Pendapat
pertama menyatakan shalat tarawih berjama’ah di masjid lebih
utama. Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah jumhur ulama dari
kalangan shahabat dan taabi’iin, ulama Hanafiyyah, Ahmad bin Hanbal,
Ishaaq bin Rahawaih, Ibnul-Mubaarak, dan jumhur Syaafi’iyyah.
Pendapat kedua menyatakan shalat tarawih secara munfarid di rumah lebih
utama. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, ‘Alqamah, Al-Aswad, Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan yang menyepakati mereka.
Berikut beberapa perkataan
ulama yang menyebutkan silsilah perbedaan pendapat tersebut.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ،
وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق الصَّلَاةَ مَعَ الْإِمَامِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ،
وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ إِذَا كَانَ قَارِئًا
“Ibnul-Mubaarak, Ahmad, dan Ishaaq
memilih shalat bersama imam di bulan Ramadlaan. Adapun Asy-Syaafi’iy memilih
agar seseorang shalat sendirian apabila ia seorang qaari’” [Al-Jaami’
Al-Kabiir, 2/160].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata:
وَقَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ: كَانَ
ابْنُ هُرْمُزَ مِنَ الْقُرَّاءِ، يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ بِأَهْلِهِ فِي بَيْتِهِ،
وَكَانَ رَبِيعَةُ يَنْصَرِفُ، وَكَانَ الْقَاسِمُ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَسَالِمٌ
رَحِمَهُ اللَّهُ يَنْصَرِفَانِ، لا يَقُومَانِ مَعَ النَّاسِ، وَقَدْ رَأَيْتُ
يُحْيِيَ بْنَ سَعِيدٍ مَعَ النَّاسِ، وَأَنَا لا أَقُومُ مَعَ النَّاسِ، لا
أَشُكُّ أَنَّ قِيَامَ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلَ مِنَ الْقِيَامِ مَعَ
النَّاسِ إِذَا قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ، وَمَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِلا فِي بَيْتِهِ
“Maalik
rahimahullah berkata : ‘Ibnu Hurmuz – yang termasuk diantara qurraa’
– berpaling (dari jama’ah di masjid), lalu shalat mengimami kelaurganya di
rumahnya. Begitu juga dengan Rabii’ah, Al-Qaasim, dan Saalim rahimahumullah juga berpaling
tidak shalat bersama orang-orang (di masjid). Aku melihat Yahyaa bin Sa’iid (Al-Anshaariy)
shalat bersama orang-orang, namun aku tidak shalat bersama orang-orang. Tidak
ragu lagi bahwasannya shalatnya seseorang di rumahnya lebih utama daripada
shalat bersama orang-orang apabila ia kuat/mampu untuk melakukannya. Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan shalat (tarawih)
kecuali di rumahnya…” [Qiyaamu Ramadlaan, hal. 75 no. 115].
An-Nawawiy
rahimahullah berkata:
صَلاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ
الْعُلَمَاءِ . . . وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً ، وَأَيُّهُمَا أَفْضَلُ ؟ فِيهِ
وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ، الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِ الأَصْحَابِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ
، الثَّانِي : الانْفِرَادُ أَفْضَلُ ،
قَالَ أَصْحَابُنَا : الْخِلافُ فِيمَنْ يَحْفَظُ
الْقُرْآنَ ، وَلا يَخَافُ الْكَسَلَ عَنْهَا لَوْ انْفَرَدَ ، وَلا تَخْتَلُّ الْجَمَاعَةُ
فِي الْمَسْجِدِ لِتَخَلُّفِهِ ، فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الأُمُورِ فَالْجَمَاعَةُ
أَفْضَلُ بِلا خِلافٍ
“Shalat tarawih hukumnya sunnah[2] berdasarkan kesepakatan
ulama…. Dan diperbolehkan melakukannya secara munfarid (sendiri) dan
berjama’ah. Mana yang lebih utama?. Dalam masalah tersebut ada dua pendapat
yang masyhuur. Yang benar menurut kesepakatan shahabat-shahabat kami
bahwasannya berjama’ah lebih utama. Pendapat kedua : munfarid lebih
utama.
Shahabat-shahabat kami berkata
: Perselisihan pendapat terjadi pada orang yang hapal Al-Qur’an, tidak ada
kekhawatiran muncul kemalasan jika melakukannya secara munfarid, dan
tidak menghambat jama’ah di masjid akibat ketidakhadirannya (karena ia
berposisi sebagai imam - Abul-Jauzaa’). Jika salah satu di antara
perkara-perkara tersebut hilang, maka jama’ah lebih utama tanpa adanya
perbedaan pendapat”.
قال صاحب الشامل قال أبو العباس وأبو
إسحق صلاة التراويح جماعة أفضل من الانفراد لاجماع الصحابة وإجماع أهل الامصار على
ذلك
“Penulis
kitab Asy-Syaamil berkata : Berkata Abul-‘Abbaas dan Abu Ishaaq :
‘Shalat tarawih berjama’ah lebih utama daripada sendirian (munfarid)
berdasarkan ijmaa’ para shahabat dan ijmaa’ para ulama di penjuru
negeri atas hal tersebut” [Al-Majmuu’, 4-31-32 – dengan peringkasan].
Catatan : Perkataan ijmaa’ shahabat
dan ijmaa’ ulama di atas tidak benar sebagaimana akan dibawakan di
bawah.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أَبِي عَبْدِ
اللَّهِ ، فِعْلُهَا فِي الْجَمَاعَةِ ، قَالَ ، فِي رِوَايَةِ يُوسُفَ بْنِ
مُوسَى : الْجَمَاعَةُ فِي التَّرَاوِيحِ أَفْضَلُ ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ
يُقْتَدَى بِهِ ، فَصَلَّاهَا فِي بَيْتِهِ ، خِفْت أَنْ يَقْتَدِيَ النَّاسُ بِهِ
.
وَقَدْ جَاءَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { اقْتَدُوا بِالْخُلَفَاءِ } وَقَدْ جَاءَ عَنْ
عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي الْجَمَاعَةِ .
وَبِهَذَا قَالَ الْمُزَنِيّ ، وَابْنُ
عَبْدِ الْحَكَمِ ، وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ، قَالَ أَحْمَدُ
: كَانَ جَابِرٌ ، وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ اللَّهِ يُصَلُّونَهَا فِي جَمَاعَةٍ .........
وَقَالَ مَالِكٌ ، وَالشَّافِعِيُّ : قِيَامُ رَمَضَانَ لِمَنْ قَوِيَ فِي
الْبَيْتِ أَحَبُّ إلَيْنَا ؛ لِمَا رَوَى زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ....
وَلَنَا إجْمَاعُ الصَّحَابَةِ عَلَى
ذَلِكَ ، وَجَمْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ
وَأَهْلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ
“Pendapat yang terpilih di sisi
Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) adalah melakukannya secara berjama’ah. Dalam
riwayat Yuusuf bin Muusaa : ‘Berjama’ah dalam shalat tarawih lebih utama. Dan
seandainya ada seorang laki-laki yang dijadikan teladan, lalu ia shalat di
rumahnya, dikhawatirkan orang-orang akan mencontohnya.
Telah ada hadits dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam : ‘Contohlah para khalifah’. Dan telah ada riwayat
yang menyebutkan bahwa ‘Umar shalat dalam jama’ah. Pendapat inilah yang
dipegang oleh Al-Muzanniy, Ibnu ‘Abdil-Hakam, dan sekelompok shahabat-shahabat
Abu Haniifah. Ahmad berkata : ‘Jaabir, ‘Aliy, dan ‘Abdullah shalat tarawih berjama’ah’......
Maalik
dan Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Shalat Ramadlaan (tarawih) bagi orang yang kuat
mengerjakannya di rumah lebih kami cintai berdasarkan hadits yang diriwayatkan
Zaid bin Tsaabit.....’.
Dan (dalil) bagi kami adalah ijmaa’ para
shahabat atas hal tersebut (berjama’ah). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
mengumpulkan pada shahabatnya dan keluarganya sebagaimana yang ada dalam
hadits Abu Dzarr” [Al-Mughniy, 1/833
– dengan peringkasan].
Dalil
yang dipakai masing-masing
pendapat adalah
1.
Pendapat Pertama.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ،
فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُونَ بِذَلِكَ
فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ
النَّاسُ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ
الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ
الرَّابِعَةُ، عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ،
يَقُولُونَ: الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ،
أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ تَشَهَّدَ، فَقَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ
يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ
عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada waktu
tengah malam, lalu beliau shalat di masjid.
Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau. Di pagi hari, orang-orang
memperbincangkannya. Maka berkumpullah
kebanyakan dari mereka. Ketika Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di malam kedua, mereka pun shalat
bersama beliau. Di pagi hari berikutnya,
orang-orang memperbincangkannya kembali.
Di malam ketiga, jumlah jama’ah yang ada di masjid bertambah
banyak. Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam keluar dan melaksanakan shalatnya. Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi
menampung jama’ahnya, dan beliau tidak keluar melaksanakan shalat malam
sebagaimana sebelumnya kecuali belaiu hanya melaksanakan shalat shubuh. Ketika telah selesai melaksanakan shalat Shubuh,
beliau menghadap kepada jama’ah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat, dan
bersabda : “Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di
malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi
aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian
tidak sanggup melakukannya”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan
Muslim no. 761].
Sisi pendalilannya
adalah perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berjama’ah di
masjid. Adapun setelahnya beliau meninggalkannya karena ada ‘illat kekhawatiran
beliau bahwa hal tersebut akan diwajibkan. Setelah beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah mantap, maka hilanglah
kekhawatiran sekaligus hilang pula ‘illat-nya.[3]
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: " صُمْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا
مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ
اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ
الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ
اللَّهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، قَالَ: فَقَالَ: إِنَّ
الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ
لَيْلَةٍ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ
الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى
خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ، قَالَ: قُلْتُ: وَمَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ:
السُّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِقِيَّةَ الشَّهْرِ "
Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu
ia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlaan.
Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari
bulan tersebut. Lalu beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang pertama). Pada saat malam
tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika malam
tersisa lima
hari lagi, maka beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu
tengah malam. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali
pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang
yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam
suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak shalat
bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan
keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat bersama
kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falaah. Aku pernah
bertanya : ”Apa makna falaah itu ?”. Beliau shallallaahu
’alaihi wa sallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian
beliau kembali tidak shalat bersama kami pada sisa malam
di bulan Ramadlan tersebut [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia
berkata : ‘Hasan shahih’, An-Nasaa’iy no.
1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih].
Sisi pendalilannya
adalah sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya,
seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai...dst.’; yang
perkataan ini beliau ucapkan ketika shalat berjama’ah di masjid bersama para
shahabat.
عَنْ
عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ
يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ،
فَقَالَ عُمَرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى
قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ " فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ،
قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ،
فَقَالَ عُمَرُ: " نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ..........
Dari ‘Abdurrahmaan
bin ‘Abd Al-Qaariy, bahwasannya ia berkata : Aku pernah keluar bersama ‘Umar
bin Al-Khaththaab di bulan Ramadlaan menuju masjid. Ternyata orang-orang shalat
terpencar-pencar dalam beberapa kelompok. Ada orang yang shalat sendirian, ada
pula orang yang shalat dengan diikuti sekelompok orang. Lalu ‘Umar berkata :
“Demi Allah, sesungguhnya aku memandang, seandainya aku kumpulkan mereka di
belakang satu imam, niscaya itu lebih utama”. Akhirnya ia pun mengumpulkan
mereka di belakang Ubay bin Ka’b. Kemudian aku (‘Abdurrahmaan) keluar bersamanya
di malam yang lain dimana orang-orang shalat di belakang satu imam mereka. Lalu
‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini….” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/476-477
no. 270, Al-Bukhaariy no. 2010, Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ 1/98-99
no. 302, dan yang lainnya[4]].
عَنْ
السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ
بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ
رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ
عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي
فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari As-Saaib bin
Yaziid, bahwasannya ia berkata : ‘Umar bin Al-Khaththahab pernah memerintahkan
Ubay bin Ka'b dan Tamiim Ad-Daariy mengimami orang-orang (shalat taraawih) dengan
sebelas rakaat". As-Saaib berkata : "Imam membaca dua ratusan ayat,
hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami
tidak keluar melainkan di ambang fajar" [Diriwayatkan oleh Maalik 1/478
no. 271; shahih].
Riwayat
‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy dan As-Saaib bin Yaziid di atas menunjukkan
para shahabat di jaman ‘Umar shalat tarawih berjama’ah di masjid di belakang
satu imam.
Al-Haakim setelah
membawakan riwayat ‘Umar dari jalan An-Nu’maan bin Basyiir berkata:
وَفِيهِ
الدَّلِيلُ الْوَاضِحُ أَنَّ: صَلاةَ التَّرَاوِيحِ فِي مَسَاجِدِ الْمُسْلِمِينَ سُنَّةٌ
مَسْنُونَةٌ، وَقَدْ كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَحُثُّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا عَلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ إِلَى أَنْ أَقَامَهَا
“Dan padanya
terdapat dalil yang jelas bahwasannya shalat tarawih di masjid-masjid kaum
muslimin adalah sunnah yang dianjurkan. Adalah ‘Aliy bin Abi Thaalib
menganjurkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa untuk menegakkan sunnah ini, hingga
kemudian ia (‘Umar) pun menegakkannya” [Al-Mustadrak, 1/440].[5]
عَنْ
مُحَمَّدٍ أَنَّهُ كَانَ يَخْتَارُ الْقِيَامَ مَعَ النَّاسِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
Dari Muhammad (bin
Siiriin), bahwasannya ia memilih shalat bersama orang-orang ketika bulan
Ramadlaan [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/397 (5/233) no. 7804; shahih].
2.
Pendapat Kedua.
عَنْ
زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: احْتَجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجَيْرَةً مُخَصَّفَةً أَوْ حَصِيرًا، فَخَرَجَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيهَا فَتَتَبَّعَ إِلَيْهِ رِجَالٌ
وَجَاءُوا يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ، ثُمَّ جَاءُوا لَيْلَةً فَحَضَرُوا وَأَبْطَأَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُمْ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ، فَرَفَعُوا
أَصْوَاتَهُمْ وَحَصَبُوا الْباب فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ مُغْضَبًا، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا زَالَ بِكُمْ صَنِيعُكُمْ حَتَّى
ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْكُمْ، فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي
بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ
الْمَكْتُوبَةَ "
Dari
Zaid bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah membuat ruangan yang dibatasi dengan sehelai kain
atau tikar di masjid. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar
dan melakukan shalat di dalamnya. Kemudian orang-orang pun datang ikut shalat bersama
beliau. Di malam berikutnya mereka datang, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam tidak kunjung keluar. Sambil mengeraskan suara, mereka melempar
pintu beliau dengan kerikil. Tidak lama kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam keluar menemui mereka dalam keadaan marah seraya bersabda: “Masih
saja kalian mengerjakannya (shalat sunnah di masjid dengan berjama’ah), hingga
aku mengira hal itu akan diwajibkan atas kalian. Hendaklah kalian shalat di
rumah-rumah kalian, karena sebaik-baik shalat bagi laki-laki itu di
rumahnya, kecuali shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6113
dan Muslim no. 781].
Sisi pendalilan : Dhahir hadits ini menunjukkan semua
shalat sunnah yang paling utama dilakukan di rumah.[6]
Perkataan beliau ini diucapkan ketika melihat shalat para shahabat di Masjid Nabi
yang pahala shalat di dalamnya seribu kali pahala shalat semisal jika dilakukan
di masjid yang lain[7].
Pemahaman
ini diikuti oleh sebagian salaf sebagaimana yang tercantum dalam riwayat
berikut:
عَنْ
نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: " أَنَّهُ كَانَ لَا يَقُومُ مَعَ النَّاسِ فِي
شَهْرِ رَمَضَانَ، قَالَ: وَكَانَ سَالِمٌ، وَالْقَاسِمُ لَا يَقُومانِ مَعَ
النَّاسِ "
Dari
Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : “Bahwasannya ia (Ibnu ‘Umar) tidak shalat bersama
orang-orang di bulan Ramadlaan. Naafi’ juga berkata : “Saalim dan Al-Qaasim
tidak shalat bersama prang-orang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/396
(5/231-232) no. 7796; shahih].
عَنِ
الْأَعْمَشِ، قَالَ: " كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَؤُمُّهُمْ فِي الْمَكْتُوبَةِ،
وَلَا يَؤُمُّهُمْ فِي صَلَاةِ رَمَضَانَ "، وَعَلْقَمَةُ وَالْأَسْوَدُ
Dari
Al-A’masy, ia berkata : “Ibraahiim (An-Nakha’iy) mengimami mereka dalam shalat
wajib, namun tidak mengimami mereka dalam shalat Ramadlaan (tarawih). Begitu
juga dengan ‘Alqamah dan Al-Aswad” [idem, 2/396 (5/232) no. 7799;
shahih].
Selain
itu, dhahir perbuatan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu yang tidak
mengumpulkan manusia di masjid di belakang satu imam menunjukkan madzhabnya ada
di kelompok pendapat ini, wallaahu a’lam.
Tarjih
Yang kuat – wallaahu a’lam – adalah pendapat
jumhur ulama karena sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya,
seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat
semalam suntuk”. Perkataan ini beliau ucapkan saat menegakkan shalat tarawih berjama’ah
di masjid dengan para shahabat, sehingga menunjukkan keutamaan ini berlaku untuk
shalat berjama’ah bersama imam di masjid.
Tentang hadits : ‘sebaik-baik shalat bagi laki-laki itu
di rumahnya, kecuali shalat wajib’; maka ini adalah bicara
hukum asal shalat sunnah (yang paling utama dikerjakan di rumah). Namun ketika datang
teks nash yang memalingkan hukum asal tersebut, maka hukum pun berubah.
Catatan : Jika shalat di masjid malah
menyebabkan ketidakkhusyukan karena faktor imam yang tidak fasih (atau sering
mengalami lahn) dalam bacaannya, berisik, atau terlalu cepat
sebagaimana banyak terjadi di masjid-masjid masyarakat selama bulan Ramadlaan,
maka melakukannya di rumah lebih afdlal.[8]
Adapun bagi wanita, maka tetap lebih utama shalat
tarawih di rumahnya berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ
وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ "
Dari
Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Janganlah kalian melarang
wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah
mereka lebih baik bagi mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/76 no. 5468,
Abu Dawud no. 567, Ath-Thabarani 12/328 no. 13255, dan yang lainnya; shahih].
Semoga
artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai – 1 Ramadlaan 1435 K – 16:15].
[1]
Sebenarnya
masih ada pendapat lain selain yang disebutkan di artikel ini. Misalnya
Al-Laits bin Sa’d yang mengatakan: “Seandainya semua orang mengerjakan shalat
tarawih di bulan Ramadlaan sendirian atau bersama keluarganya di rumah-rumah
mereka hingga semuanya meninggalkan masjid, hendaknya sebagian orang keluar
mengerjakan shalat tarawih di masjid, karena shalat tarawih di bulan Ramadlaan (di
majsid) termasuk perkara yang tidak boleh ditinggalkan manusia. Hal tersebut
termasuk yang dianjurkan/diperintahkan ‘Umar bagi kaum muslimin, dan ia
mengumpulkan mereka dalam pelaksanaan shalat tersebut. Namun jika jama’ah telah
ditegakkan di masjid, maka tidak mengapa jika seseorang shalat sendirian atau
mengimami keluarganya di rumahnya” [Al-Istidzkaar, 2/70].
[2]
Dalilnya:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ
بِعَزِيمَةٍ، فَيَقُولُ: " مَنْ قَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا، وَاحْتِسَابًا،
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "
Dari
Abu Hurairah, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam
memberikan motivasi untuk mengerjakan (shalat pada malam) Ramadlaan dengan
tidak mewajibkannya. Beliau bersabda : "Barangsiapa yang mengerjakan
shalat pada bulan Ramadlaan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari
Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 759].
[3]
Dalam kaedah ushul
disebutkan bahwa : “Apabila hukum adala karena mempunyai satu ‘illat nash
syar’iy, maka hukum tersebut terangkat apabila hilang ‘illat-nya”.
[5] Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah juga
menyebutkan pendapat ‘Umar dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa ini dalam Al-Istidzkaar
(2/70).
[6]
Kongruen dengan hadits lain yang
menyebutkan perintah agar kita menghidupkan rumah-rumah kita dengan ibadah.
عَن ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا
تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا "
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam, beliau bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai tempat
untuk shalat, dan jangan menjadikannya sebagai kuburan” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 432 & 1187].
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: " صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ
فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ "
Dari
Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Shalat
di masjidku ini lebih utama seribu kali dibandingkan shalat di masjid lainnya,
kecuali Al-masjidil-Haraam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1395, An-Nasaa’iy
no. 2897, Ibnu Maajah no. 1405, dan yang lainnya].
[8] Ternukil pendapat dari Al-Hasan Al-Bashriy
bahwasannya tempat manapun lebih dapat mendatangkan kekhusyukan dan kelembutan
hati, maka itu lebih utama
Assakaanmu'alailkum warahmatullahi wabarakaatuh
BalasHapususatd mau tanya :
1. Kalau saya berniat ingin belajar menjadi imam taraweh dan sambil mengulang hafalan al-quran secara berjamaah bersama keluarga, lebih utamakah antara shalat berjamaah dengan orang lain sebagai makmum atau berjamaah di rumah bersama keluarga?
- Karena ana ingin istri mendapatkan pahala berjama'ah, apakah lebih utamakah antara saya shalat taraweh di mesjid atau berjamaah bersama keluarga? mengingat Istri tidak pernah shalat taraweh berjamaah seumur hidupnya kalau saya bersikukuh shalat di mesjid
- ada pendapat bahwa shalat ke mejsid itu harus mendahulukan mesjid yang terdekat, tapi masjid terdekat kacau bacaan imam nya, hingga selalu tidak khusyu. lalu ada mesjid bagus bacaannya melewati mesjid terdekat, apakah saya harus shalat di mesjid yang melalui terdekat atau lebih utama shalat berjamaah bersama keluarga dirumah?
Jazakallah khair
Sholat tarawih BERJAMAAH di rumah, lebih utama daripada tarawih berjamaah di masjid. dengan begini akan menghimpun dua keutamaan, yaitu keutamaan sholat sunnah di rumah, dan keutamaan sholat tarawih berjamaah bersama imam. dalil keutamaan sholat tarawih berjamaah bersama imam sifatnya umum, tidak ada kekhususan bahwa itu harus dilaksanakan di masjid.
BalasHapusTahun 1995
BalasHapus@Anonim 30 Juni 2014 17.35, namun perkataan "Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk"; beliau katakan ketika menegakkan shalat berjama'ah di masjid. tentu saja dipahami, bahwa tempat shalat berjama'ah terbaik untuk shalat tarawih adalah di masjid. Ini adalah dhahir hadits.
BalasHapusBenar, berjama'ah di rumah tetap akan mendapatkan pahala. Namun yang lebih utama (lebih baik) dalam konteks tempat adalah masjid.
wallaahu a'lam.
salam ustaz, apakah benar Umar r.a sendiri tidak berjemaah di masjid walaupun dia memerintahkan Ubay menjadi imam?
BalasHapusLebih utama yang mana Shahabat Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu atau Umar radliyallaahu ’anhu mana yang pemahamannya paling utama Ustadz, sehingga bisa kita ikuti?
BalasHapus