29 Juni 2014

Mana yang Lebih Utama : Shalat Tarawih Berjama’ah di Masjid atau di Rumah ?

Para ulama berselisih pendapat dalam dua kelompok besar[1].
Pendapat pertama menyatakan shalat tarawih berjama’ah di masjid lebih utama. Diantara ulama yang memegang pendapat ini adalah jumhur ulama dari kalangan shahabat dan taabi’iin, ulama Hanafiyyah, Ahmad bin Hanbal, Ishaaq bin Rahawaih, Ibnul-Mubaarak, dan jumhur Syaafi’iyyah.
Pendapat kedua menyatakan shalat tarawih secara munfarid di rumah lebih utama. Ini adalah pendapat Ibnu ‘Umar, ‘Alqamah, Al-Aswad, Maalik, Asy-Syaafi’iy, dan yang menyepakati mereka.
Berikut beberapa perkataan ulama yang menyebutkan silsilah perbedaan pendapat tersebut.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَاخْتَارَ ابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق الصَّلَاةَ مَعَ الْإِمَامِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، وَاخْتَارَ الشَّافِعِيُّ أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ وَحْدَهُ إِذَا كَانَ قَارِئًا
“Ibnul-Mubaarak, Ahmad, dan Ishaaq memilih shalat bersama imam di bulan Ramadlaan. Adapun Asy-Syaafi’iy memilih agar seseorang shalat sendirian apabila ia seorang qaari’” [Al-Jaami’ Al-Kabiir, 2/160].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata:
وَقَالَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ: كَانَ ابْنُ هُرْمُزَ مِنَ الْقُرَّاءِ، يَنْصَرِفُ فَيَقُومُ بِأَهْلِهِ فِي بَيْتِهِ، وَكَانَ رَبِيعَةُ يَنْصَرِفُ، وَكَانَ الْقَاسِمُ رَحِمَهُ اللَّهُ، وَسَالِمٌ رَحِمَهُ اللَّهُ يَنْصَرِفَانِ، لا يَقُومَانِ مَعَ النَّاسِ، وَقَدْ رَأَيْتُ يُحْيِيَ بْنَ سَعِيدٍ مَعَ النَّاسِ، وَأَنَا لا أَقُومُ مَعَ النَّاسِ، لا أَشُكُّ أَنَّ قِيَامَ الرَّجُلِ فِي بَيْتِهِ أَفْضَلَ مِنَ الْقِيَامِ مَعَ النَّاسِ إِذَا قَوِيَ عَلَى ذَلِكَ، وَمَا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلا فِي بَيْتِهِ
“Maalik rahimahullah berkata : ‘Ibnu Hurmuz – yang termasuk diantara qurraa’ – berpaling (dari jama’ah di masjid), lalu shalat mengimami kelaurganya di rumahnya. Begitu juga dengan Rabii’ah, Al-Qaasim, dan Saalim rahimahumullah juga berpaling tidak shalat bersama orang-orang (di masjid). Aku melihat Yahyaa bin Sa’iid (Al-Anshaariy) shalat bersama orang-orang, namun aku tidak shalat bersama orang-orang. Tidak ragu lagi bahwasannya shalatnya seseorang di rumahnya lebih utama daripada shalat bersama orang-orang apabila ia kuat/mampu untuk melakukannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah melakukan shalat (tarawih) kecuali di rumahnya…” [Qiyaamu Ramadlaan, hal. 75 no. 115].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
صَلاةُ التَّرَاوِيحِ سُنَّةٌ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاءِ . . . وَتَجُوزُ مُنْفَرِدًا وَجَمَاعَةً ، وَأَيُّهُمَا أَفْضَلُ ؟ فِيهِ وَجْهَانِ مَشْهُورَانِ ، الصَّحِيحُ بِاتِّفَاقِ الأَصْحَابِ أَنَّ الْجَمَاعَةَ أَفْضَلُ ، الثَّانِي : الانْفِرَادُ أَفْضَلُ ،
قَالَ أَصْحَابُنَا : الْخِلافُ فِيمَنْ يَحْفَظُ الْقُرْآنَ ، وَلا يَخَافُ الْكَسَلَ عَنْهَا لَوْ انْفَرَدَ ، وَلا تَخْتَلُّ الْجَمَاعَةُ فِي الْمَسْجِدِ لِتَخَلُّفِهِ ، فَإِنْ فُقِدَ أَحَدُ هَذِهِ الأُمُورِ فَالْجَمَاعَةُ أَفْضَلُ بِلا خِلافٍ
“Shalat tarawih hukumnya sunnah[2] berdasarkan kesepakatan ulama…. Dan diperbolehkan melakukannya secara munfarid (sendiri) dan berjama’ah. Mana yang lebih utama?. Dalam masalah tersebut ada dua pendapat yang masyhuur. Yang benar menurut kesepakatan shahabat-shahabat kami bahwasannya berjama’ah lebih utama. Pendapat kedua : munfarid lebih utama.
Shahabat-shahabat kami berkata : Perselisihan pendapat terjadi pada orang yang hapal Al-Qur’an, tidak ada kekhawatiran muncul kemalasan jika melakukannya secara munfarid, dan tidak menghambat jama’ah di masjid akibat ketidakhadirannya (karena ia berposisi sebagai imam - Abul-Jauzaa’). Jika salah satu di antara perkara-perkara tersebut hilang, maka jama’ah lebih utama tanpa adanya perbedaan pendapat”.
قال صاحب الشامل قال أبو العباس وأبو إسحق صلاة التراويح جماعة أفضل من الانفراد لاجماع الصحابة وإجماع أهل الامصار على ذلك
“Penulis kitab Asy-Syaamil berkata : Berkata Abul-‘Abbaas dan Abu Ishaaq : ‘Shalat tarawih berjama’ah lebih utama daripada sendirian (munfarid) berdasarkan ijmaa’ para shahabat dan ijmaa’ para ulama di penjuru negeri atas hal tersebut” [Al-Majmuu’, 4-31-32 – dengan peringkasan].
Catatan : Perkataan ijmaa’ shahabat dan ijmaa’ ulama di atas tidak benar sebagaimana akan dibawakan di bawah.
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَالْمُخْتَارُ عِنْدَ أَبِي عَبْدِ اللَّهِ ، فِعْلُهَا فِي الْجَمَاعَةِ ، قَالَ ، فِي رِوَايَةِ يُوسُفَ بْنِ مُوسَى : الْجَمَاعَةُ فِي التَّرَاوِيحِ أَفْضَلُ ، وَإِنْ كَانَ رَجُلٌ يُقْتَدَى بِهِ ، فَصَلَّاهَا فِي بَيْتِهِ ، خِفْت أَنْ يَقْتَدِيَ النَّاسُ بِهِ .
وَقَدْ جَاءَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : { اقْتَدُوا بِالْخُلَفَاءِ } وَقَدْ جَاءَ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي فِي الْجَمَاعَةِ .
وَبِهَذَا قَالَ الْمُزَنِيّ ، وَابْنُ عَبْدِ الْحَكَمِ ، وَجَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ أَبِي حَنِيفَةَ ، قَالَ أَحْمَدُ : كَانَ جَابِرٌ ، وَعَلِيٌّ وَعَبْدُ اللَّهِ يُصَلُّونَهَا فِي جَمَاعَةٍ ......... وَقَالَ مَالِكٌ ، وَالشَّافِعِيُّ : قِيَامُ رَمَضَانَ لِمَنْ قَوِيَ فِي الْبَيْتِ أَحَبُّ إلَيْنَا ؛ لِمَا رَوَى زَيْدُ بْنُ ثَابِتٍ....
وَلَنَا إجْمَاعُ الصَّحَابَةِ عَلَى ذَلِكَ ، وَجَمْعُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْحَابَهُ وَأَهْلَهُ فِي حَدِيثِ أَبِي ذَرٍّ
“Pendapat yang terpilih di sisi Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) adalah melakukannya secara berjama’ah. Dalam riwayat Yuusuf bin Muusaa : ‘Berjama’ah dalam shalat tarawih lebih utama. Dan seandainya ada seorang laki-laki yang dijadikan teladan, lalu ia shalat di rumahnya, dikhawatirkan orang-orang akan mencontohnya.
Telah ada hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Contohlah para khalifah’. Dan telah ada riwayat yang menyebutkan bahwa ‘Umar shalat dalam jama’ah. Pendapat inilah yang dipegang oleh Al-Muzanniy, Ibnu ‘Abdil-Hakam, dan sekelompok shahabat-shahabat Abu Haniifah. Ahmad berkata : ‘Jaabir, ‘Aliy, dan ‘Abdullah shalat tarawih berjama’ah’......
Maalik dan Asy-Syaafi’iy berkata : ‘Shalat Ramadlaan (tarawih) bagi orang yang kuat mengerjakannya di rumah lebih kami cintai berdasarkan hadits yang diriwayatkan Zaid bin Tsaabit.....’.
Dan (dalil) bagi kami adalah ijmaa’ para shahabat atas hal tersebut (berjama’ah). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengumpulkan pada shahabatnya dan keluarganya sebagaimana yang ada dalam hadits Abu Dzarr” [Al-Mughniy, 1/833 – dengan peringkasan].
Dalil yang dipakai masing-masing pendapat adalah
1.     Pendapat Pertama.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ، فَصَلَّى فِي الْمَسْجِدِ، فَصَلَّى رِجَالٌ بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَتَحَدَّثُونَ بِذَلِكَ فَاجْتَمَعَ أَكْثَرُ مِنْهُمْ، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلَةِ الثَّانِيَةِ، فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَأَصْبَحَ النَّاسُ يَذْكُرُونَ ذَلِكَ، فَكَثُرَ أَهْلُ الْمَسْجِدِ مِنَ اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ، فَخَرَجَ فَصَلَّوْا بِصَلَاتِهِ، فَلَمَّا كَانَتِ اللَّيْلَةُ الرَّابِعَةُ، عَجَزَ الْمَسْجِدُ عَنْ أَهْلِهِ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَطَفِقَ رِجَالٌ مِنْهُمْ، يَقُولُونَ: الصَّلَاةَ، فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى خَرَجَ لِصَلَاةِ الْفَجْرِ، فَلَمَّا قَضَى الْفَجْرَ، أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ ثُمَّ تَشَهَّدَ، فَقَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ شَأْنُكُمُ اللَّيْلَةَ، وَلَكِنِّي خَشِيتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ، فَتَعْجِزُوا عَنْهَا "
Dari ‘Aaisyah : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar pada waktu tengah malam, lalu beliau shalat di masjid.  Lalu shalatlah beberapa orang bersama beliau.  Di pagi hari, orang-orang memperbincangkannya.  Maka berkumpullah kebanyakan dari mereka.  Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat di malam kedua, mereka pun shalat bersama beliau.  Di pagi hari berikutnya, orang-orang memperbincangkannya kembali.  Di malam ketiga, jumlah jama’ah yang ada di masjid bertambah banyak.  Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dan melaksanakan shalatnya.  Pada malam keempat, masjid tidak mampu lagi menampung jama’ahnya, dan beliau tidak keluar melaksanakan shalat malam sebagaimana sebelumnya kecuali belaiu hanya melaksanakan shalat shubuh.  Ketika telah selesai melaksanakan shalat Shubuh, beliau menghadap kepada jama’ah kaum muslimin, kemudian membaca syahadat, dan bersabda : “Amma ba’du, sesungguhnya keadaan kalian tidaklah samar bagiku di malam tersebut (= yaitu iman dan semangat kalian dalam beribadah), akan tetapi aku merasa khawatir (ibadah ini) akan diwajibkan kepada kalian, lalu kalian tidak sanggup melakukannya”. [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 882 dan Muslim no. 761].
Sisi pendalilannya adalah perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berjama’ah di masjid. Adapun setelahnya beliau meninggalkannya karena ada ‘illat kekhawatiran beliau bahwa hal tersebut akan diwajibkan. Setelah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat dan syari’at telah mantap, maka hilanglah kekhawatiran sekaligus hilang pula ‘illat-nya.[3]
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: " صُمْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَمَضَانَ، فَلَمْ يَقُمْ بِنَا شَيْئًا مِنَ الشَّهْرِ حَتَّى بَقِيَ سَبْعٌ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيْلِ، فَلَمَّا كَانَتِ السَّادِسَةُ لَمْ يَقُمْ بِنَا، فَلَمَّا كَانَتِ الْخَامِسَةُ قَامَ بِنَا حَتَّى ذَهَبَ شَطْرُ اللَّيْلِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَوْ نَفَّلْتَنَا قِيَامَ هَذِهِ اللَّيْلَةِ، قَالَ: فَقَالَ: إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَلَّى مَعَ الْإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ حُسِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةٍ، قَالَ: فَلَمَّا كَانَتِ الرَّابِعَةُ لَمْ يَقُمْ، فَلَمَّا كَانَتِ الثَّالِثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ وَنِسَاءَهُ وَالنَّاسَ، فَقَامَ بِنَا حَتَّى خَشِينَا أَنْ يَفُوتَنَا الْفَلَاحُ، قَالَ: قُلْتُ: وَمَا الْفَلَاحُ؟ قَالَ: السُّحُورُ، ثُمَّ لَمْ يَقُمْ بِقِيَّةَ الشَّهْرِ "
Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada bulan Ramadlaan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan tersebut. Lalu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang pertama). Pada saat malam tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika malam tersisa lima hari lagi, maka beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak shalat bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat bersama kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falaah. Aku pernah bertanya : ”Apa makna falaah itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat bersama kami pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : Hasan shahih, An-Nasaa’iy no. 1364 & 1605, Ibnu Maajah no. 1327, dan yang lainnya; shahih].
Sisi pendalilannya adalah sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai...dst.’; yang perkataan ini beliau ucapkan ketika shalat berjama’ah di masjid bersama para shahabat.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ، أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ فِي رَمَضَانَ إِلَى الْمَسْجِدِ فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلَاتِهِ الرَّهْطُ، فَقَالَ عُمَرُ: " وَاللَّهِ إِنِّي لَأَرَانِي لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلَاءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ، لَكَانَ أَمْثَلَ " فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، قَالَ: ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلَاةِ قَارِئِهِمْ، فَقَالَ عُمَرُ: " نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ ..........
Dari ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy, bahwasannya ia berkata : Aku pernah keluar bersama ‘Umar bin Al-Khaththaab di bulan Ramadlaan menuju masjid. Ternyata orang-orang shalat terpencar-pencar dalam beberapa kelompok. Ada orang yang shalat sendirian, ada pula orang yang shalat dengan diikuti sekelompok orang. Lalu ‘Umar berkata : “Demi Allah, sesungguhnya aku memandang, seandainya aku kumpulkan mereka di belakang satu imam, niscaya itu lebih utama”. Akhirnya ia pun mengumpulkan mereka di belakang Ubay bin Ka’b. Kemudian aku (‘Abdurrahmaan) keluar bersamanya di malam yang lain dimana orang-orang shalat di belakang satu imam mereka. Lalu ‘Umar berkata : “Sebaik-baik bid’ah adalah ini….” [Diriwayatkan oleh Maalik 1/476-477 no. 270, Al-Bukhaariy no. 2010, Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ 1/98-99 no. 302, dan yang lainnya[4]].
عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّهُ قَالَ أَمَرَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُبَيَّ بْنَ كَعْبٍ وَتَمِيمًا الدَّارِيَّ أَنْ يَقُومَا لِلنَّاسِ بِإِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً قَالَ وَقَدْ كَانَ الْقَارِئُ يَقْرَأُ بِالْمِئِينَ حَتَّى كُنَّا نَعْتَمِدُ عَلَى الْعِصِيِّ مِنْ طُولِ الْقِيَامِ وَمَا كُنَّا نَنْصَرِفُ إِلَّا فِي فُرُوعِ الْفَجْرِ
Dari As-Saaib bin Yaziid, bahwasannya ia berkata : ‘Umar bin Al-Khaththahab pernah memerintahkan Ubay bin Ka'b dan Tamiim Ad-Daariy mengimami orang-orang (shalat taraawih) dengan sebelas rakaat". As-Saaib berkata : "Imam membaca dua ratusan ayat, hingga kami bersandar di atas tongkat karena sangat lamanya berdiri. Dan kami tidak keluar melainkan di ambang fajar" [Diriwayatkan oleh Maalik 1/478 no. 271; shahih].
Riwayat ‘Abdurrahmaan bin ‘Abd Al-Qaariy dan As-Saaib bin Yaziid di atas menunjukkan para shahabat di jaman ‘Umar shalat tarawih berjama’ah di masjid di belakang satu imam.
Al-Haakim setelah membawakan riwayat ‘Umar dari jalan An-Nu’maan bin Basyiir berkata:
وَفِيهِ الدَّلِيلُ الْوَاضِحُ أَنَّ: صَلاةَ التَّرَاوِيحِ فِي مَسَاجِدِ الْمُسْلِمِينَ سُنَّةٌ مَسْنُونَةٌ، وَقَدْ كَانَ عَلِيُّ بْنُ أَبِي طَالِبٍ يَحُثُّ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَلَى إِقَامَةِ هَذِهِ السُّنَّةِ إِلَى أَنْ أَقَامَهَا
“Dan padanya terdapat dalil yang jelas bahwasannya shalat tarawih di masjid-masjid kaum muslimin adalah sunnah yang dianjurkan. Adalah ‘Aliy bin Abi Thaalib menganjurkan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa untuk menegakkan sunnah ini, hingga kemudian ia (‘Umar) pun menegakkannya” [Al-Mustadrak, 1/440].[5]
عَنْ مُحَمَّدٍ أَنَّهُ كَانَ يَخْتَارُ الْقِيَامَ مَعَ النَّاسِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ
Dari Muhammad (bin Siiriin), bahwasannya ia memilih shalat bersama orang-orang ketika bulan Ramadlaan [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/397 (5/233) no. 7804; shahih].
2.     Pendapat Kedua.
عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: احْتَجَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حُجَيْرَةً مُخَصَّفَةً أَوْ حَصِيرًا، فَخَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِيهَا فَتَتَبَّعَ إِلَيْهِ رِجَالٌ وَجَاءُوا يُصَلُّونَ بِصَلَاتِهِ، ثُمَّ جَاءُوا لَيْلَةً فَحَضَرُوا وَأَبْطَأَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْهُمْ فَلَمْ يَخْرُجْ إِلَيْهِمْ، فَرَفَعُوا أَصْوَاتَهُمْ وَحَصَبُوا الْباب فَخَرَجَ إِلَيْهِمْ مُغْضَبًا، فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَا زَالَ بِكُمْ صَنِيعُكُمْ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُكْتَبُ عَلَيْكُمْ، فَعَلَيْكُمْ بِالصَّلَاةِ فِي بُيُوتِكُمْ، فَإِنَّ خَيْرَ صَلَاةِ الْمَرْءِ فِي بَيْتِهِ إِلَّا الصَّلَاةَ الْمَكْتُوبَةَ "
Dari Zaid bin Tsaabit radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat ruangan yang dibatasi dengan sehelai kain atau tikar di masjid. Lalu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar dan melakukan shalat di dalamnya. Kemudian orang-orang pun datang ikut shalat bersama beliau. Di malam berikutnya mereka datang, namun Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak kunjung keluar. Sambil mengeraskan suara, mereka melempar pintu beliau dengan kerikil. Tidak lama kemudian beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar menemui mereka dalam keadaan marah seraya bersabda: “Masih saja kalian mengerjakannya (shalat sunnah di masjid dengan berjama’ah), hingga aku mengira hal itu akan diwajibkan atas kalian. Hendaklah kalian shalat di rumah-rumah kalian, karena sebaik-baik shalat bagi laki-laki itu di rumahnya, kecuali shalat wajib” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6113 dan Muslim no. 781].
Sisi pendalilan : Dhahir hadits ini menunjukkan semua shalat sunnah yang paling utama dilakukan di rumah.[6] Perkataan beliau ini diucapkan ketika melihat shalat para shahabat di Masjid Nabi yang pahala shalat di dalamnya seribu kali pahala shalat semisal jika dilakukan di masjid yang lain[7].
Pemahaman ini diikuti oleh sebagian salaf sebagaimana yang tercantum dalam riwayat berikut:
عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ: " أَنَّهُ كَانَ لَا يَقُومُ مَعَ النَّاسِ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ، قَالَ: وَكَانَ سَالِمٌ، وَالْقَاسِمُ لَا يَقُومانِ مَعَ النَّاسِ "
Dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : “Bahwasannya ia (Ibnu ‘Umar) tidak shalat bersama orang-orang di bulan Ramadlaan. Naafi’ juga berkata : “Saalim dan Al-Qaasim tidak shalat bersama prang-orang” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/396 (5/231-232) no. 7796; shahih].
عَنِ الْأَعْمَشِ، قَالَ: " كَانَ إِبْرَاهِيمُ يَؤُمُّهُمْ فِي الْمَكْتُوبَةِ، وَلَا يَؤُمُّهُمْ فِي صَلَاةِ رَمَضَانَ "، وَعَلْقَمَةُ وَالْأَسْوَدُ
Dari Al-A’masy, ia berkata : “Ibraahiim (An-Nakha’iy) mengimami mereka dalam shalat wajib, namun tidak mengimami mereka dalam shalat Ramadlaan (tarawih). Begitu juga dengan ‘Alqamah dan Al-Aswad” [idem, 2/396 (5/232) no. 7799; shahih].
Selain itu, dhahir perbuatan Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu yang tidak mengumpulkan manusia di masjid di belakang satu imam menunjukkan madzhabnya ada di kelompok pendapat ini, wallaahu a’lam.
Tarjih
Yang kuat – wallaahu a’lam – adalah pendapat jumhur ulama karena sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Perkataan ini beliau ucapkan saat menegakkan shalat tarawih berjama’ah di masjid dengan para shahabat, sehingga menunjukkan keutamaan ini berlaku untuk shalat berjama’ah bersama imam di masjid.
Tentang hadits : ‘sebaik-baik shalat bagi laki-laki itu di rumahnya, kecuali shalat wajib’; maka ini adalah bicara hukum asal shalat sunnah (yang paling utama dikerjakan di rumah). Namun ketika datang teks nash yang memalingkan hukum asal tersebut, maka hukum pun berubah.
Catatan : Jika shalat di masjid malah menyebabkan ketidakkhusyukan karena faktor imam yang tidak fasih (atau sering mengalami lahn) dalam bacaannya, berisik, atau terlalu cepat sebagaimana banyak terjadi di masjid-masjid masyarakat selama bulan Ramadlaan, maka melakukannya di rumah lebih afdlal.[8]
Adapun bagi wanita, maka tetap lebih utama shalat tarawih di rumahnya berdasarkan hadits:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا تَمْنَعُوا نِسَاءَكُمُ الْمَسَاجِدَ وَبُيُوتُهُنَّ خَيْرٌ لَهُنَّ "
Dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda : “Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian untuk pergi ke masjid-masjid, akan tetapi rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 2/76 no. 5468, Abu Dawud no. 567, Ath-Thabarani 12/328 no. 13255, dan yang lainnya; shahih].
Semoga artikel singkat ini ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 1 Ramadlaan 1435 K – 16:15].




[1]      Sebenarnya masih ada pendapat lain selain yang disebutkan di artikel ini. Misalnya Al-Laits bin Sa’d yang mengatakan: “Seandainya semua orang mengerjakan shalat tarawih di bulan Ramadlaan sendirian atau bersama keluarganya di rumah-rumah mereka hingga semuanya meninggalkan masjid, hendaknya sebagian orang keluar mengerjakan shalat tarawih di masjid, karena shalat tarawih di bulan Ramadlaan (di majsid) termasuk perkara yang tidak boleh ditinggalkan manusia. Hal tersebut termasuk yang dianjurkan/diperintahkan ‘Umar bagi kaum muslimin, dan ia mengumpulkan mereka dalam pelaksanaan shalat tersebut. Namun jika jama’ah telah ditegakkan di masjid, maka tidak mengapa jika seseorang shalat sendirian atau mengimami keluarganya di rumahnya” [Al-Istidzkaar, 2/70].
[2]      Dalilnya:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ، فَيَقُولُ: " مَنْ قَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا، وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ "
Dari Abu Hurairah, ia berkata : “Adalah Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memberikan motivasi untuk mengerjakan (shalat pada malam) Ramadlaan dengan tidak mewajibkannya. Beliau bersabda : "Barangsiapa yang mengerjakan shalat pada bulan Ramadlaan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 759].
[3]      Dalam kaedah ushul disebutkan bahwa : “Apabila hukum adala karena mempunyai satu ‘illat nash syar’iy, maka hukum tersebut terangkat apabila hilang ‘illat-nya”.
[5]      Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah juga menyebutkan pendapat ‘Umar dan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa ini dalam Al-Istidzkaar (2/70).
[6]      Kongruen dengan hadits lain yang menyebutkan perintah agar kita menghidupkan rumah-rumah kita dengan ibadah.
عَن ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا "
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai tempat untuk shalat, dan jangan menjadikannya sebagai kuburan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 432 & 1187].
[7]      Dalilnya:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِي هَذَا أَفْضَلُ مِنْ أَلْفِ صَلَاةٍ فِيمَا سِوَاهُ، إِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ "
Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Shalat di masjidku ini lebih utama seribu kali dibandingkan shalat di masjid lainnya, kecuali Al-masjidil-Haraam” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1395, An-Nasaa’iy no. 2897, Ibnu Maajah no. 1405, dan yang lainnya].
[8]      Ternukil pendapat dari Al-Hasan Al-Bashriy bahwasannya tempat manapun lebih dapat mendatangkan kekhusyukan dan kelembutan hati, maka itu lebih utama

6 komentar:

  1. Assakaanmu'alailkum warahmatullahi wabarakaatuh
    usatd mau tanya :
    1. Kalau saya berniat ingin belajar menjadi imam taraweh dan sambil mengulang hafalan al-quran secara berjamaah bersama keluarga, lebih utamakah antara shalat berjamaah dengan orang lain sebagai makmum atau berjamaah di rumah bersama keluarga?

    - Karena ana ingin istri mendapatkan pahala berjama'ah, apakah lebih utamakah antara saya shalat taraweh di mesjid atau berjamaah bersama keluarga? mengingat Istri tidak pernah shalat taraweh berjamaah seumur hidupnya kalau saya bersikukuh shalat di mesjid

    - ada pendapat bahwa shalat ke mejsid itu harus mendahulukan mesjid yang terdekat, tapi masjid terdekat kacau bacaan imam nya, hingga selalu tidak khusyu. lalu ada mesjid bagus bacaannya melewati mesjid terdekat, apakah saya harus shalat di mesjid yang melalui terdekat atau lebih utama shalat berjamaah bersama keluarga dirumah?

    Jazakallah khair

    BalasHapus
  2. Sholat tarawih BERJAMAAH di rumah, lebih utama daripada tarawih berjamaah di masjid. dengan begini akan menghimpun dua keutamaan, yaitu keutamaan sholat sunnah di rumah, dan keutamaan sholat tarawih berjamaah bersama imam. dalil keutamaan sholat tarawih berjamaah bersama imam sifatnya umum, tidak ada kekhususan bahwa itu harus dilaksanakan di masjid.

    BalasHapus
  3. @Anonim 30 Juni 2014 17.35, namun perkataan "Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk"; beliau katakan ketika menegakkan shalat berjama'ah di masjid. tentu saja dipahami, bahwa tempat shalat berjama'ah terbaik untuk shalat tarawih adalah di masjid. Ini adalah dhahir hadits.

    Benar, berjama'ah di rumah tetap akan mendapatkan pahala. Namun yang lebih utama (lebih baik) dalam konteks tempat adalah masjid.

    wallaahu a'lam.

    BalasHapus
  4. salam ustaz, apakah benar Umar r.a sendiri tidak berjemaah di masjid walaupun dia memerintahkan Ubay menjadi imam?

    BalasHapus
  5. Lebih utama yang mana Shahabat Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu atau Umar radliyallaahu ’anhu mana yang pemahamannya paling utama Ustadz, sehingga bisa kita ikuti?

    BalasHapus