Definisi
laknat secara bahasa adalah:
الإِبْعادُ والطَّرْد من الخير وقيل الطَّرْد والإِبعادُ من الله ومن
الخَلْق السَّبُّ والدُّعاء واللَّعْنةُ الاسم والجمع لِعانٌ ولَعَناتٌ ولَعَنه
يَلْعَنه لَعْناً طَرَدَه وأَبعده
“Menjauhkan
dan menyingkirkan kebaikan. Dikatakan : ‘Menyingkirkan dan menjauhkan (jika
berasal) dari Allah. Dan (jika berasal) dari makhluk maknanya adalah cacian dan
doa’. Laknat adalah kata benda (ism), bentuk jamaknya adalah li’aan
dan la’anaat. La’anahu – yal’anahu – la’nan, yaitu
menyingkirkannya dan menjauhkannya” [Lisaanul-‘Arab, hal. 4044].
Adapun
secara istilah:
البعد عن رحمة الله تعالى
“Menjauhkan
dari rahmat Allah ta’ala dan pahala-Nya” [‘Umdatul-Qaariy 22/117;
Majmuu’ Fataawaa Ibni Taimiyyah, 2/167; dan Aadaabusy-Syar’iyyah
1/344].
Semua
hal yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya berdasarkan dalil, maka itu termasuk dosa
besar.[1]
Oleh
karena itu, haram hukumnya melaknat seorang mukmin yang tidak melakukan
dosa-dosa besar dan tidak menampakkan kemaksiatan-kemaksiatannya secara terang-terangan.
Allah ta’ala berfirman:
وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا
اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang
menyakiti orang-orang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,
maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” [QS.
Al-Ahzaab : 58].
Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَلَعْنُ الْمُؤْمِنِ كَقَتْلِهِ
“Pelaknatan
terhadap seorang mukmin seperti membunuhnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 6105 & 6653 dan Muslim no. 110].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
اعلم أن لعن المسلم المصون حرامٌ بإجماع المسلمين
“Ketahuilah
bahwasannya melaknat seorang
muslim yang terlindungi adalah haram berdasarkan ijmaa’ kaum muslimin” [Al-Adzkaar,
1/354].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
الاجماع منعقد على تحريم لعنة معين من أهل الفضل
“Telah menjadi ijmaa’
keharaman laknat terhadap person tertentu dari kalangan orang-orang yang
mempunyai keutamaan” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 20/285].
Para
ulama sepakat kebolehan melaknat secara umum yang disebutkan dalil, seperti
melaknat orang kafir, orang
dhalim, mubtadi’, pelaku riba, peminum
khamr, dan yang lainnya. Diantaranya firman Allah ta’ala:
فَلَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الْكَافِرِينَ
“Maka
laknat Allah-lah atas orang-orang kafir itu” [QS. Al-Baqarah : 89].
وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّنِ
افْتَرَى عَلَى اللَّهِ كَذِبًا أُولَئِكَ يُعْرَضُونَ عَلَى رَبِّهِمْ وَيَقُولُ
الأشْهَادُ هَؤُلاءِ الَّذِينَ كَذَبُوا عَلَى رَبِّهِمْ أَلا لَعْنَةُ اللَّهِ
عَلَى الظَّالِمِينَ
“Dan
siapakah yang lebih lalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap
Allah? Mereka itu akan dihadapkan kepada Tuhan mereka dan para saksi akan
berkata: "Orang-orang inilah yang telah berdusta terhadap Tuhan
mereka". Ingatlah, kutukan Allah (ditimpakan) atas orang-orang yang dhalim” [QS. Huud : 18].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
لَعَنَ اللَّهُ الْوَاصِلَةَ وَالْمُسْتَوْصِلَةَ
“Allah melaknat wanita yang
menyambung rambut dan wanita yang meminta disambungkan rambutnya”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5205 & 5934 dan Muslim no. 2123].
لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ، وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا قُبُورَ
أَنْبِيَائِهِمْ مَسْجِدًا "،
“Allah telah melaknat Yahudi
dan Nashrani yang telah menjadikan kuburan para nabi mereka sebagai masjid”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 1330 dan Muslim no. 529].
Begitu juga yang dilakukan
sebagian shahabat:
فَكَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقْنُتُ فِي الرَّكْعَةِ
الْآخِرَةِ مِنْ صَلَاةِ الظُّهْرِ وَصَلَاةِ الْعِشَاءِ وَصَلَاةِ الصُّبْحِ
بَعْدَ مَا يَقُولُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَيَدْعُو لِلْمُؤْمِنِينَ
وَيَلْعَنُ الْكُفَّارَ
“Dulu Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu melakukan qunut pada raka’at terakhir shalat Dhuhur, shalat ‘Isyaa’,
dan shalat Shubuh setelah ia mengucapkan ‘sami’allaahu li-man hamidah’.
Lalu ia mendoakan kebaikan bagi orang-orang beriman dan melaknat orang-orang
kafir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 797].
Ibnul-’Arabiy rahimahullah berkata:
وَأَمَّا لَعْنُ الْعَاصِي مُطْلَقًا فَيَجُوزُ إِجْمَاعًا، لِمَا رُوِيَ
عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: (لَعَنَ
اللَّهُ السَّارِقَ يَسْرِقُ الْبَيْضَةَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ)
“Adapun
melaknat orang yang bermaksiat secara mutlak, maka diperbolehkan secara ijmaa’
berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : ‘Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri telur lalu
dipotong tangannya” [Tafsir
Al-Qurthubiy, 2/190].
Melaknat Orang Kafir Secara Mu’ayyan
Tentang melaknat orang kafir secara spesifik (mu’ayyan) –
seperti perkataan : ‘semoga Allah melaknat si Fulaan’ - , maka ada dua
keadaan:
1.
Orang yang meninggal dalam keadaan kafir.
Orang yang telah disebutkan secara spesifik oleh nash
bahwa ia mati dalam keadaan kafir, seperti Fir’aun, Abu Lahab, dan Abu Jahl;
maka diperbolehkan berdasarkan kesepakatan ulama.
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa pernah
berkata saat membawakan perkataan perkataan Abu Lahab:
قَالَ أَبُو لَهَبٍ عَلَيْهِ لَعْنَةُ اللهِ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: تَبًّا لَكَ سَائِرَ الْيَوْمِ، فَنَزَلَتْ: تَبَّتْ يَدَا أَبِي
لَهَبٍ وَتَبَّ "
Telah berkata Abu Lahab – semoga laknat Allah atas
dirinya – kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Celaka kamu
sepanjang hari ini". Maka turunlah ayat : ‘Binasalah kedua tangan Abu
Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa’ (QS. Al-Lahab : 1)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1394].
Orang yang tidak disebutkan secara spesifik oleh nash,
namun diketahui/dipersaksikan dengan pasti meninggal dalam keadaan kafir, maka
boleh juga untuk melaknatnya. Dalilnya adalah:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ
لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
“Sesungguhnya orang-orang kafir dan
mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat laknat Allah, para
malaikat dan manusia seluruhnya” [QS. Al-Baqarah : 161].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
واما لعنة المعين فان علم أنه مات كافرا جازت لعنته
“Adapun melaknat secara mu’ayyan, apabila
diketahui ia mati dalam keadaan kafir, maka boleh untuk melaknatnya” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 6/511].
Melaknat orang kafir yang telah meninggal boleh
dilakukan jika ada maslahatnya, bukan sekedar pertimbangan emosi dan balas
dendam.
2.
Orang kafir yang masih hidup.
Para ulama berbeda pendapat. Jumhur ulama melarangnya,
sedangkan sebagian ulama lain membolehkannya.
Jumhur ulama berpendapat tidak boleh melaknatnya
secara mu’ayyan. Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
فأما الكافر المعين، فقد ذهب جماعة من العلماء إلى أنه لا يلعن لأنا لا
ندري بما يختم له، واستدل بعضهم بهذه الآية: { إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا
وَهُمْ كُفَّارٌ أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلائِكَةِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ }
“Adapun orang kafir tertentu, sekelompok ulama berpendapat
tidak boleh melaknatnya karena kita tidak mengetahui dengan apa ia menutup
kematiannya. Sebagian dari mereka berdalil dengan ayat ini : ‘Sesungguhnya
orang-orang kafir dan mereka mati dalam keadaan kafir, mereka itu mendapat
laknat Allah, para malaikat dan manusia seluruhnya’ (QS. Al-Baqarah : 161)”
[Tafsiir Ibni Katsiir, 1/474].
Selain ayat di atas, dalil yang mereka pergunakan antara
lain adalah:
a.
Hadits tentang qunut nazilah.
عَن ابْنِ عُمَر ، أَنَّهُ
سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا رَفَعَ رَأْسَهُ
مِنَ الرُّكُوعِ مِنَ الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِنَ الْفَجْرِ، يَقُولُ: "
اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا وَفُلَانًا، بَعْدَ مَا يَقُولُ: سَمِعَ
اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ "، فَأَنْزَلَ اللَّهُ:
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ إِلَى قَوْلِهِ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam apabila beliau mengangkat kepalanya dari rukuk yang
terakhir shalat Shubuh, beliau berdoa : “Ya Allah, laknatlah Fulaan, Fulaan,
dan Fulaan” – yaitu setelah beliau mengucapkan : “Sami’allaahu li-man
hamidah, rabbanaa wa lakal-hamd”. Lalu Allah menurunkan ayat : ‘Tak ada
sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat
mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’
(QS. Aali ‘Imraan : 128)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4070].
Dalam riwayat Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu,
doa yang diucapkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:
اللَّهُمَّ أَنْجِ الْوَلِيدَ
بْنَ الْوَلِيدِ وَسَلَمَةَ بْنَ هِشَامٍ، وَعَيَّاشَ بْنَ أَبِي رَبِيعَةَ
وَالْمُسْتَضْعَفِينَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ، اللَّهُمَّ اشْدُدْ وَطْأَتَكَ عَلَى
مُضَرَ، وَاجْعَلْهَا عَلَيْهِمْ كَسِنِي يُوسُفَ، اللَّهُمَّ الْعَنْ لِحْيَانَ،
وَرِعْلًا، وَذَكْوَانَ، وَعُصَيَّةَ عَصَتِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، ثُمَّ
بَلَغَنَا، أَنَّهُ تَرَكَ ذَلِكَ لَمَّا أُنْزِلَ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ
شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
".
“Ya Allah, selamatkanlah Waliid bin Waliid, Salamah
bin Hisyaam, ‘Ayyaasy bin Abi Rabii’ah dan orang-orang mukmin yang lemah. Ya
Allah, perkuatlah hukumanmu kepada Mudlarr dan jadikanlah untuk mereka
masa-masa paceklik sebagaimana paceklik Yuusuf. Ya Allah, laknatilah Lihyaan,
Ri’l, dan Dzakwaan, mereka yang telah membangkang Allah dan Rasul-Nya”.
Kemudian sampai berita kepada kami, bahwa beliau meninggakan doa (qunut)
tersebut, ketika diturunkan ayat : ‘Tak ada sedikit pun campur tanganmu
dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab
mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’ (QS. Aali
‘Imraan : 128)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 675].
Yaitu, beliau meninggalkan pelaknatan setelah turunnya
QS. Aali ‘Imraan ayat 128, sebagaimana penjelasan An-Nawawiy rahimahullah:
وقد روى البيهقي باسناده عن عبد
الرحمن بن مهدي الامام انه قال انما ترك اللعن ويوضح هذا التأويل رواية أبي هريرة
السابقة وهي قوله " ثم ترك الدعاء لهم "
“Dan telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dengan
sanadnya dari ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy Al-Imaam[2], bahwasannya ia berkata :
‘Bahwasannya yang ditinggalkan oleh Nabi itu hanyalah doa laknat (sementara
pensyari’atan qunutnya tetap berlaku)’. Dan ta’wil ini diperjelas oleh
riwayat Abu Hurairah sebelumnya, yaitu perkataannya : ‘kemudian beliau
meninggalkan doa untuk mereka” [Al-Majmuu’, 3/505].
b.
Hadits tentang larangan melaknat.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قِيلَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، ادْعُ عَلَى الْمُشْرِكِينَ، قَالَ: " إِنِّي
لَمْ أُبْعَثْ لَعَّانًا، وَإِنَّمَا بُعِثْتُ رَحْمَةً "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Dikatakan : “Wahai
Rasulullah, berdoalah kecelakaan terhadap orang-orang muusyrik”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya aku tidak diutus sebagai
tukang laknat, Aku hanyalah diutus sebagai rahmat” [Diriwayatkan oleh
Muslim no. 2599].
Sebagian ulama lain membolehkan melaknat orang kafir
secara mu’ayyan. Dalil yang mereka gunakan antara lain:
a.
Hadits ucapan salam orang Yahudi.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، قَالَتْ: كَانَ الْيَهُودُ يُسَلِّمُونَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَقُولُونَ: السَّامُ عَلَيْكَ، فَفَطِنَتْ عَائِشَةُ إِلَى قَوْلِهِمْ،
فَقَالَتْ: عَلَيْكُمُ السَّامُ وَاللَّعْنَةُ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " مَهْلًا يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي
الْأَمْرِ كُلِّهِ "، فَقَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، أَوَلَمْ تَسْمَعْ مَا
يَقُولُونَ؟، قَالَ: " أَوَلَمْ تَسْمَعِي أَنِّي أَرُدُّ ذَلِكِ عَلَيْهِمْ
فَأَقُولُ وَعَلَيْكُمْ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata
: Dulu ada orang Yahudi yang mengucapkan salam kepada Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Mereka berkata : “As-Saamu ‘alaika (kebinasaan
atasmu)”. Maka ‘Aaisyah cepat menangkap maksud perkataan mereka itu, lalu
berkata : “‘Alaikumus-saam wal-la’nah (bagimu kebinasaan dan juga
laknat)”. Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : “Tenanglah wahai ‘Aaisyah, sesungguhnya Allah suka
pada kelembutan pada semua hal”. ‘Aaisyah berkata : “Wahai Nabiyullah,
tidakkah engkau mendengar apa yang mereka katakan ?”. Beliau bersabda : “Apakah
engkau tidak mendengar aku telah menjawab ucapan mereka. Aku katakan :
‘wa’alaikum (dan juga bagimu)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6395].
Sisi pendalilan : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengingkari ucapan laknat ‘Aaisyah kepada orang Yahudi
tersebut. Yang beliau ingkari hanyalah bahwa apa yang dilakukan ‘Aaisyah tidak
mencerminkan kelembutan. Seandainya ucapan laknat itu dilarang/diharamkan,
tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan mengkoreksinya.
b.
Hadits laknat dalam qunut naziilah.
عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ
سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ
وَرَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ، قَالَ: اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
فِي الْأَخِيرَةِ، ثُمَّ قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ فُلَانًا وَفُلَانًا،
فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ
عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ
Dari Ibnu ‘Umar, bahwasannya ia mendengar Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam waktu shalat Shubuh ketika beliau mengangkat kepalanya
dari rukuk mengucapkan : ‘Allaahumma Rabbanaa wa lakal-hamdu’ – dalam
raka’at terakhir. Kemudian beliau membaca : “Ya Allah, laknatilah Fulaan dan
Fulaan”. Lalu Allah ‘azza wa jalla menurunkan ayat : ‘Tak ada
sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat
mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’
(QS. Aali ‘Imraan : 128) [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 7346].
Sisi pendalilan : Riwayat di atas jelas menyebutkan
doa laknat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam terhadap orang kafir
Quraisy. Adapun ta’wil sebagian ulama bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallam berhenti mendoakan laknat kepada orang kafir secara mu’ayyan karena
turunnya ayat, maka ini bisa ditinjau kembali.
Hal itu dikarenakan ada sababun-nuzuul lain
dari ayat sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ أَنّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُسِرَتْ رَبَاعِيَتُهُ يَوْمَ أُحُدٍ
وَشُجَّ فِي رَأْسِهِ فَجَعَلَ يَسْلُتُ الدَّمَ عَنْهُ، وَيَقُولُ: كَيْفَ
يُفْلِحُ قَوْمٌ شَجُّوا نَبِيَّهُمْ وَكَسَرُوا رَبَاعِيَتَهُ وَهُوَ يَدْعُوهُمْ
إِلَى اللَّهِ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ لَيْسَ لَكَ مِنَ الأَمْرِ
شَيْءٌ
Dari Anas : Bahwasannya pada peperangan Uhud, gigi
geraham Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam patah, dan kepala
beliau terluka. Maka beliau mengusap darah dari kepala beliau sambil mengatakan
: “Bagaimana akan mendapatkan keberuntungan, satu kaum yang melukai kepala
Nabi mereka dan mematahkan gigi gerahamnya, sedangkan Nabi itu mengajak mereka
menuju (peribadahan kepada) Allah?”. Maka Allah ‘azza wa jalla
menurunkan ayat : “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka
itu” (QS. Aali ‘Imraan : 128) [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1791].
Perang Uhud terjadi lebih dahulu daripada peristiwa
Bi’r Ma’uunah. Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan penjamakan dua
riwayat ini dengan perkataannya:
وَطَرِيق الْجَمْع بَيْنه
وَبَيْن حَدِيث اِبْن عُمَر أَنَّهُ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعَا عَلَى
الْمَذْكُورِينَ بَعْد ذَلِكَ فِي صَلَاته فَنَزَلَتْ الْآيَة فِي الْأَمْرَيْنِ
مَعًا ، فِيمَا وَقَعَ لَهُ مِنْ الْأَمْر الْمَذْكُور وَفِيمَا نَشَأَ عَنْهُ
مِنْ الدُّعَاء عَلَيْهِمْ ، وَذَلِكَ كُلّه فِي أُحُد ، بِخِلَافِ قِصَّة رِعْلٍ
وَذَكْوَانَ فَإِنَّهَا أَجْنَبِيَّة ، وَيَحْتَمِل أَنْ يُقَال إِنَّ قِصَّتهمْ
كَانَتْ عَقِب ذَلِكَ وَتَأَخَّرَ نُزُول الْآيَة عَنْ سَبَبهَا قَلِيلًا ، ثُمَّ
نَزَلَتْ فِي جَمِيع ذَلِكَ ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“Dan jalan penjamakan antara hadits Anas dan hadits
Ibnu ‘Umar bahwasannya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendoakan
kejelekan terhadap orang-orang tersebut setelah peristiwa tersebut dalam
shalatnya; maka turunlah ayat dalam dua perkara secara bersamaan. Pertama,
turun untuk perkara yang telah disebutkan (yaitu dalam hadits) dan kedua, turun
untuk peristiwa doa kejelekan yang beliau ucapkan kepada mereka, semuanya
terjadi di Uhud. Berbeda halnya dengan kisah Ri’l dan Dzakwaan karena ia adalah
kisah lain. Ada kemungkinan untuk dikatakan bahwa sesungguhnya kisah mereka
terjadi setelahnya dan ayat turun sedikit terlambat dari sebabnya. Kemudian
ayat itu turun untuk semuanya, wallaahu a’lam” [Fathul-Baariy,
8/227].
Dan sebelumnya Ibnu Hajar rahimahullah telah
menegaskan penguatan bahwa yang benar ayat tersebut turun untuk peristiwa Uhud:
وَالصَّوَابُ أَنَّهَا نَزَلَتْ
فِي شَأْنِ الَّذِينَ دَعَا عَلَيْهِمْ بِسَبَبِ قِصَّةِ أُحُدٍ ، وَاَللَّه
أَعْلَم . وَيُؤَيِّد ذَلِكَ ظَاهِر قَوْله فِي صَدْرِ الْآيَةِ ( لِيَقْطَعَ
طَرَفًا مِنْ الَّذِينَ كَفَرُوا ) أَيْ يَقْتُلهُمْ ( أَوْ يَكْبِتَهُمْ ) أَيْ
يُخْزِيَهُمْ ، ثُمَّ قَالَ : ( أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ ) أَيْ فَيُسْلِمُوا (
أَوْ يُعَذِّبَهُمْ ) أَيْ إِنْ مَاتُوا كُفَّارًا .
“Dan yang benar, ayat tersebut turun pada perkara yang
beliau mendoakan kejelekan pada mereka dengan sebab kisah Uhud. Wallaahu
a’lam. Dan hal itu dikuatkan dengan dhahir firman Allah sebelumnya : ‘(Allah
menolong kamu dalam perang Badar dan memberi bala bantuan itu) untuk
membinasakan segolongan orang-orang yang kafir’ (QS. Aali ‘Imraan : 127),
yaitu : membunuh mereka. ‘Atau untuk menjadikan mereka hina’ (QS. Aali
‘Imraan : 127), yaitu : menghinakan mereka. Kemudian Allah berfirman : ‘atau
Allah menerima taubat mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu : lalu mereka
masuk Islam. ‘Atau mengadzab mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128), yaitu
jika mereka mati dalam keadaan kafir [Fathul-Baariy, 7/366].
Dhahir ayat ini berkaitan dengan larangan ikut campur
dalam urusan Allah dalam hal membiarkan hamba-Nya dalam kesesatan ataukah memberikan
petunjuk kepadanya.
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
فقال: { لَيْسَ لَكَ مِنَ
الأمْرِ شَيْءٌ } أي: بل الأمر كلّه إلي، كما قال: { فَإِنَّمَا عَلَيْكَ
الْبَلاغُ وَعَلَيْنَا الْحِسَابُ } [الرعد:40] وقال { لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ
وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ } [البقرة:272]. وقال { إِنَّكَ لا
تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ } [القصص:56].
قال محمد بن إسحاق في قوله: {
لَيْسَ لَكَ مِنَ الأمْرِ شَيْءٌ } أي: ليس لك من الحكم شيء في عبادي إلا ما أمرتك
به فيهم.
ثم ذكر تعالى بقية الأقسام
فقال: { أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ } أي: مما هم فيه من الكفر ويهديهم بعد الضلالة {
أَوْ يُعَذِّبَهُمْ } أي: في الدنيا والآخرة على كفرهم وذنوبهم؛ ولهذا قال: {
فَإِنَّهُمْ ظَالِمُونَ } أي: يستحقون ذلك.
“Allah berfirman : ‘Tak ada sedikit pun campur
tanganmu dalam urusan mereka itu’, yaitu : bahkan semua urusan kembali
kepada-Ku – sebagaimana firman-Nya : ‘Karena sesungguhnya tugasmu hanya
menyampaikan saja, sedang Kami-lah yang menghisab amalan mereka’ (QS.
Ar-Ra’d : 40). ‘Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk,
akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang
dikehendaki-Nya’ (QS. Al-Baqarah : 272). ‘Sesungguhnya kamu tidak akan
dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi
petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya’ (QS. Al-Qashshash : 56).
Muhammad bin Ishaaq berkata tentang firman-Nya : ‘Tak
ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu’; yaitu : ‘tidak
ada keputusan apapun bagimu terhadap hamba-Ku kecuali apa yang Aku perintahkan
dengannya terhadap mereka’.
Kemudian Allah ta’ala menyebutkan bagian lain.
Ia berfirman : ‘atau Allah menerima taubat mereka’ (QS. Aali ‘Imraan :
128), yaitu : (mengampuni) kekufuran mereka, dan kemudian Allah memberikan
petunjuk kepada mereka setelah mereka terjatuh dalam kesesatan. ‘Atau
mengazab mereka’ (QS. Aali ‘Imraan : 128); yaitu : ‘(mengadzab mereka) di
dunia dan di akhirat karena kekufuran dan dosa-dosa mereka’. Oleh karena itu
Allah kemudian berfirman : ‘karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’
(QS. Aali ‘Imraan : 128); yaitu : mereka memang berhak mendapatkannya” [Tafsiir
Ibni Katsiir, 2/114].
Konteks tafsir ini lebih sesuai dengan sababun-nuzuul
yang dibawakan Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu, wallaahu
a’lam.
Oleh karena itu, berhentinya beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam melakukan qunut nazilah setelah peristiwa Bi’r
Ma’uunah (sebagaimana riwayat Ibnu ‘Umar) adalah terkait teguran agar beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak memastikan seseorang tersesat dan terus dalam
kekafiran (sehingga beliau mendoakan kecelakaan bagi mereka). Hal itu dikuatkan
oleh jalan lain dari hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَدْعُو
عَلَى أَرْبَعَةِ نَفَرٍ فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى: لَيْسَ لَكَ
مِنَ الأَمْرِ شَيْءٌ أَوْ يَتُوبَ عَلَيْهِمْ أَوْ يُعَذِّبَهُمْ فَإِنَّهُمْ
ظَالِمُونَ فَهَدَاهُمُ اللَّهُ لِلْإِسْلَامِ
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah
mendoakan kejelekan kepada empat orang, lalu Allah tabaaraka wa ta’ala menurunkan ayat : ‘Tak ada
sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat
mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang dhalim’
(QS. Aali ‘Imraan : 128). Lalu Allah memberikan hidayah kepada mereka untuk
memeluk Islam” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 3005, dan ia berkata :
‘Hadits hasan ghariib shahih’. Dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Sunan At-Tirmidziy 3/207].
c.
Hadits sumur Badr.
Ketika 'Amru bin Hisyaam, 'Utbah bin Rabii’ah, Syaibah
bin Rabii’ah, Al-Waliid bin 'Utbah, Umayyah bin Khalaf, 'Uqbah bin Abu Mu’aith,
dan ‘Umaarah bin Al-Waliid mati dan dimasukkan dalam sumur Badr, Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
وَأُتْبِعَ أَصْحَابُ
الْقَلِيبِ لَعْنَةً
“Penghuni sumur ini diiringi oleh laknat”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 520].
d.
Hadits pemabuk yang dihukum cambuk.
عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ:
" أَنَّ رَجُلًا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَانَ اسْمُهُ عَبْدَ اللَّهِ، وَكَانَ يُلَقَّبُ حِمَارًا، وَكَانَ يُضْحِكُ
رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ جَلَدَهُ فِي الشَّرَابِ، فَأُتِيَ بِهِ يَوْمًا،
فَأَمَرَ بِهِ فَجُلِدَ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: اللَّهُمَّ الْعَنْهُ،
مَا أَكْثَرَ مَا يُؤْتَى بِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
لَا تَلْعَنُوهُ، فَوَاللَّهِ، مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
"
Dari ‘Umar bin Al-Khaththaab : Ada seorang laki-laki
di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bernama ‘Abdullah, yang dijuluki
keledai (himaar). Ia suka membuat Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
tertawa. Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah mencambuknya karena
ia mabuk. Suatu hari ia dihadapkan ke hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, lalu beliau memerintahkan agar ia dicambuk. Lalu ada seorang laki-laki
dari satu kaum berkata : “Ya Allah, laknatilah ia, betapa sering ia dihukum”. Maka
Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : "Janganlah kalian
melaknatnya. Demi Allah, tidaklah aku mengetahuinya kecuali ia mencintai Allah
dan Rasul-Nya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6780].
Ibnu Katsiir rahimahullah berkata:
وقالت طائفة أخرى: بل يجوز لعن
الكافر المعين. واختار ذلك الفقيه أبو بكر بن العربي المالكي، ولكنه احتج بحديث
فيه ضعف، واستدل غيره بقوله، عليه السلام، في صحيح البخاري في قصة الذي كان يؤتى
به سكران فيحده، فقال رجل: لعنه الله، ما أكثر ما يؤتى به، فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم: "لا تلعنه فإنه يحب الله ورسوله" قالوا: فعلَّة المنع
من لعنه؛ بأنه يحب الله ورسوله فدل على أن من لا يحب الله ورسوله يلعن، والله
أعلم.
“Sekelompok ulama lain berkata : “Bahkan diperbolehkan
melaknati orang kafir tertentu. Pendapat ini dipilih oleh Abu Bakr bin
Al-‘Arabiy Al-Maalikiy, akan tetapi ia berhujjah dengan hadits dla’if. Ulama
lain (yang berpendapat membolehkan) berdalil dengan sabda beliau ‘alaihis-salaam
dalam Shahiih Al-Bukhaariy dalam kisah seorang laki-laki pemabuk yang
dihadapkan kepada beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
menegakkan hadd padanya. Seorang laki-laki berkata: ‘Semoga Allah
melaknatnya, betapa sering ia dihukum’. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda : ‘Janganlah kalian melaknatnya, karena ia mencintai
Allah dan Rasul-Nya’. Mereka berkata : ‘Alasan larangan melaknat adalah
karena ia mencintai Allah dan Rasul-Nya. Maka itu menunjukkan bahwa orang yang
tidak mencintai Allah dan Rasul-Nya boleh untuk dilaknat, wallaahu a’lam”
[Tafsiir Ibni Katsiir, 1/474].
e.
Perkataan Bilaal bin Rabbaah radliyallaahu ‘anhu yang
melaknat beberapa tokoh kafir Quraisy.
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، قَالَتْ: " لَمَّا قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْمَدِينَةَ وُعِكَ أَبُو بَكْرٍ، وَبِلَالٌ، .......وَكَانَ بِلَالٌ إِذَا
أُقْلِعَ عَنْهُ الْحُمَّى يَرْفَعُ عَقِيرَتَهُ، يَقُولُ: أَلَا لَيْتَ شِعْرِي
هَلْ أَبِيتَنَّ لَيْلَةً بِوَادٍ
وَحَوْلِي إِذْخِرٌ وَجَلِيلُ وَهَلْ أَرِدَنْ يَوْمًا مِيَاهَ مِجَنَّةٍ وَهَلْ
يَبْدُوَنْ لِي شَامَةٌ وَطَفِيلُ. قَالَ: اللَّهُمَّ الْعَنْ شَيْبَةَ بْنَ
رَبِيعَةَ، وَعُتْبَةَ بْنَ رَبِيعَةَ، وَأُمَيَّةَ بْنَ خَلَفٍ، كَمَا
أَخْرَجُونَا مِنْ أَرْضِنَا إِلَى أَرْضِ الْوَبَاءِ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ
كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ، اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي صَاعِنَا وَفِي
مُدِّنَا وَصَحِّحْهَا لَنَا، وَانْقُلْ حُمَّاهَا إِلَى الْجُحْفَةِ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata
: Ketika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madiinah, Abu
Bakr dan Bilaal terserang demam…… Apabila Bilaal sembuh dari demamnya, ia
bersyi’ir dengan suara keras : “Alangkah baiknya syairku, dapatkah kiranya aku
bermalam di sebuah lembah yang dikelilingi pohon idzkir dan jalil. Apakah ada
suatu hari nanti aku dapat mencapai air Majannah. Dan apakah bukit Syamah dan
Thufail akan tampak bagiku?”. Lalu ia berkata : Ya “Ya Allah, laknatlah Syaibah
bin Rabii’ah, 'Utbah bin Rabii’ah, dan Umayyah bin Khalaf, sebagaimana mereka
telah menyebabkan kami keluar dari negeri kami (Makkah) ke negeri derita
(Madiinah). Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
: “Ya Allah, jadikanlah Madinah sebagai kota yang kami cintai sebagaimana
kami mencintai Makkah atau bahkan lebih dari itu. Ya Allah, berkahilah
timbangan shaa’ dan mudd kami. Sehatkanlah (makmurkanlah) Madinah untuk kami
dan pindahkanlah wabah demamnya ke Juhfah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 1889].
f.
Perkataan sebagian salaf terhadap Jahm bin Shafwan
yang telah dikafirkan para ulama.
عَنْ يَزِيد بْنِ هَارُونَ، يَقُولُ:
" لَعَنَ اللَّهُ الْجَهْمَ، وَمَنْ قَالَ بِقَوْلِهِ
Dari Yaziid bin Haaruun ia berkata : “Allah melaknat
Jahm dan orang yang berkata dengan perkataannya…” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 189; shahih].
Pendapat yang kuat dalam hal ini adalah pendapat yang membolehkannya.
Tentang dalil laknat dalam qunut nazilah yang
dibawakan jumhur ulama telah dijawab di atas. Adapun hadits tentang larangan
melaknat, maka hadits itu menggunakan lafadh la’aan (لَعَّانٌ). Hal itu
seperti hadits yang lain:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: " لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا "
Dari Abu Hurairah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Tidak selayaknya bagi seorang yang
shiddiiq menjadi tukang laknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2597].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وَلَمْ يَقُلْ : لَاعِنًا وَاللَّاعِنُونَ لِأَنَّ هَذَا الذَّمّ فِي
الْحَدِيث إِنَّمَا هُوَ لِمَنْ كَثُرَ مِنْهُ اللَّعْن ، لَا لِمَرَّةٍ
وَنَحْوهَا
“Beliau tidak mengatakan laa’inan dan laa’inuun,
karena maksud celaan dalam hadits hanyalah bagi orang yang banyak melaknat,
bukan orang yang sesekali/jarang melaknat” [Syarh Shahiih Muslim,
16/149].
Sekaligus di sini terkandung faedah : Meskipun boleh
melaknat kafir secara mu’ayyan (individu/personal), maka tidak
selayaknya seorang mukmin memperbanyak laknat dalam rangka meneladani Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam diminta
melaknat orang musyrik – padahal mereka memang berhak untuk dilaknat - , beliau
menolaknya.
Melaknat Orang Muslim yang
Bermaksiat atau Berbuat Kefasikan Secara Mu’ayyan
Para ulama berbeda pendapat
tentang hukum melaknat orang muslim yang berbuat maksiat secara spesifik (mu’ayyan).
Jumhur ulama melarangnya, sedangkan yang lain membolehkannya.
a.
Pendapat yang Melarang.
Ulama yang melarang berdalil dengan hadits ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu di atas tentang pemabuk yang dihukum
cambuk. Dalam hadits tersebut jelas disebutkan larangan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk melaknatnya, karena ia seorang yang mencintai Allah
dan Rasul-Nya.
Syaikhul-Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
وأما الفاسق المعين فلا تنبغى
لعنته لنهى النبى أن يلعن عبدالله بن حمار الذى كان يشرب الخمر
“Adapun orang fasiq mu’ayyan, maka tidak boleh
melaknatnya karena adanya larangan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
melaknat ‘Abdullah bin Himaar yang biasa meminum khamr” [Majmuu’ Al-Fataawaa,
6/511].
Begitu juga Ibnul-‘Arabiy rahimahullah yang
berdalil dengan hadits tersebut untuk menegaskan ketidakbolehannya:
فأما العاصي المعين، فلا يجوز لعنه
اتفاقا
“Adapun orang yang bermaksiat mu’ayyan, maka
tidak boleh melaknatnya berdasarkan
kesepakatan” [Ahkaamul-Qur’aan, 1/75].
Namun klaim ijmaa’ Ibnul-‘Arabiy rahimahullah
ini tidak benar.
Ketika menjelaskan hadits pelaknatan terhadap pencuri,
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
هَذَا دَلِيل لِجَوَازِ لَعْن
غَيْر الْمُعَيَّن مِنْ الْعُصَاة ، لِأَنَّهُ لَعْن لِلْجِنْسِ لَا لِمُعَيَّنٍ ،
وَلَعْن الْجِنْس جَائِز كَمَا قَالَ اللَّه تَعَالَى : { أَلَا لَعْنَة اللَّه
عَلَى الظَّالِمِينَ } وَأَمَّا الْمُعَيَّن فَلَا يَجُوز لَعْنه
“Ini adalah dalil bolehnya melaknat orang yang bermasiat tanpa
penyebutan secara mu’ayyan, karena ia termasuk laknat terhadap jenis,
bukan terhadap indidu tertentu. Dan pelaknatan terhadap jenis diperbolehkan
sebagaimana firman Allah ta’ala : ‘Ingatlah laknat Allah (ditimpakan)
atas orang-orang yang dhalim’ (QS. Huud : 18). Adapun laknat secara
individu (mu’ayyan), maka tidak diperbolehkan” [Syarh Shahiih Muslim,
11/185].
Selain hadits peminum khamr, para ulama yang melarang
juga berdalil dengan hadits-hadits yang melarang adanya pelaknatan – yang
diantaranya telah disebutkan di atas - .
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ الْمُؤْمِنَ
لَيْسَ بِاللَّعَّانِ وَلَا الطَّعَّانِ، وَلَا الْفَاحِشِ وَلَا الْبَذِيءِ
"
Dari ‘Abdullah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya orang mukmin itu orang
yang tidak suka melaknat, mencela, berkata keji/jorok, dan kotor”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 1/416; shahih].
Juga hadits ini:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ،
قَالَ: بَيْنَمَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي بَعْضِ
أَسْفَارِهِ، وَامْرَأَةٌ مِنْ الْأَنْصَارِ عَلَى نَاقَةٍ، فَضَجِرَتْ،
فَلَعَنَتْهَا، فَسَمِعَ ذَلِكَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَقَالَ: خُذُوا مَا عَلَيْهَا وَدَعُوهَا فَإِنَّهَا مَلْعُونَةٌ
Dari ‘Imraan bin Hushain, ia berkata : Ketika
Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam dalam suatu perjalanan, ada
seorang wanita Anshar yang tengah mengendarai unta. Tiba-tiba unta ngadat. Lalu
wanita itu melaknatnya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mendengarnya
lalu bersabda: 'Ambil beban yang ada di atas onta itu dan lepaskanlah,
karena ia telah dilaknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2595].
Jika binatang saja tidak boleh dilaknat, apalagi
manusia ?.
b.
Pendapat yang Membolehkan.
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وقد تنازع الناس في لعنة الفاسق
المعين فقيل إنه جائز كما قال ذلك طائفة من أصحاب أحمد وغيرهم كأبي الفرج بن
الجوزي وغيره
“Orang-orang berselisih pendapat tentang masalah
laknat terhadap orang fasiq secara mu’ayyan. Dikatakan bahwa hal
tersebut diperbolehkan sebagaimana dikatakan sekelompok ashhaab Ahmad
dan yang lainnya, seperti Abul-Faraj bin Al-Jauziy dan yang lainnya” [Minhaajus-Sunnah,
4/569].
Dalilnya yang mereka jadikan sandaran diantaranya:
Firman Allah ta’ala:
وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ
أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ * وَالْخَامِسَةُ
أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina),
padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, maka
persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, sesungguhnya
dia adalah termasuk orang-orang yang benar. Dan (sumpah) yang kelima : bahwa
laknat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta” [QS.
An-Nuur : 7].
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ
غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apabila
seorang suami mengajak istrinya ke ranjang, namun si (istri) enggan memenuhinya
sehingga si suami tidur malam dalam keadaan marah, maka para malaikat akan
melaknatnya hingga waktu Shubuh” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3237].
Sisi pendalilan : Jika melaknat secara mu’ayyan merupakan
perbuatan yang dilarang/diharamkan dalam syari’at, niscaya malaikat tidak akan melakukannya.
عَنِ الشَّعْبِيِّ، قَالَ:
سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الزُّبَيْرِ، وَهُوَ مُسْتَنِدٌ إِلَى الْكَعْبَةِ
وَهُوَ يَقُولُ: وَرَبِّ هَذِهِ الْكَعْبَةِ، لَقَدْ " لَعَنَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلَانًا وَمَا وُلِدَ مِنْ صُلْبِهِ
"
Dari Asy-Sya’biy, ia berkata : Aku mendengar ‘Abdullah
bin Az-Zubair dalam keadaan bersandar ke Ka'bah, berkata : "Demi Dzat yang
memiliki Ka’bah ini, sungguh Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
pernah melaknat si Fulan dan yang dilahirkan dari tulang rusuknya"
[Diriwayatkan oleh Ahmad 4/5; sanadnya shahih].
Dalam hadits ini, dikhabarkan beliau dengan jelas
pernah melaknat seseorang secara personal.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْكُو جَارَهُ،
فَقَالَ: اذْهَبْ فَاصْبِرْ، فَأَتَاهُ مَرَّتَيْنِ، أَوْ ثَلَاثًا، فَقَالَ:
اذْهَبْ فَاطْرَحْ مَتَاعَكَ فِي الطَّرِيقِ، فَطَرَحَ مَتَاعَهُ فِي الطَّرِيقِ،
فَجَعَلَ النَّاسُ يَسْأَلُونَهُ فَيُخْبِرُهُمْ خَبَرَهُ، فَجَعَلَ النَّاسُ
يَلْعَنُونَهُ فَعَلَ اللَّهُ بِهِ وَفَعَلَ وَفَعَلَ فَجَاءَ إِلَيْهِ جَارُهُ،
فَقَالَ لَهُ: ارْجِعْ لَا تَرَى مِنِّي شَيْئًا تَكْرَهُهُ
Dari Abu Hurairah, ia berkata : Seorang laki-laki
pernah datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengeluhkan perihal
tetangganya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Pulang
dan bersabarlah". Orang itu kembali mendatangi beliau sampai dua atau
tiga kali. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya :
"Pulang dan lemparkanlah barang-barangmu ke jalan". Maka orang
itu pun melemparkan barang-barangnya ke jalan, sehingga orang-orang bertanya
kepadanya. Ia kemudian menceritakan keadaannya kepada mereka. Maka orang-orang
pun melaknat tetangganya itu. Hingga tetangganya itu mendatanginya dan berkata
: “Kembalikanlah barang-barangmu, engkau tidak akan melihat lagi sesuatu
yang tidak engkau sukai dariku” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 5153,
Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no. 124, dan lainnya; dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 3/264].
Abu Hurairah mempunyai syahiid dari Abu
Juhaifah radliyallaahu ‘anhumaa yang padanya disebutkan bahwa si
tetangga tersebut akhirnya menemui Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menceritakan
laknat orang-orang kepada. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam lalu
bersabda:
إِنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ فَوْقَ
لَعْنَتِهِمْ
“Sesungguhnya laknat Allah di atas laknat mereka”.
Di lain riwayat:
قَدْ لَعَنَكَ اللَّهُ قَبْلَ
النَّاسِ
“Sungguh, Allah telah melaknatmu sebelum
orang-orang” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad no.
125, Al-Bazzaar dalam Al-Bahr no. 4235, Ath-Thabaraaniy dalam Makaarimul-Akhlaaq
no. 236, dan yang lainnya; Al-Albaaniy mengatakan : ‘hasan shahih’
dalam Shahiih Al-Adabil-Mufrad hal. 71-72].
Sisi pendalilannya : Adanya taqrir beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam atas laknat orang-orang kepada si tetangga jahat tadi.
عَنْ جَابِرٍ، أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَيْهِ حِمَارٌ قَدْ وُسِمَ فِي
وَجْهِهِ، فَقَالَ: " لَعَنَ اللَّهُ الَّذِي وَسَمَهُ "
Dari Jaabir : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam pernah berpapasan dengan seekor keledai yang dicap dengan besi
panas di wajahnya. Maka beliau bersabda : “Allah melaknat orang yang
melakukannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2117].
Di sini beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
adanya laknat Allah terhadap orang tertentu yang telah melakukan pengecapan
besi panas di wajah keledai yang beliau temui – meski orang tersebut tidak
bertemu beliau waktu itu.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، قَالَ:
خَرَجْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ مِنْ مَنْزِلهِ، فَمَرَرْنَا بِفِتْيَانٍ مِنْ قُرَيْشٍ،
نَصَبُوا طَيْرًا يَرْمُونَهُ، وَقَدْ جَعَلُوا لِصَاحِبِ الطَّيْرِ كُلَّ خَاطِئَةٍ
مِنْ نَبْلِهِمْ، قَالَ: فَلَمَّا رَأَوْا ابْنَ عُمَرَ تَفَرَّقُوا، فَقَالَ ابْنُ
عُمَرَ: مَنْ فَعَلَ هَذَا؟ لَعَنَ اللَّهُ مَنْ فَعَلَ هَذَا
Dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : Aku keluar
bersama Ibnu ‘Umar dari tempat kediamannya. Lalu kami melewati beberapa orang
pemuda Quraisy yang sedang mengikat seekor burung untuk melemparinya dengan
panah. Mereka membayar setiap bidikan yang meleset kepada pemilik burung. Saat
melihat Ibnu ‘Umar, mereka pun bubar. Ibnu ‘Umar berkata : “Siapa yang
melakukan ini ? Allah melaknat orang yang melakukan ini…” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 1958, Ahmad 2/56, dan yang lainnya].
Laknat Ibnu ‘Umar ini diucapkan spesifik terhadap para
pemuda Quraisy yang ia temui.
Pendapat yang kuat adalah
pendapat yang membolehkannya, karena memang terbukti beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah melaknat pelaku kemaksiatan secara spesifik dan
mentaqrir sebagian shahabat yang melakukannya. Namun, jika pelaku kemaksiatan telah
meninggal dunia, tidak boleh dilaknat dan dicaci karena Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
لَا تَسُبُّوا الْأَمْوَاتَ فَإِنَّهُمْ قَدْ أَفْضَوْا إِلَى مَا
قَدَّمُوا
“Janganlah engkau mencaci
orang yang telah mati, karena mereka telah mendapatkan apa yang telah mereka
lakukan dahulu (di dunia)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1393 &
6516].
Tentang pendalilan jumhur, maka
itu dapat dijawab:
1.
Hadits ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu hanyalah
mengkhabarkan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk
melaknat ‘Abdullah Al-Himaar, dengan alasan ia mencintai Allah dan Rasul-Nya.
Dan memang tidak semua pelaku kemaksiatan dari kaum muslimin harus
dilaknat.
Selain itu, shahabat tersebut adalah shahabat yang
ikut serta dalam perang Badr. Namanya yang sebenarnya adalah An-Nu’aimaan bin ‘Amru
bin Rifaa’ah bin Al-Haarits. Kedudukannya dan apa yang dilakukannya adalah
seperti Haathib bin Abi Balta’ah yang membocorkan penyerangan kaum muslimin
kepada saudara-saudaranya di Makkah.
2.
Tentang hadits larangan melaknat, sebagaimana telah
disinggung sebelumnya, maka itu berlaku pada orang yang sering melaknat, bukan
orang yang hanya sesekali jika ada kemaslahatan.
3.
Tentang hadits larangan ‘Imraan bin Hushain, maka benar
di sini terkandung larangan melaknat binatang tanpa alasan yang dibenarkan.
Akan tetapi dimanakah sisi pelarangan dari hadits ini tentang melaknat orang
yang melakukan kemaksiatan secara mu’ayyan ?.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya,
meskipun melaknat pelaku kemaksiatan itu diperbolehkan, maka kita tidak
memperbanyaknya dan menjadikan perhiasan dalam perkataan kita. Kita dapat
mencontoh Nabi kita – shallallaahu ‘alaihi wa sallam – yang sangat
jarang mengucapkan kata-kata laknat. Jika tidak ada maslahat, alternatif diam jauh
lebih daripada mengumbar lisan.
لَا يَنْبَغِي لِصِدِّيقٍ أَنْ يَكُونَ لَعَّانًا
“Tidak selayaknya bagi
seorang yang shiddiiq menjadi tukang laknat” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2597].
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ
لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia bicara yang baik (bermanfaat) atau
diam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6018].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas
permai – 12112014 - 01:33].
[2] Yaitu riwayat:
أَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ
اللَّهِ الْحَافِظُ، أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى الصَّيْدَلانِيُّ، ثنا
إِبْرَاهِيمُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا قُدَامَةَ، يَحْكِي عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ مَهْدِيٍّ، فِي حَدِيثِ أَنَسٍ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ
تَرَكَهُ "، قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ رَحِمَهُ اللَّهُ: إِنَّمَا تَرَكَ
اللَّعْنَ
Telah
mengkhabarkan kepada kamu Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan
kepadaku Muhammad bin Muusaa Ash-Shaidalaaniy : Telah menceritakan kepada kami
Ibraahiim bin Abi Thaalib, ia berkata : Aku mendengar Abu Qudaamah
menghikayatkan dari ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy tentang hadits Anas bahwa beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan lalu meninggalkannya.
‘Abdurrahmaan rahimahullah berkata : “Beliau hanyalah meninggalkan
pelakanatannya saja” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa,
2/201 (278) no. 3103].
Comments
assalamu’alaykum…. ustad, sy nurhadi, mahasiswa di karawang. mohon di bahas artikel mengenai status barang gadaian yang tidak di tebus dengan perjanjian jika dalam batas waktu yang ditentukan tidak di tebus maka barang gadaian tersebut secara otomatis berpindah kepemilikan. bagaimana hukumnya? boleh atau tidak ustad? karena kadang2 mahasiswa suka menggadaikan barang ke temen kuliahnya lagi bila kiriman uang belum datang. jazakallahu khoiron
Posting Komentar