 2392. Hadits
tersebut dishahihkan oleh Ibnu Hibban no. 6898].
Itu
merupakan pertanda bagi ‘Umar bin Khaththab tidaklah wafat hingga ia meletakkan
segala hal pada tempatnya dan segala sesuatu menjadi tegak. Ini disebabkan
karena masa kekhalifahannya lama, konsentrasi dan perhatiannya terhadap segala
peristiwa. Ini berbeda dengan masa kekhalifahan Abu Bakar yang singkat. Beliau
sibuk dengan penaklukan dan pengiriman pasukan untuk perang yang menyebabkan
tidak bisa konsentrasi terhadap segala peristiwa. Bisa jadi, peristiwa terjadi
di jaman Abu Bakar, namun tidak dilaporkan kepadanya dan baru dilaporkan pada
masa kekhalifahan ‘Umar bin Khaththab. Hingga pada akhirnya ‘Umar bin Khaththab
pada masa kekhalifahannya mampu membawa manusia kepada kebenaran.
Sedangkan
hal-hal yang tidak disepakati ‘Umar bun Khaththab dengan para shahabat dan
‘Umar mempunyai pendapat pribadi di dalamnya, maka orang lain boleh berbeda
pendapat dengannya, seperti dalam masalah kakek dengan saudara-saudara
laki-laki dalam masalah warisan dan masalah talak tiga sekaligus; maka pendapat
‘Umar bin Khaththab dalam masalah tersebut bukan merupakan hujjah bagi orang
lain dari para shahabat. Wallaahu a’lam [selesai nukilan dari Jami’ul-Ulum
wal-Hikam hal. 344-355].
Contoh
di atas memberi gambaran kepada kita bahwa apa yang disepakati oleh para
shahabat merupakan hujjah dan apa yang mereka perselisihkan harus ditinjau mana
yang lebih dekat dengan kebenaran.
Lantas,….
apakah seorang shahabat atau salah satu dari Al-Khulafaur-Rasyidin bisa
dikatakan berbuat salah jika mereka berijtihad bertentang dengan sunnah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ? Maka kita jawab : Ya, bisa ! Para
shahabat bahkan bisa berbuat kesalahan atas ijtihad mereka. Contohnya adalah
sebagai berikut :
أن عثمان رضي الله عنه صلى
بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم
ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها
, ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين
Bahwasannya
‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka
berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku
shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dua
raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan
bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna
(empat raka’at – tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah
memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap
menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam)…….. [HR. Abu Dawud 1/307. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no.
224].
Dalam
hadits di atas telah diceritakan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan melakukan shalat
tamam empat raka’at ketika di Mina yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh
para pendahulunya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan ‘Umar).
Maka perbuatan ‘Utsman tersebut diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud. Dalam hal
ini, yang benar adalah bahwa shalat di Mina (ketika mabit dalam ibadah haji)
dilakukan secara qashar. Bukan tamam.
Contoh
lain adalah tentang masalah nikah mut’ah. Ibnu ‘Abbas dan sebagian kecil
shahabat lain (Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Salamah bin Umayyah bin Khalaf, dan
Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf radliyallaahu ‘anhum) membolehkan nikah mut’ah.
Tentu hal ini bertentangan dengan pendapat jumhur shahabat dan juga apa yang
telah shahih dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka, apa
yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma tersebut
tidaklah teranggap, walau beliau di kalangan shahabat merupakan pembesar/ulama.
أن عليا رضى الله تعالى عنه
قال لابن عباس إن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر الأهلية زمن
خيبر
Bahwasannya
‘Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu : “Sesungguhnya Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan melarang makan
daging himar jinak (yang dipakai alat angkut) di masa perang Khaibar” [HR.
Bukhari no. 4825].
Bahkan
ada riwayat yang menyatakan kerasnya penyelisihan sebagian shahabat terhadap
pendapat Ibnu ‘Abbas tersebut sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Syihab,
dia menyatakan : “Telah memberitahukan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair :
أن عبد الله بن الزبير قام
بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه
فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين يريد رسول الله
صلى الله عليه وسلم فقال له بن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك
Bahwa
Abdullah bin Az-Zubair pernah menjadi khathib di Makkah, waktu itu beliau
mengatakan : “Sesungguhnya sebagian orang telah dibutakan Allah mata hatinya
sebagaimana Allah telah membutakan matanya, yaitu mereka berfatwa tentang
bolehnya bikah mut’ah”. Beliau menyindir seseorang, maka orang tersebut
memanggil Abdullah bin Az-Zubair dan berkata : “Sesungguhnya engkau adalah
orang yang kaku dan keras. Demi umurku, sesungguhnya mut’ah telah dilakukan di
jaman pimpinan orang-orang yang bertaqwa (yaitu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam)”. Maka berkatalah Abdullah bin Az-Zubair kepada orang
tersebut : “Silakan kamu mencoba sendiri (yaitu nikah mut’ah). Demi Allah,
kalau seandainya kamu melakukannya, maka aku akan merajammu dengan batu”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Imam
An-Nawawi menerangkan bahwa yang berdebat dengan Abdullah bin Az-Zubair waktu
itu adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.
Inti
yang ingin saya katakan adalah bahwa : Perselisihan di kalangan shahabat tetap
harus dikembalikan kepada nash, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah.
Dalam kasus Ibnu ‘Abbas, tidak boleh kita bermut’ah hanya karena mengikuti
ijtihad beliau. Mungkin hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
belum sampai padanya dengan jelas sehingga para shahabat dengan keras
mengingkarinya. Tetap kita katakan bahwa pendapat Ibnu ‘Abbas itu salah.
Itulah
sedikit yang bisa saya sampaikan. Ringkas memang, tapi harapan saya dapat
memberikan sedikit gambaran tentang realitas kehujjahan shahabat dan berbagai
khilaf yang mungkin timbul di antara mereka sehingga kita bisa arif untuk
menyikapinya.
Abul-Jauzaa'
Al-Atsary
Comments
saya mau tanya pa.
sunnah khulafaur rasyidin harus diikuti, bagaimana jika ada sunnah khulafaur rasyidin yang berlainan dengan sunnah rasul, misalkan adzan jum'at 2 kali,, sdngkn rasul cuma menconthkn 1 kali, mana yg hrus dpilih?
siapa saja khulafaur rasyidin itu? apa yang 4 orang shabat itu? berarti mengikuti sunnah khulafaur rasydin yaitu mengikuti yang 4 orang, jadi apa shahabat yang lain tidak harus diikuti?
Assalaamu'alaikum warohmatullahi wabarokaatuh.
Ustadz kapankah istilah Khulafaur Rasyidin pertama digunakan dan disematkan kepada khalifah yg 4?
Atau sewaktu menyampaikan hadits ini istilah tersebut merefer kepada seluruh sahabat?
Syukron jazakallahu khoir
assalamu'alaikum yaa ustadz Abul Jauzaa,.
benarkah apa yg dikatakan oleh Mantan Kyai NU diatas ??
benarkah status hadits tersebut lemah ??
ini alamat web-nya :
mantankyainu.blogspot.in/2012/08/kelemahan-hadis-maka-ikutilah-sunnahku.html?m=1
atas waktunya saya ucapkan terimakasih.
Tidak benar tulisan itu. Silakan baca takhrijnya di artikel : Takhrij Hadits Al-‘Irbaadl bin Saariyyah : Wajib Atas Kalian untuk Berpegang kepada Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin.
saya pun mempunyai persangkaan terhadap dia, postingan dia pun sangat rancu di mata saya.
dan atas kesudihan dari antum menjawab pertanyaan saya. saya ucapkan terimakasih.
jazakallahu khayr wa barakallahu fiik wa awwadhaka khayran, yaa Ustadz Abul Jauzaa’ ..
assalamu'alaikum sang Mantan ?!
mungkin antum dapat mempertimbangkan postingan antum dengan postingan al-Ustadz Abul Jauzaa’ hafizhahullah yang ada dibawah ini :
abul-jauzaa.blogspot.in/2009/11/takhrij-hadits-al-irbaadl-bin-saariyyah.html?m=1
-terimakasih.
Posting Komentar