Telah
berlalu dalam blog ini artikel berjudul Satu
Cabang ‘Aqidah Syi’ah tentang Allah ta’ala, yang membahas ‘aqidah badaa’.
Yaitu adanya perubahan kebijakan Allah dimana semula Ia menentukan imamah
untuk anak laki-laki pertama, namun kemudian Ia ubah setelah adanya kejadian
baru dimana calon imam meninggal dunia sebelum ia menjabat. Kejadian baru ini
sebelumnya tidak
diketahui Allah.
Allah baru mengetahui setelah kejadian itu terjadi.
فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو
هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه
أبي جعفر - وقد كان أشار إليه ودل عليه - فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي
إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه
السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون
“Dan
telah diriwayatkan oleh Sa’d bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku Abu Haasyim Daawud bin Al-Qaasim Al-Ja’fariy, ia berkata
: “Aku pernah di sisi Abul-Hasan ‘alaihis-salaam waktu wafatnya anaknya,
yaitu Abu Ja’far – padahal ia telah berisyarat kepadanya dan menunjuknya
(sebagai imam pengganti) - . Maka aku pun berpikir pada diriku sendiri. Aku
berkata : ‘Perkara ini serupa dengan perkara Abu Ibraahiim dan perkara Ismaa’iil’.
Lalu Abul-Hasan ‘alaihis-salaam mendatangiku dan berkata : “Benar wahai Abu
Haasyim. Allah ta’ala memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far
dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat
baru tentang Ismaa’iil dan mengangkat Abu ‘Abdullah ‘alaihis-salaam.
Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun
orang-orang sesat membencinya...” [Al-Ghaibah, hal. 200].
Shahih.
Badaa’
secara
bahasa artinya kejelasan sesuatu setelah sebelumnya tersembunyi. Atau makna
lain : adanya pendapat baru [Ash-Shihhaah, 6/2278 dan Lisaanul-‘Arab
14/66].
Sebagian
orang Syi’ah mengidentikkan badaa’ dengan nasakh. Ini keliru.
Pertama; orang Syi’ah sendiri membedakan antara keduanya. Kedua; seandainya
sama, niscaya pembicaraan badaa’ tidak akan disebutkan secara khusus dalam
kitab-kitab induk Syi’ah. Allah ta’ala menggunakan istilah nasakh bagi
diri-Nya, namun tidak pernah menggunakan badaa’ untuk diri-Nya. Badaa’
hanya Allah gunakan untuk makhluk-Nya.
Allah
ta’ala berfirman:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ
مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Ayat
mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami
datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah
kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?”
[QS. Al-Baqarah : 106].
Ini
tentang nasakh.
Adapun
badaa’, Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الآيَاتِ
لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ
“Kemudian
timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka
harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu” [QS. Yuusuf : 35].
وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ
مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan
(jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan
mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya”
[QS. Az-Zumar : 48].
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا
يَحْتَسِبُونَ * وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ
مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
“Dan
jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan
(jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka
diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya”
[Az-Zumar : 47-48].
Mengapa
Allah ta’ala tidak menggunakan istilah badaa’ pada diri-Nya ?.
Karena badaa mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan (jahl) sebelumnya
dan kemudian setelah itu muncul pengetahuan yang baru. Ini mustahil bagi Allah ta’ala.[1]
Kembali
ke riwayat di awal artikel. Pantaskah Allah ta’ala mempunyai pendapat
baru dengan menetapkan Abu ‘Abdillah sebagai imam setelah kejadian meninggalnya
Ismaa’iil?. Maka dari sini, muncullah kelompok Ismaa’iiliyyah yang tetap
menganggap Ismaa’iil lah sebagai imam dan tidak menerima klaim sepihak dari
kelompok imamiyyah dengan memindahkannya ke Muusaa bin Ja’far. Ismaa’iiliyyah
mempercayai bahwa Ismaa’iil bin Ja’far adalah imam yang terakhir. Perpecahan
itu tetap eksis sampai sekarang.
Peristiwa
pendapat baru Allah ta’ala dalam kasus penetapan Muusaa bin Ja’far tidak
bisa disebut sebagai nasakh, karena nasakh itu hanya berkaitan
dengan hukum syari’at, sedangkan badaa’ itu – menurut Syi’ah – berlaku pada
taqdir. Jadi, ada hal yang baru yang
sebelumnya tidak diketahui yang kemudian membuat Allah menetapkan taqdir baru. Selain
itu, redaksi riwayat Ath-Thuusiy di atas menggunakan kata badaa’, bukan nasakh.
Nasakh
artinya
menghapus, merubah, atau membatalkan dengan menggantinya yang lain. Naskh tidak
mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan sebelumnya. Dua kata ini berbeda
maknanya dalam bahasa Arab.
Semoga
pengetahuan ini ada manfaatnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’
– 01052014 – 22:00].
[1] Sebagian orang Syi’ah mengatakan bahwa
Allah ta’ala menggunakan istilah badaa’ untuk diri-Nya,
diantaranya melalui firman Allah ta’ala :
وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
“Dan
Yang memulai penciptaan manusia dari tanah” [QS. As-Sajdah : 7].
إِنَّهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ
“Sesungguhnya
Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya
(menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit)” [QS. Yuunus : 4].
Sungguh
salah alamat mereka jika mereka memahami bahasa ‘Arab, karena ayat di atas
berbicara tentang al-bada’ (البَدء), bukan badaa’ (البداء).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar