Definisi
Kata
al-istighfaar (الاستغفار) merupakan mashdar dari إِسْتَغْفَرَ
- يَسْتَغْفِرُ. Akar
katanya ghafara (غَفَرَ) yang menunjukkan arti menutupi/as-satr (اَلسَّتْرُ), sehingga kata al-ghafru (الْغَفْرُ) maknanya adalah as-satru (اَلسَّتْرُ). Kata al-ghafru dan al-ghufraan maknanya satu.
Dikatakan : غَفَرَ اللهُ ذَنْبَهُ غُفْراً
وَمَغْفِراةً وَغُفْرَاناً.
Ar-Raaghib
rahimahullah berkata : “Al-ghafru adalah memakaikan sesuatu yang
melindunginya dari kotoran. Dan darinya dikatakan : اغفر
ثوبك في الدعاء (tutupilah
pakaianmu saat berdoa)’. Al-ghufraan dan al-maghfirah berasal
dari Allah, maknanya adalah : Ia melindungi seorang hamba dari tersentuh
‘adzab. Adapun al-istighfaar (الْاسْتِغْفَارُ) maknanya memohon hal tersebut dengan perkataan dan perbuatan”.
Al-Ghafuur, Al-Ghaffaar,
dan Al-Ghaafir adalah termasuk nama-nama Allah yang indah, yang
mempunyai makna : Yang menutupi dosa-dosa hamba-Nya, Yang mengampuni kesalahan-kesalahan
dan dosa-dosa mereka.
Al-Ghazzaaliy
rahimahullah berkata :
الغفار هو الذي أظهر الجميل وستر القبيح،
والذنوب من جملة القبائح التي سترها بإسبال الستر عليها في الدنيا، والتجاوز عن
عقوبتها في الآخرة
“Al-Ghaffaar
adalah Dzat Yang menampakkan keindahan dan menutupi keburukan. Dosa
termasuk bagian dari keburukan yang Allah tutupi dengan cara menjulurkan tirai
penutup terhadapnya di dunia, serta tidak memberikan hukuman di akhirat”.
Al-Khaththaabiy
rahimahullah berkata:
الغفّار هو الذي يغفر ذنوب عباده مرة بعد
مرة كلما تكررت التوبة من الذنب تكررت المغفرة، فالغفّار الساتر لذنوب عباده المسدل
عليهم ثوب عطفه ورأفته؛ فلا يكشف أمر العبد لخلقه ولا يهتك ستره بالعقوبة التي
تشهره في عيونهم.
“Al-Ghaffaar adalah Dzat yang
senantiasa mengampuni dosa-dosa hamba-Nya. Setiap kali ia bertaubat dari
dosa-dosa yang dilakukan,
setiap kali itu pula ampunan diberikan. Al-Ghaffaar adalah Yang menutupi
dosa-dosa hamba-Nya, yang melabuhkan pakaian iba dan belas kasih terhadapnya,
sehingga Ia tidak menyingkap dosa/kesalahan hamba-Nya kepada makhluk-Nya dan tidak
merobek tirai-Nya dengan hukuman yang akan membuka aibnya pada pandangan
mereka”.
Hakekat
dan Sebab-Sebab Istighfaar
Seseorang
tidaklah terbebas dari kesalahan dan dosa sebagaimana tabiatnya sebagai
manusia. Selain itu, musuhnya pun banyak; diantaranya adalah nafsu yang ada dalam
dirinya yang kemudian menghiasi dan memerintahkannya melakukan kejelekan. Allah
ta’ala berfirman:
إِنَّ النَّفْسَ لأمَّارَةٌ بِالسُّوءِ
إِلا مَا رَحِمَ رَبِّي
“Sesungguhnya
nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat
oleh Tuhanku” [QS. Yuusuf : 53].
Diantara
musuhnya adalah setan, musuh besarnya, yang tinggal dalam diri manusia yang
akan senantiasa mendorongnya masuk
ke jalan-jalan kebinasaan. Diantara musuhnya juga adalah hawa nafsu yang akan
menghalanginya
dari jalan Allah. Diantara juga
dunia dengan segala macam tipuan dan keindahan semunya. Maka, orang yang ma’shuum
(terpelihara) adalah orang yang Allah pelihara dari semua hal tersebut, yang
melarangmu dari kelalaian, serta futuur (kelemahan) dan kurang dalam ketaatan
terhadap Allah dan melaksanakan semua perintah-Nya. Oleh karena itu, Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam - sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu - pernah bersabda:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ لَمْ
تُذْنِبُوا لَذَهَبَ اللَّهُ بِكُمْ، وَلَجَاءَ بِقَوْمٍ يُذْنِبُونَ
فَيَسْتَغْفِرُونَ اللَّهَ فَيَغْفِرُ لَهُمْ
“Demi
Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, seandainya kalian tidak berbuat dosa,
niscaya Allah akan wafatkan kalian dan digantikan dengan kaum lain yang berbuat
dosa, lalu mereka meminta ampunan kepada Allah dan Allah pun memberikan ampunan
kepada mereka” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2749].
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ
الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap
anak Adam banyak berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat salah
adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/198,
At-Tirmidziy no. 2499, Ibnu Maajah no. 4251, dan lain-lain; dihasankan oleh
Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
Akan
tetapi di sini ada satu permasalahan penting yang harus diperhatikan. Banyak orang yang meyakini bahwa istighfaar
itu cukup diucapkan
di lisan saja. Diantara mereka ada yang berkata : “astaghfirullaah......”
; namun ternyata kalimat ini tidak memberikan pengaruh di dalam hatinya,
sebagaimana hal itu juga tidak memberikan pengaruh pada amalan anggota
badannya. Istighfaar semacam ini hakekatnya merupakan perbuatan para
pendusta.
Fudlail
bin ‘Iyaadl rahimahullah berkata:
استغفار بلا إقلاع عن الذنب توبة
الكذابين
“Istighfaar
tanpa disertai meninggalkan dosa adalah taubat para pendusta”.[1]
Seorang
yang shaalih pernah berkata:
استغفارنا يحتاج إلى استغفار
“Istighfaar
kita membutuhkan istighfaar”.
Maksudnya
: Barangsiapa yang ber-istighfaar (memohon ampun) kepada Allah
namun tidak meninggalkan perbuatan maksiat, maka istighfaar-nya
membutuhkan istighfaar. Hendaknya kita memperhatikan hakekat istighfaar
kita agar kita tidak termasuk golongan para pendusta yang ber-istighfaar dengan
lisan-lisan mereka, namun tetap melakukan maksiat.
Istighfaar
adalah Kekhususan Orang-Orang Mukmin
Ketika
Ibraahiim ‘alaihis-salaam membantah ayahnya dan mengajaknya kepada
ketauhidan, maka ayahnya meresponnya dengan seburuk-buruk respon, diantaranya
adalah seperti perkataan yang difirmankan Allah ta’ala:
لَئِنْ لَمْ تَنْتَهِ لأرْجُمَنَّكَ
وَاهْجُرْنِي مَلِيًّا
“Jika
kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat
waktu yang lama” [QS. Maryam : 46].
Perkataan
di atas
diucapkan setelah mendapatkan berbagai
perkataan lembut dari
Ibraahiim ‘alaihis-salaam.
Ketika
ayahnya meresponnya dengan perkataan: ‘niscaya kamu akan kurajam’, Ibraahiim
‘alaihis-salaam tidak lantas membalasnya dengan perkataan buruk atau
yang sejenisnya; akan tetapi yang muncul pertama kali dalam benaknya adalah memohonkan
ampunan baginya, sebagaimana firman Allah ta’ala:
قَالَ سَلامٌ عَلَيْكَ سَأَسْتَغْفِرُ
لَكَ رَبِّي إِنَّهُ كَانَ بِي حَفِيًّا
“Berkata
Ibraahiim: "Semoga keselamatan dilimpahkan kepadamu, aku akan meminta
ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia sangat baik kepadaku” [QS.
Maryam : 47].
Artinya,
istighfaar adalah sesuatu yang pertama kali ada dalam pikiran Ibraahiim ‘alaihis-salaam,
dimana istighfaar ini dilakukan karena besarnya harapan Ibraahiim agar ayahnya
mendapatkan hidayah (dari Allah). Allah ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ اسْتِغْفَارُ إِبْرَاهِيمَ
لأبِيهِ إِلا عَنْ مَوْعِدَةٍ وَعَدَهَا إِيَّاهُ فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ أَنَّهُ
عَدُوٌّ لِلَّهِ تَبَرَّأَ مِنْهُ إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لأوَّاهٌ حَلِيمٌ
“Dan
permintaan ampun dari Ibraahiim (kepada Allah) untuk ayahnya, tidak lain
hanyalah karena suatu janji yang telah diikrarkannya kepada ayahnya itu. Maka
tatkala jelas bagi Ibraahiim bahwa ayahnya itu adalah musuh Allah, maka Ibraahiim
berlepas diri daripadanya. Sesungguhnya Ibraahiim adalah seorang yang sangat
lembut hatinya lagi penyantun” [QS. At-Taubah : 114].
Dari
kasus di atas dapat dipetik pelajaran tidak diperbolehkannya memintakan ampun bagi
orang musyrik, karena istighfaar adalah kekhususan bagi
orang-orang mukmin. Hal tersebut dipertegas lagi dengan firman Allah ta’ala:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ
آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ
“Tiadalah
sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum
kerabat (nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah
penghuni neraka Jahanam” [QS. At-Taubah : 113].
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي أَنْ أَسْتَغْفِرَ
لِأُمِّي فَلَمْ يَأْذَنْ لِي، وَاسْتَأْذَنْتُهُ أَنْ أَزُورَ قَبْرَهَا فَأَذِنَ
لِي
“Sesungguhnya
aku telah memohon izin Rabb-ku untuk memintakan ampun bagi ibuku, namun Ia
tidak mengizinkanku. Dan aku memohon izin untuk menziarahi kuburnya, lalu Ia
mengizinkanku” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 976, Abu Daawud no. 3234, An-Naasa’iy
no. 2034, Ibnu Maajah no. 1572, dan yang lainnya].
Dalam
Shahiih Al-Bukhaariy, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, dari ayahnya :
أَنَّ أَبَا طَالِبٍ لَمَّا حَضَرَتْهُ
الْوَفَاةُ دَخَلَ عَلَيْهِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَعِنْدَهُ أَبُو جَهْلٍ، فَقَالَ: " أَيْ عَمِّ قُلْ لَا إِلَهَ إِلَّا
اللَّهُ كَلِمَةً أُحَاجُّ لَكَ بِهَا عِنْدَ اللَّهِ "، فَقَالَ أَبُو
جَهْلٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ: يَا أَبَا طَالِبٍ تَرْغَبُ عَنْ
مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَلَمْ يَزَالَا يُكَلِّمَانِهِ حَتَّى قَالَ: آخِرَ
شَيْءٍ كَلَّمَهُمْ بِهِ عَلَى مِلَّةِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ مَا لَمْ أُنْهَ عَنْهُ
"، فَنَزَلَتْ مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ
يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا
تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ، وَنَزَلَتْ إِنَّكَ لا تَهْدِي
مَنْ أَحْبَبْتَ "
Bahwasannya
ketika Abu Thaalib hampir meninggal, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengunjunginya dan beliau mendapati Abu Jahl ada di sisinya (Abu Thaalib). Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Wahai pamanku, ucapkanlah
Laa ilaaha illallaah; satu kalimat yang aku dapat berhujjah membelamu kelak di sisi
Allah”. Abu Jahl dan ‘Abdullah bin Abi Umayyah berkata : “Wahai Abu
Thaalib, apakah engkau membenci agama ‘Abdul-Muthallib ?”. Mereka berdua
senantiasa mengulanginya hingga akhir perkataan Abu Thaalib saat kematiannya kepada
mereka adalah : di atas agama ‘Abdul-Muthallib. Maka Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sungguh aku akan memintakan ampun kepadamu
selama tidak dilarang”. Maka Allah menurunkan ayat : ‘Tiadalah sepatutnya
bagi Nabi dan orang-orang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi
orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu kaum kerabat(nya),
sesudah jelas bagi mereka, bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni
neraka jahannam’ (QS. At-Taubah : 113). Ayat ini diturunkan berkenaan
dengan Abu Thaalib. Dan juga turun ayat : “Sesungguhnya kamu tidak dapat
memberi petunjuk kepada orang yang kamu cintai’ (QS. Al-Qashshash : 56)”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3884 & 4675 dan Muslim no. 24].
Ketika
berbicara tentang orang-orang munafik, kita membaca ayat:
اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ
لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ
لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لا يَهْدِي
الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Kamu
memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah
sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali,
namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka. Yang demikian
itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan Allah tidak
memberi petunjuk kepada kaum yang fasik” [QS. At-Taubah : 80].
Selain
ayat di atas, kita juga membaca hadits dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu –
sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy - , yaitu ketika ia (Ibnu ‘Umar)
berkata:
أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أُبَيٍّ
لَمَّا تُوُفِّيَ جَاءَ ابْنُهُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: " يَا رَسُولَ اللَّهِ أَعْطِنِي قَمِيصَكَ أُكَفِّنْهُ فِيهِ
وَصَلِّ عَلَيْهِ وَاسْتَغْفِرْ لَهُ، فَأَعْطَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَمِيصَهُ، فَقَالَ: آذِنِّي أُصَلِّي عَلَيْهِ فَآذَنَهُ، فَلَمَّا
أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ عَلَيْهِ جَذَبَهُ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَقَالَ:
أَلَيْسَ اللَّهُ نَهَاكَ أَنْ تُصَلِّيَ عَلَى الْمُنَافِقِينَ، فَقَالَ: أَنَا
بَيْنَ خِيَرَتَيْنِ، قَالَ الله تعالى: اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لا تَسْتَغْفِرْ
لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ
لَهُمْ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، فَنَزَلَتْ: وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ مَاتَ
أَبَدًا "
Bahwasannya
ketika ‘Abdullah bin Ubay bin Saluul meninggal, anaknya datang menemui Nabi shallallaahu
'alaihi wa sallam, lalu berkata : “Wahai Rasulullah, berikanlah bajumu
kepadaku yang akan aku pergunakan untuk mengafaninya, shalatlah untuknya, serta
mohonkanlah ampunan baginya”. Maka Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
memberikan bajunya kepadanya lalu bersabda : “Izinkanlah aku untuk menshalatkannya”.
Lalu ia pun mengizinkan beliau. Ketika beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
hendak menshalatkannya, tiba-tiba 'Umar radliyallaahu ‘anhu menarik beliau
seraya berkata: “Bukankah Allah telah melarangmu untuk menshalatkan
orang-orang munafik?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Aku berada diantara pada dua pilihan. Allah ta’ala berfirman : ‘Kamu
mohonkan ampun buat mereka atau kamu tidak mohonkan ampun buat mereka (sama
saja bagi mereka). Sekalipun kamu memohonkan ampun buat mereka sebanyak tujuh
puluh kali, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni mereka’ (QS. At-Taubah
: 80). Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya.
Lalu turunlah ayat : ‘Janganlah kamu shalatkan seorangpun yang mati dari
mereka selamanya’ (QS. At-Taubah : 84)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1269].
Berdasarkan
hal tersebut maka dapat dikatakan : Sesungguhnya istighfaar adalah ciri
yang telah Allah ta’ala jadikan untuk orang-orang mukmin, sebagai satu
kekhususan mereka, tidak untuk selain mereka. Allah memilih mereka (orang-orang
mukin) untuknya (istighfaar), dan juga sebaliknya, memilihnya untuk
mereka. Jika perkaranya seperti itu, bukankah sudah sepantasnya bagi kita untuk
senantiasa menjaga nikmat ini dan mengembangkannya untuk sesuatu yang
bermanfaat bagi agama dan dunia kita?.
Sebaliknya,
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memohonkan ampun bagi
saudara-saudaranya dari kalangan orang-orang mukmin. Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, ia berkata:
نَعَى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّجَاشِيَّ صَاحِبَ الْحَبَشَةِ يَوْمَ الَّذِي مَاتَ
فِيهِ، فَقَالَ: اسْتَغْفِرُوا لِأَخِيكُمْ
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kepada kami tentang
meninggalnya An-Najaasyiy, raja negeri Habasyah, pada hari kematiannya. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Mohonkanlah ampun untuk saudara kalian”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1328 & 3880 dan Muslim no. 951].
Beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memohonkan ampun kepada orang yang
mencukur (gundul) kepalanya saat haji sebanyak tiga kali, dan kepada orang yang
memendekkannya sebanyak satu kali. Nash-nash dalam permasalahan tersebut
sangatlah banyak.
Bahkan
untuk anak-anak sekalipun, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga
memintakan ampun untuknya, sebagaimana hadits Abu Iyaas radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata:
جَاءَ أَبِي إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ غُلَامٌ صَغِيرٌ، فَمَسَحَ رَأْسَهُ، وَاسْتَغْفَرَ
لَهُ
“Ayahku
mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimana ia (Abu Iyaas)
waktu masih kecil. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengusap
kepalanya dan memohonkan ampun untuknya” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/19;
dishahihkan oleh Al-Arna’uth dkk.].
Perkataan-Perkataan
Salaf tentang Istighfaar
Abu
Muusaa radliyallaahu ‘anhu berkata:
كان لنا أمانان من العذاب ذهب أحدهما -
وهو كون الرسول صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فينا، وبقي الاستغفار معنا فإن
ذهب هلكنا
“Dulu
kami memiliki dua pelindung dari turunnya ‘adzab. Salah satu diantaranya telah
pergi, yaitu keberadaan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di
antara kami; dan yang lain masih bersama kami, yaitu istighfaar.
Seandainya istighfaar itu pun pergi, niscaya kami binasa” [At-Taubah
ilallah oleh Al-Ghazzaaliy].
Ar-Rabii’
bin Khutsaim berkata:
تضرعوا إلى ربكم وادعوه في الرخاء؛ فإن
الله قال: من دعاني في الرخاء أجبته في الشدة، ومن سألني أعطيته، ومن تواضع لي رفعته،
ومن تفرغ لي رحمته، ومن استغفرني غفرت له
“Merendah-dirilah
kepada Rabb kalian. Berdoalah di waktu lapang, karena Allah berfirman : ‘Barangsiapa
yang berdoa kepada-Ku di waktu lapang, niscaya akan Aku kabulkan doanya di
waktu susah. Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku beri.
Barangsiapa yang merendahkan diri kepada-Ku, niscaya akan Aku angkat
derajatnya. Barangsiapa mencurahkan tenaganya untuk-Ku, niscaya akan Aku
rahmati ia. Barangsiapa memohon ampunan kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan
ampunan kepadanya” [Minhajush-Shaalihiin, hal. 951].
Sahl
rahimahullah pernah ditanya tentang istighfaar yang dapat
menghapus dosa-dosa. Maka ia menjawab:
أول الاستغفار الاستجابة، ثم الإنابة، ثم
التوبة؛ فالاستجابة أعمال الجوارح، والإنابة أعمال القلوب، والتوبة إقباله على
مولاه بأن يترك الخلق، ثم يستغفر الله من تقصيره الذي فيه
“Awal
dari istighfaar adalah istijaabah (menjawab panggilan Allah),
lalu inaabah (kembali kepada Allah), lalu taubat. Istijaabah adalah
amalan anggota badan; inaabah adalah amalan hati; serta taubat adalah
kembali kepada Maulanya (yaitu Allah) dengan meninggalkan makhluk, lalu ia ber-istighfaar
(memohon ampun) kepada Allah atas kelalaiannya dalam menjalan ketaatan
kepada-Nya” [At-Taubah ilallaah oleh Al-Ghazzaaliy].
Ibnul-Jauziy
rahimahullah berkata:
إن إبليس قال: أهلكت بني آدم بالذنوب
وأهلكوني بالاستغفار وبـ لا إله إلا الله فلما رأيت منهم ذلك ثبتّ فيهم الأهواء
فهم يذنبون ولا يستغفرون لأنه يحسبون أنهم يحسنون صنعاً
“Sesungguhnya
Iblis berkata : Aku membinasakan anak-cucu Adam dengan dosa-dosa, sedangkan
mereka membinasakanku dengan istighfaar dan dengan kalimat Laa ilaha
illallaah (tidak ada ilah/tuhan yang berhak untuk diibadahi
melainkan Allah). Maka ketika aku melihat hal itu ada pada diri mereka, aku
tanamkan hawa nafsu kepada mereka. Mereka berbuat dosa namun tidak ber-istighfaar,
karena mereka menyangka telah berbuat baik sebaik-baiknya[2]”
[Miftaah Daaris-Sa’aadah oleh Ibnul-Qayyim].
Qataadah rahimahullah berkata:
إِنَّ الْقُرْآنَ يَدُلُّكُمْ عَلَى دَائِكُمْ
وَدَوَائِكُمْ، أَمَّا دَاؤُكُمْ فَذُنُوبُكُمْ، وَأَمَّا دَوَاؤُكُمْ فَالاسْتِغْفَارُ
“Sesungguhnya Al-Qur’an
menunjukkan kepada kalian atas penyakit kalian sekaligus obatnya. Adapun penyakit
kalian itu adalah dosa-dosa kalian, sedangkan obatnya adalah istighfaar”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan no. 6745].
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu
berkata:
العجب ممن يهلك ومعه النجاة قيل: وما هي؟
قال: الاستغفار
“Hal yang mengherankan dari
orang yang binasa, padahal keselamatan ada bersamanya”. Dikatakan (kepadanya) :
“Apakah itu?”. Ia berkata : “Istighfaar”.
‘Aliy radliyallaahu ‘anhu
juga berkata:
ما ألهم الله - سبحانه وتعالى- عبداً
الاستغفار وهو يريد أن يعذبه
“Tidaklah Allah subhaanahu
wa ta’ala memberikan ilham kepada seorang hamba untuk ber-istighfaar,
sementara Ia berkehendak untuk mengadzabnya”.
Ada seorang yang shalih
berkata:
العبد بين ذنب ونعمة لا يصلحهما إلا
الحمد والاستغفار
“Seorang hamba berada di antara
dosa dan kenikmatan. Tidaklah menjadi baik kedua hal tersebut melainkan dengan
ucapan syukur dan istighfaar”.
Diriwayatkan dari Luqmaan ‘alaihis-salaam,
bahwsannya ia pernah berkata kepada anaknya :
يا بني إن لله ساعات لا يرد فيها سائلاً
فأكثر من الاستغفار
“Wahai
anakku, sesungguhnya Allah memiliki beberapa waktu yang tidak akan ditolak (apabila)
seseorang berdoa pada waktu tersebut. Maka, perbanyaklah istighfaar”.
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa,
ia berkata:
طُوبَى لِمَنْ وَجَدَ فِي صَحِيفَتِهِ اسْتِغْفَارًا
كَثِيرًا
“Pahala
surga bagi orang yang mendapati banyaknya istighfaar pada lembaran
catatan amalnya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan
no. 637].
Abul-Minhaal rahimahullah berkata:
مَا جَاوَرَ عَبْدٌ فِي قَبْرِهِ مِنْ جَارٍ
خَيْرٍ مِنَ اسْتِغْفَارٍ كَثِير
“Tidaklah
seorang hamba di dalam kuburnya berdampingan dengan pendamping yang lebih baik
daripada banyaknya istighfaar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Az-Zuhd
no. 1954].
Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah
pernah berkata:
أَكْثِرُوا مِنَ الاسْتِغْفَارِ فِي بُيُوتِكُمْ،
وَعَلَى مَوَائِدِكُمْ، وَفِي طُرُقِكُمْ، وَفِي أَسْوَاقِكُمْ، وَفِي مَجَالِسِكُمْ،
أَيْنَمَا كُنْتُمْ فَإِنَّكُمْ مَا تَدْرُونَ مَتَى تَنْزِلُ الْمَغْفِرَةُ
“Perbanyaklah istighfaar di
rumah-rumah kalian, meja-meja hidangan kalian, jalan-jalan kalian, pasar-pasar
kalian, majelis-majelis kalian, dan dimana saja kalian berada. Sesungguhnya
kalian tidak mengetahui kapan turunnya ampunan” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Abid-Dunyaa dalam At-Taubah no. 158].
Seorang A’rabiy pernah berkata:
من أراد أن يجاورنا في أرضنا؛ فليكثر من
الاستغفار، فإن الاستغفار القطّار
“Barangsiapa
yang ingin bertetanggaan dengan kami di negeri kami, hendaklah ia memperbanyak istighfaar,
karena istighfaar adalah awan tebal yang mengandung hujan”.
Bakr bin ‘Abdillah Al-Muzanniy rahimahullah
berkata:
أَنْتُمْ تُكْثِرُونَ مِنَ الذُّنُوبِ، فَاسْتَكْثِرُوا
مِنَ الاسْتِغْفَارِ، فَإِنَّ الرَّجُلَ إِذَا وُجِدَ فِي صَحِيفَتِهِ بَيْنَ كُلِّ
سَطْرَيْنِ اسْتِغْفَارٌ سَرَّهُ مَكَانُ ذَلِكَ
“Kalian
banyak melakukan dosa, maka perbanyaklah istighfaar, karena seseorang
apabila didapatkan pada lembaran catatan amalnya istighfaar pada setiap
baris, maka hal itu akan membuatnya gembira” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim
dalam Hilyatul-Auliyaa’, 2/230].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
إنه ليقف خاطري في المسألة التي تشكل
عليَّ؛ فاستغفر الله ألف مرة حتى ينشرح الصدر، وينحل إشكال ما أشكل، وقد أكون في
السوق، أو المسجد، أو المدرسة ؛لا يمنعني ذلك من الذكر والاستغفار إلى أن أنال
مطلوبي
“Apabila
dalam benakku ada satu masalah yang sulit bagiku, maka aku ber-istighfaar (memohon
ampun) kepada Allah seribu kali hingga dadaku menjadi lapang dan terurai kesulitan
yang aku rasakan. Kadang aku berada di pasar, masjid, ataupun madrasah; namun hal
itu tidak menghalangiku dari berdzikir dan istighfaar hingga aku memperoleh
apa yang ingin inginkan” [Al-Kawaakibud-Durriyyah, hal. 145].
[selesai – diambil dari buku At-Tadaawiy
bil-Istighfaar oleh Hasan bin Ahmad bin Hasan Al-Hammaam, hal. 7-15,
Daarul-Hadlaanah, dengan sedikit peringkasan dan tambahan – abul-jauzaa’,
ciomas permai, 01032015 – 17:34].
[1] Al-Baihaqiy meriwayatkan perkataan tersebut
dari Dzun-Nuun (bukan Fudlail bin ‘Iyaadl) dalam Syu’abul-Iimaan no.
6777.- Abul-Jauzaa’
قُلْ
هَلْ نُنَبِّئُكُمْ بِالأخْسَرِينَ أَعْمَالا * الَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِي
الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
“Katakanlah: "Apakah akan Kami
beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?".
Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini,
sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya”
[QS. Al-Kahfi :
103-104].
Comments
Assalamu'alaikum Warahmatullah Ustadz.
Saya mendapati satu atsar yang di sandarkan kepada Abu Bakar Radhiyallahu anhu, yang semisal dengan pernyataan Ibnul Jauzi di atas.
Adapun atsar Abu Bakar Radhiyallahu anhu seperti :
عن أبي بكر الصديق رضي الله عنه قال : ) عليكم بلا إله إلا الله والاستغفار فأكثروا منهما ، فإن إبليس قال : أهلكت الناس بالذنوب فأهلكوني بلا إله إلا الله والاستغفار ، فلما رأيت ذلك أهلكتهم بالأهواء وهم يحسبون أنهم مهتدون (أخرجه أبو يعلى في " المسند " )1/123(،والطبراني في " الدعاء " )ص/504( بلفظ مختصر، وابن أبي عاصم في " السنة " )رقم/6( واللفظ المنقول له ، جميعهم من طريق محرز بن عون ، حدثنا عثمان بن مطر الشيباني ، عن عبد الغفور ، عن أبي نصيرة ، عن أبي رجاء العطاردي عن أبي بكر به .وهذا إسناد ضعيف جداً
Yang saya ingin tanyakan, bagaimana hukumnya menyampaikan sebuah atsar yang dhoif (bahkan Syaikh Albany menilai atsar ini maudhu')sedangkan di satu sisi, maknanya benar dan bisa di terima sebagai pelajaran. Mohon penjelasannya, Juziitum khair..
Posting Komentar