5. Pakar Hadits (Takhrij)
Al-Ustadz Adi Hidayat
hafidhahullah dalam sebuah rekaman video pengajian yang berjudul Penjelasan Mengenai Doa
Makan (Allahummabariklana) berkata (menit 02:38):
“Ada yang berkata
begini, saya tanya dulu. Kalau saya baca Allaahumma baarik lanaa fii maa
razaqtanaa, shahih atau dla’iif ? (Hadirin : ‘dla’iif). Ooo, dla’iif….
(Tertawa). Dari mana tahunya ? Dari guru… Yuk kita lihat kitab aslinya. Buka
dulu Muwaththa’ Imam Malik nomor hadits 2772. Nabi tidak mengatakan. Nabi tidak
mengatakan : ‘bacalah bismillah’. Hanya mengatakan : ‘sammilah’. Nama Allah ada
berapa ? Banyak. Diantaranya 99. Jadi sepanjang kita menyebut nama Allah,
dibuat umum untuk memudahkan. Sepanjang kita menyebut nama Allah dengan bahasa
apapun, dengan bismillah, dengan ya Allah, dengan Allahumma, itu sudah benar. Nabi
mengajarkan hadits yang panjang di Muwaththa’ Imam Malik kepada ‘Aliy bin Abi
Thaalib. Bagaimana redaksinya ?. Kalau engkau mau makan : Qul,
bismillaahir-rahmaanir-rahiim, Allahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa
waqinaa ‘adzaaban-naar. Hadits itu shahih. Bahkan ada yang lebih
panjang lagi. Sekarang darimana munculnya pernyataan hadits itu dla’if ?. Ternyata, ada orang keliru baca kitab. Dibaca
di kitab Syaikh Al-Albani pembahasan hadits nomor 6390, pembahasan itu sedang
membahas hadits hubungan suami istri. Jadi ada hadits dla’if berbunyi begini :
Kalau seorang istri berhubungan, seorang suami istri berhubungan, yang sebelum
berhubungannya dia membaca Allahummaa baarik lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa
‘adzaaban-naar, (hadirin tertawa), betul. Silakan dibuka. Maka anak yang lahir
tidak akan disentuh oleh setan. Itu haditsnya. Dibahas oleh Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani hadits ini kualitasnya dla’if, karena bertentangan dengan
doa shahih yang diajarkan oleh Nabi. Orang-orang mengira, yang dla’if ini
hadits tentang makanan. Padahal haditsnya berbeda. Jadi hadits tentang makanan
terpisah dengan hadits yang tadi. Yang satu dla’if, yang lainnya shahih. Itu
yang penting saya luruskan. Itu banyak sekali. Dan banyak orang keliru”
Kemudian perkataan
beliau tersebut disambung dalam video lain (masih dalam pengajian yang sama)
berjudul Doa
Sebelum Makan (mulai menit 02:11):
“Saya membaca dari
yang ditanyakan doa makan itu, saya cari di 1.235 kitab hadits. Tidak
ada yang lain. Di Tripoli, seorang ketua dewan khathib dibekali satu file 42
giga, semua kitab-kitab klasik dan kontemporer ada di situ. Jadi kalau mau
dicari kitab apapun, dibuat 3 kualifikasi : Satu, yang manuskripnya, yang kedua
yang bisa disalin, yang ketiga scan dari kitab yang asli. Jadi dibantu supaya
tidak cari kitab lagi. Saya cari semua hadits yang terkait dengan doa makan,
mengkristal pada hadits-hadits tadi. Yaitu cuma ada di hadits Bukhari nomor
hadits 5061, hadits Muslim nomor hadits 5388, Ibnu Majah nomor hadits 3399.
Kemudian syarahnya, nah ini, kalau bapak mau cari dimana menemukan ini shahih
atau tidaknya. Buka diantaranya Silsilah Al-Ahaadits Adl-Dla’iifah
wal-Maudluu’ah karangan Syaikh Nashiruddin Al-Albani, ada di halaman 6390. Nomor
pembahasan, bukan halaman. Pembahasan nomor 6390. Di situ disebutkan
kalau hadits tentang makanan allahumma baarik lana kualitasnya shahih. Yang
dla’if itu, hadits tentang hubungan suami istri yang redaksinya sama. Ada orang
yang mungkin membaca, dia hanya baca yang tentang hadits tadi. Diduga ini sama
kualitasnya. Padahal dalam ilmu hadits belum tentu. Ada hadits yang redaksinya
sama, bisa yang satu palsu, yang satu bisa benar. Bisa begitu. Sekarang jelas
ya pak ya. Ini yang bisa saya sampaikan, dan mari kita hargai siapapun yang
berpendapat. Pendapat saya demikian, dan bisa
dirujuk di kitabnya….”
[selesai].
Melaksanakan instruksi
Ustadz Adi Hidayat hafidhahullah, saya pun merujuk ke kitab-kitab hadits
yang beliau maksud dengan hasil sebagai berikut:
Hadits ‘Umar bin Abi
Salmah diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5376 (dengan penomoran standar dari
Muhammad Fuaad ‘Abdul-Baqi, Al-Mathba’ah As-Salafiyyah); Muslim no. 2022 (hal. 838, Cet. Baitul-Afkaar Ad-Dauliyyah;
dan hal 971, Cet. Daaruth-Thayyibah); Ibnu Maajah no. 3267 (4/407, tahqiq : Syu’aib
Al-Arna’uth dkk.; 5/15-16, tahqiq : Basysyar ‘Awwaad Ma’ruuf; hal. 551, tahqiq
: Masyhuur Hasan Salmaan); dan Maalik dalam Al-Muwaththa’ no. 3445 (hal.
1367, tahqiq : Muhammad Mushthafaa Al-A’dhamiy) atau no. 1868 (4/364-365,
tahqiq : Saalim bin ‘Ied Al-Hilaaliy). Nabi ﷺ bersabda:
يَا
غُلَامُ، سَمِّ اللَّهَ وَكُلْ بِيَمِينِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ
“Wahai anak,
sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah apa-apa yang
dekat denganmu”
Penomoran hadits yang
beliau sebutkan itu setelah saya cek sebagian besarnya adalah versi Maktabah
Syamilah, dan memang waktu itu beliau sedang membuka laptopnya. Tidak masalah.
Kemudian penyebutan
hadits ‘Aliy bin Abi Thaalib dengan lafadh Bismillah, allaahumma baarik
lanaa fiimaa razaqtanaa waqinaa ‘adzaaban-naar dalam Al-Muwaththaa’
tidak saya temukan. Yang ada adalah dari ‘Urwah bin Az-Zubair sebagai berikut:
عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ، عَنْ أَبِيهِ أَنَّهُ كَانَ لَا يُؤْتَى
أَبَدًا بِطَعَامٍ وَلَا شَرَابٍ حَتَّى الدَّوَاءُ فَيَطْعَمَهُ أَوْ يَشْرَبَهُ،
إِلَّا قَالَ: " الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا وَأَطْعَمَنَا
وَسَقَانَا وَنَعَّمَنَا اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُمَّ أَلْفَتْنَا نِعْمَتُكَ
بِكُلِّ شَرٍّ فَأَصْبَحْنَا مِنْهَا، وَأَمْسَيْنَا بِكُلِّ خَيْرٍ فَنَسْأَلُكَ
تَمَامَهَا وَشُكْرَهَا، لَا خَيْرَ إِلَّا خَيْرُكَ، وَلَا إِلَهَ غَيْرُكَ
إِلَهَ الصَّالِحِينَ وَرَبَّ الْعَالَمِينَ، الْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ
إِلَّا اللَّهُ مَا شَاءَ اللَّهُ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ، اللَّهُمَّ
بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ "
Dari Hisyaam bin
‘Urwah, dari ayahnya (‘Urwah bin Az-Zubair) : Bahwasannya tidak pernah
dihidangkan kepadanya makanan, minuman, maupun obat yang ia memakannya atau
meminumnya, kecuali ia mengucapkan doa : ‘Segala puji bagi Allah yang telah
memberi kami hidayah, memberikan kita makanan, memberi kita minuman, dan
memberi kita kenikmatan. Allah Maha Besar. Ya Allah, palingkanlah nikmat-Mu ini
dari segala keburukan, dan jadikanlah kami di pagi dan sore hari senantiasa
dalam kebaikan. Kami memohon kesempurnaan nikmat-Mu dan (hidayah) untuk
mensyukurinya. Tidak ada kebaikan kecuali kebaikan dari-Mu. Tidak ada Tuhan
yang berhak disembah selain Engkau, Rabb orang-orang yang shaalih, dan Rabb semesta
alam. Segala puji bagi Allah dan tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain
Allah. Dan segala sesuatu atas kehendak Allah, dan tidak ada daya upaya
melainkan atas izin Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang
Engkau anugerahkan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka” [No.
3447 (Al-A’dhamiy) atau no. 1869 (Al-Hilaaliy)].
Riwayat ini shahih,
akan tetapi maqthuu’ (dari perkataan taabi’iy), sehingga tidak
boleh disandarkan kepada Nabi ﷺ. Dalam konteks pembahasan Ustadz Adi
Hidayat hafidhahullah, penshahihan yang beliau maksud adalah yang versi marfuu’.
Adapun hadits ‘Aliy
bin Abi Thaalib, maka bukan diriwayatkan oleh Maalik dalam Al-Muwaththa’,
akan tetapi diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad (1/153):
حَدَّثَنِي الْعَبَّاسُ بْنُ الْوَلِيدِ النَّرْسِيُّ، حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْجُرَيْرِيُّ، عَنْ أَبِي
الْوَرْدِ، عَنِ ابْنِ أَعْبُدَ، قَالَ: قَالَ لِي عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: يَا ابْنَ أَعْبُدَ، هَلْ تَدْرِي مَا حَقُّ الطَّعَامِ؟
قَالَ: قُلْتُ: وَمَا حَقُّهُ يَا ابْنَ أَبِي طَالِبٍ؟ قَالَ: تَقُولُ: بِسْمِ
اللَّهِ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا....
Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin
Al-Waliid An-Narsiy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad :
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid Al-Jurairiy, dari Abul-Ward, dari Ibnu
A’bud, ia berkata : Telah berkata kepadaku ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu : “Wahai Ibnu A’bud, apakah engkau mengetahui apa hak makanan itu ?”.
Ibnu A’bud berkata : “Apa haknya wahai Ibnu Abi Thaalib ?”. ‘Aliy menjawab :
“Engkau mengucapkan : Dengan nama Allah. Ya Allah, berikanlah barakah
terhadap rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami …..”
Diriwayatkan juga
oleh Ibnu Abi Syaibah 8/309 no. 24878 & 10/342 no. 30058 dan
Ath-Thabaraaniy dalam Ad-Du’aa’ no. 235.
Al-Arna’uth dkk. saat
mentakhrij hadits ini dalam Musnad Al-Imaam Ahmad berkata : “Sanadnya
lemah dikarenakan jahalah dari Ibnu A’bud – namanya ‘Aliy – dan Abul-Ward,
ia adalah Ibnu Tsumaamah bin Huzn Al-Qusyairiy. Meriwayatkan darinya dua orang
perawi. Ibnu Sa’d berkata : ‘Ia seorang yang ma’ruuf, sedikit
haditsnya’. Adapun Ibnul-Madiiniy berkata : ‘Tidak ma’ruuf. Aku tidak mengenal
haditsnya kecuali hadits ini (hadits ‘Aliy)” [2/436].
Dari sini, mencampurkan
antara riwayat ‘Aliy dalam Musnad Al-Imaam Ahmad dengan riwayat Hisyaam
bin ‘Urwah dalam Al-Muwaththa’ adalah kekeliruan. Riwayat ‘Aliy,
konteksnya adalah ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu mengajarkan kepada Ibnu
A’bud (mauquuf), bukan Nabi ﷺ mengajarkan kepada ‘Aliy (marfuu’).
Ada hadits marfuu’,
diriwayatkan oleh shahabat ‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa:
حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ بْنُ إِسْحَاقَ التُّسْتَرِيُّ، وَمُحَمَّدُ
بْنُ أَبِي زُرْعَةَ الدِّمَشْقِيُّ، قَالا: ثنا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ، ثنا
مُحَمَّدُ بْنُ عِيسَى بْنِ سُمَيْعٍ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ،
حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عَمْرٍو رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي
الطَّعَامِ إِذَا قُرِّبَ إِلَيْهِ: اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا،
وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ، بِسْمِ اللَّهِ "
Telah menceritakan
kepada kami Al-Husain bin Ishaaq At-Tustariy dan Muhammad bin Abi Zur’ah
Ad-Dimasyqiy, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam
bin ‘Ammaar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Iisaa bin Sumai’ :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah : Telah
menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari ‘Abdullah bin ‘Amru
radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ : Bahwasannya apabila disuguhkan kepada
beliau makanan, beliau membaca : “Ya Allah, berikanlah barakah terhadap
rizki yang Engkau anugerahkan kepada kami, dan jauhkanlah kami dari api neraka.
Bismillaah (dengan menyebut nama Allah)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy
dalam Ad-Du’aa’ hal. 1213 no. 888 dab Ibnus-Sunniy dalam ‘Amalul-Yaum
wal-Lailah hal. 216-217 no. 457].
Sanad hadits ini sangat
lemah, karena Muhammad bin Abiz-Zu’aizi’ah, munkarul-hadiits.
Lalu,….. benarkan
orang yang mendla’ifkan hadits doa sebelum makan karena salah baca kitab ?
khususnya membaca kitab Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah ?.
Saya ajak Pembaca
sekalian untuk berwisata sejenak memperhatikan perkataan muhadditsiin
tentang hadits tersebut.
Abu Haatim Ar-Raaziy rahimahullah
– pakar ‘ilal hadits mutaqaddimiin – mengomentari hadits ‘Abdullah
bin ‘Amru tersebut dengan perkataannya:
هَذَا حَدِيثٌ لَيْسَ بِشَيْءٍ، وَابْنُ أَبِي الزُّعَيْزِعَةِ لا
يَشْتَغِلُ بِهِ مُنْكِرُ الْحَدِيثِ
“Hadits ini tidak ada
apa-apanya. Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah, tidak boleh menyibukkan diri dengannya. Ia
seorang yang munkarul-hadiits” [Al-‘Ilal 4/401 no. 1516].
Ibnu ‘Adiy rahimahullah
setelah membawakan hadits Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah ini mengomentari :
وَابْنُ أَبِي الزعَيْزِعَةَ عَامَّةُ مَا يَرْوِيهِ عَنْ مَنْ رَوَاهُ
مَا لا يُتَابَعُ عَلَيْهِ
“Dan Ibnu
Abiz-Zu’aizi’ah, mayoritas hadits yang ia riwayatkan dari orang yang
meriwayatkan hadits tersebut, tidak ada mutaba’ah-nya” [Al-Kaamil
fidl-Dlu’afaa’ 7/428].
Artinya, hadits
‘Abdullah bin ‘Amru tentang doa makan termasuk hadits ghariib yang
diriwayatkan oleh Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah.
Ibnu ‘Allaan berkata
dengan menukil perkataan Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahumallah
: “Hadits ini ghariib. Diriwayatkan oleh Ibnus-Sunniy dan dalam
sanadnya terdapat Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah. Al-Bukhaariy berkata : ‘Munkarul-hadiits
jiddan’. Ibnu ‘Adiy menyebutkan hadits ini termasuk yang ia ingkari. Ia
(Ibnu ‘Adiy) berkata : ‘Hadits-haditsnya (Ibnu Abiz-Zu’aizi’ah) tidak ada mutaba’ah-nya’.
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Adl-Dlu’afaa’ dan ia melemahkannya” [Al-Futuuhaat
Ar-Rabbaaniyyah, 5/178].
Apakah mereka
mendla’ifkan karena salah baca kitab ?. Mereka lahir sebelum Asy-Syaikh
Al-Albaaniy dan tidak tahu-menahu tentang kitab beliau berjudul Silsilah
Adl-Dla’iifah. Begitu juga dengan ulama kontemporer, Dr. Muhammad bin
Sa’iid Al-Bukhaariy hafidhahullah ketika mentakhrij hadits itu (no. 888)
dalam kitab Ad-Du’aa tulisan Ath-Thabaraaniy rahimahullah berkata:
“Sanadnya dla’iif, padanya terdapat rawi yang bernama Muhammad bin
Abiz-Zu’aizi’ah. Seorang yang dla’iif” [Ad-Du’aa, hal. 1213].
Begitu juga dengan Syu’aib
Al-Arna’uth rahimahullah saat mengomentari riwayat ‘Aliy bin Abi Thaalib
sebagaimana telah lewat perkataannya. Sangat susah disimpulkan pendla’ifannya
karena salah baca kitab, karena beliau melihat perawi yang ada di dalam sanad.
Ustadz Adi Hidayat Lc.,
MA. merujuk pada kitab Silsilah Adl-Dla’iifah no. 6390. Untuk penomoran
tersebut, tepatnya ada di juz 13 halaman 875-878. Ternyata, hadits pada nomor
tersebut tidak sedang membicarakan hadits doa makan ataupun hadits bersetubuh.
Beliau rahimahullah sedang menyinggung hadits Ath-Thaaifah
Al-Manshuurah:
لا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي عَلَى الْحَقِّ ظَاهِرِينَ عَلَى
مَنْ نَاوَأَهُمْ، وَهُمْ كَالإِنَاءِ بَيْنَ الأَكَلَةِ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ
اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ......
“Umatku senantiasa
berada di atas kebenaran lagi dimenangkan terhadap orang yang memusuhi mereka.
Mereka itu seperti bejana yang berada di antara makanan, hingga datang
urusan/keputusan Allah sedangkan mereka dalam keadaan seperti itu…. dst.”
Saya sendiri masih
mencari hadits yang dimaksud Ustadz Adi Hidayat Lc., MA. dalam kitab Silsilah
Adl-Dla’iifah tentang doa berhubungan antara suami-istri dengan lafadh Allaahummaa
baarik lanaa fiimaa razaqtanaa wa qinaa ‘adzaaban-naar. Saya baru mendengar
hadits ini dari beliau (Ustadz Adi Hidayat, Lc., MA.) hafidhahullah.
Dikarenakan saya tidak mempunyai daya hapal yang luar biasa seperti beliau,
saya mencarinya dengan menggunakan Maktabah Syaamilah di Kutub Al-Albaaniy,
namun sayang : saya gagal menemukannya. Mungkin program Maktabah Syamilah saya
yang kurang update.
Ada riwayat mirip
dari Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah:
عَنْ جَعْفَرِ بْنِ سُلَيْمَانَ، عَنْ هِشَامٍ، عَنِ الْحَسَنِ،
قَالَ يُقَالُ: إِذَا أَتَى الرَّجُلُ أَهْلَهُ فَلْيَقُلْ: بِسْمِ اللَّهِ،
اللَّهُمَّ، بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، ولا تَجْعَلْ لِلشَّيْطَانِ
نَصِيبًا فِيمَا رَزَقْتَنَا، قَالَ: فَكَانَ يُرْجَى إِنْ حَمَلَتْ أَوْ
تَلَقَّتْ، أَنْ يَكُونَ ولَدًا صَالِحًا "
Dari Ja’far bin
Sulaimaan, dari Hisyaam, dari Al-Hasan (Al-Bashriy), ia berkata : “Dikatakan,
apabila seorang laki-laki mendatangi istrinya, hendaklah ia mengucapkan : Dengan
menyebut nama Allah. Ya Allah, berikanlah barakah terhadap rizki yang Engkau anugerahkan
kepada kami. Jangan jadikan bagi setan bagian dari yang Engkau rizkikan
kepada kami”. Al-Hasan melanjutkan : “Diharapkan (dengan doa ini) apabila
istrinya hamil atau lahir, maka akan menjadi anak yang shaalih” [Diriwayatkan
oleh ‘Abdurrazzaaq no. 10467].
Tapi riwayat ini
tidak pernah disinggung oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy dalam Silsilah
Adl-Dla’iifah sependek pengetahuan saya dalam pokok haditsnya. Beliau menyebutkan hadits ini sebagai pelengkap pembahasan untuk hadits no. 6930 yang menukil dari perkataan Ibnu Hajar, lalu mengomentarinya : "Begitulah yang diriwayatkan oleh 'Abdurrazzaaq dalam Mushannaf-nya (6/194/11467) dengan sanad darinya (Al-Hasan). Tidak ada padanya tashriih dengan memarfu'kan sanadnya. Seandainya ia memarfu'kan sanadnya, niscaya kualitasnya munkar karena riwayat-riwayat mursal Al-Hasan nilainya seperti angin (tidak ada apa-apanya) - sebagaimana dikatakan sebagian huffaadh - , dan juga karena menyelisihi hadits yang shahih :
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ
اللَّهِ، اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبْ الشَّيْطَانَ مَا
رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرُّهُ
“Apabila salah
seorang diantara kalian mendatangi istrinya dengan membaca : ‘Dengan menyebut
nama Allah. Ya Allah, jauhkan kami dari setan dan jauhkanlah setan dari rizki
(anak) yang akan Engkau anugerahkan kepada kami’. Apabila keduanya diberi
karunia anak, maka setan tidak akan bisa memudlaratkannya” [Silsilah Adl-Dla'iifah 14/1001].
Dan maaf, ini juga tidak
ada hubungannya dengan salah baca. Kalau riwayat Al-Hasan ini yang dimaksud, maka kemungkinan Ustadz Adi lah yang salah baca. Asy-Syaikh Al-Albaaniy di sini konteksnya bukan mendla'ifkan atsar Al-Hasan, karena di situ justru beliau sedang mengomentari kekeliruan Ibnu Hajar. Seandainya marfuu', maka riwayat Al-Hasan munkar karena lemah/mursal dan bertentangan dengan hadits shahih. Tapi sebagaimana Anda lihat - dan juga ditetapkan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy - bahwa riwayat Al-Hasan itu maqthuu' saja, bukan marfuu'.
Seandainya Ustadz Adi
Hidayat Lc., MA. hendak menshahihkan doa makan yang marfuu’ : ‘Allaahumma
baarik lanaa dst.’, bagi saya no problem, karena selain ustadz Adi
banyak. Bahkan banyak di antara kita sejak dari TK diajari oleh bapak ibu guru
kita dengan doa itu. Jadi seandainya Ustadz Adi ingin memakai hadits tersebut
dan mengajarkannya kepada jama’ah beliau, maka itu hak beliau. Tidak masalah, meski
kami tahu itu lemah (yang marfuu’).
Namun ketika beliau hafidhahullah
mengklaim telah melakukan penelitian 1.235 kitab hadits dan kemudian
menyalahkan (bahasa beliau : ‘meluruskan’) orang yang mendla’ifkannya
semata-mata karena salah baca kitab, nampaknya ini yang perlu dikoreksi. Salahnya
agak fatal bagi seorang pakar hadits seperti beliau hafidhahullah.
6. Pakar Hadits (Syarah)
Ustadz Adi Hidayat
Lc., MA. hafidhahullah dalam video berjudul Benarkah Makan dengan 3 Jari
Itu Sunnah? berkata :
“Makan yang sunnah
pakai apa ? Pakai tangan. Berapa jari ? Hayoo, kalau Anda makan nasi pakai lima
jari Anda nggak sunnah itu. Makan sayur pakai apa ? Haa… Anda harusnya pakai
jari itu, tiga jari. Kalau pakai sendok gitu nggak sunnah. Nah,… sekarang, baik
itu nggak ada perantara mas… Nggak ada perantara antara benda dengan tanganya
itu. Ya, yang dimaksud hadits itu, kalau kita baca dengan ilmu ma’aniy-nya,
dilihat asbabul-wurud-nya, ternyata Nabi saat mencontohkan itu sedang memegang
kurma begini (sambil mencontohkan kepada hadirin). Makanlah kalian seperti ini,
kata Nabi. Yang dipegang kurma. Yang dipegang kurma. Kata para ulama hadits,
ini kalimat yang jelas menunjukkan contoh yang sangat dalam kepada kita. Nabi
pada jaman itu selain kurma sudah ada makanan lain. Gandum ada, roti ada, dan
sebagainya. Tapi ketika memegang kurma, beliau pegang dengan tiga jarinya.
Kalau megang kurma dengan lima jari tandanya apa ? (Hadirin menjawab “
‘Maruk’). Haa… itu. Rakus itu. Rakus. Maka hadits ini dipahami para ulama
hadits, ini menunjukkan kemudian makanan dimakan dengan tiga jarinya. Bukan. Maksudnya Nabi ingin mengajarkan : Makanlah kalian sesuai dengan kadar makanannya.
(Hadirin : ooo). Nggak pakai oooo. Kadar makanannya. Jadi kalau misalnya Anda
makan kurma atau kue yang semisal kurma, Anda ingin ambil, jangan rakus dalam
mengambilnya. Makan kacang ambil begini simpan. Gitu kan. Tangan kanan makan,
tangan kiri pegang. Nggak harus seperti itu. Kacang mungkin cukup dengan dua
jari, dua jari, gitu kan. Jadi sesuai dengan kadar makanannya. Makan kue ambil.
Anda mau makan nasi dengan tiga jari, kapan habisnya ?. (Hadirin : tertawa). Jadi,
ambil makanan sesuai dengan kadarnya. Itu
poinnya. Jelas sampai sini ya”
[selesai].
Dalam video semisal
berjudul Benarkah
Sunnah Makan Itu dengan 3 Jari?; Ustadz Adi Hidayat Lc.,
MA. hafidhahullah berkata semisal:
“Makan yang sunnah
berapa jari ?. Makan yang sunnah pakai tangan atau sendok ?. Pakai tangan.
Berapa jari ?. Tiga jari. Masya Allah. Jadi kalau pakai lima jari itu nggak
sunnah ya ?. Dua jari nggak sunnah ya ?. Awas hati-hati. Anda lihat lagi
haditsnya. Ini pentingnya belajar ilmu tentang ilmu hadits turunan dengan ilmu
bahasanya. Nabi mengatakan : ‘Makan seperti ini (sambil mempraktekkan
dengan jarinya). Hakadza. Kul hakadza, kata Nabi. Kul hakadza. Itu yang
dipegang oleh beliau kurma pak, bu. Kurma. Nabi pegang seperti ini. Sedang
makan kurma. Karena melihat shahabat tu makan pada seneng, kata Nabi pegangnya
seperti ini. Baik, fokus ya. Pelan-pelan. Jaman Nabi pun sudah ada roti sobek,
sudah ada yang lainnya, sudah ada syurbah, minum-minuman seperti sirup dan lain
sebagainya. Thayyib. Itu yang dipegang oleh beliau kurma. Saya mau tanya, kalau
makan kurma dengan lima jari apa artinya ?. Bahasa Jepangnya rowog, ya. Jadi
Nabi ingin mencontohkan, kata ulama hadits, ini bukan
menunjukkan saat makan harus makan dengan tiga jari saja. Bukan. Sunnah dalam hadits ini maksudnya makanlah sesuai dengan kadar makanannya. Anda kalau makan
kurma, yang semacam dengan kurma, kue, ambil tiga jari begini. Gitu kan. Anda
mau makan nasi pakai tangan tiga jari, kapan selesainya ?. Sesuai dengan kadar makanan. Kalau gunakan nasi,
ya empat. Lima jari, silakan gunakan. Anda mau makan sayur asem pakai jari,
gimana caranya ?. Jadi Anda hadirkan pada sendok, sendok itu Anda makan, itu
sunnahnya. Jadi di situ nilai yang disampaikan bukan praktek harus menggunakan,
misalnya salah satu organ tertentu. Na itu yang dipelajari di buku mushthalah
hadits terkait dengan kaidah-kaidah ilmu bahasa asbabul-wurud. Jelas sampai di
sini ? Thayyib”
[selesai].
Ulama siapa yang
beliau maksud yang mengatakan sunnah makan tiga jari bukan letterlijk makan
tiga jari, namun makan sesuai kadarnya ?. Soalnya beliau sering sekali
menyebutkan kata ulama tanpa spesifik menyebutkan ulama siapa. Wajar kita
menjadi bertanya-tanya.
Dari Ka’b bin Maalik radliyallaahu
‘anhu:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَأْكُلُ بِثَلَاثِ أَصَابِعَ وَيَلْعَقُ
يَدَهُ قَبْلَ أَنْ يَمْسَحَهَا
“Rasulullah ﷺ makan dengan tiga jari, dan
menjilat tangannya sebelum mengusapnya dengan sapu tangan" [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 2032, Abu Daawud no. 3848, Ahmad 6/386, dan yang lainnya].
Dari Anas bin Maalik radliyallaahu
‘anhua:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ
أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ، قَالَ: وَقَالَ: إِذَا سَقَطَتْ لُقْمَةُ أَحَدِكُمْ،
فَلْيُمِطْ عَنْهَا الْأَذَى وَلْيَأْكُلْهَا وَلَا يَدَعْهَا لِلشَّيْطَانِ،
وَأَمَرَنَا أَنْ نَسْلُتَ الْقَصْعَةَ، قَالَ: فَإِنَّكُمْ لَا تَدْرُونَ فِي
أَيِّ طَعَامِكُمُ الْبَرَكَةُ
Bahwasannya
Rasulullah ﷺ
apabila menyantap makanan, beliau menjilat tiga jarinya. Dan beliau ﷺ bersabda : “Apabila suapan salah
seorang dari kalian jatuh, maka bersihkanlah kotorannya, lalu makanlah. Jangan
membiarkannya untuk dimakan oleh setan”. Beliau ﷺ memerintahkan kami untuk menjilat nampan
dan bersabda : “Sesungguhnya kalian tidak mengetahui di bagian manakah dari
makanan kalian yang terdapat barakah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2034,
At-Tirmidziy no. 1803, Abu Daawud no. 3845, dan yang lainnya].
Dalam riwayat lain:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا أَكَلَ طَعَامًا لَعِقَ أَصَابِعَهُ
الثَّلاثَ
“Nabi ﷺ apabila menyantap makanan, menjilati tiga
jarinya” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy dalam Asy-Syamaail hal. 95 no.
138 dan Ibnu Hibbaan 12/56-57 no. 5252; shahih].
Di sini disebutkan dengan
‘makanan’ (ath-tha’aam), sehingga tidak dikhususkan kepada kurma.
Itu pula yang
dipraktekkan para shahabat radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ حُصَيْنٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، عَنِ
ابْنِ عُمَرَ: أَنَّهُ كَانَ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ إِذَا أَكَلَ "،
وَقَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّهُ لا يَدْرِي فِي أَيِّ طَعَامِهِ
الْبَرَكَةُ "
Telah menceritakan
kepada kami Ibnu Fudlail, dari Hushain, dari Mujaahid, dari Ibnu ‘Umar :
Bahwasannya ia biasa menjilat tiga jarinya apabila selesai makan, dan kemudian
berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Sesungguhnya seseorang tidak tahu di
bagian manakah dari makanannya yang terdapat barakah” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah 8/295-296 no. 24825; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ، قَالَ: أَخْبَرَنَا حُصَيْنٌ، عَنْ مُجَاهِدٍ،
قَالَ: مَا رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ مُتَوَضِّئًا مِنْ طَعَامٍ قَطُّ، كَانَ
يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلَاثَ ثُمَّ يَمْسَحُ يَدَهُ بِالتُّرَابِ ثُمَّ
يَقُومُ إِلَى الصَّلَاةِ
Telah menceritakan
kepada kami Husyaim, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hushain, dari
Mujaahid, ia berkata : “Aku tidak pernah sekalipun melihat Ibnu ‘Umar berwudlu
karena (makan) makanan. Dan ia menjilat tiga jarinya, kemudian mengusap
tangannya dengan tanah, lalu berdiri untuk melaksanakan shalat” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah 1/48 no. 540 & 8/294 no. 24820; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا ابْنُ عُيَيْنَةَ، قَالَ: " قُلْتُ لِعُبَيْدِ اللَّهِ
بْنِ أَبِي يَزِيدَ: كُنْت تَشْهَدُ طَعَامَ ابْنِ عَبَّاسٍ ؟ "، قَالَ:
" نَعَمْ "، قُلْتُ: " فَأَيَّ شَيْءٍ كُنْتُ تَرَاهُ يَصْنَعُ؟
"، قَالَ: " كُنْتُ أَرَاهُ يَلْعَقُ أَصَابِعَهُ الثَّلاثَ "
Telah menceritakan
kepada kami Ibnu ‘Uyainah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Ubaidullah
bin Abi Yaziid : “Apakah engkau menyaksikan makanan Ibnu ‘Abbaas ?”. Ia
menjawab : “Ya”. Aku berkata : “Lantas, apa yang engkau lihat dari yang ia
lakukan ?”. Ia menjawab : “Aku melihatnya menjilat tiga jarinya” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah 8/295 no. 24822; sanadnya shahih].
Juga para taabi’iin.
حَدَّثَنَا مَعْنُ بْنُ عِيسَى، عَنْ خَالِدِ بْنِ أَبِي بَكْرٍ،
قَالَ: رَأَيْتُ الْقَاسِمَ وَسَالِمًا يَأْكُلانِ بِثَلاثِ أَصَابِعَ
Telah menceritakan
kepada kami Ma’n bin ‘Iisaa, dari Khaalid bin Abi Bakr, ia berkata : Aku
melihat Al-Qaasim dan Saalim makan dengan tiga jari” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah 8/298 no. 24835; shahih[1]].
Makan dengan tiga
jari adalah sunnah, begitulah penjelasan para ulama kita.
Dari Al-Hasan
Al-Bashriy rahimahullah, ia berkata:
اثنا عشرة خصلة فِي الطعام ينبغي للمسلمين أَن يتعلموها: أربعة من
فريضة، وأربعة سنة، وأربعة أدب. فأما الفريضة: فالتسمية، والمعرفة، والرضا، والشكر.
وَأَمَّا السنة: فالجلوس عَلَى رجله اليسرى، والأكل مِمَّا يليه، والأكل بثلاث
أَصَابِع، ولعق الأَصَابِع إِذَا فرغ. وَأَمَّا الأدب: فغسل اليدين، وتصغير
اللقمة، والمضغ الشديد، وقلة النظر فِي وجوه أَصْحَابه
“Ada 12 hal ketika
menyantap makanan yang hendaknya dilakukan oleh kaum muslimin. Empat hal
merupakan kewajiban, empat hal merupakan sunnah, dan empat hal merupakan adab.
Adapun kewajibannya : mengucapkan tasmiyyah (menyebut nama Allah/basmalah),
ma’rifah, ridla, dan syukur (atas rizki yang diberikan Allah). Sunnahnya
: duduk di atas kaki kiri, makan apa yang dekat dengannya, makan dengan tiga
jari, dan menjilat jari-jarinya apabila telah selesai. Adabnya : mencuci
kedua tangan, mengecilkan suapan, mengunyah dengan baik, dan menyedikitkan
pandangan pada wajah rekan-rekannya” [Diriwayatkan oleh Al-Khathiib
Al-Baghdaadiy dalam Ath-Tathfiil hal. 142 no. 170].
An-Nawawiy rahimahullah
berkata:
وَاسْتِحْبَاب الْأَكْل بِثَلَاثِ أَصَابِع ، وَلَا يَضُمّ إِلَيْهَا
الرَّابِعَة وَالْخَامِسَة إِلَّا لِعُذْرٍ بِأَنْ يَكُون مَرَقًا وَغَيْره مِمَّا
لَا يُمْكِن بِثَلَاثٍ وَغَيْر ذَلِكَ مِنْ الْأَعْذَار
“(Diantara
sunnah-sunnah dalam makan pada hadits ini adalah) disunnahkan bagi seseorang
untuk makan dengan tiga jari, dan tidak menggunakan jari yang keempat atau
kelima kecuali ada ‘udzur, semisal sayur berkuah dan yang lainnya yang
tidak mungkin menggunakan tiga jari, dan alasan lainnya” [Syarh Shahiih
Muslim, 13/203-204].
Ibnu Hajar rahimahullah
berkata:
وَيُؤْخَذ مِنْ حَدِيث كَعْب بْن مَالِك أَنَّ السُّنَّة الْأَكْل
بِثَلَاثِ أَصَابِع وَإِنْ كَانَ الْأَكْل بِأَكْثَر مِنْهَا جَائِزًا
“Dan diambil dari
hadits Ka’b bin Maalik bahwasannya sunnah ketika makan adalah dengan tiga jari,
meskipun jika makan lebih dari tiga jari diperbolehkan” [Fathul-Baariy,
9/578].
Al-Qaadliy ‘Iyaadl rahimahullah
berkata:
وَالْأَكْلُ بِأَكْثَرَ مِنْهَا مِنْ الشَّرَهِ وَسُوءِ الْأَدَبِ ،
وَلِأَنَّهُ غَيْرُ مُضْطَرٍّ لِذَلِكَ لِجَمْعِهِ اللُّقْمَةَ وَإِمْسَاكِهَا
مِنْ جِهَاتِهَا الثَّلَاثِ ، وَإِنْ اُضْطُرَّ إلَى الْأَكْلِ بِأَكْثَرَ مِنْ
ثَلَاثَةِ أَصَابِعَ ، لِخِفَّةِ الطَّعَامِ وَعَدَمِ تَلْفِيقِهِ بِالثَّلَاثِ
يَدْعَمُهُ بِالرَّابِعَةِ أَوْ الْخَامِسَةِ
“Makan lebih dari
tiga jari termasuk keburukan dan jeleknya adab. Hal itu dikarenakan tidak ada
kebutuhan yang mengharuskan menggunakan lebih dari tiga jari untuk mengumpulkan
suapan makanan dan memegangnya. Namun jika ada kebutuhan untuk makan lebih dari
tiga jari, karena ringan/lembutnya makanan dan tidak dapat diambil dengan tiga
jari, maka ia boleh menggunakan jari yang keempat atau kelima” [idem].
Penulis kitab Syarh
Al-Bahjatul-Wardiyyah ketika menyebutkan adab-adab makan antara lain:
"...وَأَنْ يَأْكُلَ بِثَلَاثِ
أَصَابِعَ ، وَأَنْ يَتَحَدَّثَ إذَا كَانَ مَعَهُ غَيْرُهُ بِمَا لَا إثْمَ فِيهِ..."
“…. Makan dengan tiga jari,
berbicara/berbincang-bincang apabila ada orang lain bersamanya dengan
pembicaraan yang tidak mengandung dosa…..” [Syarh Al-Bahjatul-Wardiyyah,
15/223].
Asy-Syaikh Muhammad
bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan:
أنه ينبغي للإنسان أن يأكل بثلاثة أصابع الواسطى والسبابة والإبهام
لأن ذلك أدل على عدم الشره وأدل على التواضع ولكن هذا في الطعام الذي يكفي فيه
ثلاثة أصابع أما الطعام الذي لا يكفى فيه ثلاثة أصابع مثل الأرز فلا بأس بأن تأكل
بأكثر لكن الشيء الذي تكفى فيه الأصابع الثلاثة يقتصر عليها فإن هذا سنة النبي ﷺ
“Dan hendaknya bagi seseorang
untuk makan dengan tiga jarinya, yaitu jari tengah, telunjuk, dan ibu jari. Hal
itu dikarenakan hal itu menunjukkan ia tidak rakus dan menunjukkan ketawadluan.
Akan tetapi ini berlaku pada makanan cukup dimakan dengan tiga jari saja.
Adapun makanan yang dimakan tidak cukup dengan tiga jari seperti nasi, maka
tidak mengapa dimakan dengan lebih dari tiga jari. Akan tetapi makanan yang
cukup menggunakan tiga jari, hendaklah ia mencukupi diri dengannya karena ini
adalah sunnah Nabi ﷺ ” [Syarh Riyaadlush-Shaalihin,
4/229].
Para ulama tentu
sangat paham bahasa Arab, paham konteksnya, dan penjelasan mereka lebih
didahulukan dibandingkan inovasi penjelasan orang belakangan – jika ada - .
Meskipun ada beberapa
persamaan bahasa/kalimat dalam penjelasan para ulama di atas dengan penjelasan
Ustadz Adi Hidayat, namun esensinya menjadi sangat berbeda.
Para ulama
menjelaskan dari hadits-hadits di atas (juga berdasarkan atsar-atsar salaf)
bahwa makan dengan tiga jari adalah sunnah. Ini pokok/substansi mereka.
Adapun jika makan lebih dari tiga jari, terutama makanan yang lembut atau tidak
cukup dimakan dengan tiga jari, maka boleh. Mereka tidak menakwilkannya bahwa
sunnah yang dimaksud adalah ‘makanlah secukupnya atau sesuai kadarnya’
sebagaimana Ustadz Adi Hidayat.
Mungkin saja Ustadz
Adi Hidayat, Lc., MA. sebenarnya ingin menjelaskan hadits Ka’b dan Anas radliyallaahu
‘anhumaa dengan penjelasan para ulama tersebut di atas, namun keseleo lidah
jadi beda esensinya.
Masukan kami untuk ke
depan, alangkah baiknya jika penjelasan-penjelasan hadits diikuti dengan nukilan-nukilan
otentik para ulama sehingga jama’ah yang mendengar tidak salah paham serta
semangat dalam ittiba’ dan ta’dhiim-nya terhadap sunnah.
Satu
lagi…….
Ketika Ustadz Adi
Hidayat Lc. MA. hafidhahullah membahas tentang wudlu dalam video
berjudul Jenis-Jenis
Syetan & Tugass nya, beliau menguraikan panjang lebar tentang tentang
definisi/arti wudlu (01:27:17):
“Apa artinya wudlu
?. Apa artinya wudlu ? Lo, pertanyaan ketiga masih ngarang juga. Nggak usah
ngarang. Apa artinya wudlu ? Wallaahu a’lam. Thayyib. Wudlu itu, asal
bahasanya bukan bersuci ya. Kalau bersuci
thaharah. Itu pengertian fikih ya. Wudlu artinya bersuci itu pengertian fikih. Secara
bahasa, wudlu itu berasal dari kata dlau’ (ضَوْء). Yang berarti, cahaya yang terang,
sinar yang terang, atau aura kebaikan yang tampak. Aura kebaikan yang tampak.
Jadi ada orang-orang yang seakan-akan wajahnya ada cahaya. Yang dari jauh Anda
sudah lihatnya enak.. ada cahaya kebaikan. Teduh melihatnya, tenang perasaan
Anda gitu kan. Seperti terangnya cahaya matahari yang diharapkan itu. Dlaun,
jamaknya disebut dliyaa’. Dalam surat ke-10 ayat ke-5 : huwalladzii
ja’alasy-syamsa dliyaa’an wal-qamara nuuran. Oke. Nah, sekarang saya berikan
rumus, dan ini akhir dari kajian kita. Saya tutup sampai di sini. ……
(lalu Ustadz Adi menulis penjelasan di papan tulis dengan tulisan sebagai
berikut:
(01:29:29):
“….. maka turun kalimatnya kemudian menjadi
begini : wudlu. Dari kata dlau’ yang berarti cahaya yang terang, aura
kebaikan yang tampak. Ditambah wawu, maka kalimatnya berubah secara bahasa berarti
sinar yang sangat terang, atau aura kebaikan yang semakin tampak. Makanya
kata Nabi ﷺ dalam hadits riwayat Muslim yastad’uuna
ummati yaumal-qiyaamati ghurran muhajjaliin. Umatku nanti akan dipanggil di
akhirat nanti dengan cahaya yang terang sekali tampak di tubuhnya. Min
atsaril-wudluu’. Dari bekas wudlunya. Jadi saat di akhirat nanti, insya Allah,
kita kalau wudlunya bagus, seperti tadi itu nanti saat dipanggil itu akan
kelihatan umat Nabi itu. Kelihatan. Begitu datang, cahayanya banyak. Ada aura
kebaikan. Kata Nabi, dari bekas wudlunya. Tapi Anda mesti tahu ya, awas, mesti
ingat ini, yang dimaksud bekas wudlunya bukan airnya, bukan airnya ingat, tapi
yang dimaksud ini aura kebaikan yang tampak ini. Makanya kalimatnya menggunakan
atsar. Atsar itu jejak perilaku, bukan jejak benda. Jejak perilaku. Jadi kalau
antum berjalan begini (sambil mempraktekkan), ada tapak di situ. Itu disebut
dengan atsar namanya. Makanya ada atsar shahabat. Jejak kehidupan shahabat,
sehingga seperti kita melacak jejak langkahnya. Atsar. Ya. Makanya kata Nabi,
orang yang benar wudlunya, bisa tampak pada perilakunya. Aura kebaikannya.
Kira-kira, maaf, semakin bercahaya nggak wajahnya? Semakin bercahaya nggak
tangannya. Jadi, ada kebaikan yang ia lakukan dari situ. Itu yang menjadikan
dirinya mendapat cahaya kebaikan di akhirat nanti. Makanya ibadahnya disebut
dengan wudlu’. Ingin memberikan kesan bahwa orang wudlu itu pasti sifat dan
sikapnya baik. Jadi kalau selama ini ada orang berwudlu, sifat dan sikapnya
tidak baik, ada yang salah dalam wudlu’nya. Oke. Kalau semua orang sudah begini
wudlunya, mana ada setan yang bisa ganggu. Susah gitu. Ya. Begitu dia mau
ganggu, ini taubat kepada Allah. Dia rasakan Allah mengawasi. Ya, karena itulah
kemudian besar kemungkinan dia bisa menepiskan setan, menghilangkan was-was
dalam dirinya, dan lebih dekat kepada Allah subhaanahu wa ta’ala. Jelas sampai
di sini ?. Thayyib. Paham insya Allah ?
…….
Bismillah, apakah boleh bicara ketika
sedang berwudlu ?. Saya, kalau kembali kepada hadits tadi, kita menghindari
itu. Kalau berbicara, hukumnya, Anda bicara, nggak membatalkan wudlu. Tapi
Anda kehilangan kesempatan pahala diampuni dosa-dosa yang telah berlalu. Karena bahasa haditsnya, jangan bicara, selama ia tidak
bicara selama wudlu sampai dia shalat. Bahasa haditsnya. Tapi kalau Anda
bicarapun, tidak membatalkan wudlu. Cuman sayang, kehilangan kesempatan
diampuni dosa-dosanya. Ya. Jelas ya ?. (01:33:01)
[selesai]
Jika kita buka
penjelasan para ulama, wudlu’ berasal dari kata al-wadlaa’ah (الوَضَاءَة)
yang bermakna kebaikan (الحسن), kebersihan (النظافة),
dan kegembiraan (البهجة), sebagaimana jika dikatakan :
رجل وضيء
maknanya : bagus
penampilannya (حسن الهيئة)
[Taajul-‘Aruus 1/276-277, Lisaanul-‘Arab 1/194, dan Mukhtaarush-Shihhaah
hal. 303 – melalui perantaraan Ahkaamuth-Thahaarah oleh Dibyaan bin
Muhammad Ad-Dibyaan, 9/19][2].
Adapun permasalahan berbicara
ketika wudlu’, apakah dalil yang beliau maksud menunjukkan pada kesimpulan yang
ada pada jawaban beliau tersebut ? Apakah ada ulama yang memahami demikian ?.
Sebelumnya, mari kita
cermati penjelasan beliau hafidhahullah pada menit sebelumnya ketika
menjelaskan hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu (01:26:05):
“Teruskan
haditsnya…. Di ujung haditsnya, ee saya berikan rumusnya sebentar ya. Ini rumus
hadits di Al-Bukhaariy nomor hadits 159. Perhatikan. Haditsnya belum selesai.
Ketika ‘Utsman selesai membasuh kakinya, beliau mengatakan, lihat kalimatnya,
ya. Man tawadla’a bi-wudluuin bi mitsli wudluui hadza, siapa yang berwudlu
seperti wudlu saya ini, maka kata Rasulullah, tsumma shalla rak’ataini,
kemudian ia shalat dua raka’at, shalat sunnah wudlu. Jadi dia wudlu dulu dengan
sempurna, kemudian dia shalat dua raka’at, walam
yuhdits fiihimaa, dan dia tidak berbicara sepatah katapun, diantara wudlu dan
shalat itu. Ya antum wudlu, selesai wudlu, sempurnakan, kemudian seperti
tadi, Anda shalat dua raka’at, dan tidak bicara. Lihat, ghafarahullaahu maa
taqaddama min dzanbihi. Paling minimal, pertama yang diberikan, semua
dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni oleh Allah subhaanahu wa ta’ala.
Haditsnya shahih. Semua dosanya. Yang kecil sampai dengan yang besar. Ya…”.
[selesai].
Hadits ‘Utsmaan bin
‘Affaan radliyallaahu ‘anhu dimaksud adalah:
مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِي هَذَا، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
لَا يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang
berwudlu seperti wudluku ini, kemudian ia shalat dua raka’at dan tidak
berkata-kata dalam dirinya antara dua raka’at tersebut, maka akan diampuni
dosa-dosanya yang telah lalu”.
Beliau hafidhahullah
keliru dalam menafsirkan laa yuhadditsu fiihimaa dimana
beliau katakan maknanya tidak berbicara antara wudlu dan shalat. Padahal
maksudnya adalah tidak berkata-kata dalam dirinya (hati) untuk perkara dunia
antara dua raka’at shalat tersebut (di dalam shalat).
An-Nawawiy rahimahullah
berkata:
فَالْمُرَاد لَا يُحَدِّث بِشَيْءٍ مِنْ أُمُور الدُّنْيَا وَمَا لَا
يَتَعَلَّق بِالصَّلَاةِ
“Maksudnya adalah
tidak berkata-kata tentang sesuatu dari perkara dunia dan yang tidak ada
kaitannya dengan shalat” [Syarh Shahiih Muslim, 3/108].
Jadi menggunakan
hadits ‘Utsmaan bin ‘Affaan sebagai dalil agar tidak berbicara/berkata-kata ketika berwudlu karena dapat kehilangan
kesempatan mendapatkan pahala serta diampuni dosa-dosa yang telah berlalu;
tidak tepat. Beda konteks.
Adapun berbicara pada
waktu wudlu, hukumnya boleh, tidak terlarang. Dalilnya:
عَنْ عَمْرو بْن الْعَاصِ، يَقُولُ: بَعَثَ إِلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
فَقَالَ: " خُذْ عَلَيْكَ ثِيَابَكَ وَسِلَاحَكَ، ثُمَّ ائْتِنِي ". فَأَتَيْتُهُ
وَهُوَ يَتَوَضَّأُ، فَصَعَّدَ فِيَّ النَّظَرَ ثُمَّ طَأْطَأَهُ، فَقَالَ:
" إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أَبْعَثَكَ عَلَى جَيْشٍ فَيُسَلِّمَكَ اللَّهُ وَيُغْنِمَكَ،
وَأَزْغَبُ لَكَ مِنَ الْمَالِ زَغْبَةً صَالِحَةً ". قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، مَا أَسْلَمْتُ مِنْ أَجْلِ الْمَالِ، وَلَكِنِّي أَسْلَمْتُ رَغْبَةً فِي
الْإِسْلَامِ، وَأَنْ أَكُونَ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ: يَا عَمْرُو، نِعِمَّا بِالْمَالُ
الصَّالِحُ لِلْمَرْءِ الصَّالِحِ
Dari ‘Amru bin Al-‘Aash,
ia berkata : “Rasulullah ﷺ mengutus seseorang kepadaku, dan kemudian
menyampaikan pesan beliau : ‘Ambil baju dan senjatamu, kemudian datanglah
kepadaku (Rasulullah ﷺ)’. Aku pun mendatangi
beliau ﷺ yang saat itu sedang
berwudlu. Beliau ﷺ mengangkat
pandangannya kemudian menunduk dan bersabda : “Sesungguhnya aku ingin
mengutusmu untuk satu peperangan. Semoga Allah memberikan keselamatan dan harta
ghanimah kepadamu. Dan aku berharap kepadamu dari harta yang baik”. Aku
berkata : “Wahai Rasulullah, tidaklah aku masuk agama Islam semata-mata
mengharapkan harta, namun aku masuk Islam karena aku memang menginginkan
Islam”. Dan aku pun (setelah itu) bersama Rasulullah ﷺ, lalu beliau bersabda : “Wahai ‘Amru,
sebaik-baik harta yang shalih adalah untuk seseorang yang shaalih” [Diriwayatkan
oleh Ahmad 4/197; sanadnya shahih].
Namun lebih baik
untuk ditinggalkan. Asy-Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah
ketika ditanya : “Apakah berbicara ketika
wudlu makruh?”. Beliau rahimahullah menjawab:
ليس بمكروه؛ الكلام في أثناء الوضوء ليس بمكروه، لكن في الحقيقة أنه
يشغل المتوضئ؛ لأن المتوضئ ينبغي له عند غسل وجهه أن يستحضر أنه يمتثل إلى أمر
الله، وعند غسل يديه ومسح رأسه وغسل رجليه يستحضر هذه النية، فإذا كلمه أحد وتكلم
معه انقطع هذا الاستحضار، وربما يشوش عليه أيضاً، وربما يحدث له الوسواس بسببه،
فالأولى أن لا يتكلم حتى ينتهي من الوضوء، لكن لو تكلم فلا شيء عليه
“Tidak makruh. Berbicara
ketika wudhu tidaklah makruh. Akan tetapi pada hakekatnya, perbuatan tersebut
menyibukkan bagi orang yang berwudlu, karena orang yang berwudlu seharusnya
ketika membasuh wajahnya untuk menghadirkan hatinya bahwa ia lakukannya karena
mentaati perintah Allah ta’ala. Begitu juga ketika membasuh kedua
tangannya, mengusap kepalanya, dan membasuh kedua kakinya. Hendaknya ia
menghadirkan niat ini. Seandainya ada seseorang yang berbicara dengannya dan ia
berbicara kepadanya, terputuslah keadaan ini (menghadirkan hati) dan kadang ia juga
akan terganggu dan merasa was-was dikarenakannya. Maka lebih utama agar tidak
berbicara hingga ia selesai wudlu. Akan tetapi seandainya ia berbicara, maka tidak
mengapa” [sumber : http://binothaimeen.net/content/12484].[3]
Sebenarnya tidak
masalah apabila Ustadz Adi Hidayat mengatakan makruh atau tidak makruh, karena
dalam masalah ini para ulama berbeda pendapat. Hanya saja, yang disoroti di
sini adalah cara pengambilan dalil beliau yang tidak merujuk pada pendapat
ulama dalam memahami dalil.
Mungkin
ini saja yang dapat saya tulis dari beberapa rangkaian pembahasan tentang
materi Ustadz Adi Hidayat. Point penting di sini jika kita melihat benang
kritikan yang dialamatkan kepada beliau adalah cara penafsiran dalil yang
beliau lakukan cenderung bebas. Agak miskin kita mendengar nukilan para ulama
dari materi yang beliau sampaikan – meski kata ‘ulama’ sendiri sering beliau
katakan - . Ada baiknya ke depan, materi pembacaan kitab dan penukilan
letterlijk perkataan ulama ketika mentafsirkan ayat dan mensyarah hadits lebih
diperkaya. Insya Allah, itu sangat bermanfaat bagi jama’ah.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– 11071438/08042017 - revisi : 11071438/08042017, 13:27].
[1] Dalam sanad riwayat ini ada Khaalid bin Abi
Bakr, yang dikatakan Ibnu Hajar : “Padanya ada kelemahan”. Namun dalam riwayat
ini ia adalah si pemilik cerita yang menghapal apa yang ia lihat, sehingga
riwayat tersebut shahih. Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[2] Versi website dapat dibaca di : http://www.alukah.net/web/dbian/0/26271/
[3] Pembahasan masalah ini dapat dibaca di : http://www.alukah.net/sharia/0/30068/.
Comments
Bemer Ustadz... Sayapun tak mendapat hadits yg dimaksud dalam Al Muwattha' (riwayat Aliy ttg do'a Allahumma Bariklanaa dst)...
dan setahu saya Majalah Al Muslimun sudah mendhaifkan hadits tersebut pada tahun 1980an... dan saya tidak yakin kalau tim hadits Al Muslimun salah baca... apalagi di dalam ilal hadits ibnu abi hatim ada membahas ttg do'a tsb terkait makanan bukan jima'...
Barakallahufik ustad..ana tunggu lagi koreksi berikutnya. Banyak yg takjub soalnya kalo liat kajian ust AH..ternyata banyak sekali kekeliruannya.
Ya kalau antum masih "miskin" pendapat ulama siapa yang disebutkan maka silahkan datangi beliau dan tanyakan ulama siapa yang dimaksud pak.
Atau kalau ndak punya tiket transportasi silahkan saja sebutkan di web antum nomor rekeningnya nanti biar diurus sama pihak ustadz adi hidayat.
Oiya kalau boleh tau majelis taqlim antum dimana pak jika ingin duduk langsung dengar tausiah?
Saya berharap beliau mau rujuk ilal haq. Dan kritikan ini menjadikan beliau lebih baik lagi dalam berdakwah. Aamiin
Teruskan dibongkar lagi kekeliruan Ust. AH. Sangat berbahaya sekali jika dibiarkan mengajar ilmu yang menyimpang..
Aamiin..
datang aja ke masjid Nabawi insya Allah ketemu taklim beliau
Mungkin mas dave ini tahu pendapat yang di sampaikan ustadz AH ini dari Ulama mana? Hayoo...
Didi PW
Alhamdulillah nambah ilmu lagi, semoga ustad AH dapat hidayah dan menyadari kesalahannya, kajian beliau menurut saya bagus tapi setelah tau ada beberapa kajiannya yg sedikit menyimpang jadi musti lebih hati hati memilih kajian.
aneh
heran
Mungkin bahasa nya jgn terlalu kasar disebut menyimpang, karna kita tdk tau pasti apa kesalahan nya disengaja atau tdk, menurut sy itu ketidaksengajaan.. Lebih baik kita doakan ustadz Adi Hidayat smoga dpt memperbaiki jika memang terdapat kesalahan.. Tdk ada manusia yg luput dr salah.. Smoga tulisan ini sampai ke beliau
Ustadz, jazakallah khair, mohon juga dibahas dasarnya memperbaiki kesalahan ustadz lain yang disyiarkan secara umum, sehingga kami bisa mengerti bahwa hal ini ada dasarnya dan bagian dari syariat.
Barakallauhu ustadz, kalau saya baca kritikan-kritikan kepada ustadz Adi Hidayat bahasanya sejuk. Demikian juga ustadz FA.
Mungkin adalah kesalahan kalau membaca kritikan tidak langsung dari sumbernya, tapi melalui postingan yang sudah ditambahkan dengan kalimat-kalimat yang arahnya malahan membuat "tidak sejuk"
Semoga Allah selalu merahmati kita semua
Assalamu'alaikum... ustad, barakallahu fiik. Ustad ana mw tanya. Bisa tidak buku Ulama SYEKH Dr.Abdullah Nasih Ulwan, dijadikan jurukan ilmu dan bagamana pandagan jumhur ulama tentang ulama ini.? Jazakallahu khairan...
Mohon ustad di jawab secepatnx.. karna ini penting sekali.
Wa'alaikumus-salaam. Buku-buku yang ditulis Asy-Syaikh Al-Albaaniy, Ibnu Baaz, Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin, Shaalih Al-Fauzaan, dan 'Abdul-Muhsin Al-'Abbaad, serta berbagai fatwa dan rekaman pelajaran mereka saya kira telah mencukupi.
Indonesia lg di serang asatidz suka populeritas, apalagi khawatir tempat asal mereka menuntut ilmu...padahal sayangkan ngerti bahasa Arab tp melenceng dalam memberikan hujah, Allah sebaik baik pemberi Taufiq dan Hidayah
saya kira memang benar kita harus saling mengingatkan...
saya senang dengan tulisan-tulisan yang saling mengoreksi dalam semangat berkasih sayang karena Allah.
hanya saja suka saja kalimat2 provokatif di kolom2 komentar seperti ini.
saya lihat ust AD juga sangat terbuka terhadap kritikan dan masukan sebagaimana yang selalu dikatakannya saat akan menutup majelisnya.
yuk, kita saling berlomba dalam kebaikand dan saling nasihat-menasihati dengan penuh kasih sayang
Posting Komentar