05 April 2018

Menjawab Adzan Dulu, Atau Langsung Sholat Tahiyyatul Masjid Kemudian Duduk Mendengarkan Khuthbah ?


Yaitu, ketika (menjelang) shalat Jum’at. Para ulama berselisih pendapat. Sebagian ulama mengatakan ia berdiri menjawab adzan, dan ketika telah selesai ia baru shalat tahiyyatul-masjid; sebagian ulama lain mengatakan ia langsung shalat tahiyyatul-masjid agar tidak kehilangan khuthbah Jum’ah dari awal waktu.
Sebelumnya mari kita perhatikan hadits berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " إِذَا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ كَانَ عَلَى كُلِّ بَابٍ مِنْ أَبْوَابِ الْمَسْجِدِ الْمَلَائِكَةُ يَكْتُبُونَ الْأَوَّلَ فَالْأَوَّلَ، فَإِذَا جَلَسَ الْإِمَامُ طَوَوْا الصُّحُفَ وَجَاءُوا يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Nabi : “Apabila hari Jum’at tiba, maka di setiap pintu masjid terdapat malaikat yang mencatat siapa saja yang hadir lebih dahulu (untuk menghadiri shalat Jum’at). Apabila imam telah duduk (di atas mimbar), mereka melipat/menutup lembaran catatan kitab untuk turut mendengarkan adz-dzikr (khutbah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3211 dan Muslim no. 850].

Dalam riwayat Ibnu Maajah terdapat tambahan:
فَمَنْ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا يَجِيءُ بِحَقٍّ إِلَى الصَّلَاةِ
Barangsiapa yang datang setelah itu, maka dirinya hanyalah datang seperti orang datang untuk shalat” [Sunan Ibni Maajah no. 1092].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: مَنِ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ، ثُمَّ رَاحَ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً، وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً، فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ حَضَرَتِ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasululah bersabda : “Barangsiapa yang mandi pada hari Jum’at seperti mandi janabah, lalu segera pergi seawall mungkin ke masjid, seakan-akan ia berkurban seekor unta yang gemuk. Dan barangsiapa pergi pada waktu yang kedua, seakan-akan ia berkurban sapi betina. Dan barangsiapa pergi pada waktu yang ketiga, seakan-akan ia berkurban domba yang bertanduk. Dan barangsiapa pergi pada waktu yang keempat, seakan-akan ia berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang pergi pada waktu yang kelima, seakan-akan ia berkurban sebutir telur. Apabila imam telah keluar (untuk berkhutbah), maka para Malaikat turut hadir sambil mendengarkan dzikir (khuthbah)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 881].
Yang dimaksud dengan ‘menutup lembaran catatan kitab’ adalah lembar catatan keutamaan yang berkaitan dengan bersegera menuju shalat Jum’at [Fathul-Baariy, 2/367]. Hadits ini menunjukkan keutamaan yang sangat besar untuk bersegera datang di hari Jum’at sebelum khaathib memulai khuthbahnya.
Sebagian ulama berdalil dengan hadits di atas tentang wajibnya mendengarkan khuthbah Jum’at [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu Baththaal 4/131], karena malaikat pencatat amal kebaikan ketika khathib naik mimbar dan berkuthbah, menutup lembar catatan amal kebaikan mereka duduk untuk mendengarkannya. Dan itu sesuai firman Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada ‘dzikrullah’ dan tinggalkanlah jual beli” [QS. Al-Jum’ah : 9].
Ternukil dari sebagian ulama seperti Sa’iid bin Al-Musayyib dan Mujaahid rahimahumallah menafsirkan ‘dzikrullah’ dengan nasihat imam (khuthbah Jum’at) [lihat : Mushannaf Ibni Abi Syaibah 2/64 no. 5598 dan Jaami’ul-Bayaan 22/642].
Oleh karena itu jika ada seseorang datang shalat Jum’at ketika adzan telah berkumandang dan khathib sudah duduk di atas mimbar mengucapkan salam, hanya ada dua kondisi:
1.    Orang tersebut tetap berdiri mendengarkan dan menjawab adzan, baru setelah itu shalat tahiyyatul-masjid namun terlambat/ketinggalan mendengarkan awal khuthbah;
2.    Orang tersebut langsung mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid dalam keadaan tidak mendengarkan dan menjawab adzan, namun tidak terlambat/ketingalan mendengarkan awal khuthbah.
Mana yang lebih afdlal ?.
Kondisi pertama mengkonsekuensikan orang tersebut mendapatkan pahala mendengarkan dan menjawab adzan serta shalat tahiyyatul-masjid (yang keduanya hukumnya sunnah mu’akkadah), namun kehilangan kesempatan mendengarkan khuthbah (yang hukumnya wajib) dari awal waktu dan keutamaannya.
Kondisi kedua mengkonsekuensikan orang tersebut mendapatkan pahala shalat tahiyyatul-masjid dan tidak tertinggal mendengarkan khuthbah dari awal waktu, namun kehilangan pahala mendengarkan dan menjawab adzan.
Meraih keutamaan amalan sunnah namun kehilangan keutamaan (kesempurnaan) amalan yang diwajibkan, ataukah meraih keutamaan (kesempurnaan) amalan yang diwajibkan namun kehilangan keutamaan amalan sunnah ?
Dalam kaedah fiqhiyyah disebutkan:
أن الواجب مقدم على المندوب عند التعارض
“Bahwasannya kewajiban lebih didahulukan daripada anjuran ketika terjadi pertentangan”
أن الواجب لا يترك إلا لواجب
“Kewajiban tidak ditinggalkan kecuali untuk sebuah kewajiban (yang lain)”
الواجب لا يترك للسنة
“Kewajiban tidak ditinggalkan untuk sesuatu yang sunnah”
[Referensi : Tanbiihul-Ummah bi-Ushuulin wa Masaailin Jaami’ah hal. 26 dan Al-Mufaadlalah fil-‘Ibaadaat, Qawaa’idun wa Tathbiiqaat hal. 527].[1]
Maka dapat dipahami bahwa dalam hal ini kondisi kedua yang lebih diutamakan.
Al-Mardawiy rahimahullah ketika menukil beberapa pendapat ulama Hanaabilah dalam permasalahan ini, diantaranya ia mengatakan:
قال في الفروع : ولعل المراد : غير أذان الخطبة ، لأن سماع الخطبة أهم اختاره في مجمع البحرين
“Dikatakan dalam kitab Al-Furuu’ : ‘Mungkin yang dimaksudkan adalah selain adzan khuthbah, karena mendengarkan khuthbah lebih penting. Pendapat ini dipilih dalam kitab Majma’ul-Bahrain” [Al-Inshaaf, 1/427].
Al-Bahuutiy rahimahullah menjelaskan lebih lanjut:
قَالَ فِي الْفُرُوعِ : ( وَلَعَلَّ الْمُرَادَ غَيْرُ أَذَانِ الْخُطْبَةِ ) أَيْ : الْأَذَانِ الَّذِي يَكُونُ بَيْنَ يَدَيْ الْخَطِيبِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ ( لِأَنَّ سَمَاعَهَا ) أَيْ : الْخُطْبَةِ أَهَمُّ مِنْ الْإِجَابَةِ ، فَيُصَلِّي التَّحِيَّةَ إذَا دَخَلَ .
"Dalam kitab Al-Furuu’ disebutkan : ‘Mungkin yang dimaksudkan adalah selain adzan khuthbah’; yaitu adzan yang dikumandangkan menjelang khuthbah pada hari Jum'at, karena mendengarkan khuthbah lebih penting daripada menjawab adzan. Maka hendaknya ia langsung shalat tahiyyatul-masjid ketika masuk ke masjid" [Kasysyaaful-Qinaa’, 1/229].
Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah berkata:
ذكر أهل العلم أن الرجل إذا دخل المسجد وهو يسمع الأذان الثاني فإنه يصلي تحية المسجد ولا يشتغل بمتابعة المؤذن وإجابته , وذلك ليتفرغ لاستماع لأن استماعها واجب , وإجابة المؤذن سنة , والسنة لا تزاحم الواجب
“Para ulama menyebutkan bahwa seseorang jika masuk ke masjid pada hari Jum’at dan ketika itu ia mendengar adzan kedua, maka hendaknya ia (langsung) mengerjakan shalat tahiyyatul-masjid dan tidak menyibukkan diri untuk mendengarkan adzan mu’adzdzin dan menjawabnya. Hal itu dilakukan agar ia dapat berkonsentrasi mendengarkan khuthbah, karena mendengarkannya hukumnya wajib sedangkan menjawab adzan hukumnya sunnah. Sunnah tidak dapat menyaingi kewajiban” [Majmuu Al-Fataawaa war-Rasaail, 16/151].
Kasus ini seperti ketika seseorang datang ke masjid untuk shalat berjama’ah sedangkan iqamat sudah dikumandangkan, apakah dirinya shalat tahiyyatul-masjid terlebih dahulu ataukah langsung bergabung ke shaff makmum untuk shalat berjama’ah ?. Tentu dirinya hendaknya langsung bergabung shalat berjama’ah. Nabi bersabda:
إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ، فَلَا صَلَاةَ إِلَّا الْمَكْتُوبَةُ
Apabila iqamat telah dikumandangkan, maka tidak ada shalat kecuali shalat yang wajib” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 710].
Penerapan dalam kasus lain banyak.
Seseorang harus mengedepankan bershadaqah kepada orang yang menjadi kewajiban untuk menanggungnya (tanggung jawabnya) daripada selainnya. Allah ta’ala berfirman:
وَعَلَى ٱلۡمَوۡلُودِ لَهُۥ رِزۡقُهُنَّ وَكِسۡوَتُهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” [QS. Al-Baqarah : 233].
Rasulullah bersabda:
دِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ وَدِيْنَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِيْنٍ وَدِيْنَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ، أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
Satu dinar yang engkau nafkahkan di jalan Allah, satu dinar yang engkau nafkahkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau shadaqahkan kepada seorang miskin, dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu; maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 995].
Orang yang belum berhaji, hendaknya melaksanakan kewajiban haji untuk dirinya sendiri sebelum menghajikan orang lain[2].
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ سَمِعَ رَجُلًا، يَقُولُ: لَبَّيْكَ عَنْ شُبْرُمَةَ، قَالَ: " مَنْ شُبْرُمَةُ؟ " قَالَ: أَخٌ لِي، أَوْ قَرِيبٌ لِي، قَالَ: " حَجَجْتَ عَنْ نَفْسِكَ "، قَالَ: لَا، قَالَ: " حُجَّ عَنْ نَفْسِكَ، ثُمَّ حُجَّ عَنْ شُبْرُمَةَ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhuma : Bahwasannya Nabi mendengar (ketika berhaji) seorang laki-laki mengucapkan talbiyyah haji : ‘Labbaika (kupenuhi panggilan-Mu ya Allah) atas nama hajinya Syubrumah’. Nabi bertanya : “Siapa Syubrumah?”. Ia menjawab : “Saudara saya (atau kerabat saya)”. Beliau kembali bertanya : ”Apakah engkau telah berhaji untuk dirimu sendiri?”. Ia menjawab : “Belum”. Maka beliau bersabda : ”Berhajilah untuk dirmu sendiri, kemudian (kelak) kamu berhaji untuk Syubrumah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1811, Ibnu Majah no. 2903, dan Ibnu Hibbaan no. 962; dishahihkan oleh A-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Dawud 1/509].
Dan yang lainnya.
Lantas bagaimana dengan hadits:
جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ، فَقَالَ: «أَصَلَّيْتَ؟» قَالَ: لَا، قَالَ «فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ
“Telah datang seorang laki-laki dalam keadaan nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- sedang khuthbah ( Jum’at ). Maka beliau-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : “Kamu sudah sholat ( tahiyyatul masjid ) ? “. Orang itu menjawab : “Belum”. Nabi-shollallahu ‘alaihi wa sallam- berkata : “Sholatlah dua rekaat.” [ HR. At-Tirmidzi : 2/385 no : 511, Ibnu Majah : 1/353 no : 1113 dan selain keduanya dan sanadnya dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani –rohimahullah-. Lafadz di atas lafadz  Ibnu Majah ].
???
Bukankah di situ Nabi tetap memerintahkan untuk shalat tahiyyatul-masjid yang hukumnya sunnah padahal khathib sudah memberikan nasihatnya ?
Dijawab :
Kasus ini adalah perkecualian keluar dari kaedah yang disebutkan di atas, karena ada dalil yang menjadi dasar. Seandainya tidak ada dalil tersebut, niscaya tetap sebagaimana asalnya[3]. Pengecualian ini sama seperti kasus seseorang hendak makan dan makanan telah tersedia di hadapannya, lalu iqamat berkumandang; maka ia diperintahkan mendahulukan makannya berdasarkan hadits:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: " إِذَا قُدِّمَ الْعَشَاءُ فَابْدَءُوا بِهِ قَبْلَ أَنْ تُصَلُّوا صَلَاةَ الْمَغْرِبِ، وَلَا تَعْجَلُوا عَنْ عَشَائِكُمْ
Dari Anas bin Maalik, bahwasannya Rasulullah pernah bersabda : “Apabila makan malam telah tersedia, dahulukan makan malam sebelum engkau melaksanakan shalat Maghrib. Dan jangan engkau tergesa-gesa dari makan malam kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 672 & 5463, Muslim no. 557, At-Tirmidziy no. 353, An-Nasaa’iy no. 853, dan Ibnu Maajah no. 933].
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: " إِذَا وُضِعَ الْعَشَاءُ وَأُقِيمَتِ الصَّلَاةُ فَابْدَءُوا بِالْعَشَاءِ " قَالَ: وَتَعَشَّى ابْنُ عُمَرَ وَهُوَ يَسْمَعُ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi , beliau bersabda : “Apabila makan malam telah dihidangkan sedangkan shalat sudah ditegakkan (iqamat), maka dahulukan makan malam”. Naafi’ berkata : “Ibnu ‘Umar pernah makan malam sedangkan ia mendengar bacaan imam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy 354; shahih].
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا وُضِعَ عَشَاؤُهُ أَوْ حَضَرَ عَشَاؤُهُ لَمْ يَقُمْ حَتَّى يَفْرُغَ، وَإِنْ سَمِعَ الْإِقَامَةَ، وَإِنْ سَمِعَ قِرَاءَةَ الْإِمَامِ
“Apabila makan malam telah dihidangkan, maka ‘Abdullah (bin ‘Umar) tidak berdiri shalat hingga ia menyelesaikan makannya, meskipun ia mendengar iqamah dan bacaan imam” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3757; shahih].
Padahal hukum asal makan adalah mubah.
Ini dalam kondisi, makanan telah tersedia dan sudah hendak makan, lalu adzan/iqamat berkumandang[4]. Jika makanan belum tersedia atau makanan telah tersedia namun yang bersangkutan belum hendak makan, hendaknya ia mendahulukan shalat[5].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Inilah sedikit yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – rnn – 05042018 – merupakan kelanjutan dari artikel Masuk Masjid Ketika Adzan Jum’at Dikumandangkan].



[1]    Diantara dalil kaedah-kaedah ini adalah sabda Nabi :
وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ
Dan tidaklah seorang hamba bertaqarrub (mendekatkan diri dengan beribadah) kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku wajibkan kepadanya. Dan senantiasa hamba-Ku (konsisten) bertaqarrub kepada-Ku dengan amalan sunnah hingga Aku mencintainya….” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6502].
[2]    Meskipun jika ia mendahulukan menghajikan orang lain, tetap sah.
[3]    Bahkan para ulama berbeda pendapat dalam masalah seseorang yang datang ketika khuthbah Jum’at telah dimulai, apakah ia langsung duduk mendengarkan khuthbah ataukah shalat tahiyyatul-masjid terlebih dahulu. Hanafiyyah dan Maalikiyyah berpendapat orang tersebut langsung duduk mendengarkan khuthbah dan tidak boleh baginya shalat, sedangkan Syaafi’iyyah dan Hanaabilah sebaliknya, yaitu orang tersebut shalat (tahiyyatul-masjid) terlebih dahulu dengan ringkas, baru kemudian duduk mendengarkan khuthbah. Masing-masing membawakan dalil, namun yang raajih dalam hal ini adalah pendapat Syaafi’iyyah dan Hanaabilah karena dalil yang mereka bawakan shahih lagi sharih yang menjadi pengecualian (istitsnaa’) dalil-dalil yang dibawakan Hanafiyyah dan Maalikiyyah, wallaahu a’lam.
[4]    An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فِي هَذِهِ الْأَحَادِيث كَرَاهَة الصَّلَاة بِحَضْرَةِ الطَّعَام الَّذِي يُرِيد أَكْله ، لِمَا فِيهِ مِنْ اِشْتِغَال الْقَلْب بِهِ ، وَذَهَاب كَمَالِ الْخُشُوع ، ....... ، وَهَذِهِ الْكَرَاهَة عِنْد جُمْهُور أَصْحَابنَا وَغَيْرهمْ إِذَا صَلَّى كَذَلِكَ وَفِي الْوَقْت سَعَة ، فَإِذَا ضَاقَ بِحَيْثُ لَوْ أَكَلَ أَوْ تَطَهَّرَ خَرَجَ وَقْت الصَّلَاة صَلَّى عَلَى حَاله مُحَافَظَة عَلَى حُرْمَة الْوَقْت ، وَلَا يَجُوز تَأْخِيرهَا
“Dalam hadits-hadits ini terdapat petunjuk tentang dimakruhkannya shalat ketika makanan telah dihidangkan bagi orang yang hendak memakannya, karena akan menyebabkan kesibukan hati terhadapnya dan hilangnya kesempurnaan kekhusyukan…. Kemakruhan ini menurut jumhur shahabat kami dan yang lainnya, apabila waktu shalat masih luas. Namun apabila waktu shalat sempit sekiranya jika ia makan lalu bersuci (wudlu) menyebabkan waktu shalat habis, maka ia harus shalat pada waktu tersebut untuk menjaga kehormatan waktu  shalat, dan tidak diperbolehkan untuk mengakhirkannya” [Syarh Shahiih Muslim, 5/46].
Silakan baca artikel : Makan Dulu atau Shalat Dulu ?.
[5]    Sesuai keumuman dalil:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ، فَلاَ صَلاَةَ لَهُ، إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa mendengar adzan lalu tidak mendatanginya, maka tidak ada shalat baginya (tidak sempurna shalatnya) kecuali bagi yang memiliki udzur” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 793].
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِحَطَبٍ فَيُحْطَبَ، ثُمَّ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَيُؤَذَّنَ لَهَا، ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيَؤُمَّ النَّاسَ، ثُمَّ أُخَالِفَ إِلَى رِجَالٍ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ يَعْلَمُ أَحَدُهُمْ أَنَّهُ يَجِدُ عَرْقًا سَمِينًا أَوْ مِرْمَاتَيْنِ حَسَنَتَيْنِ لَشَهِدَ الْعِشَاءَ
Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sesungguhnya aku bertekad untuk menyuruh seseorang agar mengumpulkan kayu bakar, lalu aku menyuruh shalat dan diserukan adzan untuknya. Kemudian aku suruh seorang laki-laki mengimami manusia. Setelah itu aku datangi orang-orang yang tidak menghadiri shalat jama’ah dan akan aku bakar rumah-rumah mereka. Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya salah seorang di antara mereka tahu bahwa ia akan memperoleh sepotong daging gemuk dan dua kaki (daging) hewan berkuku belah yang baik, niscaya ia akan mendatangi shalat ‘isya’” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 644].
NB : Terlepas perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait hukum shalat berjama’ah di masjid yang tentunya memerlukan pembahasan tersendiri..

1 komentar:

  1. ada planning utk fulltime pada ilmu din tadz ?
    mungkin coba beberapa tahun mulazamah bersama ulama.

    antum punya banyak bekal dan kelebihan. jangan sia-siakan itu.

    BalasHapus