Bhineka
Tunggal Ika, kebhinekaan, pluralitas/pluralisme, dan toleransi adalah kata-kata
popular yang muncul di berbagai media. Apalagi semenjak partai merah berkuasa –
setelah (katanya) 10 tahun ‘puasa’[1]
–, kata-kata tersebut menjadi jauh lebih sering dan nyaring. Apakah salah ?.
Tidak sepenuhnya salah. Yang jadi salah (diantaranya) muncul kecondongan penafsiran
kebhinekaan dalam bentuk pluralisme agama. Sebagaimana jamak diketahui, paham pluralisme
sendiri sangat ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia melalui fatwanya yang
telah dirilis beberapa tahun silam. Alhamdulillah, banyak kaum muslimin
Indonesia masih memegang fithrahnya menolak pluralisme agama. Banyak pula tokoh
dan kiyai kita, terutama dari kalangan NU, yang memahami pluralisme hanya
sekedar sikap sosial saling menghormati pemeluk agama lain tanpa meyakini
eksistensi kebenaran majemuk semua agama. Hanya Islam agama yang benar. Sekali
lagi, patut kita syukuri.
Tentu
ada pengecualiannya dari kalangan oknum – baik individu maupun kelompok, besar
atau kecil – yang menyimpang dari garis normal tersebut. Di satu sisi mereka
dengungkan secara keras keberagaman dan toleransi secara eksternal, di sisi
lain sangat primitif dalam masalah toleransi secara internal.
Betapa
tidak ?!.
Dengan
suka dan rela gereja-gereja dijaga dan diamankan, agar orang yang melakukan ibadah
kesyirikan di dalamnya merasa nyaman. Sementera saya yakin mereka pernah
melewati bacaan ayat Al-Qur’an:
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ
ٱللَّهَ هُوَ ٱلۡمَسِيحُ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ
“Sesungguhnya
telah kafirlah orang-orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al-Masih
putra Maryam’” [QS. Al-Maaidah : 17 & 72].
لَّقَدۡ كَفَرَ ٱلَّذِينَ قَالُوٓاْ إِنَّ ٱللَّهَ
ثَالِثُ ثَلَٰثَةٖۘ وَمَا مِنۡ إِلَٰهٍ إِلَّآ إِلَٰهٞ وَٰحِدٞۚ وَإِن لَّمۡ
يَنتَهُواْ عَمَّا يَقُولُونَ لَيَمَسَّنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ مِنۡهُمۡ عَذَابٌ
أَلِيمٌ
“Sesungguhnya
kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwa Allah salah satu dari yang tiga,
padahal sekali-kali tidak ada Rabb (yang berhak disembah) selain Rabb Yang Esa.
Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang
yang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih” [QS.
Al-Maaidah : 73].
Dengan
suka dan rela mereka melakukan doa bersama lintas agama dengan berbagai motif
untuk sekedar simbol toleransi dan persatuan[2].
Mungkin saja prinsipnya ‘berbeda-beda tuhan namun tetap dikabulkan jua’.
Saya yakin, Anda tidak membenarkan apa yang mereka lakukan karena MUI telah
mengeluarkan fatwa bid’ah dan haramnya acara tersebut dengan rincian:
1.
Doa bersama yang
dilakukan oleh orang Islam dan non-muslim tidak dikenal dalam Islam. Oleh
karenanya, termasuk bid’ah.
2.
Doa Bersama dalam
bentuk “Setiap pemuka agama berdoa secara bergiliran” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamini doa yang dipimpin
oleh non-muslim.
3.
Doa Bersamadalam
bentuk “Muslim dan non-muslim berdo’a secara serentak” (misalnya mereka membaca
teks doa bersama-sama) hukumnya haram.
4.
Doa Bersama dalam
bentuk “Seorang non-Islam memimpin doa” maka orang Islam haram mengikuti dan mengamininya.
5.
Doa Bersama dalam
bentuk “Seorang tokoh Islam memimpin doa” hukumnya mubah.
6.
Doa dalam bentuk
“Setiap orang berdo’a menurut agama masing-masing” hukumnya mubah.
Bagaimanakah
sikap mereka terhadap kaum muslimin yang berbeda paham dengan mereka ?. Saya
ajak membaca sebagian fakta yang sempat booming:
1.
Pengambilalihan paksa
Masjid As-Salam yang dikelola Muhammadiyyah (sertifikat Nomor 3 tanggal 23/9/2008
atas nama PC Muhammadiyah Cengkareng) di Cengkareng Barat (27/2/2015) yang
ditindaklanjuti dengan tindakan arogan moncoret plang masjid, memaksa menggelar
seremoni maulid yang dihadiri habaaib dan massa (dimana tradisi ini tidak
dilaksanakan oleh Muhammadiyyah), mengganti khathib dan imam secara sepihak,
dan lainnya (selengkapnya : http://sangpencerah.id/2015/02/kronologis-penyerobotan-masjid/).
Kasus
ini sempat menghebohkan jagad media yang akhirnya dapat diselesaikan secara
damai.
2.
Ittihadul Ma’ahid
Muhammadiyah (ITMAM/Persatuan Pondok Pesantren Muhammadiyah) yang sedang mengadakan
Daurah Tahfidzul-Qur’an (program dua bulan dengan target hafal 30 juz) di
Karimunjawa, Jepara; dibubarkan paksa. Diantara alasannya adalah
ketiadaan IMB (http://sangpencerah.id/2017/09/kelompok dan http://sangpencerah.id/2017/09). Memang terkesan mengada-ada (baca : dibuat
agar ada), karena masjid-masjid yang dikelola NU pun banyak yang belum ber-IMB.
Passion mereka hanyalah menyasar ke masjid-masjid non-NU.
3.
Mendemo dan menolak
pembangunan (kembali) Masjid Imam Ahmad bin Hanbal Bogor yang telah memiliki
IMB. Padahal, masjid ini telah berdiri semenjak 2001. Mungkin karena melihat
celah peluang menolak masjid ketika masih berdiri kecil, maka ketika masjid
dirobohkan untuk direnovasi dengan memperbaharui IMB, peluang itu ada dan tak
mereka sia-siakan. ‘Cerdas’. Dengan modal hasutan (wahabi, eksklusif, bukan
masjid umum, dll.), terkumpullah massa untuk melakukan demo di kantor Wali Kota
(29/8/2017) yang akhirnya atas desakan itu Walikota akan membatalkan IMB Masjid
Ahmad bin Hanbal yang telah diperoleh secara sah (http://bogor.tribunnews.com/, https://www.merdeka.com/, dan https://www.republika.co.id/berita/).
4.
Perobohan dan
perebutan tanah waqaf Masjid Al-Ikhlash/Baitul-Muttaqin Muhammadiyyah di Dusun
Jimus, Desa Pule, Kecamatan Modo, Lamongan pada tahun 1993 oleh sekelompok warga
yang merasa mayoritas. Masih di wilayah yang sama, pembangunan masjid baru Muhammadiyyah
mengalami berbagai tekanan dan gangguan sebelum akhirnya dapat diresmikan pada
tanggal 15 Agustus 2017 (https://pwmu.co/34548/ dan
https://pwmu.co/34653/).
5.
Demo pada bulan Mei 2014 terhadap pengurus Mushalla An-Nurjannah
Desa Yunyang, Kecamatan Modo, Kab. Lamongan (H. Darim) yang dikatakan
‘mendominasi’ kegiatan masjid. Para pendemo berhasil menonaktifkan H. Darim dan
melarangnya menjadi imam. Padahal H. Darim hanya mengaktifkan mushalla yang selama
ini cenderung vakum dan kemudian mengadakan pengajaran agama untuk warga
sekitar. Kegiatan ini sudah berlangsung selama 14 tahun tanpa ada warga sekitar
yang protes dan merasa terganggu. Lalu datanglah kelompok yang mengatasnamakan
warga (?) yang melakukan apa yang mereka lakukan.
Setelah 2 bulan dilarang melakukan aktivitas,
datang bantuan dari Yayasan Bina Muwahhidin untuk membangunkan masjid di tempat
tersebut. Masjid tersebut sekarang telah berdiri dan dinamakan Masjid Jauharo
Ali Muhammadiyah (https://pwmu.co/7942/).
6.
Dan yang lainnya.
Ini hanya segelintir contoh yang dapat
ditelusuri di internet. Yang lain masih banyak. Apalagi cerita berdasarkan
pengalaman individu. Sengaja saya ambilkan mayoritas contohnya adalah kasus Muhammadiyyah
vs (oknum) NU, karena lebih gampang diindera dan dibuktikan. Konflik klasik
yang sudah berusia 1 abad semenjak kelahirannya.
Warga Muhammadiyyah mengakui Wahabi era dulu sangat
diidentikkan dengan mereka (http://www.suaramuhammadiyah.id/2016/). Begitu juga kaum kaum
tradisionalis aswaja yang dalam hal ini diwakili oleh suara Habib Munzir ketika menjawab pertanyaan kaitan
Muhammadiyyah dengan Wahabi. Habib Munzir secara jelas menyatakan : “Muhammadiyyah
tidak termasuk salah satu dari Madzhab Ahlussunnah waljamaah, karena
banyak hal yg mereka tentang, dan Muhammadiyyah ini hanya ada di indonesia
saja, di negeri lain dikenal dengan sebutan wahabi, dan faham wahabi ini
bertentangan dengan 4 Madzhab Ahlussunnah waljamaah” (http://www.majelisrasulullah.org/forums/ atau http://carauntuk.com/). Walhasil, kaitan Muhammadiyyah dengan stigma
Wahabi di sini valid karena ada statement dari objek maupun subjeknya.
Telinga kaum tradisonalis aswaja (NU) kerap memerah
apabila mendeteksi sinyal 4G dakwah Wahabi Muhammadiyyah memberantas TBC,
takhayyul-bid'ah-churafat. Menilik sejarahnya, tidak terlalu mengherankan
karena pemicu didirikannya NU sendiri diantaranya adalah untuk menghadapi
‘Wahabisme’ yang kala itu – menurut Masdar F. Mas’udi – menguasai Arab Saudi (http://www.nu.or.id/post). Sentimen yang terjadi di Timur Tengah ditarik
ke dalam negeri untuk mengimbangi ormas yang lebih dahulu lahir yang diklaim
sebagai duplikasi Wahabi Saudi.
Konflik fisik berupa penyerangan dan
pengusiran oleh oknum Aswaja (NU) yang merasa mayoritas bukan sesuatu yang aneh
buat warga Muhammadiyyah. Sebagian konflik ini telah direkam dalam beberapa tulisan/penelitian
akademik, diantaranya:
1.
Skripsi berjudul : KOFLIK
ANTARA NU DAN MUHAMMADIYAH (1960-2002) (Studi Kasus di Wonokromo Pleret Bantul
Yogyakarta) - http://digilib.uin-suka.ac.id/1084/.
2.
Skripsi berjudul : KONFLIK dan INTEGRASI : Antara Penganut NU dan
Muhammadiyah di Dusun Sumber Langgeng Kel. Sumberejo, Kec. Pakal, Kota
Surabaya. http://repository.unair.ac.id/18382/.
Atau konflik kaum tradisionalis aswaja versus
‘Wahabi’ versi lain, seperti Persis sebagaimana dilakukan Ayub (2011) untuk
studi kasus di Kelurahan Mekarsari, Depok (http://repository.uinjkt.ac.id/).
Semakin lama, area konflik semakin melebar
sehingga semua orang, kelompok, organisasi, atau ormas non-tradisional dianggap
Wahabi di luar border aliran Aswaja (versi mereka). Muhammadiyyah,
Persis, Al-Irsyad, dan terakhir Salafi. Objek-objek ini dianggap mengganggu
eksistensi kaum tradisionalis aswaja tanah air - kaum yang menganggap diri paling
moderat, Pancasilais, pro-kebhinekaan, dan toleran.
Beberapa
masalah yang sering dijadikan media provokasi umat antara lain bid’ah, maulid,
tahlil, yasinan, qunut Shubuh, tawassul, ngalap berkah (tabaruk), istighatsah, dan
beberapa budaya lokal yang dilakukan masyarakat. Mari kita sekilas melihat
substansi sebagian alergen mereka:
1.
Bid’ah
Kaum
tradisionalis aswaja (NU) maunya ada bid’ah hasanah – selain madzmumah - berdasarkan
qaul Al-Imaam Asy-Syaafi’iy rahimahullah:
الْبِدْعَةُ بِدْعَتَانِ:
بِدْعَةٌ مَحْمُودَةٌ، وَبِدْعَةٌ مَذْمُومَةٌ، فَمَا وَافَقَ السُّنَّةَ فَهُوَ
مَحْمُودٌ، وَمَا خَالَفَ السُّنَّةَ فَهُوَ مَذْمُومٌ
“Bid’ah
itu ada dua macam yaitu : (1) bid’ah yang terpuji, dan (2) bid’ah yang tercela.
Maka segala hal yang sesuai dengan sunnah, maka hal itu adalah (bid’ah yang)
terpuji, sedangkan yang menyelisihi sunnah adalah (bid’ah yang) tercela” [Diriwayatkan
oleh Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’, 9/113].
Asy-Syaafi’iy
rahimahullah berdalil dengan perkataan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu ketika shalat tarawih di bulan Ramadlaan:
نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هِيَ
“Sebaik-baik
bid’ah adalah hal itu” [idem].
Adapun
non-tradionalis memahami bid’ah itu semuanya tercela, tidak ada yang baik
sebagaimana keumuman sabda Nabi ﷺ:
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan
berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru (dalam agama), karena
setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
kesesatan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4607; shahih[3]].
Juga
perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu:
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ،
وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap
bid’ah adalah sesat, meskipun orang-orang memandangnya sebagai satu kebaikan
(bid'ah hasanah)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Madkhal no.
19; sanadnya hasan].
Mu’aadz
bin Jabal radliyallaahu ‘anhu:
فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ
مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ
“Maka
berhati-hatilah kalian dari segala sesuatu yang dibuat-buat (oleh manusia),
karena sesungguhnya apa-apa yang dibuat-buat (bid’ah) itu adalah kesesatan”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4611; shahih].
Saya
tahu kaum tradisionalis aswaja punya sanggahan. Begitu juga sebaliknya. Masing-masing
punya rincian (tafshiil) dari apa yang mereka pahami.
2.
Perayaan Maulid Nabi ﷺ
Kaum
tradisionalis aswaja maunya merayakan maulid Nabi ﷺ karena dianggap sunnah dan bukti kecintaan
mereka kepada beliau ﷺ. Diantara dalil yang mereka pergunakan adalah
hadits :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، قَالَ: " قَدِمَ النَّبِيُّ ﷺ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: مَا هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا يَوْمٌ صَالِحٌ، هَذَا يَوْمٌ
نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ، فَصَامَهُ مُوسَى، قَالَ: فَأَنَا
أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ، فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ "
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhu : “Ketika Nabi ﷺ tiba di Madinah, beliau ﷺ melihat
orang-orang Yahudi berpuasa di hari ‘Aasyuuraa’. Lalu beliau ﷺ bersabda
: ‘Apa yang kalian lakukan ?’. Mereka (Yahudi) berkata : ‘Ini adalah
hari baik. Ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani Israaiil dari musuh
mereka, lalu Muusaa pun berpuasa pada hari itu’. Beliau ﷺ bersabda
: ‘Aku lebih berhak terhadap Muusaa daripada kalian’. Maka beliau pun
berpuasa dan memerintahkan (orang-orang) untuk berpuasa” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 2004 dan Muslim no. 1130].
As-Suyuuthiy menukil
perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahumallah:
أصل عمل المولد بدعة لم تنقل
عن أحد من السلف الصالح من القرون الثلاثة ، ولكنها مع ذلك قد اشتملت على محاسن
وضدها ، فمن تحرى في عملها المحاسن وتجنب ضدها كان بدعة حسنة وإلا فلا ، قال : وقد
ظهر لي تخريجها على أصل ثابت وهو ما ثبت في الصحيحين
“Hukum asal
peringatan maulid adalah bid’ah yang tidak ternukil dari kalangan
as-salafush-shaalih yang hidup pada tiga jaman (yang pertama). Namun demikian,
peringatan maulid ini mengandung kebaikan dan lawannya. Maka barangsiapa yang berusaha melakukan kebaikan dalam perayaan maulid dan
menjauhi lawannya (keburukan), maka itu adalah bid’ah hasanah. Jika tidak
seperti itu, maka bukan bid’ah hasanah (tidak bolehdilakukan). Dan nampak
bagiku dasar pengambilannya (maulid) atas pokok yang shahih dari riwayat dalam Shahiihain…”
[Al-Haawiy lil-Fataawaa].
Kemudian Al-Haafidh
menyebutkan riwayat Ibnu ‘Abbaas di atas.
Adapun
non-tradisionalis tidak merayakan maulid dan menganggapnya itu bid’ah yang
tidak pernah dilakukan oleh Nabi ﷺ, para shahabat, taabi’iin, dan at-baa’ut-taabi’iin
dari kalangan as-salafush-shaalih – seperti dikatakan Al-Haafidh Ibnu
Hajar rahimahullah di atas. Ibnul-Maajisyuun rahimahullah berkata:
سمعت مالكا يقول : "من
ابتدع في الإسلام بدعة يراها حسنة ، فقد زعم أن محمدا – صلى الله عليه وسلم- خان
الرسالة ، لأن الله يقول :{اليوم أكملت لكم دينكم}، فما لم يكن يومئذ دينا فلا
يكون اليوم دينا"
”Aku mendengar Maalik berkata : ‘Barangsiapa
yang membuat bid’ah dalam Islam yang ia memandangnya baik, maka sungguh ia
telah menuduh Muhammad ﷺ mengkhianati risalah. Hal itu dikarenakan
Allah telah berfirman : ‘Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu
agamamu’ (QS. Al-Maaidah :3). Maka apa saja yang pada hari itu (yaitu di
jaman Rasulullah ﷺ beserta para shahabatnya masih hidup)
bukan merupakan bagian dari agama, maka begitu pula pada hari ini bukan menjadi
bagian dari agama” [Al-I’tishaam oleh
Asy-Syathibi, 1/49].
Seandainya kita
berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbaas, maka perbuatan yang seharusnya dilakukan
adalah berpuasa, sebagaimana dilakukan Nabi ﷺ dalam riwayat tersebut. Bukan perayaan
maulid Nabi ﷺ.
3.
Tahlilan dan Yasinan
Konstruksi pendalilan
antara tradisionalis aswaja dan non-tradisionalis dalam bab ini polanya hampir
sama. Berkisar pada masalah persepsi bid’ah. Masalah menjadi runyam karena
sebagian oknum tradisionalis aswaja di tingkat tapak memberikan bumbu provokasi
: “Masak berdzikir membaca tahlil dan membaca Al-Qur’an dilarang ?’.
Lalu merebaklah bau tak sedap : ‘Wahabi melarang berdzikir dan baca Al-Qur’an’.
Padahal, bukan dzikir
dan baca Al-Qur’annya secara umum yang dilarang non-tradisionalis, akan tetapi
pelaziman kaifiyyah-nya. Kejadian ini analog dengan atsar Sa’iid bin
Al-Musayyib yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq berikut:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ أَبِي
رِيَاحٍ، عَنِ ابْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ رَأَى رَجُلا يُكَرِّرُ الرُّكُوعَ بَعْدَ
طُلُوعِ الْفَجْرِ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: " يَا أَبَا مُحَمَّدٍ أَيُعَذِّبُنِي
اللَّهُ عَلَى الصَّلاةِ؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلافِ السُّنَّةِ
"
Dari Ats-Tsauriy,
dari Abu Rayyaah, dari Ibnul-Musayyib : Bahwasannya ia (Ibnul-Musayyib) pernah
melihat seorang laki-laki memperbanyak rukuknya setelah terbit fajar, lalu ia
melarangnya. Laki-laki tersebut berkata : “Wahai Abu Muhammd, apakah Allah akan
mengadzabku dengan sebab shalat (yang aku kerjakan)?”. Ia menjawab : “Tidak,
akan tetapi Allah mengadzabmu karena menyelisihi sunnah[4]”
[Al-Mushannaf 3/52 no. 4755; shahih – lihat Irwaaul-Ghaliil,
2/236].
Jadi ketika Ibnul-Musayyib
mengingatkan shalat yang dilakukan laki-laki itu tidak disyari’atkan, tidak
lantas disimpulkan dirinya melarang shalat secara umum. Akan tetapi yang
dilarang adalah dirinya menyelisihi petunjuk Rasulullah ﷺ. Melakukan apa yang tidak dilakukan Nabi ﷺ, padahal hal yang mendorong beliau untuk
itu ada namun tetap tidak beliau lakukan.
Kaum tradisionalis
aswaja juga berkata bahwa tahlilan 7 hari berturut-turut ada landasannya dari
kaum salaf sebagaimana perkataan Thaawus:
إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ
فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ
الأَيَّامِ
“Sesungguhnya orang
yang meninggal akan terfitnah (diuji) dalam kuburnya selama 7 hari. Dulu mereka
(shahabat dan taabi’iin – Abul-Jauzaa’) menyukai untuk
memberikan makanan dari mereka (yang meninggal) pada hari-hari tersebut” [Hilyatul-Auliyaa’
4/11].
Tapi atsar ini lemah
tak bisa dipakai sebagai dalil. Begitu menurut kaum non-tradisionalis.[5]
Masih berkaitan, kaum
tradisionalis aswaja sering mengadakan kumpul-kumpul kendurian mayit bersamaan
dengan penyelenggaraan tahlilan dan yasinan, sedangkan non-tradisionalis tidak.
Kaum non-tradisional mengatakan perbuatan ini bukan sunnah dan termasuk bid’ah
yang terlarang. Dalilnya adalah atsar Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy radliyallaahu
‘anhu:
كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ
إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ
“Kami (para shahabat)
menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta
penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari
niyahah (meratapi mayit)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 1612; dishahihkan
oleh An-Nawawiy dalam Al-Majmuu’ 5/285, Ibnu Katsiir dalam Irsyaadul-Faqiih
1/241, dan yang lainnya].
Bahkan Al-Imaam
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى
الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ،
لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ
وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ
لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، .....
“Dan aku membenci perbuatan niyaahah
(meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut
menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia
dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan
kalimat istirjaa’. Dan aku juga membenci berkumpul-kumpul di keluarga di
mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan
menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si
mayit)…..” [Al-Umm, 1/248].
4.
Tawassul
Tawassul yang
dilakukan kaum tradisionalis aswaja cenderung sangat longgar dengan berbagai
bentuknya. Adapun non-tradionalis lebih ketat. Diantara titik perbedaan (dan
ini bukan pembatas) adalah masalah tawassul dengan kedudukan/hak Nabi ﷺ atau
orang-orang shalih seperti ucapan : “Aku memohon kepada-Mu ya Allah dengan
kedudukan/hak Nabi ﷺ atau Fulaan…..demikian dan demikian…”.
Tawassul seperti ini memang
ternukil dari sebagian ulama. Namun sebagian ulama yang lain melarang dan
membencinya sebagaimana dinukil Al-Albaaniy dari kalangan Hanafiyyah rahimahumullah
:
فقد جاء في "الدر المختار" "2/630"
– وهو من أشهر كتب الحنفية – ما نصه: عن أبي حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله
إلا به، والدعاء المأذون فيه، المأمور به ما استفيد من قوله تعالى: {وَلِلَّهِ
الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَى فَادْعُوهُ بِهَا}. ونحوه في "الفتاوى الهندية"
"5/280". وقال القُدوري في كتابه الكبير في الفقه المسمى "بشرح
الكرخي" في "باب الكراهة": قال بشر بن الوليد حدثنا أبو يوسف قال
أبو حنيفة: لا ينبغي لأحد أن يدعو الله إلا به، وأكره أن يقول: بمعاقد العز من
عرشك، أو بحق خلقك، وهو قول أبي يوسف، قال أبو يوسف: معقد العز من عرشه هو الله،
فلا أكره هذا، وأكره أن يقول: بحق فلان، أو بحق أنبيائك ورسلك، وبحق البيت الحرام
والمشعر الحرام...."
“Tercantum dalam kitab Ad-Durrul-Mukhtaar (2/630) yang
merupakan salah satu kitab masyhur
madzhab Hanafiyyah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah
kecuali dengan-Nya. Dan doa yang diidzinkan lagi diperintahkan-Nya adalah
seperti yang tercantum dalam firman-Nya : Hanya
milik Allah al-asmaaul-husnaa, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaaulhusna itu (QS. Al-A’raaf ; 180)’. Hal yang semisal terdapat dalam Al-Fataawaa Al-Hindiyyah (5/280).
Telah berkata Al-Quduuriy dalam
kitabnya yang besar dalam permasalahan fiqh Syarhul-Karkhiy,
bab Al-Karahah : Telah berkata Bisyr
bin Al-Waliid : Telah menceritakan kepada kami Abu Yuusuf, ia berkata : Telah
berkata Abu Haniifah : ‘Tidak sepatutnya bagi seseorang berdoa kepada Allah
kecuali dengan-Nya, dan aku membenci untuk mengatakan : Dengan kemuliaan ‘Arsy-Mu atau Dengan
hak makhluk-Mu’.
Dan inilah perkataan Abu Yuusuf :
Telah berkata Abu Yuusuf : ‘Jaminan kemuliaan ‘Arsy adalah Allah, oleh karena
itu aku tidak membencinya. Namun aku membenci untuk mengatakan : Dengan hak si Fulaan atau Dengan hak para nabi-Mu, para Rasul-Mu,
‘Al-Baitul-Haraam, dan Al-Masy’aril-Haraam’…….” [At-Tawassul, hal.
46-47].
5.
Ngalap Berkah
Sebagian kaum tradisionalis aswaja akar
rumput melakukan ngalap berkah pada hal-hal yang tidak ada dalilnya (menurut
pandangan non-tradisionalis), lebih cenderung pada tradisi. Misalnya ngalap
berkah masyarakat Solo terhadap gunungan kembar hasil bumi sebagaimana pada
video di bawah:
Atau ngalap berkah dengan mencium dan
mengusap-usap pintu makam di Cirebon (Jawa Barat) dan Mataram (NTB) sebagaimana
video di bawah:
Sementara itu, kaum
non-tradisionalis mengatakan perbuatan tabarruk di atas terlarang dan
menyelisihi sunnah (bid’ah). Bahkan, berpotensi jatuh pada kesyirikan. Para shahabat membencinya sebagaimana atsar yang teriwayatkan
dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، " أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
كَانَ يَكْرَهُ مَسَّ قَبْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
Telah menceritakan
kepada kami Abu Usaamah, dari ‘Ubaidullah, dari Naafi’ : Bahwasannya Ibnu ‘Umar
membenci mengusap kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
[Diriwayatkan oleh Muhammad bin ‘Aashim Ats-Tsaqafiy dalam Juuz-nya no.
27, dan darinya Adz-Dzahabiy dalam Mu’jamusy-Syuyuukh 1/45 dan As-Siyar
12/378; shahih].
Terkait dengan atsar
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah
mengatakan :
فصل
: ولا يستحب التسمح بحائط قبر النبي صلى الله عليه و سلم ولا تقبيله قال أحمد : ما
أعرف هذا قال الأثرم : رأيت أهل العلم من أهل المدينة لا يمسون قبر النبي صلى الله
عليه و سلم يقومون من ناحية فيسلمون قال أبو عبد الله : هكذا كان ابن عمر يفعل
“Pasal : Tidak disukai
mengusap tembok kubur Nabi ﷺ dan tidak pula menciumnya. Ahmad berkata :
‘Aku tidak mengetahuinya’. Al-Atsram berkata : ‘Aku melihat ulama dari kalangan
penduduk Madiinah tidak mengusap kubur Nabi ﷺ, dan mereka berdiri dari sisi mengucapkan
salam. Abu ‘Abdillah berkata : ‘Begitulah yang dilakukan Ibnu ‘Umar” [Al-Mughniy,
3/556].
Dalam kitab Kasysyaaful-Qinaa’
disebutkan :
اتَّفَقَ
السَّلَفُ وَالْأَئِمَّةُ عَلَى أَنَّ مَنْ سَلَّمَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ الصَّالِحِينَ
فَإِنَّهُ لَا يَتَمَسَّحُ بِالْقَبْرِ وَلَا يُقَبِّلُهُ
“Salaf dan para imam
telah bersepakat bahwasannya siapa saja yang mengucapkan salam kepada Nabi ﷺ atau selainnya dari kalangan para nabi
yang shalih, maka ia tidak mengusap kubur dan menciumnya” [4/439].
6.
Dan lainnya….
Dengan
melihat uraian di atas, pendapat yang dipegang kaum non-tradisionalis (baca :
Wahabi) mempunyai dasar dan pendahulu di kalangan ulama (salaf). Tentu
bukan di sini tempatnya untuk merinci pembahasan tersebut. Di sini saya hanya ingin
menunjukkan anatomi pemahaman non-tradisionalis dari (sebagian) perkara yang
sering dipermasalahkan. Perkara mereka (tradisionalis aswaja) setuju atau tidak
setuju, lain perkara.
Non-tradisionalis
secara hakekat bukan ‘aliran modern’ yang tidak ada sangkut-pautnya dengan
pemahaman ulama sebelumnya. Pemahaman non-tradisionalis bukan ‘ujug-ujug’ ada
di abad 19.
Lantas,
apakah pas kiranya dikarenakan masalah itu kaum tradisionalis aswaja (NU) membikin-bikin
provokasi, teror, intimidasi, okupasi/pendudukan tanah waqaf dan masjid, pengusiran,
dan semisalnya? – sementara di sisi lain sibuk dengan propaganda toleransi dan
kebhinekaan?.
Sebuah
paradoks dan ironi yang nyata. Bahkan arogansi dan penjajahan praktek beragama.
Apakah
dipikir semua masjid di Nusantara harus menyelenggarakan perayaan maulid, shalawatan,
istighatsahan, dan kegiatan lain yang menjadi ciri khas tradisionalis aswaja
(NU) yang secara fiqh tidak disepakati non-tradisionalis ?.
Apakah
dipikir ketika tradisionalis aswaja meyakini disunnahkannya sesuatu, yang lain
harus setuju atau diam ?. Tidak boleh mengatakan terlarang, haram, atau bid’ah
?. Atau,…. kenapa tidak sebaliknya saja mereka yang mengikuti lawannya ?
Apakah
pernah kita temui para ulama dulu melakukan seperti apa yang mereka lakukan ?.
Ketika
sebagian ulama Syaafi’iyyah mengatakan dibolehkan perayaan maulid, ‘Umar bin
‘Aliy bin Saalim bin Shadaqah Al-Lakhmiy Al-Iskandariy yang masyhur dengan nama
Al-Faakihaaniy (lahir 654 H/656 H) dengan terang-terangan berfatwa bid’ah:
أما بعد : فإنه قد تكرر سؤال جماعة من
المباركين عن الاجتماع الذي يعمله بعض الناس في شهر ربيع الأول ويسمونه المولد :
هل له أصل في الشرع ، أو هو بدعة وحدث في الدين ؟ ؟ وقصدوا الجواب من ذلك مبينا ،
والإيضاح عنه معينا ، فقلت وبالله التوفيق : لا أعلم لهذا المولد أصلا في كتاب ولا
سنة ، ولا ينقل عمله عن أحد من علماء الأمة الذين هم القدوة في الدين المتمسكون
بآثار المتقدمين ، بل هو بدعة أحدثها المبطلون ، وشهوة نفس اعتنى بها الأكالون
بدليل أنا إذا أدرنا عليها الأحكام الخمسة : قلنا إما أن يكون واجبا أو مندوبا ،
أو مباحا أو مكروها أو محرما ، وليس هو بواجب إجماعا ، ولا مندوبا ، لأن حقيقة
المندوب : ما طلبه الشارع من غير ذم على تركه ، وهذا لم يأذن فيه الشارع ، ولا
فعله الصحابة ، ولا التابعون ، ولا العلماء المتدينون فيما علمت ، وهذا جوابي عنه
بين يدي الله تعالى إن عنه سئلت ولا جائزا أن يكون مباحا ، لأن الابتداع في الدين
ليس مباحا بإجماع المسلمين فلم يبق إلا أن يكون مكروها أو محرما
“Amma
ba’du, sungguh telah berulang kali pertanyaan dilontarkan oleh jama’ah
orang-orang yang mendapat keberkahan tentang perkumpulan yang dilakukan
sebagian orang di bulan Rabii’ul-Awwal, yang mereka namai dengan Maulid (Nabi)
: ‘Apakah ia mempunyai asal/dalil dari syari’at? Ataukah ia merupakan bid’ah
yang diada-adakan dalam agama ?. Mereka menghendaki jawaban dan penjelasan yang
terang tentang perkara tersebut.
Maka
aku katakan – wa billaahit-taufiiq - :
Aku
tidak mengetahui asal perbuatan maulid dari Al-Kitaab (Al-Qur’an) dan
As-Sunnah. Perbuatan tersebut juga tidak pernah ternukil dari satupun ulama
umat yang menjadi teladan dalam agama dan berpegang pada atsar ulama terdahulu.
Bahkan perbuatan itu adalah bid’ah yang diada-adakan oleh orang-orang baathil
(kalangan Faathimiyyin – Abul-Jauzaa’), serta syahwat jiwa yang diperhatikan
oleh orang-orang yang senang makan. Dalilnya, apabila aku menghendaki
hukum-hukum syar’iyyah, maka kami katakan : kemungkinan ia wajib, manduub
(sunnah), mubah, makruh, atau haram. Perbuatan (maulid) itu bukan termasuk
wajib secara ijmaa’. Bukan pula manduub, karena hakekat manduub adalah sesuatu
yang dituntut oleh Syaari’ (Allah) tanpa adanya celaan jika meninggalkannya.
Adapun perbuatan ini (yaitu maulid) tidaklah diizinkan oleh Syaari’ (Allah),
tidak pernah dilakukan para shahabat, taabi’iin, dan ulama yang dijadikan
pegangan dalam agama sepanjang pengetahuanku. Inilah jawabanku di hadapan Allah
ta’ala jika nanti aku ditanya tentang permasalahan itu. Tidak boleh menjadikan
perkara tersebut sesuatu yang mubah, karena berbuat bid’ah dalam agama bukanlah
perkara mubah berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin. Oleh karena itu, tidaklah
tersisa kecuali perbuatan itu dihukumi makruh atau haram........” [Al-Maurid
fii ‘Amalil-Maulid, hal. 20-22, Maktabah Al-Ma’aarif, Riyaadl, Cet.
1/1407].
Kita
dapat lihat bersama, para ulama tak menjadi bisu dan dipaksa bisu oleh lainnya.
Ketika
Asy-Syaafi’iy rahimahullah mengatakan sunnahnya qunut Shubuh secara
terus-menerus, tak ternukil dari beliau larangan untuk menyelisihi pendapatnya.
At-Tirmidziy rahimahullah memaparkan fakta masa silam dalam permasalahan
ini:
وَاخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي الْقُنُوتِ
فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، فَرَأَى بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ
ﷺ وَغَيْرِهِمُ الْقُنُوتَ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ، وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ، وَالشَّافِعِيِّ،
وقَالَ أَحْمَدُ، وَإِسْحَاق: لَا يُقْنَتُ فِي الْفَجْرِ إِلَّا عِنْدَ نَازِلَةٍ
تَنْزِلُ بِالْمُسْلِمِينَ، فَإِذَا نَزَلَتْ نَازِلَةٌ فَلِلْإِمَامِ أَنْ يَدْعُوَ
لِجُيُوشِ الْمُسْلِمِينَ
“Para
ulama berbeda pendapat mengenai qunut shalat Shubuh. Sebagian ulama dari
kalangan shahabat Nabi ﷺ dan selain mereka berpendapat
(masyru’-nya) qunut pada shalat Shubuh. Itu merupakan perkataan Asy-Syaafi’iy.
Ahmad (bin Hanbal) dan Ishaaq (bin Rahawaih) berkata : ‘Qunut tidak dilakukan
pada shalat Shubuh, kecuali jika ada musibah yang menimpa kaum muslimin. Jika
ada musibah yang menimpa kaum muslimin, maka imam mendoakan
(kebaikan/kemenangan) untuk pasukan kaum muslimin”
وَالْعَمَلُ عَلَيْهِ عِنْدَ أَكْثَرِ أَهْلِ
الْعِلْمِ، وقَالَ سفيان الثوري: إِنْ قَنَتَ فِي الْفَجْرِ فَحَسَنٌ وَإِنْ لَمْ يَقْنُتْ
فَحَسَنٌ، وَاخْتَارَ أَنْ لَا يَقْنُتَ، وَلَمْ يَرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ الْقُنُوتَ
فِي الْفَجْرِ،
“(Hadits
Abu Maalik Al-Asyja’iy di atas) diamalkan oleh kebanyakan ulama. Sufyaan
Ats-Tsauriy berkata : ‘Apabila seseorang melakukan qunut di waktu shalat
Shubuh, maka itu baik. Jika tidak melakukannya, itu pun baik’. Ia (Ats-Tsauriy)
memilih untuk tidak qunut. Ibnul-Mubaarak tidak berpendapat adanya qunut pada
shalat Shubuh” [Jaami’ At-Tirmidziy, 1/426-427].
Semua
berbicara sesuai dengan ilmu dan ijtihadnya. Bebas berpemahaman sesuai dengan
koridor keilmuan.
Tapi
mari kita lihat sebagian gambaran realitas di lapangan – yang sebenarnya bagi
non-tradisionalis – tak terlalu dibawa pikiran:
Tak
begitu masalah, tapi silakan rasakan taste-nya…
Coba
perhatikan pula model rekayasa lawakan dai tentang anak yang mau membunuh bapaknya dalam
video di bawah (00:58 – 01:30):
Semua
aliran Islam, semua sesat kecuali NU katanya (he he he he…. – menit 02.22 –
02.43). Dai di atas juga mencontohkan sesuatu yang sangat merendahkan
Muhammadiyyah – yang mungkin kalau benar ceritanya itu – sifatnya kasuistik. Tentang
kasus siswi sekolah Muhammadiyyah yang ‘meteng’ (hamil) 4 bulan karena
dikerjai temannya (02:50 – dst). Tapi kalau madrasah yang dibina NU, insya
Allah tidak ada, kata beliau[6].
Sangat mudah sebenarnya membantah klaim tak berbobot ini, tapi biarlah.
Yang
seperti ini banyak.
Pengurus
NU mengeluh banyak masjid NU yang ‘direbut’ oleh orang selain NU. Modusnya
katanya:
“munculnya seseorang yang dengan
sukarela membantu membersihkan masjid, lalu membantu adzan, diteruskan dengan
mengajak temannya untuk menjadi khotib dan akhirnya merubah seluruh
kepengurusan takmir masjid dan tatanan peribadatan yang selama ini sudah
berjalan dengan baik. Kemunculan kasus seperti ini akhirnya menimbulkan
resistensi di masjid-masjid yang lain yang sebelumnya cukup terbuka dengan
alasan untuk menjaga eksistensi peribadatan yang sudah ada dan diyakini
kebenarannya”
[Sumber
: http://www.nu.or.id/post/read/34016/]
“Banyak masjid dan mushola NU yang
direbut mereka. Istilahnya, mereka tidak bisa membangun masjid sendiri, bisanya
cuma merebut masjid milik orang lain. Ingin enaknya sendiri,” ujar Sekretaris
Jenderal International Conference of Islamic Scholars itu”
[Sumber
: http://www.nu.or.id/post/read/9124/].
Mari
kita nalar. Seandainya masjid tersebut aktif dan jama’ah NU konsisten, tentu
tidak terjadi apa yang mereka namakan ‘perebutan’. Kenyataan di lapangan dari
istilah ‘perebutan’ itu lebih ke arah revitalisasi masjid yang sebelumnya minim
jama’ah, vakum kegiatan, dan vakum kepengurusan. Atau, warga sekitar masjid atau
jama’ah masjid tidak (lagi) didominasi orang NU. Ada perubahan dan dinamika. Anehnya,
setelah aktif dan ramai jama’ah, sebagian oknum ‘nun jauh di sana’ yang tidak
menjadi bagian dari masjid tersebut merasa direbut masjidnya. Dalam sebagian
kasus, lantas rame-rame galang massa mendemo orang yang mengaktifkannya
(sebagaimana yang dialami H. Darim yang disebutkan sebelumnya). Ketika publikasi
ke khalayak, merekalah yang (seakan) merasa didhalimi para perebut masjid itu.
Memang menyedihkan dan sekaligus mengesalkan.
Tapi
klaim tersebut sangat dipahami. Jangankan yang tidak ‘punya’ masjid, yang
jelas-jelas ‘punya’ masjid saja dapat mereka duduki paksa dan didemo untuk
dihentikan kegiatannya.
Mungkin,
kegusaran mereka bertambah dengan kehadiran beberapa stasiun TV dan Radio
dakwah ‘Wahabi’, semisal TV dan Radio RODJA[7].
Alhamdulillah, TV dan Radio Rodja mendapatkan animo sangat besar dari
masyarakat hingga ke wilayah pedalaman.[8]
Seandainya
segala kegusaran mereka hanya ditindaklanjuti di tataran ilmiah (bantahan), tak
ada soal. Ataupun maksimal, mereka katakan ‘Wahabi’ sesat, itu pun tak begitu
merisaukan karena memang telah eksis semenjak jaman purba.
Kita
tak pernah memaksa mereka untuk mengatakan ‘Wahabi’ itu baik hati, tidak
sombong, dan gemar menabung. Tapi kiranya, jangan ikuti semua itu dengan
hasutan, provokasi, ngarang cerita alias ndabul, demonstrasi, pengambilalihan
paksa (secara fisik) tanah waqaf dan masjid, atau perobohan masjid seperti yang
sudah-sudah. Ahmadiyyah yang jelas-jelas kafir dapat nyaman dengan perlindungan
Anshor/Banser[9],
tapi ‘Wahabi’ yang statusnya masih muslim selalu merasa gelisah bertetangga
dengan mereka. Rasa-rasanya, sangat jarang terdengar ormas NU, para habaaib,
dan pasukan Banser yang konon sakti mandraguna melindungi orang-orang Wahabi,
atau yang belakangan mereka sebut ‘Salafi’.
Ironi
toleransi pilih kasih…..
‘Wahabi’
yang katanya suka mengkafirkan, malah sering mengkampanyekan ‘peperangan’
terhadap golongan takfiri, diantaranya ISIS, LDII, dan yang lainnya. LDII,
kelompok takfiri produk lokal, hampir tak tersentuh oleh kaum tradisionalis. ‘Wahabi’
bermitra dengan kepolisian untuk melakukan deradikalisasi dan detakfirisasi.
Ini fakta, bukan sekedar ‘lamis-lamis lambe’ alias lips service. Dai
‘Wahabi’ sering dipanggil ngisi ceramah agama bersama pejabat negara atau di lembaga
milik negara[10].
Wallaahul-musta’aan….
[abul-jauzaa’ – 19 Dzulhijjah 1438].
[2] Misalnya dalam acara peringatan 40 hari
kematian Gus Dur (https://www.40gusdur), haul
Gus Dur (https://www.haulgusdur), haul Bung Karno (https://www.haulkarno), aksi keprihatinan bangsa (https://www.prihatin), peringatan HUT RI (https://www.HUTRI), keprihatinan terhadap kerusuhan (https://www.rusuh), dan yang lainnya.
[3] Takhrij
hadits ini silakan dibaca dalam artikel Takhrij
Hadits Al-‘Irbaadl bin Saariyyah : Wajib Atas Kalian untuk Berpegang kepada
Sunnahku dan Sunnah Al-Khulafaaur-Raasyidiin.
[4] Ibnul-Musayyib memahami dari sunnah Nabi ﷺ bahwa setelah adzan Shubuh, yang ada hanyalah shalat sunnah dua
raka’at saja sebagaimana riwayat:
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ حَرْمَلَةَ، عَنِ
ابْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " لا صَلاةَ بَعْدَ
النِّدَاءِ، إِلا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ "
Dari
Ats-Tsauriy, dari ‘Abdurrahman bin Harmalah, dari Ibnul-Musayyib, ia berkata :
Telah bersabda Rasulullah ﷺ :
“Tidak ada shalat setelah adzan kecuali dua raka’at fajr” [Diriwayatkan oleh
‘Abdurrazzaaq 3/53 no. 4756; shahih].
[5] Silakan baca pembahasannya pada artikel Atsar Thaawuus tentang Anjuran
Tahlilan 7 Hari Berturut-Turut.
[6] Berikut diantara contoh bagaimana sebagian
oknum tradisionalis aswaja membuat materi ‘Wahabi’ masuk pendidikan dasar:
Sumber
foto : PR anak kelas IV MI pada akun FB Wahyu
Surinto
Silakan
rasakan taste-nya.
[7] Situs :
[8] Sebenarnya NU memiliki stasiun TV sendiri misalnya
Aswaja TV. Namun demikian, ada beberapa kontent yang secara spesifik
membedakannya dengan TV Rodja (yang digembosi). Misalnya, Aswaja TV menampilkan
shalawatan, lagu dan musik (religi), tertampilkannya wanita yang tidak menutupi
aurat, dan lain-lain.
[9] Sumber :
[10] Contoh:
a.
Prof. Yunahar Ilyas
duet dengan Menteri Agama dalam pengajian Ramadlan di Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta - https://yunahar.
b.
Dr. Firanda Andirja
mengisi pengajian di Masjid Darul Ilmi Kampus Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian
(PTIK) Jakarta - https://www.youtube.com/watch?v=yifwVim9Gz8
c.
dll.
Comments
Izin share bg
Ana ijin share mas
Ijin share, semoga menjadi sarana hidayah sodara2 kami..
Terkuak sudah siapa ahlusunnah yang sebenarnya....gereja dijaga,,,mesjid didemo...inilah ajaran ngawur bin sesat
Ana ijin share ya
ijin aku share ya
Ana ijin share ustad...
Berbobot dan proporsional. Jazakumullahukhairan ustadz.
Posting Komentar