Poros
pembahasan dalil dalam artikel ini adalah atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa:
عَنْ أَبِي
الزُّبَيْرِ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: "
صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ
جَمِيعًا بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا سَفَرٍ "، قَالَ أَبُو
الزُّبَيْرِ: فَسَأَلْتُ سَعِيدًا: لِمَ فَعَلَ ذَلِكَ؟ فَقَالَ: سَأَلْتُ ابْنَ
عَبَّاسٍ، كَمَا سَأَلْتَنِي، فَقَالَ: أَرَادَ أَنْ لَا يُحْرِجَ أَحَدًا مِنْ أُمَّتِهِ
Dari
Abuz-Zubair, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata: “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar bukan
karena ketakutan maupun safar. Abuz-Zubair berkata : “Lalu aku bertanya kepada
Sa’iid : ‘Mengapa beliau melakukannya ?’. Ia (Sa’iid) berkata : ‘Aku pernah
bertanya kepada Ibnu ‘Abbaas sebagaimana yang engkau tanyakan kepadaku, lalu ia
menjawab : ‘Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam ingin agar tidak
menyusahkan seorang pun di kalangan umatnya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 705
(50)].
Dalam
riwayat lain dibawakan dengan lafadh:
جَمَعَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ،
وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ، فِي غَيْرِ خَوْفٍ، وَلَا مَطَرٍ
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menjamak shalat Dhuhur dan ‘Ashar,
serta shalat Maghrib dan ‘Isyaa’ di Madiinah bukan karena ketakutan maupun
hujan” [idem no. 705 (54)].
Sebagian
ulama mengatakan lafadh ‘(bukan karena) hujan’ merupakan tafarrud dari
Habiib bin Abi Tsaabit. Al-Bazzaar rahimahullah berkata:
وَهَذَا
الْحَدِيثُ زَادَ فِيهِ حَبِيبٌ: مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلا مَطَرٍ. وَغَيْرُهُ لا
يَذْكُرُ الْمَطَرَ
“Hadits
ini, ditambahkan padanya oleh Habiib : ‘bukan karena sebab ketakutan maupun
hujan’. Selain dirinya tidak menyebutkan ‘hujan’” [Al-Bahruz-Zakhaar
11/223].
Pernyataan
tafarrud Habiib ini juga dinyatakan oleh Ibnu Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah
dalam Fathul-Baariy (4/39).
Ibnu
Hajar rahimahullah berkata:
وَاعْلَمْ
أَنَّهُ لَمْ يَقَعْ مَجْمُوعًا بِالثَّلَاثَةِ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ
بَلْ الْمَشْهُورُ مِنْ غَيْرِ خَوْفٍ وَلَا سَفَرٍ
“Ketahuilah
bahwasannya ketiganya (ketakutan, safar, dan hujan) tidak pernah dikumpulkan
semuanya dalam kitab-kitab hadits. Namun yang masyhur adalah lafadh : ‘bukan
karena ketakutan maupun hujan’” [Tuhfatul-Ahwadziy, 1/215].
Habiib
bin Abi Tsaabit adalah seorang tsiqah, namun mudallis.[1]
Ia meriwayatkan dari Sa’iid bin Jubair dengan lafadh tersebut secara ‘an’anah.
Akan tetapi riwayatnya tersebut dikuatkan oleh Shaalih bin Nabhaan sebagaimana
diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq[2]
dalam Al-Mushannaf no. 4434.
Hadits
ini tidak boleh dipahami dengan membolehkan menjamak shalat tanpa sebab atau ‘udzur
syar’iy secara mutlak[3],
karena:
1.
Allah ta’ala berfirman:
إِنَّ الصَّلاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا
مَوْقُوتًا
“Sesungguhnya shalat
itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang
yang beriman” [QS. An-Nisaa’ : 103].
Menjalankan shalat
pada waktunya asal hukumnya adalah wajib, dan suatu kewajiban hanya boleh
digugurkan dengan adanya ‘udzur syar’iy. Seandainya diperbolehkan
menjamak shalat tanpa adanya ‘udzur syar’iy secara mutlak, niscaya ayat
di atas tidak ada faedahnya.
Tidak ada seorang
ulama pun yang mengatakan mengerjakan shalat pada waktunya hanya sekedar
dihukumi sunnah.
2.
Jika hadits di atas
itu dipahami sebagai kebolehan menjamak shalat tanpa ‘udzur secara
mutlak dengan sebab agar tidak menyusahkan umat Islam; maka hal tersebut akan
mengkonsekuensikan pemahaman bahwa asal mengerjakan shalat pada waktunya
menyebabkan kesusahan dan rasa berat.
Ini
adalah baathil tanpa keraguan, karena bertentangan dengan kenyataan yang ada
pada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat, dan
generasi setelah mereka. Riwayat-riwayat yang ada justru menunjukkan beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat sangat bersemangat menjaga shalat pada
waktunya, karena ia adalah salah satu amalan yang paling utama.
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُود رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: " سَأَلْتُ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ؟
قَالَ: الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا، قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ،
قَالَ: ثُمَّ أَيٌّ؟ قَالَ: الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari ‘Abdullah bin
Mas’uud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang amal apakah yang paling
dicintai oleh Allah. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Shalat
pada waktunya”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa ?”. Beliau menjawab :
“Berbuat baik kepada kedua orang tua”. Ibnu Mas’uud berkata : “Lalu apa
?”. Beliau menjawab : “Jihad di jalan Allah” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 527 & 5970 & 7534 dan dalam Al-Adabul-Mufrad hal. 3 no. 1,
Muslim no. 85 (139), dan lainnnya].
Bahkan ketika panas
menyengat di siang hari, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan
menunda pelaksanaannya hingga cuaca agak dingin tanpa keluar dari waktunya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: " أَبْرِدُوا بِالظُّهْرِ فَإِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ
جَهَنَّمَ "
Dari Abu Sa’iid, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tundalah
pelaksanaan shalat Dhuhur hingga cuaca dingin, karena panas yang sangat terik
adalah panas dari neraka Jahannam” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 538].
عَنْ أَبِي ذَرٍّ الْغِفَارِيِّ، قَالَ: كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ، فَأَرَادَ الْمُؤَذِّنُ أَنْ يُؤَذِّنَ لِلظُّهْرِ،
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَبْرِدْ، ثُمَّ أَرَادَ أَنْ
يُؤَذِّنَ، فَقَالَ لَهُ: أَبْرِدْ حَتَّى رَأَيْنَا فَيْءَ التُّلُولِ، فَقَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ شِدَّةَ الْحَرِّ مِنْ فَيْحِ جَهَنَّمَ، فَإِذَا
اشْتَدَّ الْحَرُّ فَأَبْرِدُوا بِالصَّلَاةِ
Dari Abu Dzarr
Al-Ghifaariy, ia berkata : Kami pernah bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam satu perjalanan. Muadzdzin ketika itu ingin mengumandangkan adzan
untuk shalat Dhuhur. Maka Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tunggulah hingga (suhu/cuaca) dingin”. Kemudian muadzdzin ingin
mengumandangkannya lagi, beliau pun kembali bersabda : “Tunggulah hingga
(suhu/cuaca) dingin”. Hingga kami melihat bayangan bukit. Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya panas yang amat sangat (di
waktu siang) berasal dari uap neraka Jahannam. Apabila siang terasa teramat
panas, maka tundalah shalat hingga dingin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 539].
3.
Mengakhirkan shalat
hingga keluar waktunya tanpa ‘udzur adalah dosa lagi tercela.
Allah
ta’ala berfirman:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ * الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ
سَاهُونَ
“Maka
kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat. (Yaitu) orang-orang yang lalai dari
shalatnya” [QS. Al-Maa’uun: 4–5].
Salah satu makna orang yang melalaikan shalatnya
adalah suka
mengakhirkan shalat hingga hampir
habis waktunya (tanpa ‘udzur).
حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: ثنا سَكَنُ بْنُ
نَافِعٍ الْبَاهِلِيُّ، قَالَ: ثنا شُعْبَةُ، عَنْ خَلَفِ بْنِ حَوْشَبٍ، عَنْ
طَلْحَةَ بْنِ مُصَرِّفٍ، عَنْ مُصْعَبِ بْنِ سَعْدٍ، قَالَ: قُلْتُ لأَبِي
أَرَأَيْتَ قَوْلَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ: الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلاتِهِمْ
سَاهُونَ. أَهِيَ تَرْكُهَا؟ قَالَ: لا، وَلَكِنْ تَأْخِيرُهَا عَنْ وَقْتِهَا
Telah
menceritakan kepada kami Ibnul-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Sakan bin Naafi’ Al-Baahiliy, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Syu’bah, dari Khalaf bin Hausyab, dari Thalhah bin Musharrif, dari
Mush’ab bin Sa’d, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (Sa’d bin Abi
Waqqaash) : “Apa pendapatmu tentang firman Allah ‘azza wa jalla : ‘(Yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya’ (QS. Al-Maa’uun : 5). Apakah
maknanya meninggalkannya (shalat) ?”. Sa’d menjawab : “Tidak, akan tetapi
maknanya adalah mengakhirkannya dari waktunya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy
dalam Jaami’ul-Bayaan, 24/630; shahih].
Jika yang demikian saja sangat dicela dalam Islam, lantas
bagaimana halnya dengan orang yang sengaja mengerjakan shalat hingga keluar
dari waktunya tanpa ‘udzur ?.
حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ الْعَنْبَرِيُّ، حَدَّثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ وَهُوَ الطَّيَالِسِيُّ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ يَعْنِي
ابْنَ الْمُغِيرَةِ، عَنْ ثَابِتٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ رَبَاحٍ، عَنْ أَبِي
قَتَادَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "
لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ، إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ أَنْ
تُؤَخِّرَ صَلَاةً حَتَّى يَدْخُلَ وَقْتُ أُخْرَى "
Telah menceritakan
kepada kami Al-‘Abbaas Al-‘Anbariy : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan
bin Daawud Ath-Thayaalisiy : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin
Al-Mughiirah, dari Tsaabit, dari ‘Abdullah bin Rabbaah, dari Abu Qataadah, ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak
ada kelalaian dalam tidur, karena kelalaian itu hanyalah terjadi ketika
terjaga, yaitu mengakhirkan shalat hingga masuk waktu berikutnya”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 441; shahih].
Di sini, mengakhirkan
shalat tanpa ‘udzur disebut sebagai satu kelalaian (yang dicela).
عَنْ أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ:
" كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ
عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا
تَأْمُرُنِي؟ قَالَ: صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا
مَعَهُمْ، فَصَلِّ، فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ "
Dari Abu Dzarr, ia
berkata : Telah bersabda kepadaku Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
“Bagaimana pendapatmu jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang suka mengakhirkan
shalat dari waktunya, atau meninggalkan shalat dari waktunya?”. Abu
Dzarr berkata : “Aku berkata : ‘Lantas apa yang engkau perintahkan
kepadaku?”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Lakukanlah shalat tepat pada
waktunya, jika
kamu mendapati bersama mereka, maka lakukanlah lagi, sebab hal itu dihitung
pahala shalat sunnah bagimu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 648].
Jika mengerjakan
shalat di luar waktunya diperbolehkan tanpa ‘udzur syar’iy, tentu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan mengingatkan para
penguasa yang jelek pada Abu Dzarr yang suka mengakhirkan shalat hingga keluar
dari waktunya.
Menjamak shalat
tanpa ‘udzur termasuk di antara dosa besar menurut ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat berikut:
أَخْبَرَنَاهُ أَبُو الْحَسَنِ مُحَمَّدُ بْنُ
الْحُسَيْنِ الْعَلَوِيُّ، أنبأ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ الْحَسَنِ
الرَّمْجَارِيُّ، ثنا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ بِشْرٍ، ثنا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ،
عَنْ يَحْيَى بْنِ صُبَيْحٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ هِلالٍ، عَنْ أَبِي
قَتَادَةَ يَعْنِي الْعَدَوِيَّ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ كَتَبَ إِلَى عَامِلٍ لَهُ " ثَلاثٌ مِنَ الْكَبَائِرِ: الْجَمْعُ
بَيْنَ الصَّلاتَيْنِ إِلا فِي عُذْرٍ، وَالْفِرَارُ مِنَ الزَّحْفِ، وَالنَّهْبِيُ
"
Telah mengkhabarkan
kepada kami Abul-Hasan Muhammad bin Al-Husain Al-‘Alawiy : Telah memberitakan
‘Abdullah bin Muhammad bin Al-Hasan Ar-Ramjaariy : Telah menceritakan kepada
kami ‘Abdurrahmaan bin Bisyr : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin
Sa’iid, dari Yahyaa bin Shubaih, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku
Humaid bin Hilaal, dari Abu Qataadah Al-‘Adawiy : Bahwasannya ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah menulis surat untuk pegawainya
: “Tiga hal termasuk dosa besar : menjamak shalat tanpa ‘udzur,
melarikan diri dari medan perang, dan khianat dalam rampasan perang”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 3/169; shahih].
4.
Teks riwayat itu
justru menunjukkan pada kita diperbolehkannya menjamak shalat jika ada sesuatu
yang menyebabkan kesusahan (seandainya dikerjakan sesuai waktunya) – selain dari
faktor ketakutan, safar, dan hujan yang disebutkan dalam atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa.
Ketakutan,
safar, dan hujan merupakan ‘udzur syar’iy yang membolehkan seseorang
melakukan jamak. Peniadaan ketiga ‘udzur hal tersebut tidak
mengkonsekuensikan peniadaan keberadaan ‘udzur yang lain, seperti sakit,
cuaca dingin yang ekstrim, angin kencang (angin ribut), dan yang semisalnya.
Sakit
merupakan salah satu ‘udzur syar’iy yang menjadi ‘illat adanya
pengguguran sebagian kewajiban dalam syari’at, seperti misal puasa –
sebagaimana firman Allah ta’ala :
فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ
فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
“Maka
barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia
berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu
pada hari-hari yang lain” [QS. Al-Baqarah : 184].
Jika
kewajiban puasa di bulan Ramadlan dapat digugurkan karena sakit dengan
menggantinya di waktu yang lain, maka begitu juga dengan shalat yang dapat dijamak
di luar waktunya.
Begitu
juga dengan cuaca dingin yang ekstrim dan angin kencang (angin ribut):
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ نَادَى بِالصَّلَاةِ فِي لَيْلَةٍ
ذَاتِ بَرْدٍ، وَرِيحٍ، وَمَطَرٍ، فَقَالَ فِي آخِرِ نِدَائِهِ: أَلَا صَلُّوا فِي
رِحَالِكُمْ، أَلَا صَلُّوا فِي الرِّحَالِ، ثُمَّ قَالَ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْمُرُ الْمُؤَذِّنَ، إِذَا كَانَتْ لَيْلَةٌ بَارِدَةٌ،
أَوْ ذَاتِ مَطَرٍ فِي السَّفَرِ، أَنْ يَقُولَ: أَلَا صَلُّوا فِي رِحَالِكُمْ
Dari
Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia pernah mengumandangkan adzan pada waktu malam yang
dingin, berangin kencang, dan hujan; maka ia mengucapkan di akhir adzannya : ‘alaa
sholluu fii rihaalikum, alaa sholluu fir-rihaal (hendaknya kalian shalat di
rumah-rumah kalian 2x)’. Kemudian ia melanjutkan : “Apabila malam begitu dingin
atau turun hujan ketika safar, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan muadzdzin untuk mengucapkan : ‘alaa shollu fii rihaalikum”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 697 (23)].
Ibnu Qudaamah rahimahullah berkata:
وَحَدِيثُ ابْنِ عَبَّاسٍ حَمَلْنَاهُ عَلَى حَالَةِ
الْمَرَضِ ، وَيَجُوزُ أَنْ يَتَنَاوَلَ مَنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ ، كَالْمُرْضِعِ
، وَالشَّيْخِ الضَّعِيفِ ، وَأَشْبَاهِهِمَا مِمَّنْ عَلَيْهِ مَشَقَّةٌ فِي
تَرْكِ الْجَمْعِ
“Dan hadits Ibnu ‘Abbaas kami bawa maknanya pada
keadaan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam sedang sakit. Dan
diperbolehkan pula bagi orang yang mengalami kesulitan seperti wanita yang
menyusui, orang tua yang lemah, lainnya yang akan mengalami kesulitan jika ia
meninggalkan jamak” [Al-Mughniy, 1/121].
5.
Sebagian ulama ada
yang membawa pengertian jamak yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dalam atsar Ibnu ‘Abbaas di atas adalah jamak shuriy[4].
وحَدَّثَنَا أَبُو الرَّبِيعِ الزَّهْرَانِيُّ،
حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنِ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ جَابِرِ بْنِ
زَيْدٍ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
صَلَّى بِالْمَدِينَةِ سَبْعًا، وَثَمَانِيًا الظُّهْرَ، وَالْعَصْرَ،
وَالْمَغْرِبَ، وَالْعِشَاءَ "
Dan telah
menceritakan kepada kami Abur-Rabii’ Az-Zahraaniy : Telah menceritakan kepada
kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu
‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam shalat di
Madiinah tujuh raka’at[5]
dan delapan raka’at[6]
(sekaligus). Yaitu shalat Dhuhur, ‘Ashar, Maghrib, dan ‘Isyaa” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 705 (56].
Kemudian
penafsirannya ada pada riwayat berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عَمْرٍو، قَالَ: سَمِعْتُ أبَا الشَّعْثَاءِ جَابِرًا،
قَالَ: سَمِعْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: "
صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثَمَانِيًا
جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا، قُلْتُ: يَا أَبَا الشَّعْثَاءِ أَظُنُّهُ أَخَّرَ
الظُّهْرَ وَعَجَّلَ الْعَصْرَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ،
قَالَ: وَأَنَا أَظُنُّهُ "
Telah menceritakan
kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan, dari ‘Amru, ia berkata : Aku mendengar Abu Sya’tsaa’ Jaabir berkata :
Aku mendengar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa berkata : “Aku pernah
shalat bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam delapan raka’at
dengan dijamak dan tujuh raka’at dengan dijamak”. Aku (‘Amru) berkata : “Wahai
Abu Sya’tsaa’, aku mengiranya beliau mengakhirkan shalat Dhuhur dan
menyegerakan shalat ‘Ashar, serta menyegerakan shalat ‘Isyaa’ dan mengakhirkan
shalat Maghrib”. Ia (Abu Sya’tsaa’) berkata : “Dan akupun mengiranya demikian”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1174].[7]
Hadits lain:
حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، حَدَّثَنَا
أَبِي، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَارَةُ، عَنْ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: " مَا
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى صَلَاةً بِغَيْرِ
مِيقَاتِهَا إِلَّا صَلَاتَيْنِ جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ، وَصَلَّى
الْفَجْرَ قَبْلَ مِيقَاتِهَا "
Telah menceritakan
kepada kami ‘Umar bin Hafsh bin Ghiyaats : Telah menceritakan kepada kami
ayahku : Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, ia berkata : Telah
menceritakan kepadaku ‘Umaarah, dari ‘Abdurrahmaan, dari ‘Abdullah (bin
Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Aku tidak pernah melihat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat di luar waktunya,
kecuali dua shalat. Beliau menjamak shalat Maghrib dan shalat ‘Isyaa’, serta
beliau pernah shalat Shubuh sebelum waktunya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy
no. 1682].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu
‘anhu menafikkan semua bentuk shalat jamak yang dilakukan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam kecuali menjamak shalat Maghrib dan shalat ‘Isyaa’ di
Muzdalifah.
Maka
di sini dapat disimpulkan bahwa jamak tidak boleh dilakukan kecuali jika ada ‘udzur
syar’iy.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 12071435/11052014 – 21:05].
[1] Habiib bin Abi Tsaabit Qais bin Diinaar,
Abu Yahyaa Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi jaliil,
namun banyak melakukan tadlis dan irsal. Termasuk thabaqah ke-3,
dan wafat tahun 119 [Taqriibut-Tahdziib, hal. 218 no. 1092].
[2] Riwayatnya adalah:
عَنْ دَاوُدَ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ صَالِحٍ مَوْلَى
التَّوْأَمَةِ، أَنَّهُ سَمِعَ ابْنَ عَبَّاسٍ، يَقُولُ: " جَمَعَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَيْنَ الظُّهْرِ، وَالْعَصْرِ،
وَالْمَغْرِبِ، وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِي غَيْرِ سَفَرٍ وَلا مَطَرٍ
"، قَالَ: قُلْتُ لابْنِ عَبَّاسٍ: لِمَ تَرَاهُ فَعَلَ ذَلِكَ؟، قَالَ:
" أَرَاهُ لِلتَّوْسِعَةِ عَلَى أُمَّتِهِ "
Diriwayatkan
juga oleh Ibnu Abi Syaibah dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir dari
jalan Daawud bin Qais.
[3] Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan
adanya sebagian ulama yang berpegang pada dhahir hadits :
فَجَوَّزُوا الْجَمْعَ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مُطْلَقًا لَكِنْ
بِشَرْطِ أَنْ لَا يُتَّخَذَ ذَلِكَ عَادَةً ، وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ اِبْنُ
سِيرِينَ وَرَبِيعَةُ وَأَشْهَبُ وَابْنُ الْمُنْذِرِ وَالْقَفَّالُ الْكَبِيرُ
وَحَكَاهُ الْخَطَّابِيُّ عَنْ جَمَاعَةٍ مِنْ أَصْحَابِ الْحَدِيثِ
“Sebagian
ulama membolehkan menjamak shalat pada waktu hadir karena hajat secara mutlak
namun dengan syarat tidak menjadikannya kebiasaan. Diantara ulama yang
berpendapat dengannya adalah Ibnu Siiriin, Rabii’ah, Asyhab, Ibnul-Mundzir, dan
Al-Qaffaal Al-Kabiir. Al-Khaththaabiy menghikayatkannya dari sekelompok ulama
dari kalangan ashhaabul-hadiits” [Fathul-Baariy, 2/24].
[4] Maksudnya, bukan jamak yang sesungguhnya.
Yaitu mengakhirkan shalat yang pertama masih di waktunya dan menyegerakan
shalat kedua di waktu berikutnya, sehingga seakan-akan kedua shalat itu
terkumpul menjadi satu.
[5] Maksudnya menjamak antara shalat maghrib
dan ‘isyaa’ sehingga keduanya berjumlah 7 raka’at.
[6] Maksudnya menjamak antara shalat dhuhur dan
‘ashar sehingga keduanya berjumlah 8 raka’at.
[7] Faedah:
An-Nasaa’iy
(no. 589) meriwayatkan sebagai berikut:
أَخْبَرَنَا قُتَيْبَةُ، قال: حَدَّثَنَا سُفْيَانُ،
عَنْ عَمْرٍو، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قال: "
صَلَّيْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالْمَدِينَةِ
ثَمَانِيًا جَمِيعًا وَسَبْعًا جَمِيعًا، أَخَّرَ الظُّهْرَ وَعَجَّلَ
الْعَصْرَ وَأَخَّرَ الْمَغْرِبَ وَعَجَّلَ الْعِشَاءَ "
Telah
mengkhabarkan kepada kami Qutaibah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami
Sufyaan, dari ‘Amru, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Aku
pernah shalat bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Madiinah
sebanyak 8 raka’at dengan dijamak dan 7 raka’at dengan dijamak. Beliau
mengakhirkan shalat Dhuhur dan menyegerakan shalat ‘Ashar, serta mengakhirkan
shalat Maghrin dan menyegerakan shalat ‘Isyaa’”.
Kalimat
yang digaris bawah merupakan idraaj perkataan Jaabir bin Zaid Abu
Sya’tsaa’, karena dalam riwayat lain diketahui bahwa kalimat tersebut adalah
miliknya. Kekeliruan ini berasal dari Qutaibah. Wallaahu a’lam.
Bismillah
BalasHapusUstadz, apakah kemacetan parah bisa menjadi udzur?
Jazaakallah khaira
assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh, syukron Ustadz telah menjawab pertanyaan saya yang telah lama saya posting tapi di artikel Ustadz yang lain (bukan mengenai Sholat).
BalasHapussekali lagi, syukron jazakallahu khairan
syubhat syiah
BalasHapushttp://muttaqi89.blogspot.com/2015/03/syubhat-syiah-jama-tanpa-udzur.html