31 Maret 2014

Rujuk dari Kekeliruan Apabila Kebenaran Telah Nampak

Sifat ini merupakan kesempurnaan kewaraan dan kejujuran seseorang. Orang yang jujur tidak akan berdiri dengan kaki lemah dan goyah di hadapan dirinya ketika telah jelas kekeliruan padanya. Ia tidak akan membayangkan hal itu akan mengurangi kedudukannya dan tidak pula melemahkan kewibawaannya. Bahkan, ia akan bersegera memegang kendali kebenaran dan menggigitnya dengan gigi gerahamnya. Tentu saja, ini membutuhkan penghapusan hawa nafsu dan anggapan kesucian diri.
As-salafush-shaalih telah mengajarkan kepada kita manhaj yang jelas lagi terang dalam permasalahan ini. Inilah dia ‘Umar bin Al-Khaththaab yang menulis sepucuk surat kepada Abu Muusaa Al-Asyariy radliyallaahu ‘anhuma yang isinya:
ولا يمنعنَّك قضاءٌ قضيت فيه اليوم فراجعت فيك رأيك ، فهديت فيه لرشدك أن تراجع فيه الحقَّ ، فإن الحق قديم لا يبطله شيء ، ومراجعة الحق خير من التمادي في الباطل
“Janganlah satu keputusan yang telah engkau putuskan padanya pada suatu hari mencegahmu untuk mengkaji ulang pendapatmu, sehingga engkau mendapatkan petunjuk padanya dengan rujuknya engkau kepada kebenaran. Karena, kebenaran itu qadiim (telah ada semenjak dulu) yang tidak dibatalkan oleh apapun. Meninjau ulang kebenaran lebih baik daripada terus-menerus dalam kebathilan”.[1]
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata:
من آفات التعصب الماحقة لبركة العلم: أن يكون طالب العلم قد قال بقول في مسألة ، كما يصدر ممَّن يفتي ، أو يصنِّف ، أو يناظر غيره ، ويشتهر ذلك القول عنه ، فإنه قد يصعب عليه الرجوع عنه إلى ما يخالفه ، وإن علم أنه الحق وتبيَّن له فساد ما قاله .ولا سبب لهذا الاستصعاب إلا تأثير الدنيا على الدين ، فإنه قد يسوِّل له الشيطان أو النفس الأمارة أن ذلك ينقصه ،ويحط من رتبته ، ويخدش في تحقيقه ، ويغض من رئاسته ،وهذا تخيل مختل ، وتسويل باطل ، فإن الرجوع إلى الحق يوجب له من الجلالة والنبالة وحسن الثناء ما لا يكون في تصميمه على الباطل ، بل ليس في التصميم على الباطل إلا محض النقص له والإزراء عليه بالاستصغار لشأنه .
            فإن منهج الحق واضح المنار يفهمه أهل العلم ، ويعرفون براهينه ، ولا سيما عند المناظرة ، فإذا زاغ عنه زائغ تعصباً لقول قد قاله أو رأي رآه ، فإنه لا محالة يكون عند من يطلع على ذلك من أهل العلم لأحد الرجلين : إما متعصب مجادل مكابر ، إن كان له من الفهم والعلم ما يدرك به الحق ويتميَّز به الصواب . أو جاهل فاسد الفهم باطل التصور ، إن لم يكن له من العلم ما يتوصل به إلى معرفة بطلان ما صمَّم عليه وجادل عنه . وكلا هذين المطعنين فيه غاية الشين
“Termasuk di antara penyakit-penyakit yang ditimbulkan oleh ta’ashub (fanatik) yang menghapuskan barakah ilmu adalah : Seorang penuntut ilmu ketika telah mengatakan satu perkataan dalam satu permasalahan, seperti yang dilakukan oleh orang yang berfatwa, penulis, atau pendebat yang mendebat orang lain (dengan perkataannya itu); lalu perkataannya itu menjadi terkenal berasal darinya. Maka, kadang-kadang itu menjadikan dirinya sulit untuk rujuk pada sesuatu yang menyelisihinya, meski ia mengetahui hal itu benar dan jelas baginya kekeliruan apa yang dikatakannya. Tidak lain penyebabnya adalah faktor keduniaan yang memasuki agama. Sungguh, setan dan hawa nafsu telah menggoda dirinya bahwa rujuk kepada kebenaran akan mengurangi kehormatannya, menurunkan kedudukannya, menodai usaha pentahqiqannya dan sebagian kepemimpinannya. Ini adalah khayalan orang gila dan godaan yang bathil. Sesungguhnya rujuk kepada kebenaran akan mengkonsekuensikan kehormatan, kemuliaan, dan pujian yang baik pada dirinya yang semuanya itu tidak akan dicapai jika ia tetap berada dalam kebathilan. Bahkan, sikap tetap berada dalam kebathilan hanya akan menghasilkan perendahan, peremehan, dan penghinaan terhadap dirinya.
Sesungguhnya manhaj kebenaran adalah seperti mercusuar terang yang dipahami para ulama dan diketahui penjelasan-penjelasannya, khususnya  saat berdiskusi. Apabila ada seseorang yang menyeleweng darinya karena kefanatikan terhadap satu perkataan atau pendapat yang ia pegang; maka para ulama yang melihatnya sebagai salah satu dari dua jenis orang: (1) orang yang fanatik, suka berdebat, lagi arogan meskipun ia mempunyai pemahaman dan ilmu yang mengantarkannya pada kebenaran dan memisahkan kebenaran (dari kebathilan); atau (2) orang bodoh yang memiliki pemahaman rusak dan persepsi yang bathil, dimana ia tidak memiliki ilmu yang mengantarkannya untuk mengetahui kebathilan yang ia pertahankan dan ia debatkan. Dua jenis orang tercela ini menyimpan segudang aib/noda”.[2]
Az-Zamakhsyariy rahimahullah berkata:
إياك والمكابرة والمغالطة وأنهاك عن الأغاليط وأربأ بك عن التخاليط
“Berhati-hatilah kalian terhadap sikap arogan dan berputar-putar lidah. Hindarilah kekeliruan-kekeliruan dan waspadalah terhadap pencampur-adukkan”.[3]
Hawa nafsu kadangkala membutakan manusia sehingga ia tidak menerima kebenaran yang telah jelas lagi terang.
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
والواجب على كل مسلم يشهد أن لا إله إلا الله ، أن يكون أصل قصده توحيد الله بعبادته وحده لا شريك له وطاعة رسوله ، يدور على ذلك ويتبعه أين وجده ، ويعلم أن أفضل الخلق بعد الأنبياء هم الصحابة ، فلا ينتصر لشخص انتصاراً مطلقاً عاماً إلا لرسول الله صلى الله علىه وسلم ، ولا طائفة انتصاراً مطلقاً عاماً إلا للصحابة –رضي الله عنهم أجمعين-، فإن الهدى يدور مع الرسول حيث دار ، ويدور مع أصحابه دون أصحاب غيره حيث داروا ، فإذا أجمعوا لم يُجمعوا على خطأ قط ، بخلاف أصحاب عالم من العلماء ، فإنهم قد يُجمعون على خطأ ، بل كل قول قالوه ولم يقله غيرهم من الأمة لا يكون إلا خطأ ، فإن الدين الذي بعث الله به رسوله ليس مُسلَّماً إلى عالم واحد وأصحابه ، ولو كان كذلك لكان ذلك الشخص نظيراً لرسول الله صلى الله علىه وسلم وهو شبيه بقول الرافضة في الإمام المعصوم
“Wajib bagi setiap muslim yang bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah melainkan Allah, menjadikan pokok tujuannya adalah mentauhidkan Allah semata dalam beribadah tidak ada sekutu bagi-Nya, serta mentaati Rasul-Nya. Ia mesti berputar dalam lingkaran tersebut dan mengikutinya dimanapun ia berada, dengan mengetahui bahwa seutama-utama makhluk setelah para nabi adalah para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Maka, tidak diperbolehkan membela seseorang dengan pembelaan secara mutlak kecuali Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga tidak diperbolehkan membela satu golongan dengan pembelaan secara mutlak kecuali golongan para shahabat radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Hal itu dikarenakan petunjuk berputar bersama Rasulullah dan para shahabatnya, bukan selainnya. Apabila mereka (para shahabat) telah bersepakat (dalam satu perkara), maka mereka tidak akan bersepakat dalam kekeliruan sedikitpun. Berbeda halnya dengan shahabat seorang ulama, yang kadang mereka bersepakat dalam kekeliruan. Bahkan, setiap perkataan yang mereka katakan yang tidak pernah dikatakan oleh umat selain mereka, adalah satu kekeliruan. Sesungguhnya agama yang Allah utus dengannya Rasul-Nya tidaklah diterimakan kepada seorang ulama saja dan shahabat-shahabatnya. Seandainya demikian, niscaya orang tersebut setara dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan ini menyerupai perkataan Raafidlah dalam keyakinan mereka terhadap imam ma’shum mereka”.[4]
Sedikit di antara banyak contoh yang dapat dibawakan dalam kasus rujuk kepada kebenaran yang ternukil dari para imam kaum muslimin antara lain adalah:
1.     Rujuknya Ibnul-Anbariy An-Nahwiy rahimahullah.
At-Tanuukhiy rahimahullah berkata:
كان ابن الأنباري النحوي يُملي من حفظه ، وما أملى من دفتر قط . حكى الدارقطني : أنه حضره يُصحِّف في اسم ، قال : فأعظمت له أن يُحمل عنه وهم ، وهبتُه ، فعرَّفت مستمليه ، فلمَّا حضرت الجمعة الأخرى ، قال الأنباري : إنا صحفنا الاسم الفلاني ، ونبهنا عليه ذلك الشاب على الصواب
“Dulu Ibnul-Anbariy An-Nahwiy (pakar ilmu nahwu) senantiasa mendiktekan dari hapalannya, dan ia tidak pernah mendiktekan dari buku catatannya sedikitpun. Ad-Daaraquthniy menghikayatkan bahwa ia pernah menghadiri majelisnya dan ketika itu ia (Ibnul-Anbariy) keliru dalam menyebutkan nama seseorang. Ad-Daaraquthniy berkata : ‘Karena aku menghormatinya dan tidak ingin mempermalukannya, maka aku berikan kepadanya kertas koreksiannya dan aku beritahukan kepadanya yang pernah didiktekannya. Ketika tiba Jum’at berikutnya, Al-Anbariy berkata : ‘Sesungguhnya kami telah keliru menyebutkan nama Fulaan, dan pemuda itu (yaitu Ad-Daaraquthniy) telah memberitahukan yang benar kepada kami”.[5]
2.     Rujuknya Ishaaq bin Raahawaih rahimahullah.
أن إسحاق ابْن راهويه ناظر الشافعي، وأَحْمَد بْن حنبل حاضر، فِي جلود الميتة إذا دبغت، فقال الشافعي: دباغها: طهورها. فقال إسحاق: ما الدليل ؟ فقال الشافعي: حَدِيثُ الزُّهْرِيِّ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ مَيْمُونَةَ، " أَنَّ النَّبِيَّ، صلى الله علىه وسلم مَرَّ بِشَاةٍ مَيِّتَةٍ، فَقَالَ: " هَلا انْتَفَعْتُمْ بِجِلْدِهَا ". فقال إسحاق: حديث ابْن عكيم: كتب إلينا رَسُول اللَّهِ، صلى الله علىه وسلم قبل موته بشهر: " لا تنتفعوا من الميتة بإهاب، ولا عصب ". أشبه أن يكون ناسخا لحديث ميمونة ؛ لأنه قبل موته بشهر. فقال الشافعي: هَذَا كتاب، وذاك سماع. فقال إسحاق: إن النبي، صلى الله علىه وسلم كتب إِلَى كسرى، وقيصر، وكان حجة عليهم عند اللَّه. فسكت الشافعي، فلما سمع ذلك أَحْمَد بْن حنبل ذهب إِلَى حديث ابْن عكيم، وأفتى بِهِ. ورجع إسحاق إِلَى حديث الشافعي، فأفتى بحديث ميمونة
“Bahwasannya Ishaaq bin Raahawaih pernah berdebat dengan Asy-Syaafi’iy dalam masalah kulit bangkai yang disamak, yang waktu itu Ahmad bin Hanbal hadir menyaksikan. Asy-Syaafi’iy berkata :  “Kulit bangkai yang telah disamak suci”. Ishaaq berkata : “Apa dalilnya ?”. Asy-Syaafi’iy berkata : “Hadits Az-Zuhriy, dari ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah, dari Ibnu ‘Abbaas, dari Maimuunah : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati bangkai kambing, lalu beliau bersabda : ‘Mengapa kalian tidak memanfaatkan kulitnya?”.
Ishaaq berkata : “Hadits Ibnu ‘Ukaim : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat kepada kami sebulan sebelum wafatnya : ‘Janganlah kalian memanfaatkan bangkai, baik kulit maupun uratnya” – seakan-akan hadits tersebut menghapus hadits Maimuunah karena itu terjadi sebulan sebelum wafatnya beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Asy-Syaafi’iy berkata : “Haditsmu ini berasal dari kitab, sedangkan hadits Maimuunah berasal dari penyimakan”.
Ishaaq berkata : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah menulis surat kepada Kisraa (raja Persia) dan Qaishar (raja Romawi), dan surat itu merupakan hujjah atas mereka di sisi Allah”.
Asy-Syaafi’iy pun terdiam.
Ketika mendengarnya, Ahmad bin Hanbal berpendapat dengan hadits Ibnu ‘Ukaim dan berfatwa dengannya. Sementara itu Ishaaq malah rujuk pada hadits yang dibawakan Asy-Syaafi’iy dan berfatwa dengan hadits Maimuunah”.[6]
In saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish0shawwaab.
[dari buku – Fiqhul-Ta’aamul ma’al-Akhthaa’ oleh Dr. ‘Abdurrahmaan bin Ahmad Al-Madkhaliy – abul-jauzaa’ – 31032014 – 22:55]




[1]      I’laamul-Muwaqqi’iin, 1/86.
[2]      Adabuth-Thalab wa Muntahal-Adab, hal. 88-89.
[3]      Asasul-Balaaghah, hal. 216.
[4]      Minhajus-Sunnah An-Nabawiyyah, 5/262.
[5]      Taariikh Baghdaad, 3/183 (dengan peringkasan).
[6]      Ath-Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah, 3/183.

7 komentar:

  1. Assalaamu'alaikum,

    Cuma mau nginfoin ke antum Pak. Antum diminta rujuk oleh penulis yang tidak asing lagi bagi antum..
    Karena menurut penulis, antum dianggap melakukan kesalahan cukup fatal dalam menerjemahkan perkataan Syaikh Shalih As-Sadlaan dalam masalah fatwa pemilu. Coba antum kroscek pak artikel tersebut.
    Ini kutipan 'permintaan' rujuk oleh beliau.


    awal kutipan
    "Saya berharap agar beliau mau rujuk dan menarik kembali perkataannya, demi kebaikan dirinya sendiri sekaligus untuk meluruskan pemahaman keliru para pembaca. Nas’alullahat taufiiq"
    -selesai kutipan-

    Selengkapnya :

    http://abul-harits.blogspot.com/2014/03/meluruskan-pemahaman-terhadap-fatwa.html

    BalasHapus
  2. Bagaimana saya rujuk, karena saya tidak merasa bersalah ?.

    Pertama,.... tentang fatwa Lajnah Daaimah, saya telah menterjemahkan secara utuh (baca : Partisipasi dalam Pemilu). Namun orang itu (Abul-Haarits) membuat persyaratan angan-angan sebagai berikut:

    Para ulama Al-Lajnah Ad-Da’imah membolehkan seorang muslim untuk masuk parlemen atau mencalonkan diri dalam kancah politik, jika ia dapat memenuhi beberapa syarat berikut:

    [Pertama] masuknya dalam parlemen dapat merubah sistem kufur demokrasi menjadi syariat Islam

    [Kedua] dapat menguasai parlemen sehingga berwenang membuat aturan-aturan yang tidak bertentangan dengan syariat

    [Ketiga] tidak menduduki jabatan yang menyelisihi syariat.


    Apakah syarat itu dikatakan oleh ulama Lajnah ?. Jawab : Tidak, karena ulama Lajnah hanya mengatakan:

    إلا إذا كان من رشح نفسه من المسلمين ومن ينتخبون يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام

    "Kecuali apabila orang yang mencalonkan dirinya itu dari kaum muslimin dan para pemilih berharap dengan masuknya orang itu ke sistem akan bersuara untuk perubahan agar berhukum dengan syari'at Islam...."

    Atau dengan kata lain : Orang yang masuk parlemen itu diharapkan dapat menyuarakan syari'at Islam sehingga membawa perubahan. Beda sekali antara apa yang dikatakan Lajnah dengan yang dikatakan orang itu. Orang itu kurang tepat dalam menterjemahkan dan/atau memahami kalimat :

    يرجون بالدخول في ذلك أن يصلوا بذلك إلى تحويل الحكم إلى العمل بشريعة الإسلام

    Kedua,....tentang perkataan Syaikh As-Sadlaan :

    ومن ذلك اجتهاد من يرى عدم جواز دخول الانتخابات البرلمانية

    al-intikhaabaat al-barlamaaniyah.

    Saya terjemahkan :

    "Contohnya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut dalam pemilihan umum dan duduk di parlemen....."

    Orang itu (Abul-Haarits) mempermasalahkan kata "duduk" dalam terjemahan tersebut. Ia menterjemahkan menjadi begini:

    “Diantaranya adalah ijtihad orang yang tidak membolehkan ikut-serta dalam pemilu di parlemen

    Coba silakan cermati bersama apa yang saya tulis dan apa yang ia tulis. Justru kalau diterjemahkan 'Pemilu di parlemen',... menurut saya jadi nggak pas. Mana ada Pemilu di parlemen ?.

    Kalau mau letterlijk terjemahan dari 'al-intikhaabaat al-barlamaaniyah' adalah : Pemilu keparlemenan (Parliamentary Elections). Kalau diterjemahkan begini, maka tentu tidak begitu familiar di bahasa kita. Tapi maksudnya adalah Pemilu Parlemen, yaitu Pemilu untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di parlemen. Itu inti yang ingin beliau (Syaikh As-Sadlaan) sampaikan. Jadi kalau kata 'duduk' dipermasalahkan untuk dikoreksi, maka ndak masalah (jazaakallaahu khairan), karena tidak mengubah inti permasalahan.

    Coba dipikir, seandainya ulama membolehkan Pemilu memilih wakil rakyat di parlemen dengan 'illat kemaslahatan umum atau memilih mafsadah teringan di antara dua mafsadah; bukankah itu artinya membolehkan juga keberadaan wakil-wakil itu sendiri di parlemen dengan 'illat hukum yang sama ?. Itu seperti penjelasan Syaikh Muhammad bin Shaalih Al-'Utsaimiin rahimahullah yang membolehkan Pemilu dan orang masuk parlemen dengan alasan akhaffu dlararain.

    Kalau Anda mengatakan tidak seperti itu, silakan ditulis di sini penjelasannya.

    BalasHapus
  3. Kemudian tentang partai.... Saya tidak pernah mengatakan bahwa partai itu hukum asal adalah boleh. Tapi ya begitu, orang itu salah paham sehingga memahami bahwa saya mengatakan membentuk partai itu boleh atau salafiy masuk partai itu secara asal adalah boleh. Lalu ia pun membahasnya ke sana dan kemari tanpa bisa memahami konteks yang saya bicarakan.

    Konteks artikel Mungkinkah Salafiy Ikut Pemilu dan Berparlemen ? adalah menampilkan sebagian pendapat yang masyhur dari kalangan ulama Ahlus-Sunnah tentang kebolehan ikut serta dalam Pemilu dan masuk parlemen - selain pendapat yang melarangnya. Tentu dengan pertimbangan dan 'illat hukum yang mendasari ijtihad mereka.

    Tapi apa yang dipahami orang itu (Abul-Harits)?.

    Artikel yang ia tulis seakan-akan menafikkan adanya khilaf tersebut di kalangan ulama. Lihat saja, ia hanya 'berani' membahas beberapa fatwa ulama yang masih ada 'celah' ia masuki dan bahas. Tapi bagaimana sikap dia terhadap fatwa Syaikh Ibnul-'Utsaimiin yang saya bawakan ?. Sama sekali tidak dibahas. Tidak pula ada usaha 'menampilkan fatwa lengkapnya'. Mengapa ? Karena fatwa beliau itu sangat jelas membolehkan partisipasi dalam Pemilu dan duduk di parlemen (dengan kondisi-kondisi yang beliau jelaskan) dimana fatwa beliau ini mampu menutup mulut orang-orang yang berusaha mengkaburkan keberadaan khilaf ini.

    Kembali ke masalah 'partai'. Jika ada ulama yang membolehkan Pemilu dan masuk parlemen dengan alasan kemaslahatan umum atau memilih mudlarat paling kecil/ringan [sekali lagi, Anda jangan malah membahasnya dengan metode tarjih, tapi ini sedang mencoba memahami perkataan seorang ulama], maka saya katakan dalam kolom komentar artikel Mungkinkah Salafiy Ikut Pemilu dan Berparlemen ?; bahwa mungkin bagi seorang salafiy bergabung pada partai tertentu atau membentuk partai tertentu.

    Kenapa ?

    Ketika dikatakan seseorang boleh masuk parlemen (dengan syarat-syarat tertentu), maka harus dipahami bahwa parlemen itu adalah parlemen yang berlaku umum di semua negara, bukan parlemen yang berjalan di pemikirannya orang-orang tertentu. Parlemen itu memberlakukan sistem multi partai. Tidak ada wakil rakyat yang masuk dalam parlemen, kecuali jika ia masuk dalam partai tertentu. Sekali lagi, inilah yang berlaku pada umumnya. Jika 'illatnya adalah mencapai kemaslahatan umum atau memilih mafsadat teringan, maka orang yang masuk ke partai tertentu dengan dasar 'illat hukum tersebut, tentu saja boleh. Partai di sini tentu saja partai yang paling baik di antara partai-partai yang ada sehingga ia bisa menyuarakan kebenaran di parlemen. Bagaimana jika partai yang ada tidak ada yang baik dan seseorang diberi kesempatan untuk membentuk partai yang sesuai dengan aspirasinya ?. Coba cermati fatwa para ulama yang membolehkan Pemilu di negeri kafir, salah satunya fatwa Syaikh 'Ubaid Al-Jaabiriy:

    "Meskipun demikian, apabila kaum muslimin di negeri Barat dan yang lainnya terpaksa masuk dalam Pemilu, maka ada beberapa keadaan. Diantaranya : mereka tidak akan menerima hak-hak mereka yang disahkan di Negara mereka kecuali dengan jalan adanya perwakilan yang berbicara atas nama mereka. Maka, jika mereka dipaksa untuk melakukannya dan mereka tidak mempunyai pilihan lain : Mereka memilih seorang laki-laki muslim (di parlemen) atau mereka kehilangan hak-hak mereka dan tidak mempunyai seorang pun yang mendengar urusan mereka; dalam situasi ini, hendaknya mereka memilih orang yang benar lagi bijaksana yang akan memberikan manfaat bagi kaum muslimin serta memperhatikan hak-hak mereka...."

    [selesai kutipan].

    BalasHapus
  4. Pokok yang mesti dipahami dalam fatwa Syaikh 'Ubaid itu adalah mereka boleh memilih seorang perwakilan mereka di parlemen yang akan memperjuangkan hak-hak mereka. Nalarnya, ini bisa dilalui dengan menunjuk seseorang pada partai tertentu, atau membuat partai tertentu yang dengannya mereka dapat menyalurkan aspirasi dan memperoleh hak-hak mereka.

    Silakan simak fatwa Lajnah Daaimah berikut:

    “سؤال : هل يجوز إقامة أحزاب إسلامية في دولة علمانية وتكون الأحزاب رسمية ضمن القانون، ولكن غايتها غير ذلك، وعملها الدعوي سري؟

    Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membentuk partai Islam di sebuah negara yang murni sekuler dan partai tersebut legal sebagaimana UU kepartaian yang ada? Akan tetapi tujuan dibentuknya partai tidaklah semata-mata partai. Tujuan dakwah dari partai ini disembunyikan”.

    الجواب : يشرع للمسلمين المبتلين بالإقامة في دولة كافرة أن يتجمعوا ويترابطوا ويتعاونوا فيما بينهم سواء كان ذلك باسم أحزاب إسلامية أو جمعيات إسلامية؛ لما في ذلك من التعاون على البر والتقوى”.

    Jawaban Lajnah Daimah, “Dibenarkan bagi kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk berkumpul, menjalin hubungan dan tolong-menolong di antara sesama mereka baik dengan nama partai politik Islam ataupun ormas Islam. Dikarenakan hal tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa”.

    [selesai nukilan fatwa]

    Jadi kalau ditanya :

    "Apakah mungkin seorang salafiy masuk atau membentuk partai ?".

    Jawaba saya sebagaimana yang telah lalu : "Mungkin".

    Tentu saja dengan kondisi dan alasan yang disampaikan ulama Lajnah.

    So, jika masuk parlemen boleh, maka perkara cabangnya berupa partai pun boleh, karena masuk parlemen tidak dapat dicapai kecuali lewat media partai.

    [tak bosan saya katakan, ini dalam lingkup term dan condition yang disebutkan para ulama : kemaslahatan umum dan/atau mengambil akhaffudl-dlararain]

    Saya tidak begitu tertarik membahas permasalahan dengan orang tersebut karena manhaj bahts yang ia lakukan tidak sistematis. Ia membahas ijtihad seorang ulama dengan ijtihad ulama lain. Ini aneh sekali. Tidak akan nyambung.

    Ia tidak bisa membedakan membahas pendapat seorang ulama tertentu dengan bahasan tarjih. Ia membahas fatwa Lajnah dengan memakai fatwa Al-Albaaniy, Al-'Ubailaan, dll.

    BalasHapus
  5. Sekedar ngingetin.

    قال الإمام أبو سعد المتولي وغيره : إذا نادى إنسان إنسانا من خلف ستر أو حائط فقال : السلام عليك يا فلان ، أو كتب كتابا فيه : السلام عليك يا فلان ، أو السلام على فلان ، أو أرسل رسولاً وقال : سلم على فلان ، فبلغه الكتاب أو الرسول ، وجب عليه أن يرد السلام . وكذا ذكر الواحدي وغيره أيضا أنه يجب على المكتوب إليه رد السلام إذا بلغه السلام

    Dan anda belum menjawab salam saya dan saudara muslim yang lainnya yang memberi salam kepada Anda (bbrp kali saya melihat, Anda 'malas' untuk sekedar menjawab salam saudara Anda yang lain ). Mohon diperhatikan Pak dalam masalah Adab yang seperti ini . Bukankah para Ulama memberi perhatian yang besar dalam masalah Adab. Bahkan berpuluh-puluh tahun mereka belajar Adab sebelum ilmu.

    BalasHapus
  6. 'Wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wa barakaatuh'

    Mohon maaf, saya alpa menuliskannya.

    BalasHapus
  7. kok justru ishaq yang rujuk? jelas sekali beliau yang menang debat. harusnya syafii yang rujuk..

    BalasHapus