11 Mei 2014

Menjamak Shalat Tanpa ‘Udzur

Poros pembahasan dalil dalam artikel ini adalah atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنْ أَبِي الزُّبَيْرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ "، قَالَ أَبُو الزُّبَيْرِ: فَسَأَلْتُ سَعِيدًا: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ، كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
Dari Abuz-Zubair, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar bukan karena ketakutan maupun safar. Abuz-Zubair berkata : “Lalu aku bertanya kepada Sa’iid : ‘Mengapa beliau melakukannya ?’. Ia (Sa’iid) berkata : ‘Aku pernah bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku, lalu ia menjawab : ‘Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin agar tidak menyusahkan seorang pun di kalangan umatnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 705 (50)].
Dalam riwayat lain dibawakan dengan lafadh:
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar, serta shalat Maghrib dan ‘Isyaa’ di Madiinah bukan karena ketakutan maupun hujan” [idem no. 705 (54)].
Sebagian ulama mengatakan lafadh ‘(bukan karena) hujan’ merupakan tafarrud dari Habiib bin Abi Tsaabit. Al-Bazzaar rahimahullah berkata:
وَهَذَا الْحَدِيثُ زَادَ فِيهِ حَبِيبٌ: مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلا مَطَرٍ. وَغَيْرُهُ لا يَذْكُرُ الْمَطَرَ
“Hadits ini, ditambahkan padanya oleh Habiib : ‘bukan karena sebab ketakutan maupun hujan’. Selain dirinya tidak menyebutkan ‘hujan’” [Al-Bahruz-Zakhaar 11/223].
Pernyataan tafarrud Habiib ini juga dinyatakan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah dalam Fathul-Baariy (4/39).
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ مَجْمُوعًا بِالثَّلَاثَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ بَلْ الْمَشْهُورُ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Ketahuilah bahwasannya ketiganya (ketakutan, safar, dan hujan) tidak pernah dikumpulkan semuanya dalam kitab-kitab hadits. Namun yang masyhur adalah lafadh : ‘bukan karena ketakutan maupun hujan’” [Tuhfatul-Ahwadziy, 1/215].
Habiib bin Abi Tsaabit adalah seorang tsiqah, namun mudallis.[1] Ia meriwayatkan dari Sa’iid bin Jubair dengan lafadh tersebut secara ‘an’anah. Akan tetapi riwayatnya tersebut dikuatkan oleh Shaalih bin Nabhaan sebagaimana diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq[2] dalam Al-Mushannaf no. 4434.
Hadits ini tidak boleh dipahami dengan membolehkan menjamak shalat tanpa sebab atau ‘udzur syar’iy secara mutlak[3], karena:
1.     Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Menjalankan shalat pada waktunya asal hukumnya adalah wajib, dan suatu kewajiban hanya boleh digugurkan dengan adanya ‘udzur syar’iy. Seandainya diperbolehkan menjamak shalat tanpa adanya ‘udzur syar’iy secara mutlak, niscaya ayat di atas tidak ada faedahnya.
Tidak ada seorang ulama pun yang mengatakan mengerjakan shalat pada waktunya hanya sekedar dihukumi sunnah.
2.     Jika hadits di atas itu dipahami sebagai kebolehan menjamak shalat tanpa ‘udzur secara mutlak dengan sebab agar tidak menyusahkan umat Islam; maka hal tersebut akan mengkonsekuensikan pemahaman bahwa asal mengerjakan shalat pada waktunya menyebabkan kesusahan dan rasa berat.
Ini adalah baathil tanpa keraguan, karena bertentangan dengan kenyataan yang ada pada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan generasi setelah mereka. Riwayat-riwayat yang ada justru menunjukkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat sangat bersemangat menjaga shalat pada waktunya, karena ia adalah salah satu amalan yang paling utama.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُود رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: " سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟ قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling dicintai oleh Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat pada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 527 & 5970 & 7534 dan dalam Al-Adabul-Mufrad hal. 3 no. 1, Muslim no. 85 (139), dan lainnnya].
Bahkan ketika panas menyengat di siang hari, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menunda pelaksanaannya hingga cuaca agak dingin tanpa keluar dari waktunya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " أَبْرِدُوا بِالظُّهْرِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ "
Dari Abu Sa’iid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tundalah pelaksanaan shalat Dhuhur hingga cuaca dingin, karena panas yang sangat terik adalah panas dari neraka Jahannam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 538].
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَأَرَادَ الْمُؤَذِّنُ أَنْ يُؤَذِّنَ لِلظُّهْرِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْرِدْ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ يُؤَذِّنَ، فَقَالَ لَهُ: أَبْرِدْ حَتَّى رَأَيْنَا فَيْءَ التُّلُولِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَإِذَا اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ
Dari Abu Dzarr Al-Ghifaariy, ia berkata : Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam satu perjalanan. Muadzdzin ketika itu ingin mengumandangkan adzan untuk shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin ingin mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda : “Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya panas yang amat sangat (di waktu siang) berasal dari uap neraka Jahannam. Apabila siang terasa teramat panas, maka tundalah shalat hingga dingin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 539].
3.     Mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya tanpa ‘udzur adalah dosa lagi tercela.
Allah ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya” [QS. Al-Maa’uun: 4–5].
Salah satu makna orang yang melalaikan shalatnya adalah suka mengakhirkan shalat hingga hampir habis waktunya (tanpa ‘udzur).
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: ثنا سَكَنُ بْنُ نَافِعٍ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ: ثنا شُعْبَةُ، عَنْ خَلَفِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ سَاهُونَ. أَهِيَ تَرْكُهَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ تَأْخِيرُهَا عَنْ وَقْتِهَا
Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sakan bin Naafi’ Al-Baahiliy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Thalhah bin Musharrif, dari Mush’ab bin Sa’d, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (Sa’d bin Abi Waqqaash) : “Apa pendapatmu tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya’ (QS. Al-Maa’uun : 5). Apakah maknanya meninggalkannya (shalat) ?”. Sa’d menjawab : “Tidak, akan tetapi maknanya adalah mengakhirkannya dari waktunya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 24/630; shahih].
Jika yang demikian saja sangat dicela dalam Islam, lantas bagaimana halnya dengan orang yang sengaja mengerjakan shalat hingga keluar dari waktunya tanpa ‘udzur ?.
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَهُوَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي ابْنَ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ أَنْ تُؤَخِّرَ صَلَاةً حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ أُخْرَى "
Telah menceritakan kepada kami Al-‘Abbaas Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Al-Mughiirah, dari Tsaabit, dari ‘Abdullah bin Rabbaah, dari Abu Qataadah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada kelalaian dalam tidur, karena kelalaian itu hanyalah terjadi ketika terjaga, yaitu mengakhirkan shalat hingga masuk waktu berikutnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 441; shahih].
Di sini, mengakhirkan shalat tanpa ‘udzur disebut sebagai satu kelalaian (yang dicela).
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ: " كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ "
Dari Abu Dzarr, ia berkata : Telah bersabda kepadaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?”. Abu Dzarr berkata : “Aku berkata : ‘Lantas apa yang engkau perintahkan kepadaku?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Lakukanlah shalat tepat pada waktunya, jika kamu mendapati bersama mereka, maka lakukanlah lagi, sebab hal itu dihitung pahala shalat sunnah bagimu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 648].
Jika mengerjakan shalat di luar waktunya diperbolehkan tanpa ‘udzur syar’iy, tentu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengingatkan para penguasa yang jelek pada Abu Dzarr yang suka mengakhirkan shalat hingga keluar dari waktunya.
Menjamak shalat tanpa ‘udzur termasuk di antara dosa besar menurut ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat berikut:
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ الْحُسَيْنِ الْعَلَوِيُّ، أنبأ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ الرَّمْجَارِيُّ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرٍ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، عَنْ يَحْيَى بْنِ صُبَيْحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ هِلالٍ، عَنْ أَبِي قَتَادَةَ يَعْنِي الْعَدَوِيَّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ لَهُ " ثَلاثٌ مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِلا فِي عُذْرٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَالنَّهْبِيُ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Al-Husain Al-‘Alawiy : Telah memberitakan ‘Abdullah bin Muhammad bin Al-Hasan Ar-Ramjaariy : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sa’iid, dari Yahyaa bin Shubaih, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Humaid bin Hilaal, dari Abu Qataadah Al-‘Adawiy : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat untuk pegawainya : “Tiga hal termasuk dosa besar : menjamak shalat tanpa ‘udzur, melarikan diri dari medan perang, dan khianat dalam rampasan perang” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 3/169; shahih].
4.     Teks riwayat itu justru menunjukkan pada kita diperbolehkannya menjamak shalat jika ada sesuatu yang menyebabkan kesusahan (seandainya dikerjakan sesuai waktunya) – selain dari faktor ketakutan, safar, dan hujan yang disebutkan dalam atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa.
Ketakutan, safar, dan hujan merupakan ‘udzur syar’iy yang membolehkan seseorang melakukan jamak. Peniadaan ketiga ‘udzur hal tersebut tidak mengkonsekuensikan peniadaan keberadaan ‘udzur yang lain, seperti sakit, cuaca dingin yang ekstrim, angin kencang (angin ribut), dan yang semisalnya.
Sakit merupakan salah satu ‘udzur syar’iy yang menjadi ‘illat adanya pengguguran sebagian kewajiban dalam syari’at, seperti misal puasa – sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Jika kewajiban puasa di bulan Ramadlan dapat digugurkan karena sakit dengan menggantinya di waktu yang lain, maka begitu juga dengan shalat yang dapat dijamak di luar waktunya.
Begitu juga dengan cuaca dingin yang ekstrim dan angin kencang (angin ribut):
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ ذَاتِ بَرْدٍ، وَرِيحٍ، وَمَطَرٍ، فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ، أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ، إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ، أَوْ ذَاتِ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ، أَنْ يَقُولَ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia pernah mengumandangkan adzan pada waktu malam yang dingin, berangin kencang, dan hujan; maka ia mengucapkan di akhir adzannya : ‘alaa sholluu fii rihaalikum, alaa sholluu fir-rihaal (hendaknya kalian shalat di rumah-rumah kalian 2x)’. Kemudian ia melanjutkan : “Apabila malam begitu dingin atau turun hujan ketika safar, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan muadzdzin untuk mengucapkan : ‘alaa shollu fii rihaalikum” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 697 (23)].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَمَلْنَاهُ عَلَى حَالَةِ الْمَرَضِ ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَنَاوَلَ مَنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ ، كَالْمُرْضِعِ ، وَالشَّيْخِ الضَّعِيفِ ، وَأَشْبَاهِهِمَا مِمَّنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ فِي تَرْكِ الْجَمْعِ
Dan hadits Ibnu ‘Abbaas kami bawa maknanya pada keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit. Dan diperbolehkan pula bagi orang yang mengalami kesulitan seperti wanita yang menyusui, orang tua yang lemah, lainnya yang akan mengalami kesulitan jika ia meninggalkan jamak” [Al-Mughniy, 1/121].
5.     Sebagian ulama ada yang membawa pengertian jamak yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam atsar Ibnu ‘Abbaas di atas adalah jamak shuriy[4].
وحَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنِ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا، وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ، وَالْعَصْرَ، وَالْمَغْرِبَ، وَالْعِشَاءَ "
Dan telah menceritakan kepada kami Abur-Rabii’ Az-Zahraaniy : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di Madiinah tujuh raka’at[5] dan delapan raka’at[6] (sekaligus). Yaitu shalat Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isyaa” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 705 (56].
Kemudian penafsirannya ada pada riwayat berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا، قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا، قُلْتُ: يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ، قَالَ: وَأَنَا أَظُنُّهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, ia berkata : Aku mendengar Abu Sya’tsaa’ Jaabir berkata : Aku mendengar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam delapan raka’at dengan dijamak dan tujuh raka’at dengan dijamak”. Aku (‘Amru) berkata : “Wahai Abu Sya’tsaa’, aku mengiranya beliau mengakhirkan shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta menyegerakan shalat ‘Isyaa’ dan mengakhirkan shalat Maghrib”. Ia (Abu Sya’tsaa’) berkata : “Dan akupun mengiranya demikian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1174].[7]
Hadits lain:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَارَةُ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةً بِغَيْرِ مِيقَاتِهَا إِلَّا صَلَاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَصَلَّى الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyaats : Telah menceritakan kepada kami ayahku : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umaarah, dari ‘Abdurrahmaan, dari ‘Abdullah (bin Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku tidak pernah melihat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di luar waktunya, kecuali dua shalat. Beliau menjamak shalat Maghrib dan shalat ‘Isyaa’, serta beliau pernah shalat Shubuh sebelum waktunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1682].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu menafikkan semua bentuk shalat jamak yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kecuali menjamak shalat Maghrib dan shalat ‘Isyaa’ di Muzdalifah.
Maka di sini dapat disimpulkan bahwa jamak tidak boleh dilakukan kecuali jika ada ‘udzur syar’iy.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 12071435/11052014 – 21:05].




[1]      Habiib bin Abi Tsaabit Qais bin Diinaar, Abu Yahyaa Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi jaliil, namun banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat tahun 119 [Taqriibut-Tahdziib, hal. 218 no. 1092].
[2]      Riwayatnya adalah:
عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ صَالِحٍ مَوْلَى التَّوْأَمَةِ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: " جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ، وَالْعَصْرِ، وَالْمَغْرِبِ، وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا مَطَرٍ "، قَالَ: قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ: لِمَ تَرَاهُ فَعَلَ ذَلِكَ؟، قَالَ: " أَرَاهُ لِلتَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ "
Diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir dari jalan Daawud bin Qais.
[3]      Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan adanya sebagian ulama yang berpegang pada dhahir hadits :
فَجَوَّزُوا الْجَمْعَ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مُطْلَقًا لَكِنْ بِشَرْطِ أَنْ لَا يُتَّخَذَ ذَلِكَ عَادَةً ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ اِبْنُ سِيرِينَ وَرَبِيعَةُ وَأَشْهَبُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَالْقَفَّالُ الْكَبِيرُ وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ
“Sebagian ulama membolehkan menjamak shalat pada waktu hadir karena hajat secara mutlak namun dengan syarat tidak menjadikannya kebiasaan. Diantara ulama yang berpendapat dengannya adalah Ibnu Siiriin, Rabii’ah, Asyhab, Ibnul-Mundzir, dan Al-Qaffaal Al-Kabiir. Al-Khaththaabiy menghikayatkannya dari sekelompok ulama dari kalangan ashhaabul-hadiits” [Fathul-Baariy, 2/24].
[4]      Maksudnya, bukan jamak yang sesungguhnya. Yaitu mengakhirkan shalat yang pertama masih di waktunya dan menyegerakan shalat kedua di waktu berikutnya, sehingga seakan-akan kedua shalat itu terkumpul menjadi satu.
[5]      Maksudnya menjamak antara shalat maghrib dan ‘isyaa’ sehingga keduanya berjumlah 7 raka’at.
[6]      Maksudnya menjamak antara shalat dhuhur dan ‘ashar sehingga keduanya berjumlah 8 raka’at.
[7]      Faedah:
An-Nasaa’iy (no. 589) meriwayatkan sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ، قال: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قال: " صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari ‘Amru, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Aku pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madiinah sebanyak 8 raka’at dengan dijamak dan 7 raka’at dengan dijamak. Beliau mengakhirkan shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta mengakhirkan shalat Maghrin dan menyegerakan shalat ‘Isyaa’”.
Kalimat yang digaris bawah merupakan idraaj perkataan Jaabir bin Zaid Abu Sya’tsaa’, karena dalam riwayat lain diketahui bahwa kalimat tersebut adalah miliknya. Kekeliruan ini berasal dari Qutaibah. Wallaahu a’lam.

3 komentar:

  1. Bismillah

    Ustadz, apakah kemacetan parah bisa menjadi udzur?

    Jazaakallah khaira

    BalasHapus
  2. assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, syukron Ustadz telah menjawab pertanyaan saya yang telah lama saya posting tapi di artikel Ustadz yang lain (bukan mengenai Sholat).

    sekali lagi, syukron jazakallahu khairan

    BalasHapus
  3. syubhat syiah
    http://muttaqi89.blogspot.com/2015/03/syubhat-syiah-jama-tanpa-udzur.html

    BalasHapus