Abu
Daawud rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، حَدَّثَنَا عِيسَى
بْنُ يُونُسَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ،
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
" مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ
اسْتَقَاءَ فَلْيَقْضِ "
Telah
menceritakan kepada kami Musaddad : Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin
Yuunus : Telah menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin
Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang muntah dengan tidak sengaja dalam
keadaan berpuasa, maka tidak ada qadla’ baginya; dan barangsiapa yang muntah
dengan sengaja, maka ia harus mengqadla (puasanya)” [As-Sunan no. 2380].
Diriwayatkan
juga oleh At-Tirmidziy no. 720, Ibnu Maajah no. 1676, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa
3/317 no. 3117, Ad-Daarimiy no. 1770, Al-Bukhaariy dalam At-Taariikh
Al-Kabiir 1/91, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Musnad Ahmad 2/498,
Ibnul-Jaaruud dalam Al-Muntaqaa (Ghautsul-Makduud) 2/35-36
no. 385, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 2/97 no. 3410 dan
dalam Syarh Musykiilil-Aatsaar no. 1680, Ibnu Khuzaimah no. 1960, Ad-Daaraquthniy
no. 2273-2274, Al-Harbiy dalam Ghariibul-Hadiits 1/276-277, Ath-Thuusiy
dalam Al-Mukhtashar no. 660, Ibnu Hibbaan 8/284-285 no. 3518, Al-Haakim
1/426-427, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/219 (371) no. 8027, Al-Baghawiy
dalam Syarhus-Sunnah 1755, dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa
4/302-303; semuanya dari jalan ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam bin Hassaan,
dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah secara marfuu’.
‘Iisaa
bin Yuunus dalam periwayatan dari Hisyaam mempunyai mutaba’ah dari Hafsh
bin Ghiyaats sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 1676, Ibnu Khuzaimah
no. 1961, dan Al-Baihaqiy 4/219 (371) no. 8028.
Ibnu
Siirin mempunyai mutaba’ah dari Abu Sa’iid Al-Maqburiy sebagaimana
diriwayatkan oleh Abu Ya’laa no. 6604 dan Ad-Daaraquthniy no. 2275-2276, namun
sanadnya sangat lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk
[Taqriibut-Tahdziib, hal. 511 no. 3376].
Para
ulama berbeda pendapat tentang hadits ini. Ada yang menguatkan dengan
menshahihkannya, ada pula yang melemahkannya dengan men-ta’lil-nya.
Diantara
ulama yang menguatkannya
adalah Ad-Daaraquthniy rahimahullah, yang berkata : “Para perawinya semuanya tsiqaat”
[As-Sunan, 3/154].
Begitu juga Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibbaan, dan Al-Haakim
menshahihkan dalam kitabnya. Abu Daawud menyebutkan dalam kitab Sunan-nya
tanpa mengomentarinya. Dishahihkan pula oleh An-Nawawiy, Ibnu Taimiyyah,
Adz-Dzahabiy, dan yang lainnya.
Adapun
para ulama
yang melemahkannya, berkisar
pada penta’lilan:
At-Tirmidziy rahimahullah
berkata:
حَدِيثٌ
حَسَنٌ غَرِيبٌ، لَا نَعْرِفُهُ مِنْ حَدِيثِ هِشَامٍ، عَنْ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا مِنْ
حَدِيثِ عِيسَى بْنِ يُونُسَ
“Hadits hasan ghariib.
Kami tidak mengetahuinya dari hadits Hisyaam, dari Ibnu Siiriin, dari Abu
Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam; kecuali dari hadits
‘Iisaa bin Yuunus” [Al-Jaami’ At-Tirmidziy, 2/90-91].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah
berkata:
وَعِيسَى
ثِقَةٌ فَاضِلٌ، إِلا أَنَّهُ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ قَدْ وَهِمَ فِيهِ،
وَأَنْكَرُوهُ عَلَيْهِ. وَقَدْ زَعَمَ بَعْضُهُمْ أَنَّهُ قَدْ رَوَاهُ حَفْصُ
بْنُ غِيَاثٍ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانٍ بِإِسْنَادِهِ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ
“’Iisaa seorang
yang tsiqah lagi mempunyai keutamaan, namun menurut ahli hadits ia mengalami
wahm padanya sehingga mereka mengingkarinya. Sebagian mereka mengira
hadits tersebut juga telah diriwayatkan oleh Hafsh bin Ghiyaats, dari Hisyaam
bin Hassaan dengan sanadnya, wallaahu a’lam” [Al-Istidzkaar, no.
14462].
Sebagaimana
telah dituliskan dalam takhrij di atas, ‘Iisaa bin Yuunus mempunyai mutaba’ah
dari Hafsh bin Ghiyaats dari jalan ‘Aliy bin Al-Hasan bin Sulaimaan Abu
Sya’tsaa’ (tsiqah) dan Yahyaa bin Sulaimaan Al-Ju’fiy (shaduuq).
Akan
tetapi, sanad riwayat mutaba’ah ini mudltharib karena Abu Ma’mar
Ismaa’iill bin Ibraahiim (tsiqah lagi ma’muun) meriwayatkan dari
Ghiyaats dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari kakeknya, dari Abu Hurairah secara marfuu’
sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Ya’laa[2]
(no. 6604). Sanadnya sangat
lemah karena ‘Abdullah bin Sa’iid bin Abi Sa’iid, seorang yang matruuk.
2.
Wahm Hisyaam bin Hassaan.
‘Iisaa bin Yuunus
berkata :
زَعَمَ
أَهْلُ الْبَصْرَةِ أَنَّ هِشَامًا أَوْهَمَ فِيهِ، فَمَوْضِعُ الْخِلَافِ هَهُنَا
“Penduduk Bashrah
mengira bahwa Hisyaam mengalami wahm dalam hadits tersebut. Di sinilah
letak perbedaan pendapat tersebut” [Sunan Ad-Daarimiy, hal. 1079 di
bawah hadits no. 1770].
Al-Bukhaariy rahimahullah
berkata:
لَا
أُرَاهُ مَحْفُوظًا
“Aku berpendapat ia
tidak mahfuudh” [Al-Jaami’ Al-Kabiir lit-Tirmidziy, 2/91].
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
سَأَلْتُ
مُحَمَّدًا عَنْ هَذَا الْحَدِيثِ فَلَمْ يَعْرِفْهُ إِلا مِنْ حَدِيثِ عِيسَى
بْنِ يُونُسَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ، وَقَالَ: مَا أَرَاهُ مَحْفُوظًا.
“Aku pernah
bertanya kepada Muhammad (bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy) tentang hadits ini, namun
ia tidak mengetahuinya kecuali dari hadits ‘Iisaa bin Yuunus, dari Hisyaam,
dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah. Lantas ia berkata : ‘Aku berpendapat ia
tidak mahfuudh’” [Al-‘Ilal Al-Kabiir, no. 198].
Al-Baihaqiy rahimahullah
berkata:
وَبَعْضُ
الْحُفَّاظِ لا يَرَاهُ مَحْفُوظًا، قَالَ أَبُو دَاوُدَ: سَمِعْتُ أَحْمَدَ بْنَ
حَنْبَلٍ، يَقُولُ: لَيْسَ مِنْ ذَا شَيْءٌ
“Sebagian huffaadh
tidak memandangnya mahfuudh” [As-Sunan Al-Kubraa 4/219
(371)].
Ketidak-mahfudh-an
riwayat Hisyaam, karena ia mengalami wahm dalam membawakan matan riwayat
yang ia bawakan sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Abu Daawud rahimahullah
berkata:
سَمِعْتُ
أَحْمَدَ، سُئِلَ مَا أَصَحُّ مَا فِيهِ، يَعْنِي: فِي " مَنْ ذَرَعَهُ
الْقَيءُ وَهُوَ صَائِمٌ ".قَالَ نَافِعٌ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ.قُلْتُ لَهُ:
حَدِيثُ هِشَامٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: لَيْسَ مِنْ
هَذَا شَيْءٌ، إِنَّمَا هُوَ حَدِيثُ: " مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا، يَعْنِي:
وَهُوَ صَائِمٌ، فَاللَّهُ أَطْعَمَهُ وَسَقَاهُ "
“Aku mendengar
Ahmad ditanya : “Riwayat apa yang paling shahih dalam hal : ‘barangsiapa
yang muntah dalam keadaan berpuasa’; ia menjawab : ‘Naafi’, dari Ibnu
‘Umar’. Aku berkata kepadanya : ‘Hadits Hisyaam, dari Muhammad, dari Abu
Hurairah ?’. Ia menjawab : ‘Ini tidak ada apa-apanya’[3].
Ia sebenarnya hanyalah hadits : ‘barangsiapa yang makan karena lupa dalam
keadaan berpuasa, maka Allah telah memberi makan dan minum kepadanya” [Masaailu
Abi Daawud, hal. 387 no. 1864].
Hadits yang dimaksudkan Al-Imaam Ahmad rahimahullah
tersebut adalah:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " مَنْ أَكَلَ نَاسِيًا وَهُوَ صَائِمٌ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ،
فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ "
Dari Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa
yang makan dalam keadaan lupa padahal ia sedang berpuasa, hendaklah ia tetap
menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberinya makan dan minum”.
Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 6669 dan dalam Al-Kabiir 1/91, Abu Daawud no. 2398,
At-Tirmidziy 2/92 no. 721-722, An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa 3/356-357 no.
3262, Ahmad 2/395 & 2/493 & 2/514, Ishaaq bin Rahawaih dalam Musnad-nya
no. 117, Abu Ya’laa no. 6038 & 6058, Ibnu Hibbaan 8/288-289 no. 3522, Abu
‘Awaanah dalam Al-Mustakhraj no. 2835-2836, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa
4/229 (386-387) no. 8072-8073; dari beberapa jalan (‘Auf bin Abi Jamiilah,
Ayyuub, Habiib bin Asy-Syahiid, dan Qataadah), semuanya dari Ibnu Siiriin, dari
Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Di sini, Hisyaam
menyelisihi empat orang perawi yang dua di antaranya – yaitu Ayyuub dan ‘Auf -
lebih kuat periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin dibanding dirinya.
Ibnul-Madiiniy rahimahullah berkata:
لَيْسَ
أَحَدٌ أَثْبَتَ فِي ابْنِ سِيرِينَ مِنْ أَيُّوبَ، وَابْنِ عَوْنٍ.
“Tidak ada seorang
pun yang lebih tsabt periwayatannya dalam hadits Ibnu Siiriin daripada
Ayyuub dan Ibnu ‘Aun” [Al-‘Ilal, 2/132].
Al-Burdaijiy rahimahullah berkata:
أحاديث
هشام عن محمد بن سيرين عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وعلى آله وسلم أكثرها صحاح
، غير أن هشام ابن حسان دون أيوب ويونس وابن عون وسلمة بن علقمة وعوف عن محمد بن سيرين
عن أبي هريرة فيها صحاح وفيها منكرة ومعلولة
“Hadits-hadits
Hisyaam dari Ibnu Siiriin dari Abu Hurairah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa aalihi wa sallam kebanyakannya shahih. Namun demikian, Hisyaam bin
Hassaan kedudukannya di bawah Ayyuub, Yuunus, Ibnu ‘Aun, Salamah bin ‘Alqamah,
dan ‘Auf dalam periwayatan dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah. Padanya ada riwayat yang shahih, ada pula yang munkar
dan ma’luul” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy li-Ibni Rajab, 2/688].
Al-Marwaziy rahimahullah berkata:
سألت
أبا عبد الله عن هشام بن حسان فقال: " أيوب وابن عون أحب إلي وحسن أمر هشام
“Aku pernah bertanya kepada Abu
‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) tentang Hisyaam bin Hassaan, lalu ia berkata :
‘Ayyuub dan Ibnu ‘Aun lebih aku sukai. Dan telah baik perkara Hisyaam…” [idem,
2/688-689].
Ad-Daaraquthniy rahimahullah berkata:
أثبت أصحاب ابن سيرين أيوب وابن عون وسلمة بن علقمة ويونس بن عبيد
“Ashhaab Ibnu
Siiriin yang paling tsabt adalah Ayyuub, Ibnu ‘Aun, Salamah bin
‘Alqamah, dan Yuunus bin ‘Ubaid” [idem, 2/689].
Di sini dapat
diketahui bahwa Hisyaam memang mengalami wahm sehingga hadits yang ia
bawakan tidak mahfuudh.
3.
Bertentangan dengan pendapat Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu yang notabene merupakan shahabat yang meriwayatkan hadits tersebut.
Al-Bukhaariy rahimahullah
berkata:
ولم
يصح وانما يروى هذا عن عبد الله بن سعيد عن ابيه عن أبى هريرة رفعه وخالفه يحيى بن
صالح قال ثنا معاوية قال ثنا يحيى عن عمر بن حكم بن ثوبان سمع ابا هريرة قال إذا
قاء احدكم فلا يفطر فانما يخرج ولا يولج
“Tidak shahih.
Hadits itu hanyalah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Sa’iid, dari ayahnya, dari
Abu Hurairah secara marfuu’. Hadits itu diselisihi oleh hadits yang
bawakan oleh Yahyaa bin Shaalih, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Mu’aawiyyah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin
Hakam bin Tsaubaan, ia mendengar Abu Hurairah berkata : “Apabila salah seorang
di antara kalian muntah, janganlah ia berbuka (membatalkannya –
Abul-Jauzaa’), karena ia hanyalah sesuatu yang keluar bukan yang masuk”
[At-Taariikh Al-Kabiir, 1/91-92].
Melihat tiga alasan pen-ta’lil-an
para ulama di atas, maka pendapat yang melemahkan hadits tersebut lebih kuat.
Kesimpulannya
: Hadits Abu Hurairah
radliyallaahu ‘anhu di atas tidak shahih.
Ada hadits
lain.
حَدَّثَنَا أَبُو مَعْمَرٍ عَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عَمْرٍو، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ، حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ،
عَنْ يَحْيَى، حَدَّثَنِي عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَمْرٍو الْأَوْزَاعِيُّ، عَنْ
يَعِيشَ بْنِ الْوَلِيدِ بْنِ هِشَامٍ، أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ، حَدَّثَنِي
مَعْدَانُ بْنُ طَلْحَةَ، أَنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَهُ أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ، فَلَقِيتُ ثَوْبَانَ
مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ دِمَشْقَ،
فَقُلْتُ: إِنَّ أَبَا الدَّرْدَاءِ. حدَّثَنِي أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاءَ فَأَفْطَرَ. قَالَ: صَدَقَ، وَأَنَا صَبَبْتُ لَهُ
وَضُوءَهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Telah
menceritakan kepada kami Abu Ma’mar ‘Abdullah bin ‘Amru : Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-Waarits : Telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari
Yahyaa : Telah menceritakan kepadaku ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru Al-Auzaa’iy, dari
Ya’iisy bin Al-Waliid bin Hisyaam, bahwasannya ayahnya telah menceritakannya :
Telah menceritakan kepadaku Ma’daan bin Thalhah, bahwasannya Abud-Dardaa’
pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah muntah lalu berbuka. Lalu aku (Ma’daan) bertemu dengan
Tsauban maulaa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam di
masjid Damaskus. Aku berkata : “Sesungguhnya Abud-Dardaa’ telah menceritakan
kepadaku bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam muntah kemudian
beliau berbuka”. Tsaubaan berkata : “Ia benar, dan aku yang menuangkan air
wudlu untuk beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [Diriwayatkan oleh
Abu Daawud no. 2381].
Diriwayatkan
juga oleh Ahmad 5/195 & 5/277 & 6/443, At-Tirmidziy no. 87, An-Nasaa’iy
dalam Al-Kubraa no. 3107, Ad-Daarimiy no. 1769, Ibnu Abi Syaibah 2/39
(6/183-184) no. 9292, Ibnu Khuzaimah no. 1956, Ibnu Hibbaan no. 1097, dan
Al-Haakim 1/426 ; semuanya dari jalan Yahyaa bin Abi Katsiir yang selanjutnya
seperti riwayat di atas.
Dishahihkan
oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/64.
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ إِسْحَاقَ،
قَالَ: أَنْبَأَنَا ابْنُ لَهِيعَةَ، عَنْ يَزِيدَ بْنِ أَبِي حَبِيبٍ، عَنْ أَبِي
مَرْزُوقٍ، عَنْ حَنَشٍ، عَنْ فَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصْبَحَ صَائِمًا، فَدَعَا بِشَرَابٍ، فَقَالَ لَهُ
بَعْضُ أَصْحَابِهِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلَمْ تُصْبِحْ صَائِمًا، قَالَ:
" بَلَى، وَلَكِنْ قِئْتُ "
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Ishaaq, ia berkata : Telah memberitakan
kepada kami Ibnu Lahii’ah, dari Yaziid bin Abi Habiib, dari Abu Marzuuq, dari
Hanasy, dari Fadlaalah bin ‘Ubaid : Bahwasannya pada suatu pagi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berpuasa, lalu beliau meminta air minum. Sebagian
shahabat beliau berkata : “Wahai Rasulullah, bukankah pagi ini engkau berpuasa
?”. Beliau menjawab : “Benar, akan tetapi tadi aku telah muntah” [Diriwayatkan
oleh Ahmad 6/19].
Diriwayatkan
juga oleh Ahmad 6/18 & 6/21 & 6/22, Ath-Thahawiy dalam Syarh
Ma’aanil-Aatsaar 2/96-97 no. 3406-3409, dan Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 4/220
(372) no. 8032; semuanya dari Yaziid bin Abi Habiib yang selanjutnya seperti
riwayat di atas.
Shahih.
Hadits di atas juga tidak
dipahami bahwa muntah menyebabkan batalnya puasa. Apalagi dijadikan dalil
muntah beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah disengaja, sehingga beliau berbuka.
Mustahil beliau melakukannya hanya sekedar menyengaja membatalkan puasa, karena
membatalkan puasa tanpa ‘udzur adalah berdosa.
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ الْبَاهِلِيُّ،
قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "
بَيْنَا أَنَا نَائِمٌ إِذْ أَتَانِي رَجُلانِ، فَأَخَذَا بِضَبْعَيَّ، فَأَتَيَا
بِي جَبَلا وَعْرًا، فَقَالا لِي: اصْعَدْ حَتَّى إِذَا كُنْتُ فِي سَوَاءِ
الْجَبَلِ، فَإِذَا أَنَا بِصَوْتٍ شَدِيدٍ، فَقُلْتُ: مَا هَذِهِ الأَصْوَاتُ؟
قَالَ: هَذَا عُوَاءُ أَهْلِ النَّارِ، ثُمَّ انْطَلَقَ بِي فَإِذَا بِقَوْمٍ
مُعَلَّقِينَ بِعَرَاقِيبِهِمْ مُشَقَّقَةٍ أَشْدَاقُهُمْ تَسِيلُ أَشْدَاقُهُمْ
دَمًا، فَقُلْتُ: مَنْ هَؤُلاءِ؟ فَقِيلَ: هَؤُلاءِ الَّذِينَ يُفْطِرُونَ قَبْلَ
تَحِلَّةِ صَوْمِهِمْ
Dari Abu Umamah Al-Bahili
radliyallaahu ‘anhu berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : Ketika tidur, aku didatangi oleh dua orang
laki-laki, lalu keduanya menarik lenganku dan membawaku ke gunung yang terjal
seraya berkata : “Naiklah”. Hingga sampailah aku di puncak gunung. Tiba-tiba
aku mendengar suara yang keras sekali. Maka aku tanyakan : ”Suara apakah itu?”.
Salah satu dari mereka menjawab : ”Itu adalah suara jeritan para penghuni
neraka”. Kemudian dibawalah aku berjalan-jalan dan ternyata aku sudah bersama
orang-orang yang bergantungan pada urat besar di atas tumit mereka. Mulut
mereka robek, dan dari robekan itu mengalir darah. Kemudian aku bertanya : ”Siapakah
mereka itu?”. Maka dikatakan : ”Mereka adalah orang-orang yang berbuka (dengan
sengaja) sebelum tiba waktunya” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa
no. 3274, Ibnu Hibbaan no. 7491, Ibnu Khuzaimah no. 1986, dan lain-lain. Lihat Ta’liqatul-Hisaan
‘alaa Shahih Ibni Hibban 10/456 no. 7448].
Beliau shallallaahu ‘alaihi
wa sallam berbuka karena badan beliau lemah untuk meneruskan puasa setelah
muntah.
Ath-Thahawiy
rahimahullah berkata:
وَلَيْسَ فِي هَذَيْنِ الْحَدِيثَيْنِ،
دَلِيلٌ عَلَى أَنَّ الْقَيْءَ كَانَ مُفْطِرًا لَهُ، إِنَّمَا فِيهِ أَنَّهُ
قَاءَ فَأَفْطَرَ بَعْدَ ذَلِكَ
“Dua
hadits ini (yaitu hadits Fadlaalah) bukanlah sebagai dalil yang menunjukkan
muntah menyebabkan beliau berbuka puasa (batal). Kandungan hadits tersebut
hanya menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam muntah,
lalu beliau berbuka setelah itu” [Syarh Ma’aanil-Aatsaar, 2/97].
At-Tirmidziy
rahimahullah berkata:
وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ،
وَثَوْبَانَ، وَفَضَالَةَ بْنِ عُبَيْدٍ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
" قَاءَ فَأَفْطَرَ " وَإِنَّمَا مَعْنَى هَذَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ صَائِمًا مُتَطَوِّعًا، فَقَاءَ فَضَعُفَ
فَأَفْطَرَ، لِذَلِكَ هَكَذَا رُوِيَ فِي بَعْضِ الْحَدِيثِ مُفَسَّرًا،
وَالْعَمَلُ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ عَلَى حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَنَّ الصَّائِمَ إِذَا ذَرَعَهُ
الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَإِذَا اسْتَقَاءَ عَمْدًا فَلْيَقْضِ "
وَبِهِ يَقُولُ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، وَالشَّافِعِيُّ، وَأَحْمَدُ، وَإِسْحَاق
“Dan
telah diriwayatkan dari Abud-Dardaa’, Tsaubaan, dan Fadlaalah bin ‘Ubaid
bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah lalu
berbuka. Makna hadits tersebut hanyalah bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah puasa sunnah, lalu muntah sehingga beliau merasa lemah
yang menyebabkan beliau berbuka karenanya. Begitulah yang diriwayatkan dari
sebagian hadits beserta tafsirnya. Para ulama mengamalkan hadits Abu Hurairah,
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Bahwasannya jika orang
yang berpuasa tidak sengaja muntah, maka tidak ada qadlaa’ baginya. Namun
apabila ia sengaja muntah, hendaknya ia mengqadlanya’. Pendapat inilah yang
dipegang oleh Sufyaan Ats-Tsauriy, Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq” [Al-Jaami’
Al-Kabiir, 2/92].
Dalam permasalahan ini, para ulama berbeda
tentang masalah muntah sebagai faktor pembatal puasa.
1.
Jumhur ulama berpendapat
dengan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu di awal artikel bahwa
muntah yang disengaja dapat membatalkan puasa, sedangkan jika tidak sengaja
maka tidak batal puasa. Bahkan sebagian ulama menukil adanya ijmaa’.
Ibnul-Mundzir rahimahullah
berkata:
وأجمعوا
على أنه لا شيء على الصائم إذا ذرعه القيء، وانفرد الحسن البصري، فقال: عليه،
ووافق في أُخرى.
“Para ulama
bersepakat bahwa tidak ada keraguan bagi orang yang berpuasa apabila ia muntah
tanpa sengaja, maka tidak ada kewajiban (qadlaa’) apapun baginya.
Al-Hasan Al-Bashriy menyendiri dalam hal ini dimana ia berkata : ‘Wajib baginya
qadlaa’’. Dan ia menyepakatinya dalam lain riwayat” [Al-Ijmaa’
hal. 59 no. 149].
Riwayat lain dari
Al-Hasan yang akan dibawakan di bawah.
Al-Khaththaabiy rahimahullah
berkata:
لا
أعلم خلافا بين أهل العلم في أن من ذرعه القيء فإنه لا قضاء عليه ولا في أن من
استقاء عامدا أن عليه القضاء ولكن اختلفوا في الكفارة
“Aku tidak
mengetahui adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa siapa saja yang
muntah tanpa sengaja, maka tidak ada qadlaa’ baginya; dan bagi orang
yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya untuk mengqadlaa’. Akan tetapi
mereka berbeda pendapat dalam kaffarah” [Ma’aalimus-Sunan, 2/539
– dicetak bersama Sunan Abi Daawud].
Klaim ijmaa’ ini
tidak benar.
Berikut beberapa
riwayat madzhab para ulama mutaqaddimiin yang memegang pendapat ini:
أَخْبَرَنَا
مَالِكُ بْنُ أَنَسٍ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ قَالَ: "
مَنْ ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتِقَاءَ عَامِدًا
فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ ".
Telah mengkhabarkan
kepada kami Maalik bin Anas, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata :
“Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak ada (kewajiban) qadlaa' baginya. Namun barangsiapa yang muntah dengan sengaja, maka wajib baginya qadlaa'" [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm, 2/111; shahih].
حَدَّثَنَا
أَزْهَرُ السَّمَّانُ، عَنِ ابْنِ عَوْنٍ، عَنِ الْحَسَنِ، وَابْنِ سِيرِينَ،
قَالَا: " إذَا ذَرَعَ الصَّائِمَ الْقَيْءُ لَمْ يُفْطِرْ، وَإِذَا
تَقَيَّأَ أَفْطَرَ "
Telah menceritakan
kepada kami Az-har As-Sammaan, dari Ibnu ‘Aun, dari Al-Hasan dan Ibnu Siiriin,
mereka berdua berkata : “Apabila orang yang berpuasa muntah tanpa sengaja, ia
tidak perlu berbuka (batal). Namun apabila muntah dengan sengaja, maka batal
telah berbuka (batal)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/38 (6/181) no. 9281;
sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا
غُنْدَرٌ، عَنْ شُعْبَةَ، عَنْ مُغِيرَةَ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، قَالَ: " إذَا
ذَرَعَهُ الْقَيْءُ فَلَا إعَادَةَ عَلَيْهِ وَإِنْ تَهَوَّعَ فَعَلَيْهِ
الْإِعَادَةُ "
Telah menceritakan
kepada kami Ghundar, dari Syu’bah, dari Mughiirah, dari Ibraahiim
(An-Nakha’iy), ia berkata : “Apabila seseorang muntah tanpa sengaja, maka ia
tidak perlu mengulangnya (mengqadlanya). Namun apabila muntah dengan sengaja,
maka ia wajib mengulangnya” [idem, (6/181-182) no. 9282; sanadnya
shahih].
حَدَّثَنَا
أَسْبَاطُ بْنُ مُحَمَّدٍ، عَنْ مُطَرِّفٍ، عَنْ عَامِرٍ، قَالَ: " إذَا
تَقَيَّأَ مُتَعَمِّدًا فَهُوَ أَفْطَرَ "
Telah menceritakan kepada
kami Asbaath bin Muhammad, dari Mutharrif, dari ‘Aamir, ia berkata : “Apabila
seseorang muntah dengan sengaja, maka ia telah berbuka (batal)” [idem,
2/39 (6/182) no. 9286; sanadnya shahih].
حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إبْرَاهِيمَ، عَنْ عَلْقَمَةَ، قَالَ:
" إذَا تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَإِنْ ذَرَعَهُ
الْقَيْءُ فَلَيْسَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ "
Telah menceritakan
kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari ‘Alqamah, ia
berkata : “Apabila seorang muntah dalam keadaan berpuasa, maka wajib baginya qadlaa’.
Namun apabila ia tidak sengaja muntah, tidak wajib baginya qadlaa’” [idem,
2/39 (6/182) no. 9288; sanadnya shahih].
عَنِ
ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قُلْتُ لِعَطَاءٍ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ نَاسِيًا أَوْ
جَاهِلا؟ قَالَ: لا يُبْدِلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ، وَيُتِمُّهُ "، قَالَ:
وَقَالَ عَطَاءٌ: " إِنِ اسْتَقَاءَ إِنْسَانٌ عَامِدًا فِي رَمَضَانَ فَقَدْ
أَفْطَرَ، وَإِنْ سَهَا فَلَمْ يُفْطِرْ "،
قَالَ
ابْنُ جُرَيْجٍ: وَقَالَ مِثْلَ ذَلِكَ عَمْرُو بْنُ دِينَارٍ
Dari Ibnu Juraij,
ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Athaa’ : Ada seseorang yang muntah
karena lupa atau tidak tahu. Ia (‘Athaa’) berkata : “Ia tidak perlu mengganti
puasanya hari itu, dan hendaknya ia menyempurnakannya”. ‘Athaa’ melanjutkan: “Apabila
seseorang muntah dengan sengaja di bulan Ramadlaan, sungguh puasanya telah
batal. Namun apabila ia lupa, maka tidak batal”.
Ibnu Juraij berkata
: “’Amru bin Diinaar mengatakan hal yang semisal itu” [Diriwayatkan oleh
‘Abdurrazzaaq no. 7547; shahih].
عَنْ
مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، وَعَنْ حَفْصٍ، عَنِ الْحَسَنِ، قَالا: مَنِ
اسْتَقَاءَ فَقَدْ أَفْطَرَ، وَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ
فَلَمْ يُفْطِرْ "
Dari Ma’mar, dari
Az-Zuhriy; dan dari Hafsh, dari Al-Hasan; mereka berdua berkata : “Barangsiapa
yang muntah dengah sengaja, sungguh ia telah berbuka (batal puasanya), wajib
baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa disengaja, maka tidak
batal puasanya” [idem, no. 7550; shahih].
عَنْ
مَعْمَرٍ، عَنِ ابْنِ طَاوُسٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: إِنْ قِئْتَ أَوِ اسْتَقَأْتَ
سَهْوًا لَمْ تُفْطِرْ "
Dari Ma’mar, daru
Ibnu Thaawuus, dari ayahnya (Thaawuus bin Kaisaan), ia berkata : “Apabila
seseorang muntah tanpa sengaja atau muntah dengan sengaja karena lupa, maka
tidak batal puasanya” [idem, no. 7552; shahih].
أَخْبَرَنَا
أَبُو بَكْرٍ أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ الْقَاضِي، وَغَيْرُهُ قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو
الْعَبَّاسِ مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ، أنبأ الرَّبِيعُ بْنُ سُلَيْمَانَ، أنبأ الشَّافِعِيُّ،
قال: " وَمَنْ تَقَيَّأَ وَهُوَ صَائِمٌ وَجَبَ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ، وَمَنْ ذَرَعَهُ
الْقَيْءُ فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ "
Telah mengkhabarkan
kepada kami Abu Bakr Ahmad bin Al-Hasan Al-Qaadliy dan yang lainnya, mereka berkata
: Telah menceritakan kepada kami Abul-‘Abbaas Muhammad bin Ya’quub : Telah
memberitakan Ar-Rabii’ bin Sulaimaan : Telah memberitakan Asy-Syaafi’iy, ia
berkata : “Barangsiapa muntah dengan sengaja dalam keadaan berpuasa, wajib
baginya qadlaa’. Dan barangsiapa yang muntah tanpa sengaja, maka tidak
ada kewajiban qadlaa’ baginya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 4/219 (370) no.
8025; shahih].
Abu Daawud rahimahullah
berkata:
سَمِعْتُ
أَحْمَدَ، سُئِلَ عَمَّنْ قَاءَ فِي رَمَضَانَ؟ قَالَ: إِنْ كَانَ مُتَعَمِّدًا
قَضَى، وَإِنْ ذَرَعَهُ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ قَضَاءٌ ".
“Aku mendengar
Ahmad ditanya tentang orang yang muntah di bulan Ramadlaan. Ia menjawab :
‘Apabila ia sengaja muntah, ia wajib mengqadlanya. Namun apabila tidak sengaja,
maka tidak ada qadla’ baginya” [Masaailu Abi Daawud, hal. 130 no.
623].
2.
Sebagian ulama
berpendapat muntah tidak membatalkan puasa secara mutlak.
At-Tirmidziy rahimahullah berkata:
وَقَدْ
رَوَى يَحْيَى بْنُ أَبِي كَثِيرٍ، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ: أَنَّ أَبَا
هُرَيْرَةَ كَانَ لا يَرَى الْقَيْءَ يُفْطِرُ الصَّائِمَ
“Dan telah
diriwayatkan oleh Yahyaa bin Abi Katsiir, dari ‘Umar bin Al-Hakam, bahwasannya
Abu Hurairah tidak berpendapat muntah membatalkan puasa seseorang” [Al-‘Ilal
Al-Kabiir, no. 198].
وَقَالَ
لِي يَحْيَى بْنُ صَالِحٍ: حَدَّثَنَا مُعَاوِيَةُ بْنُ سَلَّامٍ، حَدَّثَنَا
يَحْيَى، عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ بْنِ ثَوْبَانَ، سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ: " إِذَا قَاءَ فَلَا يُفْطِرُ إِنَّمَا يُخْرِجُ
وَلَا يُولِجُ
Dan telah berkata kepadaku
Yahyaa bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Mu’aawiyyah bin Sallaam :
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa, dari ‘Umar bin Al-Hakam bin Tsaubaan, ia
mendengar Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu berkata : ‘Apabila seseorang
muntah, janganlah ia berbuka. Karena yang menyebabkan berbuka (batal puasanya)
hanyalah sesuatu yang dimasukkan, bukan yang dikeluarkan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Shahih-nya
setelah hadits 1937].
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، ثنا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ، عَنْ عِكْرِمَةَ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ،
أَنَّهُ قَالَ: " الإِفْطَارُ مِمَّا دَخَلَ وَلَيْسَ مِمَّا خَرَجَ، وَالْوُضُوءُ
مِمَّا خَرَجَ، وَلَيْسَ مِمَّا دَخَلَ "
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Teklah menceritakan
kepada kami Yaziid bin Zurai’, dari ‘Ikrimah, dari Ibnu ‘Abbaas, bahwasannya ia
berkata : “Berbuka itu karena sesuatu yang masuk, bukan karena sesuatu yang
keluar. Adapun wudlu itu (batal) karena sesuatu yang keluar, bukan karena
sesuatu yang masuk” [Diriwayatkan oleh Ibnul-Mudzir dalam Al-Ausath 1/185
no. 81; sanadnya lemah karena keterputusan antara Yaziid dengan ‘Ikrimah. Akan
tetapi ia mempunyai penguat dari jalan yang lain sehingga derajatnya hasan
lighairihi, wallaahu a’lam].
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدَةَ، عَنْ يَعْقُوبَ بْنِ قَيْسٍ، قَالَ: سَأَلْتُ سَعِيدَ بْنَ
جُبَيْرٍ عَنِ الرَّجُلِ يَسْبِقُهُ الْقَيْءُ وَهُوَ صَائِمٌ أَيَقْضِي ذَلِكَ الْيَوْمَ،
قَالَ: لَا "
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin ‘Ubaidah[4],
dari Ya’quub bin Qais[5],
ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Sa’iid bin Jubair tentang seorang
laki-laki yang mengalami muntah dalam keadaan berpuasa. Apakah ia mesti
menqadla (puasa) hari itu?. Ia menjawab : “Tidak” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah 2/39 (6/182) no. 9285; shahih].
Pendapat inilah
yang nampak dipegang Al-Bukhaariy. Khususnya saat ia menta’lil hadits marfuu’
Abu Hurairah dan kemudian membawakan riwayat mauquuf darinya.
Tarjih
Yang
raajih – wallaahu a’lam – adalah pendapat yang menyatakan muntah
tidak membatalkan puasa secara mutlak, karena ketiadaan dalil shahih dan sharih
yang menjadi dasar.
Semoga
artikel ini ada manfaatnya.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– 6 Ramadlaan 1435 H].
[1] ‘Iisaa dalam
periwayatan dari Hisyaam diselisihi oleh banyak perawi yang membawakan dengan
matan yang berbeda.
Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Shahiih-nya
no. 1933 dan dalam Al-Kabiir 1/91, Muslim no. 1155, Abu Daawud no. 2398,
Ad-Daarimiy no. 1767, Ahmad 2/425 & 2/491 & 2/513, Abu Ya’laa no. 6058, Ibnu
Khuzaimah no. 1989, Ibnu Hibbaan no. 3520 & 3522, Abu ‘Awaanah no. 2835
& 2836, Abu Nu’aim dalam Al-Mustakhraj no. 2620, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa
4/229 (386) no. 8071, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah no. 1754,
Ibnu Hazm dalam Al-Muhallaa 4/356, dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam At-Tamhiid
7/179-180; dari banyak jalan [Yaziid bin Zurai’, Ibnu ‘Ulayyah, Hammaad bin
Salamah, Jariir bin ‘Abdil-Hamiid, Yaziid bin Haaruun, Muhammad bin Ja’far
(Ghundar), Rauh bin ‘Ubaadah, ‘Abdul-A’laa bin ‘Abdil-A’laa, ‘Abdullah bin
Al-Mubaarak, dan ‘Abdullah bin Bakr As-Sahmiy] semuanya dari Hisyaam bin
Hassaan, dari Ibnu Siiriin, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:
إِذَا نَسِيَ فَأَكَلَ وَشَرِبَ، فَلْيُتِمَّ صَوْمَهُ،
فَإِنَّمَا أَطْعَمَهُ اللَّهُ وَسَقَاهُ
“Apabila seseorang makan dan minum dalam keadaan
lupa, hendaklah ia tetap menyempurnakan puasanya karena Allah telah memberinya
makan dan minum”.
Bahkan ‘Iisaa bin Yuunus dalam An-Nasaa’iy dalam Al-Kubraa
3/357 no. 3263 dan Ibnu Hibbaan (no. 3519) meriwayatkan dari jalan dari
Hisyaam dengan matan seperti yang dibawakan jama’ah di atas.
Sanadnya shahih.
‘Illat riwayat ini akan ditegaskan dalam pembahasan setelahnya (point 2).
حَدَّثَنَا
أَبُو مَعْمَرٍ إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا حَفْصُ بْنُ غِيَاثٍ،
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ، عَنْ جَدِّهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ ذَرَعَهُ
الْقَيْءُ، فَلا قَضَاءَ عَلَيْهِ، وَمَنِ اسْتَقَاءَ فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ
"
[3] Al-Khaththaabiy
rahimahullah saat mengomentari perkataan Ahmad : ‘Ini tidak ada
apa-apanya’, ia berkata:
يريد
أن الحديث غير محفوظ
“Yang ia kehendaki
bahwa hadits tersebut tidak mahfuudh” [Ma’aalimus-Sunan, 2/539 –
dicetak bersama Sunan Abi Daawud].
[4] Begitulah yang tertulis dalam Mushannaf
Ibni Abi Syaibah. Yang benar adalah : Muhammad bin Abi ‘Ubaidah, guru dari
Ibnu Abi Syaibah.
Nama
lengkapnya adalah : Muhammad bin Abi ‘Ubaidah ‘Abdil-Malik bin Ma’n bin ‘Abdirrahmaan
nom ‘Abdillah bin Mas’uud Al-Mas’uudiy Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk
thabaqah ke-10 dan wafat tahun 205 H. Dipakai oleh Muslim, Abu Daawud,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 876 no. 6165].
[5] Ya’quub bin Qais Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah.
Ahmad berkata : “Tsiqah”. Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat
[Al-Jarh wat-Ta’diil 9/213 no. 890 dan Ats-Tsiqaat 7/643].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar