Pada kesempatan ini sedikit
akan dibahas tentang al-amru (الْأَمْرُ) atau perintah. Definisi
perintah dalam ushul al-fiqh adalah :
استدعاء الفعل بالقول على وجه الاستعلاء
“Memerintahkan untuk
melakukan sesuatu dengan satu perkataan dalam bentuk al-isti’laa’ (dari
yang lebih tinggi kepada yang lebih rendah)” [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqhi,
hal. 224].
Atau bisa juga dikatakan :
قول يتضمن طلب الفعل على وجه
الاستعلاء
”Perkataan yang mengandung
tuntutan melakukan sesuatu dalam bentuk al-isti’laa’ (dari yang lebih
tinggi kepada yang lebih rendah)” [Syarh Al-Ushuul min ‘Ilmil-Ushuul, hal.
107].
Ada juga definisi yang lain,
tapi mirip-miriplah dengan apa yang saya tuliskan di atas.
Bagaimana bentuk-bentuk perintah itu ?
Asy-Syinqithi rahimahullah menjelaskan sebagai berikut :
1.
Fi’il amr, seperti dalam
ayat :
أَقِمِ الصَّلاةَ
”Dirikanlah shalat…” (QS. Al-Israa’ : 78)
2.
Fi’il mudlari’ majzum
dengan lam amr, seperti dalam ayat :
فَلْيَحْذَرِ
الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut…”
(QS. An-Nuur : 63)
3.
Isim fi’il amr, seperti dalam
ayat :
عَلَيْكُمْ
أَنْفُسَكُمْ
”….jagalah dirimu…” (QS. Al-Maaidah : 105)
4.
Mashdar pengganti dari fi’il
amr, seperti dalam ayat :
فَضَرْبَ الرِّقَابِ
”… maka pancunglah batang leher mereka…” (QS. Muhammad : 4)
[Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh,
hal. 225].
Nah, ... sekarang menginjak
pada penunjukan shighah amr. Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini
yang terangkum sebagai berikut :
1.
shighah amr menunjukkan pengertian wajib
secara mutlak;
2.
shighah amr menunjukkan pengertian
mubah;
3.
shighah amr menunjukkan pengertian anjuran;
4.
shighah amr menunjukkan pengertian
wajib, kecuali bila terdapat dalil yang memalingkannya ke pengertian yang lain.
Yang rajih adalah menurut
jumhur ulama ushul-fiqh adalah pendapat yang keempat. Dari pendapat inilah
terbangun kaidah :
الأصل في الأمر تفيد الوجوب
”Asal dari satu perintah
menunjukkan pengertian wajib”.
Banyak dalil yang digunakan
para ulama ushul-fiqh untuk membangun kaidah ini. Diantaranya adalah
firman Allah ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ
أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
”Maka
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
Segi pendalilannya adalah
bahwa bahwa Allah ta’ala telah memperingatkan dan mengancam orang-orang
yang menyalahi perintah syari’at (yaitu perintah Rasululullah ﷺ) dengan adzab yang pedih. Hal ini menunjukkan perintah Rasul ﷺ itu secara umum menunjukkan konsekuensi hukum wajib.
Juga firman Allah ta’ala:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا
قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ
”Dan tidaklah patut bagi
laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila
Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka
pilihan (yang lain) tentang urusan mereka” [QS. Al-Ahzaab : 36].
Dalam ayat ini Allah ta’ala
melarang untuk menjadikan perintah-Nya dan perintah Rasul-Nya sebagai
pilihan (boleh diambil boleh tidak). Konsekuensinya, kemutlakan perintah Allah
dan perintah Rasul di sini tidaklah mungkin terjadi kecuali jika mengandung
konsekuensi wajib.
Juga firman Allah ta’ala:
أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي
”Maka apakah kamu telah
(sengaja) mendurhakai perintahku?” [QS. Thaahaa : 93].
Mafhum
muwafaqah ayat ini menunjukkan bahwa menyelisihi perintah adalah sebuah
kedurhakaan/kemaksiatan). Tidaklah kedurhakaan/kemaksiatan itu muncul dari satu
perintah kecuali perintah tersebut merupakan kewajiban.
Kaidah inilah yang dikuatkan
oleh Asy-Syaukani dalam Irsyaadul-Fuhuul, Asy-Syinqithi dalam Mudzakkirah
fii Ushulil-Fiqhi, dan Ibnu ’Utsaimin rahimahumullah dalam Al-Ushul
min ’Ilmil-Ushul.
Adakalanya perintah itu
keluar dari hukum wajib ke beberapa makna hukum yang lain. Di antaranya :
1.
Mandub (dianjurkan), sebagaimana
firman Allah ta’ala :
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ
”Dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli” [QS. Al-Baqarah : 282].
Mendatangkan saksi dalam jual
beli di sini hanyalah anjuran saja karena ada dalil yang memalingkannya, yaitu
Rasulullah ﷺ pernah membeli seekor kuda dari seorang Arab Badui tanpa adanya
saksi, sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Daawud no. 3607, An-Nasaa’iy
no. 4647, Ahmad 5/215, dan yang lainnya.
Begitu pula dengan ayat:
وَهُوَ الَّذِي أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ نَبَاتَ
كُلِّ شَيْءٍ فَأَخْرَجْنَا مِنْهُ خَضِرًا نُخْرِجُ مِنْهُ حَبًّا مُتَرَاكِبًا
وَمِنَ النَّخْلِ مِنْ طَلْعِهَا قِنْوَانٌ دَانِيَةٌ وَجَنَّاتٍ مِنْ أَعْنَابٍ
وَالزَّيْتُونَ وَالرُّمَّانَ مُشْتَبِهًا وَغَيْرَ مُتَشَابِهٍ انْظُرُوا إِلَى
ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَيَنْعِهِ إِنَّ فِي ذَلِكُمْ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يُؤْمِنُونَ
”Dan Dialah yang
menurunkan air hujan dari langit, lalu kami tumbuhkan dengan air itu segala
macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman
yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang
banyak; dan dari mayang kurma mengurai tangkai-tangkai yang menjulai, dan
kebun-kebun anggur, dan (Kami keluarkan pula) zaitun dan delima yang serupa dan
yang tidak serupa. Perhatikanlah buahnya di waktu pohonnya berbuah, dan
(perhatikan pulalah) kematangannya. Sesungguhnya pada yang demikian itu ada
tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman” [QS. Al-An’aam
: 99].
Kalimat undhuruu ilaa
tsamarihi tentu tidak menunjukkan makna wajib. Ia hanya anjuran saja karena
keseluruhan ayat hanya menunjukkan pengambilan ’ibrah saja. Selain itu, qarinah
pemalingannya banyak, baik secara naql dan ’aql. Secara naql,
banyak sekali dalil yang menunjukan bahwa keberadaan buah di pohonnya tidaklah harus
selalu dilihat setiap waktu. Kita tengok kisah Maryam ketika bersandar di
pangkal pohon kurma :
فَحَمَلَتْهُ فَانْتَبَذَتْ بِهِ مَكَانًا قَصِيًّا (22)
فَأَجَاءَهَا الْمَخَاضُ إِلَى جِذْعِ النَّخْلَةِ قَالَتْ يَا لَيْتَنِي مِتُّ
قَبْلَ هَذَا وَكُنْتُ نَسْيًا مَنْسِيًّا (23) فَنَادَاهَا
مِنْ تَحْتِهَا أَلَّا تَحْزَنِي قَدْ جَعَلَ رَبُّكِ تَحْتَكِ سَرِيًّا (24) وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ
رُطَبًا جَنِيًّا (25)
”Maka Maryam
mengandungnya, lalu ia menyisihkan diri dengan kandungannya itu ke tempat yang
jauh. Maka rasa sakit akan melahirkan anak memaksa ia (bersandar) pada pangkal
pohon kurma, ia berkata: "Aduhai, alangkah baiknya aku mati sebelum ini,
dan aku menjadi sesuatu yang tidak berarti, lagi dilupakan". Maka Jibril
menyerunya dari tempat yang rendah: "Janganlah kamu bersedih hati,
sesungguhnya Tuhanmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyanglah
pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah
kurma yang masak kepadamu” [QS. Maryam : 22-25].
Dalam ayat tersebut ketika
Maryam berada di dekat pohon kurma, bahkan ia bersandar padanya, tidak ada
perintah agar ia melihat buahnya di tangkal pohonnya. Selain itu, dalam kisah
tidak ada khabar yang menyebutkan bahwa Maryam melihat buah kurma ketika ada di
tangkal pohonnya. Bahkan, perintah yang datang kepadanya hanyalah untuk
menggoyangkan pohon kurma agar kurma yang masak dapat jatuh. Ini dalil naqli.
Adapun dalil ’aqli, maka sungguh tidak masuk akal jika kita harus selalu
memperhatikan dan melihat buah-buahan yang ada di sekitar kita.
2.
Mubah (boleh)
Pada umumnya, konsekuensi
hukum ini ada jika perintah datang setelah adanya larangan. Ini merupakan
pendapat Asy-Syaafi’iy sebagaimana dinukil oleh Asy-Syinqithiy rahimahumallah
dalam Al-Mudzakkirah. Asy-Syinqithiy rahimahullah dalam
kitabnya sebenarnya menyebutkan tiga pendapat dalam masalah ini (konsekuensi
hukum perintah yang datang setelah adanya larangan), namun kemudian beliau
merajihkan pendapat Asy-Syaafi’iy rahimahumallah. Dan itu pula yang
diterangkan Ibnu ’Utsaimin dalam Al-Ushul min ’Ilmil-Ushuul.
Asy-Syinqithiy rahimahullah kemudian merinci permasalahan ini bahwa permasalahan
tersebut kembali pada hukum perbuatan sebelum adanya larangan. Jika hukum
perbuatan tersebut semula adalah boleh, maka setelah adanya larangan ia kembali
ke hukum boleh (jaaiz). Jika semula hukum perbuatan itu wajib, maka ia kembali
pada hukum wajib.
Contohnya adalah firman Allah
ta’ala:
وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا
”Jika engkau telah
bertahallul maka berburulah" [QS. Al-Maidah : 2].
Letak larangannya terdapat
dalam ayat sebelumnya yaitu :
أُحِلَّتْ لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ
مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ
”Dihalalkan bagimu
binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (Yang demikian itu)
dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji” [QS.
Al-Maaidah : 1].
Kita kaitkan dengan bahasan, apa
hukum berburu sebelum adanya larangan (ketika ihram) ? Jawab : Boleh (mubah).
Maka setelah adanya larangan dalam ayat 1, fi’il amr di atas (yaitu : fasthaaduu)
bermakna : boleh berburu. Bukan wajib berburu.
Selain itu, hukum mubah di
sini juga bisa datang jika perintah datang sebagai suatu jawaban dari sesuatu
yang disangka dilarang. Contohnya adalah
:
افْعَلْ وَلَا حَرَجَ
“Lakukanlah dan (hal itu) tidak apa-apa” [Muttafaqun ‘alaihi].[1]
Perkataan tersebut sebagai satu jawaban atas orang yang bertanya kepada
beliau ﷺ pada
haji wadaa' tentang mendahulukan amalan-amalan haji yang satu terhadap
yang lainnya.
3.
Ancaman.
Diantara dalilnya adalah
firman Allah ta’ala:
اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
”Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat
apa yang kamu kerjakan” [QS. Al-Fushshilat : 40].
Juga dalam firman-Nya :
فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا
لِلظَّالِمِينَ نَارًا
”Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barang siapa yang ingin (kafir)
biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang lalim
itu neraka” [QS. Al-Kahfi : 29].
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’ – 10052007 –
02:29].
[1] Selengkapnya:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ
وَقَفَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ بِمِنًى لِلنَّاسِ يَسْأَلُونَهُ فَجَاءَهُ رَجُلٌ،
فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ؟ فَقَالَ: اذْبَحْ وَلَا
حَرَجَ، فَجَاءَ آخَرُ، فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ؟
قَالَ: ارْمِ وَلَا حَرَجَ، فَمَا سُئِلَ النَّبِيُّ ﷺ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلَا
أُخِّرَ إِلَّا قَالَ: افْعَلْ وَلَا حَرَجَ "
Dari ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash : Bahwasannya
Rasulullah ﷺ berdiri di Mina ketika haji wadaa’ memberi kesempatan
kepada manusia untuk bertanya kepada beliau ﷺ. Lalu ada seseorang yang mendatangi
beliau ﷺ dan berkata: “Aku tidak menyadari, ternyata saat aku mencukur
rambut sebelum aku menyembelih”. Maka beliau ﷺ bersabda : “Sembelihlah, tidak apa-apa”. Kemudian
datang orang lain dan berkata : “Aku tidak menyadari, ternyata ketika berkurban
sebelum aku melempar (jumrah)“. Beliau ﷺ bersabda : “Lemparlah dan tidak apa-apa”. Dan tidaklah
Nabi ﷺ ditanya tentang sesuatu
perkara sebelum dan sesudahnya kecuali beliau menjawab : “Lakukanlah dan
tidak apa-apa” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 83 & 124 & 1736
& 1738 & 6665, Muslim no. 1306].
Comments
Ana pernah dengar ada orang berpendapat
الأصل في الأمر يفيد الوقف
Apakah antum pernah mendengar ada ushuliy berpendapat seperti ini ustadz?
Apakah dengan begitu bahwa hal dibawah ini wajib?
1. Berdo'a tiap keadaan yang dicontohkan Rasulullah. Contoh: Mau makan, melihat bulan, ketika hujan, dsb
2. Melakukan adab" bangun tidur dan mau tidur.
Dan yang semacam itu Ustadz. Atau perlu dirinci? (karena contoh yg saya sebutkan belum ketemu pemalingnya)
Posting Komentar