18 April 2014

Hukum Daging Anjing (Sate Jamu)

Anjing diharamkan menurut jumhur ulama, diantaranya Hanafiyyah, Maalikiyyah, Syaafi’iyyah, dan Hanabilah. Sebagian ulama Maalikiyyah berpendapat makruh tidak sampai pada derajat haram. Sekelompok orang belakangan membolehkannya.
Yang raajih dalam permasalahan ini adalah pendapat yang mengharamkannya dengan dukungan dalil:
Tentang dalil pengharaman mengkonsumsi daging anjing, maka banyak, baik pengambilan hukumnya dilakukan secara implisit ataupun eksplisit. Diantaranya:
1.     Hadits Pertama
وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ يَعْنِي ابْنَ مَهْدِيٍّ، عَنْ مَالِكٍ، عَنْ إِسْمَاعِيلَ بْنِ أَبِي حَكِيمٍ، عَنْ عَبِيدَةَ بْنِ سُفْيَانَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ "
Telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy, dari Maalik, dari Ismaa’iil bin Abi Hakiim, dari ‘Abiidah bin Sufyaan, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap binatang buas (as-sibaa’) yang mempunyai taring, diharamkan untuk memakannya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1933].
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، عَنْ أَبِي إِدْرِيسَ الْخَوْلَانِيِّ، عَنْ أَبِي ثَعْلَبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ أَكْلِ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ
 Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Ibnu Syihaab, dari Abu Idriis Al-Khaulaaniy, dari Abu Tsa’labah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan semua binatang buas yang memiliki taring [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5530].
وحَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ، حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ، حَدَّثَنَا الْحَكَمُ، وَأَبُو بِشْرٍ، عَنْ مَيْمُونِ بْنِ مِهْرَانَ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ: أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَعَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ ".
Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Hanbal : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin Daawud : Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Awaanah : Telah menceritakan kepada kami Al-Hakam dan Abu Bisyr, dari Maimuun bin Mihraan, dari Ibnu ‘Abbaas : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang (makan daging) semua binatang buas yang memiliki taring dan burung yang mempunyai cakar” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1934].
Anjing termasuk binatang buas yang memiliki taring.
Al-Baghawiy rahimahullah berkata:
أراد بذي الناب: ما يعدو بنابه على النّاس وأموالهم، مثل الذئب، والأسد، والكلب والفهد، والنمر، والببرِ، والدب والقرد، ونحوها، فهي وأمثالُها حرامٌ
“Yang dimaksudkan dengan binatang yang memiliki taring adalah binatang yang menyerang manusia dan harta benda mereka dengan taringnya, diantaranya serigala, singa, anjing, macan kumbang, macan tutul, harimau, beruang, monyet, dan yang lainnya. Binatang-binatang yang seperti ini hukumnya haram” [Syarhus-Sunnah, 11/234].
2.     Hadits Kedua.
وحَدَّثَنِي حُمَيْدُ بْنُ مَسْعَدَةَ، حَدَّثَنَا بِشْرٌ يَعْنِي ابْنَ الْمُفَضَّلِ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل وَهُوَ ابْنُ أُمَيَّةَ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِقَتْلِ الْكِلَابِ ، فَنَنْبَعِثُ فِي الْمَدِينَةِ، وَأَطْرَافِهَا، فَلَا نَدَعُ كَلْبًا، إِلَّا قَتَلْنَاهُ، حَتَّى إِنَّا لَنَقْتُلُ كَلْبَ الْمُرَيَّةِ مِنْ أَهْلِ الْبَادِيَةِ يَتْبَعُهَا
Dan telah menceritakan kepada kami Humaid bin Mas’adah : Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Al-Mufadldlal : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Umayyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah, ia berkata : “Dulu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh anjing-anjing. Lantas kami pergi ke seluruh penjuru kota sehingga kami tak meninggalkan seekor anjing pun melainkan kami membunuhnya. Sampai-sampai kami membunuh seekor anjing yang senantiasa mengikuti tuannya, yaitu anjingnya seorang wanita badui/pedalaman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1570].
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، أَخْبَرَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ ابْنِ عُمَرَ: أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ، أَوْ كَلْبَ غَنَمٍ، أَوْ مَاشِيَةٍ
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Yahyaa : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Zaid, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan membunuh anjing-anjing, kecuali anjing yang digunakan untuk berburu atau anjing penjaga binatang ternak [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1571].
Sisi pendalilan:
Asal binatang yang halal boleh dipelihara dan diternakkan, serta diklasifikasikan sebagai harta bagi pemiliknya.
Seandainya anjing halal dimakan, niscaya beliau tidak akan memerintahkan untuk membunuhnya/membasminya, karena itu artinya menyia-nyiakan harta.
حَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا جَرِيرٌ، عَنْ سُهَيْلٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَكْرَهُ لَكُمْ ثَلَاثًا، فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا، وَلَا تَفَرَّقُوا، وَيَكْرَهُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةِ الْمَالِ "
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesungguhnya Allah meridlai kalian tiga hal dan membenci kalian tiga hal. Allah meridlai kalian : (1) untuk beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun; (2) berpegang pada tali Allah; dan (3) tidak berpecah belah. Allah membenci kalian: (1) qiila wa qaala, (2) banyak bertanya (yang tidak bermanfaat), (3) dan menyia-nyiakan harta” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1715].
3.     Hadits Ketiga.
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، قَالَ: حَدَّثَنِي غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا شُعْبَةُ، عَنْ عَوْنِ بْنِ أَبِي جُحَيْفَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّهُ اشْتَرَى غُلَامًا حَجَّامًا فَقَالَ: " إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الدَّمِ وَثَمَنِ الْكَلْبِ وَكَسْبِ الْبَغِيِّ، وَلَعَنَ آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَالْوَاشِمَةَ وَالْمُسْتَوْشِمَةَ وَالْمُصَوِّرَ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al-Mutsannaa, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Ghundar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari ‘Aun bin Abi Juhaifah, dari ayahnya : Bahwasannya ia pernah membeli seorang budak tukang bekam, lalu ia berkata : "Sesungguhnya Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam melarang hasil penjualan darah, hasil penjualan anjing, dan hasil pelacuran. Beliau juga melaknat pemakan riba dan yang memberi makan riba, orang yang mentato dan yang minta ditato, serta melaknat penggambar" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5962].
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ صَالِحٍ، حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ، حَدَّثَنِي مَعْرُوفُ بْنُ سُوَيْدٍ الْجُذَامِيُّ، أَنَّ عُلَيَّ بْنَ رَبَاحٍ اللَّخْمِيَّ، حَدَّثَهُ، أَنَّهُ سَمِعَ أَبَا هُرَيْرَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " لَا يَحِلُّ ثَمَنُ الْكَلْبِ، وَلَا حُلْوَانُ الْكَاهِنِ، وَلَا مَهْرُ الْبَغِيِّ "
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shaalih : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah menceritakan kepadaku Ma’ruuf bin Suwaid Al-Judzaamiy : Bahwasannya ‘Aliy bin Rabbaah Al-Lakhmiy menceritakan kepadany, bahwasannya ia mendengar Abu Hurairah berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak halal hasil jual beli anjing, bayaran dukun, dan hasil melacur” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3484; shahih].
حَدَّثَنَا إِسْحَاق بْنُ إِبْرَاهِيمَ، أَخْبَرَنَا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي كَثِيرٍ، حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ قَارِظٍ، عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ، حَدَّثَنِي رَافِعُ بْنُ خَدِيجٍ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " ثَمَنُ الْكَلْبِ خَبِيثٌ، وَمَهْرُ الْبَغِيِّ خَبِيثٌ، وَكَسْبُ الْحَجَّامِ خَبِيثٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Waliid bin Muslim, dari Al-Auzaa’iy, dari Yahyaa bin Abi Katsiir : Telah menceritakan kepadaku Ibraahiim bin Qaaridh, dari As-Saaib bin Yaziid : Telah menceritakan kepadaku Raafi’ bin Khudaij, dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Hasil penjualan anjing adalah khabiits (buruk/keji), upah pelacur adalah khabiits, dan hasil usaha tukang bekam adalah khabiits” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1568].
Ketika disebut harga/hasil penjualan anjing adalah khabiits, maka Allah ta’ala berfirman:
وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ
Allah menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (khabaaits)” [QS. Al-A’raaf : 157].
Sisi pendalilannya :
Seandainya anjing merupakan binatang yang halal dimakan, niscaya halal pula diperjualbelikan. Akan tetapi ternyata Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara tegas melarangnya dan mengharamkannya. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah mencela kelakuan orang Yahudi yang membuat hillah saat diharamkan kepada mereka bangkai, maka mereka mengambil lemaknya lalu menjualnya dan memakan harga/hasil penjualannya.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ، سَمِعْتُ سَعِيدَ بْنَ الْمُسَيِّبِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " قَاتَلَ اللَّهُ يَهُودَ، حُرِّمَتْ عَلَيْهِمُ الشُّحُومُ، فَبَاعُوهَا وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdaan : Telah mengkhabarkan kepada kami Yuunus, dari Ibnu Syihaab : Aku mendengar Sa’iid bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : “Semoga Allah memerangi orang-orang Yahudi. Diharamkan kepada mereka lemak (bangkai), lalu mereka memakan hasil penjualannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2224].
حَدَّثَنَا مُسَدَّدٌ، أَنَّ بِشْرَ بْنَ الْمُفَضَّلِ، وَخَالِدَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَاهُمُ الْمَعْنَى عَنْ خَالِدٍ الْحَذَّاءِ، عَنْ بَرَكَةَ، قَالَ مُسَدَّدٌ فِي حَدِيثِ، خَالِدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنْ بَرَكَةَ أَبِي الْوَلِيدِ ثُمَّ اتَّفَقَا، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَالِسًا عِنْدَ الرُّكْنِ، قَالَ: فَرَفَعَ بَصَرَهُ إِلَى السَّمَاءِ فَضَحِكَ، فَقَالَ: " لَعَنَ اللَّهُ الْيَهُودَ ثَلَاثًا: إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيْهِمُ الشُّحُومَ فَبَاعُوهَا، وَأَكَلُوا أَثْمَانَهَا، وَإِنَّ اللَّهَ إِذَا حَرَّمَ عَلَى قَوْمٍ أَكْلَ شَيْءٍ حَرَّمَ عَلَيْهِمْ ثَمَنَهُ ".
Telah menceritakan kepada kami Musaddad, bahwasannya Bisyr bin Al-Mufadldlal dan Khaalid bin ‘Abdillah menceritakan kepada mereka secara makna, dari Khaalid bin Al-Hadzdzaa’, dari Barakah. Musaddad berkata dalam hadits : Khaalid bin ‘Abdillah, dari Barakah Abul-Waliid - kemudian keduanya sepakat – dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam duduk di Rukn. Kemudian beliau mengangkat pandangannya ke langit, lalu tertawa. Beliau bersabda : “Semoga Allah melaknat orang-orang Yahudi – beliau mengatakannya sebanyak tiga kali - . Sesungguhnya Allah mengharamkan lemak (bangkai) kepada mereka, namun kemudian mereka menjualnya dan memakan harga/hasil penjualannya. Dan sesungguhnya jika Allah mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka Allah juga mengharamkan kepada mereka harga/hasil penjualannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3488; shahih].
4.     Hadits Keempat.
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ يُوسُفَ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ، عَنْ نَافِعٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " مَنْ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ مَاشِيَةٍ أَوْ ضَارِيًا نَقَصَ مِنْ عَمَلِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yuusuf : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik, dari Naafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa memelihara anjing selain untuk menjaga ternak atau untuk berburu, akan berkurang (pahala) amalannya, setiap harinya sebesar dua qirath” [Diriwayatkan Al-Bukhaariy no. 5482].
Sisi pendalilan :
Seandainya anjing adalah binatang yang halal dimakan, tentu ia halal untuk dipelihara dan diternakkan, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Akan tetapi ternyata jika kita memeliharanya selain dua tujuan yang disebutkan dalam hadits, pahala amalan kita berkurang sebesar dua qirath per-hari. Ini menunjukkan anjing bukan termasuk binatang yang asalnya boleh dipelihara, sehingga secara tidak langsung ia bukan termasuk binatang yang halal dikonsumsi. Sama seperti alasan sebelumnya.
5.     Hadits Kelima.
وحَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ، حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، عَنْ هِشَامِ بْنِ حَسَّانَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم: " طَهُورُ إِنَاءِ أَحَدِكُمْ، إِذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ، أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ، أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ "
Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim, dari Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sucinya bejana salah seorang di antara kalian jika dijilat anjing adalah dicuci sebanyak tujuh kali dan awalnya dengan tanah” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 279].
Sisi pendalilan:
Seandainya anjing adalah binatang yang halal untuk dikonsumsi, niscaya seluruh (bagian) badannya suci/tidak najis, termasuk dalam hal ini air liurnya.
Selain itu terdapat atsar dari Asy-Sya’biy rahimahullah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيٍّ، عَنْ دَاوُدَ، قَالَ: سُئِلَ الشَّعْبِيُّ عَنْ رَجُلٍ يَتَدَاوَى بِلَحْمِ كَلْبٍ "، فَقَالَ: " إِنْ تَدَاوَى بِهِ فَلا شَفَاهُ اللَّهُ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abi ‘Adiy, dari Daawud, ia berkata : Asy-Sya’biy pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang berobat dengan daging anjing. Ia berkata : “Jika ia berobat dengannya, niscaya Allah tidak akan menyembuhkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 24055; shahih].
Karena:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الدَّوَاءِ الْخَبِيثِ
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang berobat dengan sesuatu yang khabiits/haram” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3870, Ibnu Maajah no. 3459, At-Tirmidziy no. 2045, Ibnu Abi Syaibah 8/5, Ahmad 2/305 & 446 & 478, Al-Haakim 4/410, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 8/375, dan Al-Baihaqiy 10/5; shahih].
Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّ اللَّهَ لَمْ يَجْعَلْ شِفَاءَكُمْ فِيمَا حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan menjadikan obat bagi kalian pada sesuatu yang diharamkan kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 8/23 & 130, ‘Abdurrazzaaq no. 17097 & 17102, Ahmad dalam Al-Asyrabah no. 130 & 133, Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/108, dan yang lainnya; shahih].
Para ulama yang hanya memakruhkan – atau bahkan membolehkan – berdalil dengan ayat:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-Baqarah : 173].
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. An-Nahl : 115].
قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS. Al-An’aam : 145].
Dikatakan bahwa makanan (dan minuman) yang diharamkan kepada kaum muslimin hanyalah yang disebutkan oleh ayat di atas, karena ayat di atas mengandung pembatasan (hashr) yaitu pada jenis:
a.     bangkai
b.     darah
c.      daging babi
d.     binatang yang disembelih atas nama selain Allah.
Qarinah adanya pembatasan yang disebutkan ayat pertama dan kedua adalah penggunaan kata innamaa, sedangkan ayat ketiga adalah penggunaan nafiy (peniadaan) dan istitsnaa’ (pengecualian). Konsekuensinya, tiga ayat di atas mengandung mafhum bahwa selain yang disebutkan dalam ayat dihukumi halal atau tidak sampai pada derajat haram.
Selain itu ada beberapa riwayat dari salaf yang mengamalkan kemutlakan pembatasan dalam ayat di atas, diantaranya : ‘Aaisyah, Ibnu ‘Abbaas, Al-Bahr bin ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhum.
حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ، ثنا أَبُو خَالِدٍ الأَحْمَرُ، عَنْ يَحْيَى بْنِ سَعِيدٍ، عَنِ الْقَاسِمِ، قَالَ: كَانَتْ عَائِشَةُ إِذَا سُئِلَتْ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ، وَكُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ، قَالَتْ: "قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا، ......."
Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Al-Asyaj : Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari Yahyaa bin Sa’iid, dari Al-Qaasim, ia berkata : “Dulu ‘Aaisyah apabila ditanya tentang semua binatang buas yang mempunyai taring dan semua burung yang mempunyai cakar, ia berkata (membacakan ayat) : ‘Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir...’ (QS. Al­-An’aam : 145)’….” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 8011; sanadnya hasan,[1] semua perawinya tsiqaat kecuali Abu Khaalid Al-Ahmar, seorang yang shaduuq].
أَخْبَرَنِي عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ دُحَيْمٍ الشَّيْبَانِيُّ بِالْكُوفَةِ، ثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَازِمٍ الْغِفَارِيُّ، ثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، ثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ شَرِيكٍ الْمَكِّيُّ، عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ، عَنْ أَبِي الشَّعْثَاءِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: " كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَأْكُلُونَ أَشْيَاءَ، وَيَتْرُكُونَ أَشْيَاءَ، تَقَذُّرًا، فَبَعَثَ اللَّهُ تَعَالَى نَبِيَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآَلِهِ وَسَلَّمَ، وَأَنْزَلَ كِتَابَهُ، وَأَحَلَّ حَلالَهُ، وَحَرَّمَ حَرَامَهُ، فَمَا أَحَلَّ فَهُوَ حَلالٌ، وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفُوٌّ، وَتَلا هَذِهِ الآيَةَ: قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ "
Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Aliy bin Muhammad bin Duhaim Asy-Syaibaaniy di Kuufah : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Haazim Al-Ghifaariy : Telah menceritakan kepada kami Abu Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Syariik Al-Makkiy, dari ‘Amru bin Diinaar, dari Abul-Sya’tsaa’, dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Dulu orang-orang Jahiliyyah memakan apa saja dan meninggalkan apa saja karena merasa jijik. Lalu Allah ta’ala mengutus Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam dan menurunkan kitab-Nya dengan menghalalkan yang dihalalkan-Nya dan mengharamkan yang diharamkan-Nya. Apa saja yang dihalalkan, maka itu halal; serta apa saja yang diharamkan, maka itu haram. Adapun yang didiamkan darinya, maka itu dimaafkan”. Kemudian ia (Ibnu ‘Abbaas) membaca ayat : ‘Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya’ (QS. Al-An’aam : 145) [Diriwayatkan oleh Al-Haakim, 4/110, dan ia berkata : “Hadits ini shahih sanadnya”].
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، قَالَ عَمْرٌو: قُلْتُ لِجَابِرِ بْنِ زَيْدٍ: " يَزْعُمُونَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ حُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ، فَقَالَ: قَدْ كَانَ يَقُولُ ذَاكَ الْحَكَمُ بْنُ عَمْرٍو الْغِفَارِيُّ عِنْدَنَا بِالْبَصْرَةِ، وَلَكِنْ أَبَى ذَاكَ الْبَحْرُ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَقَرَأَ: قُلْ لا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin ‘Abdillah: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan : Telah berkata ‘Amru kepada Jaabir bin Zaid : “Orang-orang menyangka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam melarang (makan daging) keledai jinak”. Jaabir berkata : “Hal itu memang pernah dikatakan oleh Al-Hakam bin ‘Amru Al-Ghifaariy saat berada di sisi kami di Bashrah. Akan tetapi Al-Bahr bin ‘Abbaas menolaknya seraya ia membaca ayat : ‘Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan...dst (QS. Al-An’aam : 145)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 5529].
Dijawab :
As-Suyuthiy mendefinisikan hashr  - atau sering juga disebut qashr  - adalah:
تخصيص أمر بآخر بطريق مخصوص . قال أيضا : إثبات الحكم للمذكور ونفيه عما عداه.
“Pengkhususan satu perkara dengan sesuatu yang lain dengan jalan yang khusus. Dikatakan juga : penetapan hukum pada sesuatu yang disebutkan dan menafikkannya dari yang lainnya” [Tahdziib wa Tartiib Al-Itqaan, hal. 393].
Hashr terbagi menjadi dua, yaitu hakiki dan idlaafiy/majaziy. Hashr hakiki adalah sebagaimana dalam kalimat:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ
Tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah”.
Maksudnya, Allah adalah satu-satunya tuhan yang berhak disembah. Mafhum-nya, selain dari Allah, maka itu bukan merupakan tuhan yang berhak untuk disembah.
Adapun hashr idlaafiy/majaziy adalah sebagaimana dalam ayat:
وَمَا مُحَمَّدٌ إِلا رَسُولٌ
Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul” [QS. Aali ‘Imraan : 144].
Maksudnya, Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam itu disifat dengan Rasul, bukan tuhan yang memiliki sifat kesempurnaan. Perkataan ini tidaklah menafikkan adanya sifat-sifat lain yang ada pada diri Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Benar, ketika hashr itu disebutkan secara mutlak, maka maknanya adalah hakiki; kecuali jika kita temukan keterangan-keterangan kuat yang menghalangi untuk membawanya ke makna hakiki. Seperti dikatakan : “Tidak ada raja, kecuali ‘Umar”. Pada asalnya, maknanya adalah ‘Umar adalah satu-satunya raja, sehingga jika ada nama lain selain ‘Umar disebutkan, maka ia bukan raja. Namun jika ternyata memang ada raja lain selain ‘Umar, maka hashr dalam kalimat tersebut maknanya idlaafiy. Oleh karenannya, maksud dari pembicaraan tersebut kemungkinan adalah ‘Umar adalah satu-satunya raja yang ada di wilayah tertentu, waktu tertentu; atau ‘raja’ yang dimaksudkan di situ adalah raja yang berhasil dalam pemerintahannya.
Bagaimana dengan tiga ayat yang disebutkan di atas ?.
Hashr dalam tiga ayat di atas bukan hashr hakiki, karena ada jenis makanan/minuman lain yang diharamkan selain yang disebutkan dalam ayat-ayat tersebut, dan itu mereka akui pula. Yaitu :
1.      Binatang yang mati tercekik, terpukul, jatuh, ditanduk, dan diterkam binatang buas.
Allah ta’ala berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging binatang) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala” [QS. Al-Maaidah : 3].
2.      Khamr.
Allah ta’ala berfirman:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya" [QS. Al-Baqarah : 219].
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” [QS. Al-Maaidah : 190].
Asy-Syinqithiy rahimahullah berkata:
واعلم أولاً: أن دعوى أنه لا يحرم مطعوم غير الأربعة المذكورة في هذه الآية باطلة. بإجماع المسلمين لإجماع جميع المسلمين، ودلالة الكتاب والسنة على تحريم الخمر فهو دليل قاطع على تحريم غير الأربعة.
ومن زعم أن الخمر حلال لهذه الآية. فهو كافر بلا نزاع بين العلماء،
“Pertama-tama ketahuilah bahwasannya barangsiapa yang mengatakan tidak ada makanan yang diharamkan kecuali empat hal yang disebutkan dalam ayat ini (yaitu QS. Al-An’aam : 145), maka itu baathil berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Yaitu berdasarkan kesepakatan seluruh kaum muslimin serta dalil yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang pengharaman khamr. Ini adalah dalil yang pasti tentang pengharaman selain yang empat hal tersebut. Barangsiapa yang menyangka bahwasannya khamr halal berdasarkan ayat ini, maka ia kafir tanpa perselisihan di kalangan ulama” [Adlwaaul-Bayaan, 1/521].
Dari sini nampak bahwa menggunakan kaedah hashr dalam tiga ayat di atas tidak tepat, karena prakteknya mereka pun memberikan tambahan.
Jika alasan mereka adalah pengharaman (anjing dan juga yang lainnya selain empat hal yang disebutkan) itu hanya sekedar karena bersumber pada As-Sunnah, maka ini sangat tidak bisa dibenarkan.
Sudah menjadi kaedah yang disepakati oleh Ahlus-Sunnah bahwa hukum dalam syari’at tidak hanya diambil dari Al-Qur’an, akan tetapi dari juga hadits (shahih) dan ijma’. Hadits shahih selamanya tidak akan bertentangan dengan Al-Qur’an, karena ia keluar dari sumber yang sama. Allah ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى * إِنْ هُوَ إِلا وَحْيٌ يُوحَى
Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)[QS. An-Najm : 3-4].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
ولا تكون سنة أبدا تخالف القرآن
“As-Sunnah tidak mungkin menyelisihi Al-Qur’an selamanya” [Jimaa’ul-‘Ilm no. 530].
Selain itu, sudah menjadi hal yang dimaklumi bahwa akal manusia terbatas, sehingga ada kemungkinan seseorang tidak memahami nash. Maka seharusnya, ketika kita melihat sebuah hadits shahih yang seolah-olah bertentangan dengan Al-Qur’an, kita jangan buru-buru melempar husnudhdhan kita pada diri kita (yang lemah) dan melempar su’udhdhan kita pada hadits dengan menolaknya karena kita anggap bertentangan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَا أُلْفِيَنَّ أَحَدَكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيكَتِهِ يَأْتِيهِ أَمْرٌ مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ فَيَقُولُ: لَا أَدْرِي مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللَّهِ اتَّبَعْنَاهُ
Hampir saja aku dapati salah seorang di antara kalian bersandar di atas singgasananya, ketika datang kepadanya satu perkara yang aku perintahkan dengannya atau aku larang darinya, maka ia berkata : ‘Aku tidak tahu. Apa yang kami dapati dari Kitabullah, maka kami mengikutinya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4605, At-Tirmidziy no. 2663, Ibnu Maajah no. 13, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Ini hadits hasan shahih”].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah kemudian mengomentarinya:
وفي هذا تثبيت الخبر عن رسول الله صلى الله عليه و سلم وإعلامهم أنه لازم لهم وإن لم يجدوا فيه نصا في كتاب الله
“Dalam hadits ini terdapat penetapan khabar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan pemberitahuan kepada mereka bahwasannya wajib bagi mereka (untuk mengambil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam) sekalipun mereka tidak mendapati nashnya dalam Kitabullah” [Miftaahul-Jannah oleh As-Suyuuthiy, hal. 20].
Hadits-hadits shahih (tentang pengharaman daging anjing) yang disebutkan di awal artikel merupakan hujjah dan tambahan hukum selain yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Dan itu merupakan tambahan dari empat macam keharaman yang disebutkan dalam QS. Al-Baqarah : 173, An-Nahl : 115, dan Al-An’aam : 145.
Tentang perkataan sebagian salaf yang menyelisihi hadits yang disebutkan, apakah layak perkataan mereka disandingkan dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?.
Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُقَدِّمُوا بَيْنَ يَدَيِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Hujuraat : 1].
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata” [QS. Al-Ahzaab : 36].
Larangan dan pengharaman binatang yang mempunyai taring adalah shahih, diriwayatkan oleh beberapa orang shahabat, tercantum dalam kitab Shahiih Al-Bukhaariy dan Shahih Muslim. Barangsiapa yang mengatakan hadits tersebut lemah, maka ia termasuk orang bodoh yang tidak mengerti hadits dan ilmu hadits.
Ditambah lagi dengan adanya beberapa pengharaman makanan lain yang sangat tegas dan jelas ditunjukkan dalam hadits-hadits, di luar empat jenis tersebut. Misalnya pengharaman daging keledai jinak.
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu pernah berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ نِكَاحِ الْمُتْعَةِ يَوْمَ خَيْبَرَ وَعَنْ لُحُومِ الْحُمُرِ الْأَهْلِيَّةِ
“Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melarang nikah mut’ah dan (memakan) daging keledai jinak pada hari (peperangan) Khaibar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 4216 & 5115 & 5523 dan Muslim no. 1407].
Jika kita (Ahlus-Sunnah) bersepakat bahwa nikah mut’ah adalah terlarang (yang salah satunya) berdasarkan hadits ini, apakah kemudian kita akan mengatakan daging keledai itu halal, padahal larangan dua hal itu ditetapkan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu yang sama ?. Tentu tidak.
Perlu dicatat, hadits pengharaman keledai jinak diriwayatkan secara mutawatir oleh banyak shahabat radliyallaahu ‘anhu.[2]
Ini sebagai bukti kuat hashr yang disebutkan dalam tiga ayat di atas bukanlah hashr hakiki.
Wallaahu a’lam.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai – 18042014 – 16:55].




[1]      Hanya saja, Ad-Daaraquthniy menta’lilnya bahwasannya yang benar adalah dengan sanad : ‘dari Yahyaa bin Sa’iid, dari ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim, dari ayahnya, dari ‘Aaisyah’.
Baik dengan perantara ‘Abdurrahmaan bin Al-Qaasim ataupun tidak, maka sanadnya tetap hasan karena ‘Abdurrahmaan adalah seorang yang tsiqah.
[2]      Diantaranya : Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’uud, Anas bin Maalik, Ibnu ‘Abbaas, Jaabir bin ‘Abdillah, Abu Tsa’labah, ‘Abdullah bin Abi Aufaa, ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash,  Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ‘Irbaadl bin Saariyyah, Ghaalib bin Abhaar, Abu Sa’iid Al-Khudriy, Salamah bin Al-Akwaa’, Al-Miqdaad bin Ma’di Kariib, Al-Hakam bin ‘Amru, dan Abu Saliith radliyallaahu ‘anhum

2 komentar:

  1. Assalamu alaikum,
    Ustadz, kalo hadits, tidak halal darah seorang muslim untuk ditumpahkan kecuali karena salah satu dari tiga perkara; pezina muhshan, qishash, orang yang murtad yang memisahkan diri dari jamaah. (HR. Bukhari-Muslim)
    Hashr dalam hadits tersebut termasuk hashr yang haqiqi atau idhafi ustadz?

    BalasHapus
  2. saya masih awam dengan ilmu seperti ini, banyak yang harus diperdalam

    BalasHapus