Hikmah penciptaan dari Allah menghendaki bahwa manusia berbeda pendapat
dalam perkara-perkara kecil maupun besar, dalam urusan agama ataupun dunia.
Sebabnya adalah karena mereka diciptakan dengan berbeda tingkat pemahaman dan
ilmu, sebagaimana firman Allah ta’ala
tentang Nabi Sulaiman dan Nabi Dawud ‘alahimas-salaam
:
فَفَهَّمْنَاهَا
سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آَتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“Maka kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada
masing-masing mereka telah kami berikan hikmah dan ilmu“ [QS. Al-Anbiyaa’ : 79].
Sebagaimana manusia
diciptakan berbeda dalam sifat dan karakter, berbeda kecenderungan dan
keinginan, berbeda kekuatan dan kelemahan, berbeda kesabaran dalam menuntut
ilmu dan beramal; maka perbedaan pemahaman dan silang pendapat bukan hal yang
asing dalam kehidupan. Maka seyogyanya hal itu tidak menjadi sebab
berselisihnya hati, karena perselisihan hati itu haram dan bahaya besar yang
mengancam eksistensi iman, sebagaimana dinyatakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya :
لاَ تَدْخُلُوا
الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْمِنُوْا وَلاَ تُوْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا
“Kalian tidak akan masuk surga hingga kalian beriman,
dan kalian tidak akan beriman hingga kalian saling mencintai”.[1]
Sesungguhnya setiap muslim
itu adalah pencari kebenaran yang selalu berusaha menyingkap hakikat sesuatu
untuk menyatakan yang benar dan meninggalkan yang salah. Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda :
لاَ يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِيْ قَلْبِهِ مِثْقَالُ حَبَّةٍ مِنْ كِبْرٍ, فَقَالَ
رَجُلٌ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُوْنَ ثَوْبُهُ
حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنًا. قَالَ : إِنَّ اللهَ جَمِيْلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ,
الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada sikap
sombong meskipun hanya seberat biji sawi”. Maka seseorang bertanya : “Wahai Rasulullah,
sesungguhnya seseorang itu suka jika pakaiannya bagus dan sendalnya juga
bagus”. Beliau pun bersabda : “Sesungguhnya Allah itu indah dan suka kepada
yang indah. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan orang lain”.[2]
Mengingkari kebenaran dan
tidak mau menerimanya ataupun menyembunyikan serta menutupinya adalah sifat dan
karakter orang-orang Yahudi dan Nasrani, dan sungguh dia merupakan perkara yang
sangat berbahaya yang mengancam keselamatan manusia di akhirat. Karena dalam
hal ini, perbedaan pendapat telah bercampur dengan unsur yang lain yang
memanfaatkan perbedaan cara pandang dan pemahaman untuk melaksanakan tuntutan
hawa nafsu yang terpendam. Dari sini kemudian berbalik arah dari mencari
hakikat kebenaran menjadi penentang kebenaran dan tidak ada lagi hubungannya
dengan ilmu sama sekali.
Seandainya setiap orang
jujur dalam niat mereka untuk semata-mata mencari hakekat kebenaran, jauh dari
sikap ingin menang sendiri, dengki, ingin dipuji, dan hasrat untuk menjadi
pemimpin; maka bisa dipastikan bahwa permusuhan yang telah memenuhi catatan
sejarah dengan noda dan bencana akan lenyap dengan sendirinya. Karena itulah
perhatian generasi salaf rahimahumullaahu
ta’ala dikerahkan sepenuhnya untuk membersihkan niat dari segala noda
ketika mereka berdiskusi dan beradu argumen.
Al-Ghazali rahimahullah mengatakan dalam Al-Ihyaa’ :
التعاون على طلب
الحق من الدين، والتعاون على النظر في العلم وتوارد الخواطر مفيد ومؤثِّر ولكن له
شروط وعلامات منها: أن يكون في طلب الحق كناشد ضالة لا يفرق بين أن تظهر الضالة
على يده أو على يد من يعاونه، ويرى رفيقه معيناً لا خصماً، ويشكره إن أبان له عن
خطأه وأظهر له الحق
“Tolong menolong dalam
mencari kebenaran termasuk bagian dari agama, dan tolong menolong dalam
membahas ilmu serta menyampaikan pendapat itu bermanfaat dan besar pengaruhnya.
Akan tetapi ada syarat dan kriteria yang harus dipenuhi (untuk hal tersebut), diantaranya
adalah : (1) Hendaknya orang yang mencari kebenaran itu seperti orang yang
mencari barangnya yang hilang, dia tidak membedakan ketika barang itu ditemukan
oleh dirinya ataupun oleh orang yang membantunya; (2) Hendaknya dia memandang
rekannya sebagai kawan dan tidak menganggapnya sebagai lawan; (3) Dan hendaknya
dia berterima kasih kepadanya
jika dia menyampaikan kekeliruannya dan menunjukkannya kepada yang benar”
[selesai].
Dan demikianlah dahulu para
sahabat radliyallaahu ‘anhum bermusyawarah.
Dan pada masa puncak kemajuan peradaban Islam, perbedaan dalam berijtihad tidak
menjadi sumber perpecahan. Mereka telah berijtihad dalam menentukan bagian
orang-orang muallaf dalam pembagian
harta rampasan perang, tidak ditegakkannya hukum hadd terhadap pencuri di musim
kelaparan (paceklik) dan pada waktu perang, serta dalam masalah membunuh
beberapa orang yang berkomplot untuk membunuh seseorang.
Para tabi’in juga
pernah berijtihad dalam masalah penetapan harga (oleh penguasa) dan dalam
pemberian harta zakat kepada Bani Hasyim. Tidak ada seorangpun diantara mereka
yang mengingkari orang yang menyelisihi pendapatnya. Bahkan seorang wanita
pernah mengkritik dan meluruskan ‘Umar radliyallaahu
‘anhu ketika beliau
sedang berkhutbah di hadapan orang banyak, kemudian beliau berkata : “Perempuan
ini benar dan ‘Umar yang keliru”.[3]
Pernah juga seseorang
bertanya kepada ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu. Ketika beliau
menjawab pertanyaannya, orang tersebut berkata : “Tidak begitu wahai Amirul-Mukminin, yang benar adalah
begini dan begini”. Maka ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu berkata : “Kamu yang
benar dan aku yang salah, memang di atas setiap yang berilmu ada yang lebih
berilmu”.[4]
Sungguh Islam bersikap
lemah lembut pada perbedaan akal dalam memahami suatu permasalahan, memberikan
satu pahala kepada yang keliru dan dua pahala kepada yang benar, serta tetap
memasukkan keduanya ke dalam naungannya yang lapang, selama mereka semua ikhlas
dalam mencari kebenaran, berkeinginan yang kuat untuk mengetahui dan
mengamalkannya setelah mengerahkan seluruh kemampuan untuk mengetahuinya…
Al-Imam Al-Bukhaariy meriwayatkan
dalam kitab Shahih-nya bahwasanya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda
:
إِذَا اجْتَهَدَ
الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ
أَجْرٌ
“Jika seorang hakim
berijtihad dan benar dalam ijtihadnya, maka baginya dua pahala; dan jika dia
berijtihad kemudian salah dalam ijtihadnya maka baginya satu pahala”.[5]
Anda bisa melihat di sini
bahwa rahmat Allah tidak tergantung dari
hasil akhir pemikiran seseorang (benar atau salah).... Jadi mengapa manusia harus merasa sempit dengan apa
yang telah dilapangkan agama Allah ?! dan mengapa harus bersikap keras dan
saling menjauhi ?!
Alangkah tercelanya perilaku
orang yang menjadikan setiap perbedaan sebagai alat untuk tergesa gesa dalam
menuduh orang yang menyelisihinya keluar dan memisahkan diri dari jama’ah, atau
bahkan keluar dari agama, dan tuduhan-tuduhan lain yang semuanya tergolong
perbuatan ceroboh dalam menghukumi orang yang menyelisihi tanpa merujuk kepada
kaidah-kaidah syari’ah, dasar-dasar hukum, dan manhaj (metode) para imam dalam
masalah ini.
Ibnu Hazm rahimahullah pernah berkata setelah
beliau menyebutkan banyak ayat dan hadits yang berisi celaan dan larangan
perselisihan :
فإن قال قائل: إن الصحابة قد
اختلفوا وأفاضل الناس، أفيلحقهم هذا الذم؟
قيل له، وبالله تعالى
التوفيق:
كلا، ما يلحق هؤلاء شيء من
هذا، لأن كل امرىء منهم تحرى سبيل الله ووجهة الحق، فالمخطىء منهم مأجور أجراً
واحداً لنيته الجميلة في إرادة الخير، وقد رفع عنهم الإثم في خطئهم لأنهم لم
يتعمدوه ولا قصدوه ولا استهانوا بطلبهم والمصيب مأجور منهم أجرين. وهكذا كل مسلم
إلى يوم القيامة فيما خفي عليه من الدين ولم يبلغه، وإنما الذم المذكور والوعيد
الموصوف، لمن ترك التعلق بحبل الله تعالى الذي هو القرآن وكلام النبي بعد بلوغ النص
إليه، وقيام الحجة به عليه وتعلَّق بفلان وفلان مقلِّداً عامداً للاختلاف، داعياً
إلى عصبية وحمية الجاهلية، قاصداً للفرقة، متحرياً في دعواه برد القرآن والسنة
إليها، فإن وافقها النص أخذ به، وإن خالفها تعلق بجاهليته وترك القرآن وكلام النبي صلى الله عليه وسلم فهؤلاء
هم المختلفون المذمومون. وطبقة أخرى وهم قوم بلغت بهم رقة الدين، وقلة التقوى، إلى
طلب ما وافق أهواءهم في قول كل قائل، فهم يأخذون ما كان رخصة من قول كل عالم،
مقلدين له غير طالبين ما أوجبه النص عن الله تعالى، وعن رسوله صلى الله عليه وسلم
“Jika ada yang mengatakan
bahwa para sahabat dan manusia terbaik pernah berselisih, maka apakah celaan
ini juga mengenai mereka ?
Maka dengan taufiq Allah,
dikatakan kepada mereka :
Sekali-kali tidak !! Tak
sedikitpun celaan mengenai mereka, karena setiap orang dari mereka menempuh
jalan Allah dan mencari kebenaran. Maka yang salah sekalipun mendapatkan satu
pahala dikarenakan niatnya yang benar dan hanya mencari kebaikan, dan telah
diangkat kesalahan mereka karena mereka tidak sengaja dan tidak bermaksud melakukannya, dan mereka tidak pernah meremehkan dalam mencarinya (kebenaran). Adapun yang benar dari mereka maka baginya dua
pahala. Dan demikian pula setiap muslim hingga hari kiamat dalam perkara agama
yang tidak diketahui dan belum sampai ilmu kepadanya. Celaan yang disebutkan
itu hanya ditujukan kepada orang yang tidak berpegang kepada tali Allah ta’ala, yaitu Al-Qur’an dan sabda
Nabi-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam,
setelah sampai nash itu kepadanya dan hujjah telah ditegakkan atasnya. Dan justru celaan itu ada pada orang-orang tertentu dan bertaklid secara penuh untuk berselisih,
seraya mengajak kepada fanatisme dan slogan-slogan jahiliyyah dengan tujuan
memecah belah. Dia menakar Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan kepentingan
kelompoknya. Jika nash sesuai dengannya maka dia mengambil nash itu, tetapi
jika bertentangan maka dia mengambil kejahiliyahannya dan mencampakkan
Al-Qur’an dan sabda Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Orang yang berselisih seperti inilah yang tercela.
Ada lagi satu kelompok yang
dikarenakan sangat dangkal nilai agama dan sangat sedikit ketaqwaan dalam diri
mereka membuat mereka mencari dan mengambil perkataan siapa saja yang sesuai
dengan hawa nafsu mereka. Mereka mengambil rukhshah
(keringanan) dari perkataan setiap ulama, kemudian bertaklid kepadanya dan
tidak mempelajari apa yang diwajibkan oleh nash dari Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi wa sallam” [selesai].
Adapun ‘udzur para mujtahidin ketika mereka keliru adalah terkait
dengan usaha mereka yang telah mengerahkan seluruh kemampuan yang dimiliki
dengan disertai niat dan tujuan yang benar, dan perkara ini diserahkan kepada
Allah. Meskipun pada dasarnya kita harus berbaik sangka kepada setiap muslim
dan mencari ‘udzur untuknya.
Akan tetapi memaklumi ‘udzur para mujtahidin ketika
mereka keliru tidak mengharuskan kita untuk diam saja dan tidak menjelaskan
yang benar. Bahkan kita mesti menjelaskannya sesuai kondisi dan waktu. Harus
ditegakkan hujjah atas kebenaran, tapi hendaknya tidak dengan berbuat kasar dan
menuding pihak yang menyelisihi. Akan tetapi dengan menjelaskan yang haq dengan
kata-kata dan dalil yang sangat jelas sesuai dengan manhaj, metode Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah yang taat kepada yang haq dan mengasihi semua makhluk. Konteksnya
adalah konteks dakwah dan menyampaikan kebenaran, bukan mencari kemenangan
pribadi, golongan ataupun madzhab tertentu. Maka jika niat terkontaminasi
dengan sesuatu darinya, maka itulah yang menyebabkan terjadinya perpecahan dan
memicu untuk bertambahnya perselisihan.
[Al-I’tilaaf wal-Ikhtilaaf,
Asasuhu wa Dlawaabithuhu oleh Asy-Syaikh Dr. Shaalih bin Ghaanim
As-Sadlaan, hal. 34-41, Daarul-Balansiyyah].
[1] Diriwayatkan oleh Muslim no. 54 – Edt.
[2] Diriwayatkan oleh Muslim no. 91 – Edt.
[3] Yaitu, protesnya seorang wanita kepada ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ’anhu ketika beliau
berkhutbah memberikan nasihat kepada manusia agar mereka tidak mempermahal
mahar wanita.
Atsar ini adalah lemah (dla’if) ini; diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa 7/233, ’Abdurrazzaq dalam Al-Mushannaf no. 10420, dan Sa’id bin Manshur no. 597. Lihat Irwaaul-Ghaliil 6/347-348 no. 1927 –
Edt.
[4] Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan
12/19 dan Ibnu ‘Abdil-Barr dalam Jaami’ Bayaanil-‘Ilmi wa Fadhlihi no.
865.- Edt.
[5] Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7352 dengan lafadh :
إِذَا حَكَمَ
الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ
فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ.
“Jika seorang hakim memutuskan (satu perkara) yang
kemudian dia berijtihad lalu benar, maka baginya dua pahala; dan jika dia
memutuskan (satu perkara) kemudian dia berijtihad lalu salah, maka baginya satu
pahala” -Edt.
Comments
Barakallahu fikum
Sudahkah antum seperti yang antum tuliskan diatas? Mengapa tidak memulai dengan diri sendiri.
Posting Komentar