Oleh
: Al-Ustadz Abu ‘Ubaidah Yusuf bin Mukhtar As-Sidawi
Sesungguhnya menjaga dan
menyelamatkan agama lebih mulia dan lebih utama daripada hanya sekedar
menyelamatkan dunia. Untuk itulah, Allah ’azza wa jalla memerintahkan
kaum muslimin yang tertindas, terfitnah agamanya, tidak kuasa menegakkan
syi’ar-syi’ar Islam agar melakukan hijrah atau meninggalkan kampung yang rusak
menuju kampung yang bisa menyelamatkan agamanya. Allah berfirman :
يَا عِبَادِيَ
الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ أَرْضِي وَاسِعَةٌ فَإِيَّايَ فَاعْبُدُونِ
”Hai hamba-hamba-Ku yang beriman, sesungguhnya
bumi-Ku luas, maka sembahlah Aku saja.” [QS. Al-Ankabuut : 56].
إِنَّ الَّذِينَ
تَوَفَّاهُمُ الْمَلائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا
كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الأرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ
وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ
مَصِيرًا
”Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat
dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:
"Dalam keadaan bagaimana kamu ini?". Mereka menjawab: "Adalah
kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)". Para malaikat berkata:
"Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi
itu?". Orang-orang itu tempatnya neraka Jahanam, dan Jahanam itu
seburuk-buruk tempat kembali” [QS. An-Nisaa’ : 97].
Al-Hafidh Ibnu Katsir rahimahullah
berkata : ”Ayat yang mulia ini turun mencakup untuk setiap orang yang tinggal
di tengah-tengah orang-orang musyrik sedangkan ia mampu hijrah dan dia tidak mampu
untuk menegakkan agama, maka sesungguhnya dia mendhalimi dirinya dan melakukan
keharaman dengan ijma’ ulama dan berdasarkan ketegasan ayat ini”.[1]
Imam Ibnu Qudamah rahimahullah
berkata : ”Ini adalah ancaman yang sangat keras, yang menunjukkan wajib, sebab
menegakkan kewajiban agama hukumnya wajib bagi yang mampu, sedangkan tidak
mungkin hal itu terpenuhi kecuali dengan hijrah, maka hijrahnya jadi ikut
wajib”.[2]
Dan tidak ragu lagi bahwa
keumuman ayat ini juga mencakup lebih dari sekedar hijrah dari negeri kafir,
sebagaimana ditegaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam Tafsirnya 5/346, katanya : ”Dalam
ayat ini terdapat dalil tentang hijrah dari kampung yang banyak maksiat di
dalamnya. Sa’id bin Jubair berkata : ”Apabila banyak kemaksiatan di suatu
kampung, maka keluarlah dari kampung itu, beliau seraya membaca ayat di atas”.[3]
Namun, anehnya masih banyak
kalangan yang belum memahami masalah hijrah ini atau ada yang mengerti tapi
karena cinta dunia maka diapun melalaikannya. Tak cukup hanya itu, tatkala ada
seorang ulama Sunnah yang berfatwa sesuai dalil, maka mereka dengan kejahilan
dan kecintaan dunianya menudingnya sebagai antek Yahudi, setan, gila, dan
gelar-gelar memalukan lainnya ! Oleh karena itu, kami merasa penting untuk
membahas masalah ini untuk menghilangkan kabut yang menghalangi terangnya
matahari. Wallaahu a’lam.
TEKS HADITS
عَنْ مُعَاوِيَةَ
قَالَ : سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُوْلُ : لا
تَنْقَطِعُ الْهِجْرَةُ حَتَّى تَنْقَطِعَ التَّوْبَةُ وَلاَ تَنْقَطِعُ
التَّوْبَةُ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ مِنْ مَغْرِبِهَا
Dari Mu’awiyyah, dia berkata : Saya mendengar
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda : ”Hijrah tidak terputus
sehingga taubat terputus, dan taubat tidak terputus sehingga matahari terbit
dari barat”.
Shahih. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 4/99, Abu Dawud 2479,
Ath-Thabarani 19/387/907, Al-Baihaqi 9/17, Ad-Darimi 2513, Nasa’i 8711, Abu
Ya’la 737. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 1208.
Sebagian orang mengira bahwa
hadits-hadits di atas telah dihapus secara mutlak dengan hadits :
لَا هِجْرَةَ بَعْدَ الْفَتْحِ
وَلَكِنْ جِهَادٌ وَنِيَّةٌ، وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوا
”Tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, tetapi
(yang ada adalah) jihad dan niat. Maka apabila kalian diperintahkan jihad, maka
berangkatlah” [HR. Bukhari 3077 dan Muslim 1353].
Sungguh, ini adalah kejahilan
yang nyata terhadap Al-Qur’n, hadits, dan ucapan para imam.[5]
Berikut ini beberapa untaian ilmu ulama yang menjelaskan bahwa hijrah tetap ada
hingga hari kiamat dan tidak ada kontradiksi antara hadits pembahasan dengan
hadits ini serta fatwa-fatwa mereka untuk hijrah di saat keadaan menuntutnya :
1.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata : ”Kedua hadits ini benar. Hadits pertama maksudnya adalah hijrah yang
ada pada jaman Nabi, yaitu hijrah ke Madinah baik dari Makkah atau
negeri-negeri Arab lainnya. Hijrah ini disyari’atkan tatkala Makkah dan lainnya
masih sebagai negeri kafir dan keimanan ada di Madinah, sehingga bagi orang
yang mampu dia wajib hijrah dari negeri kafir menuju negeri Islam. Tatkala kota
Makkah telah ditaklukkan dan menjadi negeri Islam dan orang-orang Arab masuk
Islam, maka Nabi bersabda : Tidak ada
hijrah setelah Fathu Makkah.
Adapun penilaian bahwa negara
ini negara Islam atau kafir atau fasiq, ini tergantung kepada penduduknya.
Kalau memang penduduk negara tersebut adalah orang-orang beriman, maka itu
adalah negara Islam. Tapi jika penduduknya adalah orang-orang kafir maka itu
adalah negara kafir pada saat itu. Dan jika suatu saat penduduknya berganti,
maka nama negaranya juga berganti”.[6]
2.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah
berkata setelah membawakan hadits-hadits tentang hijrah setelah Fathu Makkah
: ”Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hijrah telah terputus setelah Fathu
Makkah, karena manusia telah masuk agama Allah dengan berbondong-bondong,
Islam telah nampak menang, pondasi-pondasinya kuat, maka tidak perlu hijrah. Kecuali bila muncul suatu keadaan yang
menuntut hijrah karena jajahan orang-orang kafir dan tidak mampu menampakkan
agama di tengah-tengah mereka, maka ketika itu hijrah menuju negeri Islam
hukumnya wajib. Hal ini tidak ada perselisihan di kalangan ulama”. [7]
3.
Imam Nawawi rahimahullah
berkata : ”Makna tidak ada hijrah setelah Fathu Makkah, yakni tidak ada hijrah
dari Makkah karena Makkah telah menjadi negara Islam”.[8]
Beliau juga berkata : ”Apabila seorang muslim merasa lemah di negara kafir, dia
tidak mampu menampakkan agama Allah, maka haram baginya tinggal di tempat
tersebut dan wajib baginya hijrah ke negeri Islam.... Apabila dia tidak mampu
hijrah, maka dia diberi udzur sampai dia mampu”.[9]
4.
Imam Ibnul-’Araby Al-Maliki rahimahullah
berkata : ”Keluar dari negara kafir ke negara Islam. Dahulu wajib di jaman
Nabi, dan hijrah ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat”.[10]
5.
Al-’Aini rahimahullah
berkata : ”Adapun hijrah dari tempat yang seseorang tidak bisa menampakkan
agama di dalamnya, maka hal itu merupakan kewajiban dengan kesepakatan ulama” [’Umdatul-Qaari’ 14/80].
6.
Syaikh Abdul-Lathif bin
’Abdirrahman rahimahullah berkata : ”Karena dosa ini, yakni tidak hijrah
termasuk dosa besar yang pelakunya terancam dengan ancaman yang keras
berdasarkan Al-Qur’an dan kesepakatan ahli ilmu kecuali bagi orang yang bisa
menampakkan agamanya...” [Ad-Durarus-Saniyyah
hlm. 146].
7.
Syaikh ’Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah
berkata : ”Keterangan ahli ilmu dalam masalah ini banyak sekali. Mereka semua
bersepakat tentang wajibnya hijrah apabila seseorang tidak mampu menampakkan
agamanya; dan sunnah hukumnya apabila seseorang mampu menampakkan agamanya.
Setelah ini, tidak boleh bagi seseorang untuk keluar dari ucapan mereka..” [Majmu’atul-Kamilah 7/69].
8.
Para ulama besar Islam dalam
kurun waktu yang berbeda dan dalam keadaan yang mirip, mereka mengeluarkan
fatwa untuk hijrah, seperti Al-’Allamah Muhammad Al-’Abdusi (849 H) terhadap
penduduk Granada – salah satu kota di Andalusia (Spanyol) – ketika jatuh ke
tangan orang-orang kafir sebagaimana dalam kitab Al-Hadiqah Al-Mustaqillah An-Nadhiirah.
Demikian juga Al-’Allamah
Ahmad bin Yahya Al-Wansyari (914 H) mengeluarkan fatwa tentang wajibnya hijrah dari
Andalusia bagi mereka yang tertimpa fitnah dalam agama dan jiwanya sehingga
beliau menulis buku khusus berjudul : ”Asna
Al-Matajir Fii Bayaani Ahkaami Man Ghalaba ’alaa Wathanihi An-Nashaaraa wa lam
Yuhaajir ww Maa Yatarattabu ’alaihi Minal-’Uquubbaat waz-Zawaajir”.
Demikian juga Syaikhul-Islam
Ibnu Taimiyyah (748 H) tatkala ditanya tentang penduduk Mardin, sebuah kota di
Syam yang dijajah musuh Islam saat itu, apakah mereka wajib hijrah ? Beliau
menjawab : ”Penduduk di sana yang tidak mampu menegakkan agamanya, maka wajib
berhijrah. Bila masih mampu, maka hukumnya sunnah, tidak wajib”.[11]
Masih banyak lagi sebenarnya
ucapan ulama tentang permasalahan ini, namun semoga apa yang kami nukil di atas
telah mencukupi. Wallaahu a’lam.
MAKNA HIJRAH
Hijrah secara bahasa artinya
meninggalkan, berpisah, atau menjauhi [12],
seperti firman Allah tentang Nabi Ibrahim :
إِنِّي مُهَاجِرٌ
إِلَى رَبِّي
”Sesungguhnya aku akan berpindah ke Rabb-ku” [QS. Al-Ankabut : 26].
Adapun maksudnya di sini
adalah berpindah dari negeri kafir menuju negeri Islam, seperti kalau ada
seorang muslim tinggal di Amerika dan dia tidak mampu menampakkan agamanya di
sana, lalu dia pindah ke negeri Islam. Maka ini disebut hijrah.
Negara kafir yaitu negara yang
nampak syi’ar-syi’ar kekufuran dan tidak nampak di sana syi’ar-syi’ar Islam
seperti adzan, shalat jama’ah, shalat Jum’at, ’Ied, dan sebagainya secara
merata. Adapun negara Islam adalah negara yang nampak di sana syi’ar-syi’ar
Islam secara merata.[13]
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah
berkata : ”Hijrah bermakna meninggalkan, dan dalam syara’ adalah meninggalkan apa
yang dilarang oleh Allah. Hijrah dalam Islam itu ada dua :
Pertama : Berpindah dari kampung yang
tidak aman menuju kampung yang aman, seperti dalam hijrah ke Habasyah atau awal
hijrah dari Makkah ke Madinah.
Kedua : Berpindah dari negeri kafir menuju negeri Iman.
Hal ini setelah Nabi menetap di Madinah dan kaum muslimin yang mampu telah
berhijrah ke sana. Waktu itu, hijrah hanya khusus ke Madinah sampai kota Makkah
ditaklukkan maka kekhususan itu tidak berarti lagi, sehingga hijrah menjadi
umum dari setiap negeri kafir bagi yang mampu”.[14]
MACAM-MACAM HIJRAH
Saudaraku, ketahuilah bahwa
hijrah ada tiga macam :
1. Hijrah tempat.
Inilah yang dimaksud dalam
hadits pembahasan ini. Hukum hijrah ini adalah wajib bagi setiap muslim yang
tidak bisa menegakkan syi’ar-syi’ar Islam di negeri kafir.
2. Hijrah amal (perbuatan)
Yakni meninggalkan dosa dan
kemaksiatan. Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ
”Dan
Al-Muhaajir adalah orang yang meninggalkan larangan Allah” [HR. Bukhari 6484 dan Muslim
41].
3. Hijrah amil (orang yang berbuat)
Yakni meninggalkan ahli bid’ah
dan kemaksiatan bila hajr membuatnya jera dari bid’ah dan kemaksiatannya.
Adapun bila dalam hajr tidak ada maslahatnya, maka tidak perlu dihajr.
Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam bersabda :
لَا يَحِلُّ لِرَجُلٍ أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلَاثِ
لَيَالٍ، يَلْتَقِيَانِ فَيُعْرِضُ هَذَا وَيُعْرِضُ هَذَا، وَخَيْرُهُمَا الَّذِي
يَبْدَأُ بِالسَّلَامِ
”Tidak
halal bagi seorang mukmin untuk menghajr saudaranya lebih dari tiga hari,
keduanya saling bertemu dan masing-masing berpaling, dan yang lebih baik dari
keduanya adalah yang memulai salam” [HR. Bukhari 6077 dan Muslim 2560].[15]
TINGGAL DI NEGERI KAFIR
Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu
’alaihi wasallam bersabda :
أَنَا بَرِيءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيمُ بَيْنَ أَظْهُرِ
الْمُشْرِكِينَ
”Saya berlepas diri dari seorang muslim yang
tinggal di tengah-tengah musyrikin” [HR. Abu Dawud 2645, Tirmidzi 1604, Ath-Thabarani
dalam Mu’jamul-Kabiir 2264, dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghaliil
1207].
Ibnu ’Arabi As-Shufi pernah
berkata : ”Wajib bagimu untuk hijrah dan jangan tinggal di tengah-tengah orang
kafir, karena hal itu akan menghinakan agama Islam dan meninggikan kalimat
kekufuran di atas kalimat Allah. Sesungguhnya Allah tidak memerintahkan perang
kecuali untuk meninggikan kalimat Allah dan merendahkan kalimat kekufuran.
Ketahuilah bahwa orang yang tinggal di tengah-tengah orang-orang kafir padahal
dia mampu untuk keluar dari mereka, tidak ada baginya bagian dalam Islam, karena
Nabi telah berlepas darinya”.[16]
Syaikh Ibnu ’Utsaimin rahimahullah
berkata : ”Tinggal di negeri kafir sangat berbahaya sekali bagi agama
seorang muslim, akhlaq, dan adabnya. Kami telah menyaksikan dan juga selain
kami, betapa banyak kalangan yang tinggal bersama mereka kemudian pulang
menjadi orang-orang fasiq. Bahkan ada yang murtad dari agama Islam. Kita berlndung
kepada Allah. Sehingga mereka menolak agama Allah dan mencela agama Islam serta
orang-orang yang berpegang kepada agama Islam. Oleh karena itu, harus hati-hati
dan dibuat persyaratan agar tidak terjatuh dalam kubang kehancuran tersebut.
Jadi, tinggal di negeri kafir harus terpenuhi dua syarat utama :
Pertama : Terjaga agamanya orang
tersebut, dimana dia memiliki ilmu dan iman sehingga dia bisa tegar di atas
agamanya dan dapat menangkis segala kerancuan dan penyimpangan, serta
menampakkan permusuhan terhadap orang-orang kafir, karena loyalitas kepada
mereka bertentangan dengan keimanan.
Kedua : Dia mampu menampakkan agamanya dengan
menjalankan syi’ar-syi’ar Islam tanpa ada larangan seperti melaksanakan shalat
Jum’at, jama’ah, zakat, puasa, haji, dan syi’ar-syi’ar yang lainnya. Bila dia
tidak mampu untuk menegakkannya, maka tidak boleh baginya untuk tinggal di sana
dan dia wajib hijrah”.[17]
MACAM-MACAM ORANG YANG TINGGAL DI NEGERI
KAFIR
Seorang muslim yang tinggal di
negeri kafir bermacam-macam keadaannya :
1.
Dia mampu
hijrah dan tidak memapu menampakkan agamanya. Golongan ini wajib untk
hijrah sebagaimana dalil-dalil di atas. Apalagi kita harus ingat bahwa banyak
sekali bahaya dan dampak negatif tinggal di negeri kafir, di antaranya :
a.
Seorang muslim akan mendapat
kerancuan dalam ’aqidah dan agamanya.
b.
Banyak faktor yang membuatnya
menyimpang dan tersesat.
c.
Akan ikut-ikutan dengan gaya
hidup barat.
d.
Akhlaqnya akan menjadi rusak
dan dia akan terjatuh dalam lubang kenistaan.
2.
Orang
yang tidak mampu hijrah dan tidak mampu untuk menampakkan agamanya, seperti lanjut usia, sakit
berkepanjangan, orang yang yang disandera, dipaksa, atau orang-orang lemah
seperti wanita dan anak-anak.
Golongan ini tidak wajib hijrah
dan boleh tetap tinggal di negeri kafir.
إِلا الْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ
وَالْوِلْدَانِ لا يَسْتَطِيعُونَ حِيلَةً وَلا يَهْتَدُونَ سَبِيلا * فَأُولَئِكَ
عَسَى اللَّهُ أَنْ يَعْفُوَ عَنْهُمْ وَكَانَ اللَّهُ عَفُوًّا غَفُورًا
”Kecuali
mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita atau pun anak-anak yang tidak
mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah), mereka itu,
mudah-mudahan Allah memaafkannya. Dan adalah Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun” [QS. An-Nisaa’ : 98-99].
3.
Mampu
untuk hijrah dan dia mampu menampakkan agamanya. Golongan ini disunnahkan
untuk hijrah (tidak wajib) untuk memperkuat kekuatan kaum muslimin dan
memperbanyak jumlah mereka. Apalagi hal itu banyak maslahat yang akan didapat seperti
menyaksikan jenazah, menjenguk orang sakit, menebarkan salam, dan sebagainya.
وَمَنْ يُهَاجِرْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ يَجِدْ فِي الأرْضِ
مُرَاغَمًا كَثِيرًا وَسَعَةً وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى
اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى
اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
”Barangsiapa berhijrah di jalan Allah, niscaya mereka
mendapati di muka bumi ini tempat hijrah yang luas dan rezeki yang banyak.
Barang siapa keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan
Rasul-Nya, kemudian kematian menimpanya (sebelum sampai ke tempat yang dituju),
maka sungguh telah tetap pahalanya di sisi Allah. Dan adalah Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nisaa’ : 100].
4.
Mampu
berdakwah dan menampakkan agamanya, serta membawa kemaslahatan yang banyak bagi
kaum muslimin. Golongan ini disunnahkan untuk tetap tinggal di negeri kafir tersebut.
Dan tidak ragu lagi bahwa kaum
muslimin apabila telah menaklukkan suatu negeri kafir atau telah sepakat dengan
para penduduknya untuk diperlakukan hukum Islam pada mereka, maka tidak boleh
bagi seorang muslim untuk hijrah darinya karena dia telah menjadi negara Islam.[18]
FATWA AL-ALBANI TENTANG PALESTINA
Di antara faktor pendorong
kami untuk mengulas masalah ini adalah banyaknya suara sumbang akhir-akhir ini yang
mengangkat masalah ini dengan tujuan untuk memojokkan imam ahli hadits besar
abad ini, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani.
Perhatikan bersamaku ucapan
sebagian mereka : ”Sebagian pakar menganggap fatwa Al-Albani ini membuktikan bahwa
logika yang dipakai Al-Albani adalah logika Yahudi, bukan logika Islam. Karena
fatwa ini sangat menguntungkan orang-orang yang berambisi menguasai Palestina.
Mereka menilai fatwa Al-Albani ini menyalahi sunnah, dan sampai pada tingkatan
pikun. Bahkan Dr. ’Ali Al-Fuqayyir, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Yordania
menilai bahwa fatwa ini keluar dari setan”.[19]
Sebagian lagi mengatakan :
”Barangkali saja Syaikh Al-Albani saat berfatwa tentang Palestina sedang tidak
membawa buku ’aqidah salaf !” [20].
Dan kata-kata sejenisnya yang bernada melecehkan !!
Oleh karena itu, kami merasa
terpanggil untuk menjelaskan duduk permasalahan fatwa beliau sebenarnya dalam
beberapa point berikut [21]
:
1.
Hijrah dan jihad terus
berlanjut hingga hari kiamat.
2.
Fatwa tersebut tidak
diperuntukkan kepada negeri atau bangsa tertentu.
3.
Nabi Muhammad sebagai Nabi
yang mulia, beliau hijrah dari kota yang mulia, yaitu Makkah.
4.
Hijrah hukumnya wajib ketika
seorang muslim tidak mendapatkan ketetapan dalam tempat tinggalnya yang penuh
dengan ujian agama, dia tidak mampu untuk menampakkan hukum-hukum syar’i yang
dibebankan Allah kepadanya, bahkan dia khawatir terhadap cobaan yang menimpa
dirinya sehingga menjadikannya murtad dari agama. Inilah inti fatwa Syaikh
Al-Albani yang seringkali disembunyikan !!
5.
Apabila seorang muslim
menjumpai tempat terdekat dari tempat tinggalnya untuk menjaga dirinya,
agamanya, dan keluarganya, maka hendaknya dia hijrah ke tempat tersebut tanpa
harus ke luar dari negerinya, karena hal itu lebih mudah baginya untuk kembali
ke kampung halamannya bila fitnah telah selesai.
6.
Hijrah sebagaimana
disyari’atkan dari negara ke negara lainnya, demikian pula juga dari kota ke
kota lainnya, atau dari desa ke desa lainnya yang masih di dalam negeri.
Hal ini juga banyak dilalaikan
oleh para pendengki tersebut, sehingga mereka berkoar di atas mimbar dan
menulis di koran-koran bahwa Syaikh Al-Albani memerintahkan penduduk Palestina untuk
keluar darinya ! Demikianlah, tanpa perincian dan penjelasan !!
7.
Tujuan hijrah adalah untuk
mempersiapkan kekuatan untuk melawan musuh-musuh Islam dan mengembalikan hukum
Islam seperti sebelumnya.
8.
Semua ini apabila ada
kemampuan. Apabila seorang muslim tidak mendapati tanah untuk menjaga diri dan
agamanya kecuali tanah tempat tinggalnya tersebut; atau ada halangan-halangan
yang menyebabkan dia tidak bisa hijrah; atau dia menimbang bahwa tempat yang
dia hijrahi ke sana sama saja; atau dia yakin bahwa keberadaannya di tempatnya
lebih aman untuk agama, dirinya, dan keluarganya; atau tidak ada tempat hijrah
kelcuali ke negeri kafir juga; atau keberadaannya untuk tetap tinggal lebih
membawa maslahat yang lebih besar, baik maslahat untuk umat atau untuk
mendakwahi musuh dan dia tidak khawatir terhadap agama dan dirinya; maka dalam
keadaan seperti ini hendaknya dia tetap tinggal di tempat tinggalnya. Semoga
dia mendapat pahala hijrah.
Demikian juga dalam kasus
Palestina secara khusus. Syaikh Al-Albani mengatakan : ”Apakah di Palestina ada
sebuah desa atau kota yang bisa dijadikan temapt untuk tinggal dan menjaga
agama dan aman dari fitnah mereka ?! Kalau memang ada, maka hendaknya mereka
hijrah ke sana dan tidak keluar dari Palestina, karena hijrah di dalam negeri
adalah mampu dan memenuhi tujuan”.
Demikianlah perincian Syaikh
Al-Albani. Lantas apakah setelah itu kemudian dikatakan bahwa beliau berfatwa
untuk mengosongkan tanah Palestina atau untuk menguntungkan Yahudi ?!! Diamlah
wahai para pencela dan pendengki, sesungguhnya kami berlindung kepada Allah
dari kejahilan dan kedhaliman kalian !
9.
Hendaknya seorang muslim
meyakini bahwa menjaga agama dan ’aqidah lebih utama daripada menjaga jiwa dan
tanah.
10.
Anggaplah Syaikh Al-Albani
keliru dalam fatwa ini. Apakah kemudian harus dicaci-maki dan divonis dengan
sembarangan kata ?!! Bukankah beliau telah berijtihad dengan ilmu, hujjah, dan
kaidah ?!! Bukankah seorang ulama apabila berijtihad, dia mendapatkan dua
pahala jika benar dan satu pahala jika salah ?! Lantas seperti inikah balasan
yang beliau terima ?!!
11.
Syaikh Zuhair Syawisy
mengatakan dalam tulisannya yang dimuat dalam Majalah Al-Furqaan, edisi 115 halm. 19 bahwa Syaikh Al-Albani telah
bersiap-siap untuk melawan Yahudi. Hampir saja beliau sampai ke Palestina,
tetapi ada larangan pemerintah untuk para mujahidin.
Syaikh Al-Albani sampai di
Palestina tahun 1948, dan beliau shalat di Masjidil-Aqsha dan kembali sebagai
pembimbing pasukan Saudi yang tersesat di jalan. Lihat kisah selengkapnya dalam
bukunya yang berjudul ”Rihlati ilaa Najd”
(Perjalananku ke Nejed).
Mudah-mudahan, keterangan
singkat di atas cukup untuk membngkam mulut-mulut durhaka dan tulisan-tulisan
hina yang menuding dengan sembarangan kata!! [22].
Dikutip
oleh Abul-Jauzaa’ dari Majalah Al-Furqon Edisi 11 Tahun ke-7 1429/2008, halaman
14-19.
[1] Tafsir Al-Qur’anil-‘Adhiim 1/542.
[2] Al-Mughni 8/457.
[3] Atsar ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Tafsirnya 2/174/1
dengan sanad shahih. (Ash-Shahiihah,
Al-Albani 6/851).
[4] Penulis banyak mengambil manfaat dari tulisan Syaikh Muhammad
Ibrahim Syaqrah dalam Majalah Al-Ashalah edisi 7/Th. II, Rabi’uts-Tsani 1414,
dan Muhimmad fil-Jihad, Syaikh
Abdul-’Aziz Ar-Rayyis, hlm. 76.
[5] Demikianlah yang ditegaskan oleh Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahiihah 6/852.
[6] Majmu’ Fatawa 18/281.
[7] Al-Bidaayah wan-Nihaayah 4/320.
[8] Riyaadlush-Shaalihiin 1/24 – Syarh Ibnu
‘Utsaimin - .
[9] Raudlatuth-Thaalibiin 10/282.
[10] Ahkaamul-Qur’an 1/484. Dinukil dan
disetujui oleh Al-Qurthubi dalam Tafsirnya 5/349-350.
[11] Majmu’ Fatawaa 28/240.
[13] Syarh Tsalaatsatil-Ushul, Ibnu ‘Utsaimin
hlm. 129-130. Lihat pula Tafsir Al-Manar 10/316
dan Badaa’i Shanaa’i 7/102.
[14] Fathul-Bari 1/23.
[15] Syarh Riyaadlish-Shaalihiin, Ibnu
‘Utsaimin 1/15-20.
[16] Al-Washaayaa hlm. 58-59.
[17] Kalau
tinggal di negeri kafir tidak boleh, maka demikian juga safar/bepergian ke
negeri kafir tidak diperbolehkan kecuali dengan tiga syarat :
Pertama : Orang yang hendak safar mempunyai ilmu sebagai
benteng untuk menolak syubhat.
Kedua : Orang yang hendak safar mempunyai agama untuk
menjaganya dari syahwat.
Ketiga : Safarnya karena kebutuhan.
Apabila tidak sempurna
syarat-syarat ini, maka tidak diperbolehkan safar ke negeri kafir, karena di
dalamnya terdapat fitnah, menghambur-hamburkan harta, dan sudah dimaklumi bahwa
orang yang safar ke negeri kafir akan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit.
Adapun apabila memang ada kebutuhan, seperti berobat, atau belajar ilmu yang
tidak didapati di negerinya, dan orang yang akan safar ini mempunyai ilmu dan
agama; maka hal itu tidak mengapa.
Akan tetapi, apabila safarnya
ke negeri kafir hanya untuk tamasya atau melancong, maka hal ini bukanlah
sebuah kebutuhan, karena dia masih bisa untuk tamasya ke negeri muslim yang
penduduknya masih menjaga syi’ar-syi’ar Islam. [Syarh Tsalaatsatil-Ushul hal. 131-134 oleh Ibnu ’Utsaimin].
[18] Majalah At-Tauhid, Muharram 1429 H.
[19] Membongkar Kebohongan Buku
Mantan Kiyai NU, hlm. 244.
Faedah : Para penulis buku ”Membongkar
Kebohongan Buku Mantan Kiyai NU” dalam hujatan mereka terhadap Syaikh
Al-Albani, banyak berpedoman kepada buku ”Fataawaa
Asy-Syaikh Al-Albani wa Muqaranatuhu bi Fataawaa ’Ulamaa” karya ’Ukasyah
’Abdil-Manan. Padahal buku ini telah diingkari sendiri oleh Syaikh Al-Albani
secara keras, sebagaimana diceritakan oleh murid-murid beliau seperti Syaikh
’Ali Hasan Al-Halaby dan Syaikh Salim Al-Hilaly. (Lihat Fataawaa ’Ulamaa Akaabir, ’Abdul-Malik Al-Jazaairi halm. 106 dan Shafahat Baidlaa’ min
Hayaatil-Imaamil-Albany, Syaikh Abu Asma’ halm. 88). Dengan demikian, maka
jatuhlah nilai hujatan mereka terhadap Syaikh Al-Albani. Wallaahu a’lam.
[20] Sebagaimana dikatakan oleh Penulis artikel “Mengapa Salafi Dimusuhi
Umat” dalam Majalah Risalah Mujahidin edisi no. 1/Th. 1, Ramadlan 1427
H/September 2006 M, hlm. 2. Artikel ini telah dibantah oleh Ustadzunal-Karim
Aunur-Rafiq bin Ghufron dalam Majalah Al-Furqon edisi 5/Th. 6.
[21] Lihat As-Salafiyyun wa Qadliyyatu Filistin
hal. 14-37. Lihat pula Silsilah
Al-Ahaadits Ash-Shahiihah no. 2857; Al-Fashlul-Mubiin
fii Mas-alatil-Hijrah wa Mufaraqatil-Musyrikiin, Husain Al-‘Awaisyah; Madla Yanqimuna Minasy-Syaikh, Muhammad
Ibrahim Syaqrah hlm. 21-24; dan Majalah Al-Ashalah
edisi 7/Thn. II, Rabi’uts-Tsani 1414 H.
[22] Syaikh
Al-Albani mengatakan : “Sesungguhnya apa yang ditulis oleh Saudara yang mulia
Muhammad bin Ibrahim Syaqrah dalam risalah ini berupa fatwa dan ucapanku adalah
kesimpulan apa yang saya yakini dalam masalah ini. Barangsiapa yang menukil dariku selain kesimpulan ini, maka dia telah
keliru atau pengikut hawa nafsu”.
Comments
Posting Komentar