01 Mei 2014

Al-Badaa’

Telah berlalu dalam blog ini artikel berjudul Satu Cabang ‘Aqidah Syi’ah tentang Allah ta’ala, yang membahas ‘aqidah badaa’. Yaitu adanya perubahan kebijakan Allah dimana semula Ia menentukan imamah untuk anak laki-laki pertama, namun kemudian Ia ubah setelah adanya kejadian baru dimana calon imam meninggal dunia sebelum ia menjabat. Kejadian baru ini sebelumnya tidak diketahui Allah. Allah baru mengetahui setelah kejadian itu terjadi.
Berikut ada hadits lain yang menjelaskan hal serupa. Ath-Thuusiy – ulama Syi’ah - berkata:
 فقد رواه سعد بن عبد الله الأشعري قال: حدثني أبو هاشم داود بن القاسم الجعفري قال: كنت عند أبي الحسن عليه السلام وقت وفاة ابنه أبي جعفر - وقد كان أشار إليه ودل عليه - فإني لافكر في نفسي وأقول: هذه قضية أبي إبراهيم وقضية إسماعيل، فأقبل علي أبو الحسن عليه السلام فقال: نعم يا أبا هاشم بدا لله تعالى في أبي جعفر وصير مكانه أبا محمد، كما بدا لله في إسماعيل بعدما دل عليه أبو عبد الله عليه السلام ونصبه، وهو كما حدثت به نفسك وإن كره المبطلون
“Dan telah diriwayatkan oleh Sa’d bin ‘Abdillah Al-Asy’ariy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu Haasyim Daawud bin Al-Qaasim Al-Ja’fariy, ia berkata : “Aku pernah di sisi Abul-Hasan ‘alaihis-salaam waktu wafatnya anaknya, yaitu Abu Ja’far – padahal ia telah berisyarat kepadanya dan menunjuknya (sebagai imam pengganti) - . Maka aku pun berpikir pada diriku sendiri. Aku berkata : ‘Perkara ini serupa dengan perkara Abu Ibraahiim dan perkara Ismaa’iil’. Lalu Abul-Hasan ‘alaihis-salaam mendatangiku dan berkata : “Benar wahai Abu Haasyim. Allah ta’ala memiliki pendapat baru tentang Abu Ja’far dan mengganti kedudukannya dengan Abu Muhammad sebagaimana Allah menetapkan pendapat baru tentang Ismaa’iil dan mengangkat Abu ‘Abdullah ‘alaihis-salaam. Hal itu sebagamana yang engkau katakan pada dirimu sendiri tadi, walaupun orang-orang sesat membencinya...” [Al-Ghaibah, hal. 200].
Shahih.
Badaa’ secara bahasa artinya kejelasan sesuatu setelah sebelumnya tersembunyi. Atau makna lain : adanya pendapat baru [Ash-Shihhaah, 6/2278 dan Lisaanul-‘Arab 14/66].
Sebagian orang Syi’ah mengidentikkan badaa’ dengan nasakh. Ini keliru. Pertama; orang Syi’ah sendiri membedakan antara keduanya. Kedua; seandainya sama, niscaya pembicaraan badaa’ tidak akan disebutkan secara khusus dalam kitab-kitab induk Syi’ah. Allah ta’ala menggunakan istilah nasakh bagi diri-Nya, namun tidak pernah menggunakan badaa’ untuk diri-Nya. Badaa’ hanya Allah gunakan untuk makhluk-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
مَا نَنْسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنْسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مِنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” [QS. Al-Baqarah : 106].
Ini tentang nasakh.
Adapun badaa’, Allah ta’ala berfirman:
ثُمَّ بَدَا لَهُمْ مِنْ بَعْدِ مَا رَأَوُا الآيَاتِ لَيَسْجُنُنَّهُ حَتَّى حِينٍ
Kemudian timbul pikiran pada mereka setelah melihat tanda-tanda (kebenaran Yusuf) bahwa mereka harus memenjarakannya sampai sesuatu waktu” [QS. Yuusuf : 35].
وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya” [QS. Az-Zumar : 48].
وَبَدَا لَهُمْ مِنَ اللَّهِ مَا لَمْ يَكُونُوا يَحْتَسِبُونَ * وَبَدَا لَهُمْ سَيِّئَاتُ مَا كَسَبُوا وَحَاقَ بِهِمْ مَا كَانُوا بِهِ يَسْتَهْزِئُونَ
Dan jelaslah bagi mereka azab dari Allah yang belum pernah mereka perkirakan. Dan (jelaslah) bagi mereka akibat buruk dari apa yang telah mereka perbuat dan mereka diliputi oleh pembalasan yang mereka dahulu selalu memperolok-olokkannya” [Az-Zumar : 47-48].
Mengapa Allah ta’ala tidak menggunakan istilah badaa’ pada diri-Nya ?. Karena badaa mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan (jahl) sebelumnya dan kemudian setelah itu muncul pengetahuan yang baru. Ini mustahil bagi Allah ta’ala.[1]
Kembali ke riwayat di awal artikel. Pantaskah Allah ta’ala mempunyai pendapat baru dengan menetapkan Abu ‘Abdillah sebagai imam setelah kejadian meninggalnya Ismaa’iil?. Maka dari sini, muncullah kelompok Ismaa’iiliyyah yang tetap menganggap Ismaa’iil lah sebagai imam dan tidak menerima klaim sepihak dari kelompok imamiyyah dengan memindahkannya ke Muusaa bin Ja’far. Ismaa’iiliyyah mempercayai bahwa Ismaa’iil bin Ja’far adalah imam yang terakhir. Perpecahan itu tetap eksis sampai sekarang.
Peristiwa pendapat baru Allah ta’ala dalam kasus penetapan Muusaa bin Ja’far tidak bisa disebut sebagai nasakh, karena nasakh itu hanya berkaitan dengan hukum syari’at, sedangkan badaa’ itu – menurut Syi’ah – berlaku pada taqdir.  Jadi, ada hal yang baru yang sebelumnya tidak diketahui yang kemudian membuat Allah menetapkan taqdir baru. Selain itu, redaksi riwayat Ath-Thuusiy di atas menggunakan kata badaa’, bukan nasakh.
Nasakh artinya menghapus, merubah, atau membatalkan dengan menggantinya yang lain. Naskh tidak mengkonsekuensikan adanya ketidaktahuan sebelumnya. Dua kata ini berbeda maknanya dalam bahasa Arab.
Semoga pengetahuan ini ada manfaatnya.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ – 01052014 – 22:00].




[1]      Sebagian orang Syi’ah mengatakan bahwa Allah ta’ala menggunakan istilah badaa’ untuk diri-Nya, diantaranya melalui firman Allah ta’ala :
وَبَدَأَ خَلْقَ الإنْسَانِ مِنْ طِينٍ
Dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah” [QS. As-Sajdah : 7].
إِنَّهُ يَبْدَأُ الْخَلْقَ ثُمَّ يُعِيدُهُ
Sesungguhnya Allah menciptakan makhluk pada permulaannya kemudian mengulanginya (menghidupkannya) kembali (sesudah berbangkit)” [QS. Yuunus : 4].
Sungguh salah alamat mereka jika mereka memahami bahasa ‘Arab, karena ayat di atas berbicara tentang al-bada’ (البَدء), bukan badaa’ (البداء).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar