Seandainya seseorang mengalami musibah
terdampar di daratan sunyi karena pecah kapal, atau seluruh hartanya habis dirampok
begal, sehingga dirinya tidak mempunyai baju untuk menutupi badannya; maka ia tetap
harus melaksanakan shalat (wajib) dalam kondisi tersebut (telanjang) tanpa
perlu mengulanginya. Sah shalatnya sebagaimana dinukil An-Nawawiy (Al-Majmuu’,
3/183) dan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah (Majmuu' Al-Fataawaa, 21/224) rahimahumallah
adanya ijmaa' dalam permasalahan tersebut.
Dalam hal ini, ada beberapa kondisi.
Apabila ia seorang diri tanpa ada
yang lain bersamanya, maka ia mengerjakan shalat sambil berdiri, karena berdiri
adalah pokok dan termasuk rukun shalat. Tidak boleh seseorang meninggalkan
berdiri dalam shalat selama ia mampu melakukannya. Rasulullah ﷺ bersabda:
صَلِّ قَائِمًا، فَإِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا، فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ
"Shalatlah sambil berdiri.
Apabila engkau tidak mampu, maka boleh sambil duduk. Apabila duduk tidak mampu,
maka boleh sambil berbaring" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1117].
Namun apabila dirinya bersama orang
lain, terdapat beberapa pendapat yang ternukil dari salaf dan para imam. Berikut
diantaranya:
Badruddiin Al-'Ainiy rahimahullah
berkata:
قلت: روى الخلال بإسناده عن ابن عمر
- رضي الله عنه - أن قوما انكسرت بهم السفينة فخرجوا عراة وكانوا يصلون جلوسا
يومئون بالركوع والسجود دائما برؤوسهم، ولم ينقل خلافه
"Aku berkata : Diriwayatkan
oleh Al-Khallaal dengan sanadnya dari Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhu :
'Bahwasannya satu kaum yang terkena musibah perahunya pecah (di lautan), lalu
terdampar dari lautan di daratan dalam kondisi telanjang, maka mereka shalat
sambil duduk dan berisyarat dengan kepala ketika rukuk dan sujud'. Tidak
ternukil penyelisihan pendapat dalam hal ini" [Al-Banaayah Syarh
Al-Hidaayah, 2/137].
Ibnu Qudaamah dalam Al-Mughniy
(1/664) juga memiliki ucapan di atas dan mengatakan tidak ternukil adanya perselisihan
padanya.
Perkataan ‘tidak ternukil adanya
perselisihan’ di sini perlu diteliti kembali sebagaimana akan dijelaskan di
bawah.
Atsar Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa yang dimaksudkan Al-‘Ainiy diriwayatkan oleh Ibnul-Mundzir rahimahumallah
dalam Al-Ausath no. 2415 dengan sanad lemah karena faktor
‘Abdul-‘Aziiz bin ‘Ubaidillah Al-Himshiy. Lebih lanjut Ibnul-Mundzir berkata:
وَبِهِ قَالَ عَطَاءُ بْنُ أَبِي
رَبَاحٍ، وَعِكْرِمَةُ، وَقَتَادَةُ، وَكَذَلِكَ قَالَ الأَوْزَاعِيُّ، وَقَالَ
أَصْحَابُ الرَّأْيِ: يُومِئُونَ إِيمَاءً السُّجُودُ أَخْفَضُ مِنَ الرُّكُوعِ،
وَإِنْ صَلُّوا قِيَامًا يَجْزِيهِمْ إِلا أَنَّ أَفْضَلَ ذَلِكَ أَنْ يُصَلُّوا
قُعُودًا يُومِئُونَ وُحْدَانًا،
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: يُصَلُّونَ
قِيَامًا، كَذَلِكَ قَالَ مُجَاهِدٌ، وَقَدْ سَأَلَهُ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ
الْعَزِيزِ عَنْهُ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عَطَاءٍ، وَالرِّوَايَةُ الأُولَى
أَثْبَتُ عَنْ عَطَاءٍ، وَكَمَا قَالَ مُجَاهِدٌ قَالَ مَالِكٌ، وَالشَّافِعِيُّ،
وَفِيهِ قَوْلٌ ثَالِثٌ حَكَاهُ
ابْنُ جُرَيْجٍ: قَالَ: قَالَ آخَرُونَ: إِنْ أَمَّهُمْ أَحَدُهُمْ عُرْيَانًا،
فَلْيَقُمْ إِمَامُهُمْ وَفِي الصَّفِّ وَسَطَهُ، يَجْعَلُوهُ صَفًّا إِنْ شَاءُوا
قِيَامًا، وَإِنْ شَاءُوا قُعُودًا، وَلْيَغُضَّ بَعْضُهُمْ عَنْ بَعْضٍ،
“Pendapat inilah yang dipegang oleh
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah, ‘Ikrimah, dan Qataadah. Begitu pula Al-Auzaa’iy dan ashhaabur-ra’yi
yang mengatakan : ‘Dikerjakan dengan berisyarat. (Isyarat) sujud lebih rendah
daripada rukuk. Apabila mereka shalat sambil berdiri, maka mencukupi bagi
mereka (sah), namun afdlal (lebih utama) dalam hal tersebut shalat
sambil duduk dengan berisyarat dan dilakukan sendiri-sendiri (tidak
berjama’ah)’.
Sekelompok ulama lain berpendapat :
Shalat sambil berdiri. Begitulah pendapat yang dipegang oleh Mujaahid. ‘Umar
bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah bertanya kepadanya tentang permasalah itu. Pendapat
ini juga diriwayatkan dari ‘Athaa’, namun riwayat awal lebih shahih. Pendapat
Mujaahid disepakati juga oleh Maalik dan Asy-Syaafi’iy.
Ada pendapat ketiga yang
dihikayatkan Ibnu Juraij. Ia (Ibnu Juraij) berkata[1] :
‘Ulama lain mengatakan : Salah seorang diantara mereka menjadi imam yang berada
di tengah satu shaff dengan mereka. Jika mereka mau, boleh shalat sambil
berdiri atau duduk, sementara mereka menundukkan pandangannya satu dengan yang
lain (agar tidak melihat aurat)” [Al-Ausath, 5/78-79].
Fatwa ‘Athaa’ bin Abi Rabbaah tentang
shalat dalam kondisi telanjang yang dimaksudkan Ibnul-Mundzir rahimahumallah
adalah sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: سُئِلَ
عَطَاءٌ عَنِ الرَّجُلِ يَخْرُجُ مِنَ الْبَحْرِ عُرْيَانًا، قَالَ: "
يُصَلِّي قَاعِدًا "
“Dari Ibnu Juraij, ia berkata :
‘Athaa’ pernah ditanya tentang kasus seseorang yang keluar (terdampar) dari
lautan dalam keadaan telanjang. Ia berkata : “Ia shalat sambil duduk”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4561; shahih].
ثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ، عَنِ
ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ سُئِلَ عَنْ قَوْمٍ انْكَسَرَتْ بِهِمْ
سَفِينَتُهُمْ فَأَدْرَكَتْهُمُ الصَّلَاةُ وَهُمْ فِي الْمَاءِ، قَالَ: "
يُومِئُونَ إِيمَاءً فَإِنْ خَرَجُوا عُرَاةً، قَالَ: يُصَلُّونَ قُعُودًا"
Telah menceritakan kepada kami Hafsh
bin Ghiyaats, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, ia pernah ditanya tentang satu
kaum yang perahunya pecah (saat berlayar di lautan), lalu tiba waktu shalat
sementara mereka masih terapung di lautan. ‘Athaa’ berkata : “Mereka shalat
dengan berisyarat. Apabila mereka keluar/terdampar (dari lautan di daratan) dalam
kondisi telanjang, maka mereka shalat sambil duduk” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 2/520 no. 5019; hasan].
Fatwa Qataadah bin Di’aamah rahimahullah
adalah sebagai berikut:
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ،
قال: " إِذَا خَرَجَ الرَّجُلُ مِنَ الْبَحْرِ عُرْيَانًا صَلَّى جَالِسًا
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ قَتَادَةَ،
قال: " إِذَا خَرَجَ نَاسٌ مِنَ الْبَحْرِ عُرَاةً فَأَمَّهُمْ أَحَدُهُمْ
صَلَّوْا قُعُودًا، وَكَانَ إِمَامُهُمْ مَعَهُمْ فِي الصَّفِّ، وَيُومِئُونَ
إِيمَاءً "
Dari Ma’mar, dari Qataadah, ia
berkata : “Apabila seseorang keluar (terdampar) dari lautan dalam kondisi
telanjang, ia shalat sambil duduk”.
Dari Ma’mar, dari Qataadah, ia
berkata : “Apabila orang-orang keluar (terdampar) dari lautan dalam kondisi
telanjang, maka salah seorang diantara mereka mengimami mereka. Mereka (makmum)
shalat sambil duduk, sementara imam mereka satu shaf dengan mereka. Mereka
mengerjakan shalat dengan berisyarat” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no.
4563-4564].
Dua atsar ini kurang valid untuk
dijadikan sandaran, karena riwayat Ma’mar dari penduduk ‘Iraaq – Qataadah
termasuk diantaranya - mendapat kritikan para ulama. Dalam kelanjutan riwayat kedua,
Ma’mar bin Raasyid rahimahumallah berfatwa:
وَإِنْ كَانَ عَلَى أَحَدِهِمْ
ثَوْبٌ أَمَّهُمْ قَائِمًا، وَيَقُومُ فِي الصَّفِّ وَهُمْ خَلْفَهُ قُعُودًا
صَفًّا وَاحِدًا
“Apabila mereka mempunyai satu
pakaian, maka imam memakainya dan shalat sambil berdiri. Ia mengimami para
makmum di belakangnya yang shalat sambil duduk dalam satu shaf” [Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq no. 4564; shahih].
Ada riwayat dari Ibnu ‘Abbaas dan
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum sebagamaimana diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Mushannaf-nya no. 4565-4566. Namun sanadnya
sangat lemah karena faktor Ibraahiim bin Muhammad Al-Madaniy, syaikh
‘Abdurrazzaaq, matruuk. Ibnul-Mundzir rahimahullah juga
meriwayatkan atsar Ibnu ‘Abbaas yang lain dalam Al-Ausath 5/79, namun
sanadnya sangat lemah karena faktor An-Nadlr Abu Umar, matruukul-hadiits.
Selanjutnya, atsar Mujaahid bin Jabr
yang dimaksudkan Ibnul-Mundzir rahimahumullah adalah:
حَدَّثَنَا عِيسَى بْنُ يُونُسَ،
عَنِ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ وَاصِلٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ
الْعَزِيزِ سَأَلَهُ عَنْ قَوْمٍ انْكَسَرَتْ بِهِمْ سَفِينَتُهُمْ فَخَرَجُوا
فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ، فَقَالَ: "يَكُونُ إِمَامُهُمْ مَيْسَرَتَهُمْ
وَيَصُفُّونَ صَفًّا وَاحِدًا، وَيَسْتَتِرُ كُلُّ رَجُلٍ مِنْهُمْ بِيَدِهِ
الْيُسْرَى عَلَى فَرْجِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَمَسَّ الْفَرْجَ "
Telah menceritakan kepada kami
‘Iisaa bin Yuunus, dari Al-Auzaa’iy, dari Waashil, dari Mujaahid : Bahwasannya
‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah bertanya kepadanya tentang satu kaum yang
perahunya pecah (saat berlayar di lautan), dan kemudian mereka berhasil
mencapai daratan, lalu tiba waktu shalat. Mujaahid berkata : “Imam mereka
berada di sebelah kiri mereka dan mereka semua berdiri dalam satu shaf. Setiap
orang menutupi kemaluan mereka dengan tangan kiri mereka tanpa menyentuhnya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/520 no. 5020; hasan].
Dari beberapa uraian tersebut di
atas, ditarik beberapa point ringkas sebagai berikut:
1.
Shalat dalam
kondisi telanjang terdapat mudlarat berupa terlihatnya aurat (khususnya qubul
dan dubur) oleh orang lain.
Oleh karenanya, para ulama ada yang memfatwakan shalat
sambil duduk, shalat sendiri-sendiri, shalat sambil berdiri dengan menundukkan
pandangan dan menutupi farji dengan tangannya, imam shalat gabung satu shaff
dengan makmum (agar tidak terlihat aurat imam oleh makmum), dan shalat jama’ah
hanya terdiri satu shaff (agar shaff di belakangnya tidak melihat aurat makmum
di depannya). Esensi semua fatwa ini adalah untuk mencegah/memperingan mudlarat
terlihatnya aurat.
2.
Berdiri jika mampu
merupakan rukun shalat fardlu yang disepakati para ulama. Tidak sah shalat melainkan
dengannya. Akan tetapi apabila seseorang tidak mampu melakukannya, boleh sambil
duduk sebagaimana hadits yang disebutkan di awal. Juga hadits tentang seseorang
yang khawatir dirinya tenggelam karena berdiri shalat di atas perahu.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ عَنِ الصَّلاةِ فِي
السَّفِينَةِ، فَقَالَ: كَيْفَ أُصَلِّي فِي السَّفِينَةِ؟ فَقَالَ: " صَلِّ
فِيهَا قَائِمًا، إِلا أَنْ تَخَافَ الْغَرَقَ "
Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Nabi ﷺ pernah ditanya
tentang shalat di atas perahu. Orang tersebut berkata : “Bagaimana cara aku
melaksanakan shalat di atas perahu ?”. Beliau ﷺ menjawab : “Shalatlah
di perahu itu sambil berdiri, kecuali jika engkau khawatir tenggelam (boleh
tidak berdiri)” [Diriwayatkan oleh Al-Haakim 1/275 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa
3/155; shahih].
3.
Menutup aurat ketika
shalat termasuk perkara yang diperselisihkan ulama, apakah ia termasuk syarat
sahnya shalat ataukah kewajiban yang bukan termasuk syarat sahnya shalat.
Terkait dengan tema bahasan, maka rukun shalat
didahulukan daripada syarat, dan yang disepakati lebih didahulukan daripada
yang diperselisihkan sebagaimana dikatakan oleh Al-Qarraafiy rahimahullah:
وأنها أركان متفق عليها والسترة شرط مختلف فيه، والأركان مقدمة على
الشروط، والمجمع عليه مقدم على المختلف فيه
“Dan hal tersebut (berdiri, rukuk, dan sujud) adalah
rukun shalat yang disepakati para ulama, sedangkan menutup aurat merupakan
syarat yang diperselisihkan. Maka, rukun shalat harus didahulukan daripada
syarat, dan perkara yang disepakati lebih didahulukan daripada yang
diperselisihkan” [Adz-Dzakhiirah, 2/107].
Jika seseorang sendirian tanpa kehadiran orang lain, ia
wajib shalat sambil berdiri karena termasuk rukun shalat yang disepakati –
sebagaimana ditegaskan sebelumnya.
4.
Jika ia bersama
orang lain, terdapat mudlarat nampaknya aurat.
Ada dua kondisi:
Semua orang yang ada di tempat itu satu jenis (laki-laki
semua atau wanita semua) dan mempunyai kewajiban mengerjakan shalat.
Dengan memperhatikan ‘illat yang ada, shalat dapat
dilakukan secara berjama’ah dengan berdiri satu shaf, imam berada di tengah
shaf bersama makmum, dan masing-masing orang menundukkan pandangan agar tidak
melihat aurat yang lain. Hal ini sesuai pendapat ketiga yang dihikayatkan Ibnu
Juraij dari kalangan salaf. Keberadaan imam di tengah shaff akan lebih menutupi
auratnya (imam) daripada jika ia berdiri di depan makmum [Kasysyaaful-Qinaa’
oleh Al-Buhuutiy, 1/273].
Tidak semua mengerjakan shalat dan/atau di situ terdiri
dari berbagai jenis orang (muslim, kafir, laki-laki, wanita).
Dalam kondisi ini, selama aurat dapat dilihat orang lain,
shalat dilakukan sendiri-sendiri sambil duduk. Rukuk dan sujud dilakukan dengan
isyarat semampunya.
Kekhawatiran terlihatnya aurat ketika berdiri shalat dalam
keadaan telanjang, sama seperti kekhawatiran tenggelam ketika berdiri shalat di
atas perahu.
Namun apabila kondisi masih memungkinkan mengerjakan shalat sambil
berdiri, harus dengan berdiri. Seperti misal, jika di tempat tersebut ada
batu/benda lain sebagai tabir, atau orang lain yang bersamanya dapat dipercaya
untuk membalikkan badannya sehingga tidak melihatnya shalat, dan lain
sebagainya. Bahkan, tetap dianjurkan secara berjama’ah seperti huruf a, jika
memang memungkinkan.
Bahasan dalam artikel ini dapat diqiyaskan
dengan beberapa kondisi khusus, seperti orang yang dipenjara, diborgol, dan
disiksa dengan dilucuti pakaiannya. Apakah ia shalat sambil berdiri ataukah
duduk ?.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 19012020].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar