26 Desember 2019

Ikut Serta Merayakan dan Mengucapkan Selamat Hari Raya Orang Kafir


Selalu saja berulang setiap tahun pembahasan tentang : bolehkah ikut serta merayakan dan mengucapkan hari raya orang kafir ? Seakan-akan telah menjadi agenda tahunan kaum muslimin membicarakannya. Dan memang hanya kaum muslimin yang menaruh perhatian terhadap kemurnian ‘aqidah mereka. Meskipun orang-orang kafir dan para penjilat dari kalangan munafiqin sangat getol menjajakan kolak basi mereka yang meracuni umat Islam, alhamdulillah, senantiasa ada orang-orang yang berdiri menjelaskan dan membela agama-Nya, sepanjang masa, hingga kelak menjelang kiamat tiba.

Para ulama telah semenjak dulu menjelaskan keharaman dua perkara tersebut bagi kaum muslimin.
Allah berfirman:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ  
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka” [QS. An-Nisaa’ : 140].
Al-Qurthubiy rahimahullah menjelaskan:
فدل بهذا على وجوب اجتناب أصحاب المعاصي إذا ظهر منهم منكر ؛ لأن من لم يجتنبهم فقد رضي فعلهم، والرضا بالكفر كفر، قال الله عز وجل: ﴿إنَّكُمْ إذًا مِّثْلُهُمْ﴾ فكل من جلس في مجلس معصية ولم ينكر عليهم يكون معهم في الوزر سواء، وينبغي أن ينكر عليهم إذا تكلموا بالمعصية وعملوا بها، فإن لم يقدر على النكير عليهم فينبغي أن يقوم عنهم حتى لا يكون من أهل هذه الآية. وإذا ثبت تجنب أصحاب المعاصي كما بينا فتجنب أهل البدع والأهواء أولى
”Ayat tersebut menunjukkan wajibnya menjauhi para pelaku kemaksiatan apabila nampak pada diri mereka kemunkaran, karena orang yang tidak menjauhi mereka berarti meridlai perbuatan mereka, sementara ridla terhadap kekufuran merupakan kekufuran. Allah ’azza wa jalla berfirman : ”Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian) tentulah kamu serupa dengan mereka”. Maka setiap orang yang berada di dalam majelis kemaksiatan sedangkan ia tidak mengingkari perbuatan mereka, maka ia akan menanggung dosa yang sama bersama mereka. Jadi seharusnya ia mengingkari perbuatan mereka ketika mereka berbicara dan melakukan kemaksiatan. Apabila ia tidak sanggup mengingkarinya, hendaknya ia meninggalkan mereka sehingga ia tidak termasuk ke dalam golongan orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini. Apabila ditetapkan dalam syari’at Islam sikap menjauhi para pelaku maksiat sebagaimana telah kami jelaskan, maka menjauhi ahlul-bid’ah dan pengikut hawa nafsu lebih layak lagi” [Tafsir Al-Qurthubi 5/418].
Kemunkaran perayaan hari besar orang kafir berupa kesyirikan, kekejian, dan kemaksiatan bukan sesuatu yang samar. Bagaimana kita - kaum muslimin - bisa ridla hadir dalam majelis perayaan mereka yang berisi penuhanan selain Allah, pengagungan terhadap dewa dan setan, atau penampakan syi’ar-syiar kekufuran yang sangat dicela dalam syariat Islam ?.
Ketika menjelaskan tentang ‘ibaadurrahmaan’ (hamba-hamba Ar-Rahmaan yang shalih), Allah berfirman tentang salah satu diantara ciri-ciri mereka:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً
"Dan orang-orang yang tidak menghadiri 'az-zuur', dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya" [QS. Al-Furqaan : 72].
Tidak menghadiri az-zuur, diantara maknanya adalah tidak menghadiri perayaan hari raya orang kafir atau majelis-majelis kesyirikan, kemaksiatan, dan kedustaan. Telah menjadi pengetahuan yang pasti dalam ‘aqidah kaum muslimin bahwa perayaan hari raya orang kafir mengandung berbagai kemaksiatan mulai kelas plankton hingga paus biru.
Abi Ja’far Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
وَأَصْلُ الزُّورِ تَحْسِينُ الشَّيْءِ، وَوَصَفُهُ بِخِلافِ صِفَتِهِ، حَتَّى يُخَيَّلَ إِلَى مَنْ يَسْمَعُهُ أَوْ يَرَاهُ أَنَّهُ بخِلافَ مَا هُوَ بِهِ، وَالشِّرْكُ قَدْ يَدْخُلُ فِي ذَلِكَ ؛ لأَنَّهُ مُحَسَّنٌ لأَهْلِهِ، حَتَّى قَدْ ظَنُّوا أَنَّهُ حَقٌّ، وَهُوَ بَاطِلٌ
“Asal makna dari az-zuur adalah menganggap baik sesuatu dan mensifatinya dengan sifat yang berlainan, hingga orang yang mendengar atau melihatnya beranggapan sesuatu tersebut berlainan dengan yang sebenarnya. Dan kesyirikan kadang termasuk dalam hal tersebut, karena ia dinampakkan baik bagi pelakunya sehingga dirinya menyangka kesyirikan itu adalah kebenaran, padahal kebatilan” [Jaami’ul-Bayaan, 17/523].
Al-Farraa’ rahimahullah saat menafsirkan ayat di atas berkata:
لا يحضرونَ مجالسَ الكذب والمعاصي ويُقال: أعياد المشركين لا يشهدونها لأنها زُور وكذب، إذ كانت لغير الله
“(Yaitu), tidak menghadiri majelis-majelis kedustaan dan kemaksiatan. Dan dikatakan juga (maknanya) : ‘Hari raya orang-orang musyrik (‘iedul-musyrikiin), yaitu mereka mereka tidak menghadirinya karena hal tersebut merupakan kepalsuan dan kedustaan, serta diadakan untuk selain Allah” [Ma’aanil-Qur’aan, 2/273-274].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وهذه أيضا من صفات عباد الرحمن، أنهم: { لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ } قيل: هو الشرك وعبادة الأصنام. وقيل: الكذب، والفسق، واللغو، والباطل.
وقال محمد بن الحنفية: [هو] اللهو والغناء.
وقال أبو العالية، وطاوس، ومحمد بن سيرين، والضحاك، والربيع بن أنس، وغيرهم: هي أعياد المشركين.
وقال عمرو بن قيس: هي مجالس السوء والخنا.
وقال مالك، عن الزهري: [شرب الخمر] لا يحضرونه ولا يرغبون فيه، كما جاء في الحديث: "من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فلا يجلس على مائدة يدار عليها الخمر"
“Dan ini juga diantara sifat ‘ibaadurrahmaan, bahwa mereka ‘tidak menghadiri az-zuur’. Dikatakan : ‘Az-zuur adalah kesyirikan dan peribadahan terhadap berhala’. Dikatakan maknanya adalah kedustaan, kefasikan, obrolan sia-sia, dan kebatilan. Muhammad bin Al-Hanafiyyah berkata : ‘Az-zuur adalah omongan sia-sia dan nyanyian’. Abul-‘Aaliyyah, Thaawus, Muhammad bin Siiriin, Adl-Dlahhaak, Ar-Rabii’ bin Anas, dan yang lainnya berkata : ‘Itu adalah hari raya orang-orang musyrik’. ‘Amru bin Qais berkata : ‘Itu adalah majelis-majelis yang berisi kejelekan dan omongan keji’. Telah berkata Maalik dari Az-Zuhriy : ‘Minum khamr, mereka tidak menghadirinya dan tidak juga ingin (hadir) padanya, sebagaimana dalam hadits : ‘“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah duduk di meja yang dihidangkan padanya khamr (minuman keras)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/130].
Jika Nabi melarang kita hadir dalam majelis yang padanya dihidangkan khamr (tanpa ikut meminumnya), lantas bagaimana dengan majelis yang padanya terdapat aktivitas pengagungan terhadap selain Allah ?.
أَخْبَرَنَا أَبُو يَزِيدَ الْقَرَاطِيسِيُّ فِيِمَا كَتَبَ إِلَيَّ، أنبأ أَصْبَغُ، قَالَ: سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ زَيْدٍ، فِي قَوْلِ اللَّهِ: " وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ، قَالَ: وَالزُّورُ قَوْلُهُمْ لآلِهَتِهِمْ وَتَعْظِيمُهُمْ إِيَّاهَا مَا كَانُوا فِيهِ مِنَ الْبَاطِلِ، وَقَرَأَ: وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ "
Telah mengkabarkan kepada kami Abu Yaziid Al-Qaraathiisiy dalam surat yang ia tuliskan kepadaku : Telah memberitakan kepada kami Ashbagh, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdurrahmaan bin Zaid tentang firman Allah : ‘Dan orang-orang yang tidak menghadiri 'az-zuur' (QS. Al-Furqaan : 72), ia berkata : “Az-zuur adalah perkataan mereka kepada tuhan-tuhan mereka (dalam peribadahan) dan pengagungan mereka terhadapnya yang itu merupakan kebatilan”. Dan kemudian ia membaca ayat : ‘Dan jauhilah perkataan-perkataan dusta’ (QS. Al-Hajj : 30)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 15461; shahih].
Dosa kesyirikan jauh lebih besar daripada dosa minum khamr, korupsi, atau pembunuhan jiwa tanpa hak, sehingga larangan menjauhi majelis berisi kesyirikan lebih keras daripada berisi kemaksiatan lainnya. Allah berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيمًا
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar” [QS. An-Nisaa’ : 48].
حدثني هارون بن سعيد الأيلي. حدثنا ابن وهب. قال: حدثني سليمان بن بلال، عن ثور بن زيد، عن أبي الغيث، عن أبي هريرة؛ أن رسول الله ﷺ قال : اجتنبوا السبع الموبقات" قيل: يا رسول الله! وما هن؟ قال: "الشرك بالله. والسحر. وقتل النفس التي حرم الله إلا بالحق. وأكل مال اليتيم. وأكل الربا. والتولي يوم الزحف. وقذف المحصنات الغافلات المؤمنات
Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Sa’iid Al-Ailiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Sulaimaan bin Bilaal, dari Tsaur bin Zaid, dari Abul-Ghaits, dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Jauhilah oleh kalian tujuh perkara yang membinasakan”. Dikatakan : “Wahai Rasulullah, apakah itu ?”. Beliau menjawab : “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan hak, memakan harta anak yatim, memakan riba, melarikan diri dari peperangan, dan menuduh wanita mukminah baik-baik lagi suci telah berbuat zina” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 89].
Ibnul-Qayyim rahimahullah menukil:
وقال أبو الحسن الآمدي لا يجوز شهود أعياد النصارى واليهود نص عليه أحمد في رواية مهنا واحتج بقوله تعالى والذين لا يشهدون الزور قال الشعانين وأعيادهم
“Abul-Hasan Al-Aamidiy berkata : ‘Tidak boleh menghadiri peringatan hari-hari raya (‘Ied) orang Nasrani dan Yahudi. Hal tersebut dikatakan oleh Ahmad dalam riwayat Muhannaa dan ia berhujjah dengan firman Allah : ‘Dan orang-orang yang tidak menghadiri 'az-zuur' (QS. Al-Furqaan : 72), ia berkata : ‘asy-sya’aaniin[1] dan hari raya mereka” [Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, 3/1249. Lihat juga Al-Aadaabusy-Syar’iyyah oleh Ibnu Muflih, 3/416].
Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata:
ثم رأيت بعض أئمتنا المتأخرين ذكر ما يوافق ما ذكرته فقال : ومن أقبح البدع موافقة المسلمين النصارى في أعيادهم بالتشبه بأكلهم والهدية لهم وقبول هديتهم فيه وأكثر الناس اعتناء بذلك المصريون وقد قال صلى الله عليه وسلم { من تشبه بقوم فهو منهم } بل قال ابن الحاج لا يحل لمسلم أن يبيع نصرانيا شيئا من مصلحة عيده لا لحما ولا أدما ولا ثوبا ولا يعارون شيئا ولو دابة إذ هو معاونة لهم على كفرهم وعلى ولاة الأمر منع المسلمين من ذلك 
“Kemudian aku melihat sebagian imam kita dari kalangan muta’akhkhirin menyebutkan pendapat yang berkesesuaian dengan apa yang telah aku sebutkan. Ia berkata : ‘Dan termasuk bid’ah yang paling buruk adalah persetujuan kaum muslimin terhadap orang Nasrani dalam hari raya mereka dengan tasyabbuh melalui makanan mereka, memberikan hadiah kepada mereka, dan menerima hadiah dari mereka pada hari raya mereka itu. Dan kebanyakan manusia yang menaruh perhatian terhadapnya adalah penduduk Mesir. Padahal Nabi bersabda : ‘Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka’. Bahkan Ibnul-Haaj berkata : ‘Tidak halal bagi seorang muslim menjual sesuatu kepada orang Nasrani untuk maslahat (penyelenggaraan) hari raya mereka, baik berupa daging, kulit, maupun pakaian. Dan tidak boleh pula meminjamkan sesuatu walaupun berupa hewan tunggangan apabila itu mendukung mereka dalam kekufuran mereka. Dan wajib bagi penguasa melarang kaum muslimin dari hal tersebut” [Al-Fataawaa Al-Fiqhiyyah Al-Kubraa, 4/238-239].
Bahkan ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhuma telah memperingatkan dengan sangat keras, jauh sebelum barisan satpam dangdutan itu ada wujudnya mencemari dunia. Ia (‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa) berkata:
مَنْ بَنَى فِي بِلادِ الأَعَاجِمِ، وَصَنَعَ نَيْرُوزَهُمْ وَمِهْرَجَانَهُمْ وَتَشَبَّهَ بِهِمْ، حَتَّى يَمُوتَ، وَهُوَ كَذَلِكَ حُشِرَ مَعَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barangsiapa yang tinggal di negeri orang ‘Ajam, lalu ikut merayakan hari Nairuuz dan Mihrajaan mereka serta tasyabbuh dengan mereka hingga ia meninggal dalam keadaan seperti itu (belum bertaubat – Abul-Jauzaa’), maka kelak ia akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/234; shahih].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
قال العلماء : ومن موالاتهم التَّشبُّه بهم، وإظهارُ أعيادهم، وهم مأمورون بإخفائها في بلاد المسلمين، فإذا فعلها المسلم معهم، فقد أعانهم على إظهارها
“Para ulama berkata : ‘Dan termasuk perbuatan ber-walaa’ kepada mereka (orang kafir) adalah tasyabbuh dengan mereka dan menampakkan hari raya mereka, sementara kaum muslimin diperintahkan untuk menyembunyikan/tidak menampakkannya di negeri kaum muslimin[2]. Maka apabila ada seorang muslim melakukannya bersama mereka, sungguh ia telah menolong mereka dalam menampakkannya[3]” [Tasybiihul-Khasiis bi-Ahlil-Khamiis, hal. 23].
Para ulama di atas berdalil dengan larangan tasyabbuh bil-kuffaar (penyerupaan terhadap orang kafir) sebagaimana dalam hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah : “Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4031, Ahmad 2/50 & 2/92, dan yang lainnya; shahih[4]].
Ash-Shan’aaniy rahimahullah berkata :
وَالْحَدِيثُ دَالٌّ عَلَى أَنَّ مَنْ تَشَبَّهَ بِالْفُسَّاقِ كَانَ مِنْهُمْ أَوْ بِالْكُفَّارِ أَوْ بِالْمُبْتَدِعَةِ فِي أَيِّ شَيْءٍ مِمَّا يَخْتَصُّونَ بِهِ مِنْ مَلْبُوسٍ أَوْ مَرْكُوبٍ أَوْ هَيْئَةٍ ، قَالُوا : فَإِذَا تَشَبَّهَ بِالْكَافِرِ فِي زِيٍّ وَاعْتَقَدَ أَنْ يَكُونَ بِذَلِكَ مِثْلَهُ كَفَرَ فَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ فَفِيهِ خِلَافٌ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ مِنْهُمْ مَنْ قَالَ : يَكْفُرُ وَهُوَ ظَاهِرُ الْحَدِيثِ وَمِنْهُمْ مَنْ قَالَ : لَا يَكْفُرُ وَلَكِنْ يُؤَدَّبُ
“Hadits tersebut menunjukkan bahwa barangsiapa yang menyerupai orang-orang fasiq, maka ia termasuk golongan mereka. Atau menyerupai orang-orang kafir atau mubtadi’ (pelaku bid’ah) dalam hal apa saja yang menjadi kekhususan mereka dengannya dalam gaya berpakaian, berkendaraan, atau gaya/tata cara yang lainnya. Mereka (para ulama) berkata : Barangsiapa yang menyerupai orang kafir dalam pakaian mereka dan berkeyakinan dengan hal tersebut semisal dengannya, maka ia kafir. Namun apabila ia tidak berkeyakinan, terdapat pebedaan pendapat di kalangan fuqahaa’. Diantara mereka ada yang berpendapat ia kafir, dan itu sesuai dhahir hadits. Sementara yang lain berpendapat ia tidak kafir, akan tetapi ia harus dididik” [Subulus-Salaam, 4/347].
Hari raya orang kafir adalah kekhususan mereka yang kita dilarang ikut-ikutan bertasyabbuh dalam perkara tersebut. Nabi bersabda:
إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
Sesungguhnya setiap kaum mempunyai hari raya (‘Ied), dan ini adalah hari raya kita” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 952].
Hadits ini secara jelas menunjukkan umat Islam mempunyai ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa sebagai kekhususan kita (kaum muslimin), sedangkan orang kafir mempunyai hari rayanya yang itu menjadi kekhususan mereka. Nabi telah membuat garis yang sangat jelas mana yang boleh/dianjurkan berpartisipasi merayakannya.
Dalil lain yang semakna dengan di atas adalah sabda Nabi :
إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا: يَوْمَ الْأَضْحَى، وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Sesungguhnya Allah telah menggantikan untuk kalian yang lebih baik dari dua raya itu (Nairuuz dan Mihrajaan), yaitu : Hari Raya Fithr (‘Iedul-Fithri) dan Hari Raya Kurban (‘Iedul Adlha)” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1134, An-Nasaa’iy no. 1556, dan yang lainnya; shahih].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkomentar tentang hadits di atas:
وَاسْتُنْبِطَ مِنْهُ كَرَاهَةُ اَلْفَرَحِ فِي أَعْيَادِ اَلْمُشْرِكِينَ وَالتَّشَبُّهِ بِهِمْ ، وَبَالَغَ اَلشَّيْخُ أَبُو حَفْص اَلْكَبِير اَلنَّسَفِيُّ مِنْ اَلْحَنَفِيَّةِ فَقَالَ : مَنْ أَهْدَى فِيهِ بَيْضَة إِلَى مُشْرِكٍ تَعْظِيمًا لِلْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ بِاَللَّهِ تَعَالَى
“Dan diambil kesimpulan hukum dari hadits tersebut dibencinya bergembira pada hari raya orang-orang musyrik dan tasyabbuh terhadap mereka. Dan Asy-Syaikh Abu Hafsh Al-Kabiir An-Nasafiy dari kalangan Hanafiyyah sangat keras dalam permasalahan ini, dimana ia berkata : ‘Barangsiapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada seorang musyrik dalam rangka pengagungan terhadap hari raya mereka, ia telah kafir kepada Allah ta’ala” [Fathul-Baariy, 2/442].
Al-‘Adhiim Aabaadiy rahimahullah menjelaskan:
قَالَ الْمُظْهِر : فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ تَعْظِيم النَّيْرُوز وَالْمِهْرَجَان وَغَيْرهمَا أَيْ مِنْ أَعْيَاد الْكُفَّار مَنْهِيّ عَنْهُ . قَالَ أَبُو حَفْص الْكَبِير الْحَنَفِيّ : مَنْ أَهْدَى فِي النَّيْرُوز بَيْضَة إِلَى مُشْرِك تَعْظِيمًا لِلْيَوْمِ فَقَدْ كَفَرَ بِاَللَّهِ تَعَالَى وَأَحْبَطَ أَعْمَاله وَقَالَ الْقَاضِي أَبُو الْمَحَاسِن الْحَسَن بْن مَنْصُور الْحَنَفِيّ : مَنْ اِشْتَرَى فِيهِ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ يَشْتَرِيه فِي غَيْره أَوْ أَهْدَى فِيهِ هَدِيَّة إِلَى غَيْره ، فَإِنْ أَرَادَ بِذَلِكَ تَعْظِيم الْيَوْم كَمَا يُعَظِّمهُ الْكَفَرَة ، فَقَدْ كَفَرَ ، وَإِنْ أَرَادَ بِالشِّرَاءِ التَّنَعُّم ، وَالتَّنَزُّه ، وَبِالْإِهْدَاءِ النِّحَاب جَرْيًا عَلَى الْعَادَة ، لَمْ يَكُنْ كُفْرًا ، لَكِنَّهُ مَكْرُوه كَرَاهَة التَّشْبِيه بِالْكَفَرَةِ حِينَئِذٍ فَيُحْتَرَز عَنْهُ . قَالَهُ عَلِيّ الْقَارِي .
“Al-Mudhhir berkata : ‘Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa pengagungan terhadap hari raya Nairuuz, Mihrajaan, dan hari raya orang kafir lainnya adalah terlarang’. Abu Hafsh Al-Kabiir Al-Hanafiy berkata : ‘Barangsiapa yang menghadiahkan sebutir telur kepada orang musyrik dalam rangka pengagungan terhadap hari raya mereka, sungguh ia telah kafir kepada Allah ta’ala dan sia-sia segala amalannya’. Al-Qaadliy Abul-Mahaasin Al-Hasan bin Manshuur Al-Hanafiy berkata : ‘Barangsiapa yang membeli sesuatu pada hari raya orang kafir yang ia tidak membelinya di hari yang lain, atau menghadiahkan suatu hadiah kepada orang lain pada hari tersebut; jika ia menginginkan darinya pengagungan terhadap hari tersebut sebagaimana orang kafir mengagungkannya, sungguh ia telah kafir. Namun jika ia menginginkan dari pembelian tersebut sekedar untuk bersenang-senang dan piknik, atau dengan hadiah tersebut saling mengasihi sebagaimana kebiasaan orang-orang, tidak kafir. Akan tetapi perbuatan tersebut makruh dengan kemakruhan tasyabbuh terhadap orang kafir, sehingga wajib untuk berhat-hati darinya. Pendapat ini dikatakan oleh ‘Aliy Al-Qaariy” [‘Aunul-Ma’buud, 3/342].
Clear !!
Adapun tentang masalah ucapan selamat, sama. Ucapan selamat dalam KBBI disebut tahniah yang merupakan serapan dari bahasa Arab. Tahniah lawan kata dari ta’ziyah. Tahniah adalah ucapan yang mengandung doa (kebaikan) karena bahagia. Jika dikatakan kepada seseorang : hunni’ta wa laa tunkah (هُنِّئْتَ ولا تُنْكَهْ), artinya : ‘semoga engkau mendapatkan kebaikan dan tidak mendapatkan kemudlaratan’ – yaitu mendoakan kebaikan kepadanya [Ash-Shihhaah fil-Lughah, 2/232].
Dalam konteks ucapan selamat hari raya orang kafir/musyrikin – dimana mereka merayakannya sebagai bentuk peribadahan agama mereka yang mengandung kekufuran, kesyirikan, dan/atau kemaksiatan - ; maka ucapan tahniah ini mengandung makna doa agar mereka mendapatkan kebahagiaan, kebaikan, dan dijauhkan dari segala mudlarat dalam hari raya mereka. Yang mengucapkannya senang dan ridla dengan apa yang mereka lakukan di hari itu.
Ucapan “Selamat Hari Natal[5]. (Christmas - Xmas)”, misalnya. Hari Natal diperingati orang-orang Nasrani sebagai kelahiran Yesus anak tuhan; bukan Yesus sebagai utusan Allah (the messenger of Allah)[6]. Jadi ketika kita mengucapkan tahniah tersebut kepada mereka, maka artinya : Semoga Anda mendapatkan kebahagiaan dan kebaikan dalam hari kelahiran anak tuhan yang sedang Anda rayakan – dan kita dalam keadaan ikut bergembira saat mengucapkannya.
Bagaimana bisa seorang muslim bertauhid sanggup mengucapkan tahniah tersebut sementara Allah berfirman:
وَقَالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمَنُ وَلَدًا * لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئًا إِدًّا * تَكَادُ السَّمَوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا * أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمَنِ وَلَدًا * وَمَا يَنْبَغِي لِلرَّحْمَنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَدًا * إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ إِلَّا آَتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
"Dan mereka berkata: "Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak". Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang SANGAT MUNGKAR, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh, karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak. Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha Pemurah selaku seorang hamba" [QS. Maryam: 88-93].
???
Saya pun sangat heran dengan para badut penjual agama yang bilang ‘ucapan selamat Natal tidak mengganggu aqidah selama saya tetap berkeyakinan Allah tuhan saya dan KTP saya tertulis Islam’. Jangan-jangan mereka akan bilang : ‘Ikut ritual menyembah berhala[7] tidak akan akan mengganggu aqidah saya’. Perkataan tersebut hanyalah merepro perkataan sekte Murji’ah. Adapun Ahlus-Sunnah mengatakan : Barangsiapa yang mengucapkan kalimat kekufuran sedangkan dirinya tahu kalimat tersebut adalah kekufuran atau dilarang agama, maka kafir.
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
الردة هي قطع الإسلام بنية، أو قول كفر، أو فعل، سواء قاله استهزاء، أو عنادا، أو اعتقادا
Riddah keluar dari Islam/murtad) adalah memutus (tali) Islam dengan niat, perkataan, atau perbuatan kekufuran. Baik ia mengatakannya karena mengolok-olok, keras kepala, atau keyakinannya” [Minhaajuth-Thaalibiin, hal. 293].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
فمن قال بلسانه كلمة الكفر من غير حاجة عامدا لها عالما بأنها كلمة كفر فإنه يكفر بذلك ظاهرا و باطنا
“Maka barangsiapa yang mengucapkan kalimat kekufuran dengan lisannya tanpa hajat, secara sengaja dan tahu bahwa itu adalah kalimat kekufuran, maka ia kafir secara lahir dan batin dengan sebab itu” [Ash-Shaarimul-Masluul, 1/523].
Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah saat menjelaskan hadits tentang Khawaarij : ‘(Akan tetapi) mereka keluar dari agama seperti anak panah keluar dari busurnya’, ia berkata:
وَفِيهِ أَنَّ مِنْ الْمُسْلِمِينَ مَنْ يَخْرُج مِنْ الدِّين مِنْ غَيْر أَنْ يَقْصِد الْخُرُوج مِنْهُ وَمِنْ غَيْر أَنْ يَخْتَار دِينًا عَلَى دِين الْإِسْلَام
“Padanya terdapat dalil bahwa ada diantara kaum muslimin yang keluar dari agama (murtad) tanpa dirinya bermaksud untuk keluar dari agama dan tanpa berkeinginan memilih agama lain selain agama Islam” [Fathul-Baariy, 12/301-302].
Mengucapkan tahniah hari raya orang kafir termasuk perbuatan mempopulerkan dan menyemarakkan kelanggengan kekufuran mereka.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ يَحْيَى، أنبأ الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ، ثنا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، ثنا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، قوله: " لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ، قَالَ: لا يُسَاعِدُونَ أَهْلَ الْبَاطِلِ عَلَى بَاطِلِهِمْ وَلا يُمَالِئُونَهُمْ فِيهِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa : Telah memberitakan kepada kami Al-‘Abbaas bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Zurai’ : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘Dan orang-orang yang tidak menghadiri 'az-zuur' (QS. Al-Furqaan : 72), ia berkata : “Tidak menolong/mempromosikan para pelaku kebatilan pada kebatilan mereka dan tidak membantu mereka padanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 15449; shahih].
Sebagaimana di awal, sifat ‘ibaadurrahmaan adalah tidak ikut mempromosikan dan menolong kebatilan yang terkandung dalam ajaran agama orang-orang kafir dengan ucapan tahniah.
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه
“Adapun ucapan selamat (tahniah) dengan syiar-syiar kekufuran yang khusus, maka diharamkan berdasarkan kesepakatan (ulama), seperti ucapan selamat kepada mereka dengan hari raya dan puasa mereka. Misalnya ia mengucapkan ‘iedul-mubaarak untuk kalian, selamat hari raya, atau semisalnya” [Ahkaamu Ahlidz-Dzimmah, 1/441].
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 26122019 – 00:15].


[2]    Meskipun bukan berada di negeri kaum muslimin, bukan berarti seorang muslim boleh ber-tasyabbuh kepada orang kafir dan menampakkan syi’ar-syi’ar mereka. Menjauhi sikap loyalitas yang terlarang dalam agama dalam bentuk apapun dituntut bagi setiap muslim dimanapun ia berada.
NB : Ada hal yang rumit ketika kita hidup di negeri kita yang tercinta ini. Ketika kita katakan negeri kita adalah negeri/negara Islam, mereka (ekstrimis sekuler) menolak karena konstitusi menyatakan bukan negeri/negara Islam. Selain itu, mereka pekewuh dengan orang-orang non-muslim, berdampak buruk terhadap mesin politik, dan kontra dengan kampanye kebhinekaan. Sebaliknya, ketika kita katakan negeri/negara kafir, mereka marah menuduh kita sebagai radikalis, lalu nama kita dimasukkan dalam daftar antrean Lapas Gunung Sindur. Jadi, maunya apa mereka ini….
Adapun saya pribadi, negeri yang saya tinggali adalah negeri Islam yang tegak padanya syiar-syiar besar seperti adzan, shalat Jum’at, shalat ‘Iedain, dan haji. Penguasanya adalah muslim, alhamdulillah, yang berhak untuk ditaati dalam perkara ma'ruf, dinasihati, dan didoakan kebaikan.
[3]    Senada dengan Al-Imaam Muhammad bin Idriis Asy-Syaafi’iy rahimahullah yang berkata:
على أن ليس لكم أن تظهروا في شيء من أمصار المسلمين الصليب، ولا تعلنوا بالشرك، ولا تبنوا كنيسة، ولا موضع مجتمع لصلاتكم، ولا تضربوا بناقوس، ولا تظهروا قولكم بالشرك في عيسى ابن مريم، ولا في غيره لأحد من المسلمين
“Wajib bagi kalian (kaum muslimin) untuk tidak menampakkan salib dalam bentuk apapun di negeri-negeri kaum muslimin, jangan mempublikasikan secara terang-terangan kesyirikan, jangan membangun gereja dan tempat berkumpul untuk peribadahan mereka, jangan memukul/membunyikan lonceng, dan jangan menampakkan perkataan kalian dengan kesyirikan terhadap ‘Isaa bin Maryam atau yang lainnya kepada seorang pun dari kaum muslimin” [Al-Umm, 5/473].
[5]    “Natal” dalam KBBI artinya:
n kelahiran seseorang
n kelahiran Isa Almasih (Yesus Kristus): hari -- hari raya untuk memperingati kelahiran Isa Almasih (tanggal 25 Desember).
[6]    Makanya agak kocak juga pendalilan seorang mubtadi’ dlaal yang membolehkan ucapan selamat Natal dengan ayat:
وَالسَّلامُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُ وَيَوْمَ أَمُوتُ وَيَوْمَ أُبْعَثُ حَيًّا
Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” [QS. Maryam : 33].
Katanya, ayat ini mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi mulia itu.
Bagaimana bisa ayat ini digunakan sebagai dalil keabsahan bolehnya tahniah hari raya Natal kepada orang-orang Nasrani ?. Orang-orang Nasrani merayakannya sebagai hari kelahiran tuhan mereka, sementara mubtadi’ dlaal tersebut mengucapkan selamat kepada mereka dengan dalih ucapan selamat kepada ‘Isa sebagai utusan Allah . Pendalilan ruwet.
Jika si mubtadi’ membolehkan dirinya mengucapkan tahniah hari Natal kepada orang Nasrani, artinya ia ridla dengan keyakinan mereka yang menjadi sebab mereka bergembira di hari tersebut (yaitu kelahiran anak tuhan).
Jika si mubtadi’ tidak meyakini Yesus sebagai anak tuhan, namun hanya sekedar utusan Allah ; SEHARUSNYA ia tidak akan mengucapkan tahniah hari Natal kepada orang-orang Nasrani.
Paradoks.
[7]    Seperti foto yang terekam dari orang yang merasa paling Pancasilais se-Indonesia. Terakhir, orang tersebut mengigau bahwa tidak cukup belajar agama, karena kalau besar bisa bunuh orang. Mungkin yang diinginkannya jika ingin menjadi seorang Indonesian sejati, orang-orang yang belajar agama harus ditambah kurikulum belajar tafsiran Pancasila yang ada di otaknya. Na’uudzubillahi min dzaalik. Seseorang yang belajar agama dengan benar, tidak akan membunuh tanpa hak. Lebih dari itu, bagi seorang muslim, Islam adalah pedoman hidup yang sempurna yang tidak akan membuat manusia tersesat di dunia dan akhirat SELAMA-LAMANYA.
Allah berfirman:
فَإِمَّا يَأْتِيَنَّكُمْ مِنِّي هُدًى فَمَنْ تَبِعَ هُدَايَ فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ
Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati" [QS. Al-Baqarah : 38].
Nabi bersabda:
فَإِنَّ هَذَا الْقُرْآنَ سَبَبٌ طَرَفُهُ بِيَدِ اللَّهِ، وَطَرَفُهُ بِأَيْدِيكُمْ، فَتَمَسَّكُوا بِهِ، فَإِنَّكُمْ لَنْ تَضِلُّوا، وَلَنْ تَهْلِكُوا بَعْدَهُ أَبَدًا
Karena sesungguhnya Al-Qur’an ini adalah perantara yang satu ujungnya ada di tangan Allah dan ujungnya yang lain ada di tangan kalian. Maka berpegangteguhlah kalian dengannya (Al-Qur’an), niscaya kalian tidak akan tersesat selamanya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan no. 122, ‘Abd bin Humaid dalam Al-Musnad no. 483, dan yang lainnya; shahih – lihat Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah no. 713].
Allah berfirman:
وَأَنْزَلَ اللَّهُ عَلَيْكَ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَعَلَّمَكَ مَا لَمْ تَكُنْ تَعْلَمُ
Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Al-Kitab dan Al-Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui” [QS. An-Nisaa’ : 113].
حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ، قَالَ: ثَنَا يَزِيدُ، قَالَ: ثَنَا سَعِيدٌ، عَنْ قَتَادَةَ، وَالْحِكْمَةَ، أَيِ: السُّنَّةَ
Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Mu’aadz, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yaziid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid, dari Qataadah : ‘dan Al-Hikmah’, ia berkata : “Maksudnya As-Sunnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 3/87; sanadnya hasan].
Berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman yang benar (bifahmis-salaf), jaminan keselamatan, jauh dari kesesatan, dan tidak mungkin jadi teroris.
Tidak ingatkah kita dengan sejarah bagaimana seorang tokoh menafsirkan Pancasila kompatibel dengan komunisme ?. Bukti ini menunjukkan bahwa manusia selain Nabi tidak ma’shum, tempatnya salah dan lupa. Apalagi mereka yang tidak doyan agama….

1 komentar: