Ada
orang Syi’ah berkata :
Di antara penakwilan mereka (yakni para Sahabat) ialah dalam azan
Subuh yang tidak ada pada zaman Rasulullah SAWW; yaitu tambahan seruan
muazin: "Ash-shalatu khayrun min an-naum" (shalat lebih
utama daripada tidur). Bahkan hal itu tak pernah ada pada zaman Abu Bakar. Justru
Khalifah Kedualah yang memerintahkannya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh
hadis-hadis mutawatir melalui saluran 'itrah (keluarga
suci) Rasul SAWW
Ada
lagi yang nyeletuk :
Nashibi dengan entengnya berkata: “Walhasil , lafadh tatswib adalah lafadh yang telah ada semenjak
jaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam , dan bahkan telah menjadi
bagian dari sunnahnya yang suci. Bukan bikinan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu
sebagaimana tuduhan Syi’ah Rafidlah. Ini merupakan kesepakatan ulama
Ahlus-Sunnah.”
Jadi
menurutnya, Nashibi itu enteng berkata bahwa lafadh tatswiib itu
telah eksis semenjak jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Doktrinase
ulama-ulama Syi’ah kepada para pengikut mereka bahwa ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu-lah yang membuat-buat lafadh tatswiib (yaitu : ash-shalaatu
khairun minan-naum = shalat lebih baik daripada tidur) memang sudah lumayan
parah. Orang-orang yang terpedaya tipuan mereka pun turut serta, sebagaimana
dua perkataan di atas. Bahkan diberikan pilihan : Ikut adzan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam atau adzannya ‘Umar ?.
Para
ulama berbeda pendapat tentang makna tatswiib sebagaimana diterangkan
oleh At-Tirmidziy rahimahullah :
وَقَدِ
اخْتَلَفَ أَهْلُ الْعِلْمِ فِي تَفْسِيرِ التَّثْوِيبِ:
فَقَالَ
بَعْضُهُمْ: يَقُولَ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ،
وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدَ.
وقَالَ
إِسْحَاق فِي التَّثْوِيبِ غَيْرَ هَذَا، قَالَ: التَّثْوِيبُ الْمَكْرُوهُ هُوَ
شَيْءٌ أَحْدَثَهُ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ فَاسْتَبْطَأَ الْقَوْمَ، قَالَ بَيْنَ الْأَذَانِ
وَالْإِقَامَةِ قَدْ قَامَتِ الصَّلَاةُ حَيَّ عَلَى الصَّلَاةِ حَيَّ عَلَى
الْفَلَاحِ.
قَالَ:
وَهَذَا الَّذِي قَالَ إِسْحَاقُ: هُوَ التَّثْوِيبُ الَّذِي قَدْ كَرِهَهُ أَهْلُ
الْعِلْمِ، وَالَّذِي أَحْدَثُوهُ بَعْدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
وَالَّذِي
فَسَّرَ ابْنُ الْمُبَارَكِ، وَأَحْمَدُ أَنَّ التَّثْوِيبَ أَنْ يَقُولَ
الْمُؤَذِّنُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، وَهُوَ
قَوْلٌ صَحِيحٌ، وَيُقَالُ لَهُ: التَّثْوِيبُ أَيْضًا، وَهُوَ الَّذِي اخْتَارَهُ
أَهْلُ الْعِلْمِ، وَرَأَوْهُ.
وَرُوِيَ
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي صَلَاةِ الْفَجْرِ:
الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، وَرُوِيَ عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: دَخَلْتُ مَعَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ مَسْجِدًا، وَقَدْ أُذِّنَ فِيهِ وَنَحْنُ نُرِيدُ
أَنْ نُصَلِّيَ فِيهِ فَثَوَّبَ الْمُؤَذِّنُ، فَخَرَجَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ
مِنَ الْمَسْجِدِ، وَقَالَ: اخْرُجْ بِنَا مِنْ عِنْدِ هَذَا الْمُبْتَدِعِ وَلَمْ
يُصَلِّ فِيهِ.
قَالَ:
وَإِنَّمَا كَرِهَ عَبْدُ اللَّهِ التَّثْوِيبَ الَّذِي أَحْدَثَهُ النَّاسُ
بَعْدُ
“Para
ulama telah berbeda pendapat tentang tafsir makna tatswiib.
Sebagian
ulama berkata : Maknanya adalah seseorang berkata pada adzan fajr ash-shalaatu
khairun minan-naum. Ini adalah pendapat Ibnul-Mubaarak dan Ahmad.
Ishaaq
(bin Rahawaih) menjelaskan tentang tatswiib bukan dengan makna ini. Ia
berkata : ‘Tatswiib yang makruh adalah sesuatu yang diada-adakan manusia
setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila seorang muadzdzin
mengumandangkan adzan sehingga orang-orang berlambat-lambat (bermalas-malas) untuk
mendatanginya. Ia (muadzdzin) mengucapkan antara adzan dan iqamat : ‘qad
qaamatish-shalaah, hayya ‘alash-shalaah, hayya ‘alal-falaah’.
Inilah
yang dikatakan Ishaaq : ‘Tatswiib itulah yang dibenci para ulama yang
diada-adakan sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’.
Dan tatswiib yang ditafsir oleh Ibnul-Mubaarak
dan Ahmad, yaitu seorang muadzdzin yang mengatakan ketika adzan fajr : ash-shalaatu
khairun minan-naum. Inilah pendapat yang benar. Dan itu juga dinamakan tatswiib.
Itulah yang dipilih dan diambil oleh para ulama.
Telah diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Umar
bahwasannya ia pernah mengucapkan dalam adzan fajr : ‘ash-shalaatu khairun
minan-naum’. Dan telah diriwayatkan dari Mujaahid, ia berkata : ‘Aku pernah
masuk hendak melaksanakan shalat ke sebuah masjid bersama ‘Abdullah bin ‘Umar
yang waktu itu sedang dikumandangkan adzan. Mu’adzdzin mengucapkan tatswiib
dalam adzannya. Maka, ‘Abdullah bin ‘Umar keluar masjid dan berkata :
‘Keluarlah bersama kami. Orang ini adalah pelaku bid’ah’. Ia pun tidak jadi
shalat di masjid tersebut.
‘Abdullah hanyalah membenci tatswiib
yang diada-adakan manusia sepeninggal (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam”
[Sunan At-Tirmidziy, 1/239-240].
Apa yang dikatakan oleh Ishaaq bin Rahawaih
tentang tatswiib bid’ah, maka ia adalah yang diada-adakan oleh ulama Kuufah
dari kalangan Hanafiyyah [Al-Mabsuuth 1/130, Badaai’ush-Shanaai’
1/148, Al-Binaayah 2/111, Mawaahibul-Jaliil 1/431, Al-Ausath
3/23, dan Al-Mughniy 2/61].
Dalam hadits, iqamat juga disebut dengan tatswiib
sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا
قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، حَدَّثَنَا الْفُضَيْلُ يَعْنِي ابْنَ عِيَاضٍ، عَنْ
هِشَامٍ. ح. قَالَ: وحَدَّثَنِي زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَاللَّفْظُ لَهُ،
حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيل بْنُ إِبْرَاهِيمَ، حَدَّثَنَا هِشَامُ بْنُ حَسَّانَ،
عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " إِذَا ثُوِّبَ بِالصَّلَاةِ،
فَلَا يَسْعَ إِلَيْهَا أَحَدُكُمْ، وَلَكِنْ، لِيَمْشِ وَعَلَيْهِ السَّكِينَةُ،
وَالْوَقَارُ، صَلِّ مَا أَدْرَكْتَ، وَاقْضِ مَا سَبَقَكَ "
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin
Sa’iid : Telah menceritakan kepada kami Al-Fudlail bin ‘Iyaadl, dari Hisyaam,
ia berkata : (ح). Dan telah menceritakan kepadaku Zuhair bin Harb – dan lafadh
ini miliknya - : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ibraahiim : Telah
menceritakan kepada kami Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin, dari
Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
salla : “Apabila dikumandangkan ‘tatswiib’ (iqamat) untuk shalat,
janganlah kalian tergesa-gesa mendatanginya. Hendaklah ia berjalan dengan
tenang. Shalatlah apa yang engkau dapatkan dari imam, dan sempurnakanlah apa
yang tertinggal” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 602].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
قوله
صلى الله عليه وسلم: (إذا ثوب بالصلاة) معناه إذا أقيمت سميت الإقامة تثويبا لأنها
دعاء إلى الصلاة بعد الدعاء بالاَذان من قولهم ثاب إذا رجع
“Sabda beliau : ‘Apabila dikumandangkan
‘tatswiib’ untuk shalat’, maknanya adalah : apabila telah dikumandangkan iqamat.
Dinamakan iqamah dengan tatswiib karena ia merupakan seruan/panggilan
untuk shalat setelah seruan adzan. Berasal dari perkataan mereka : tsaaba
: idzaa raja’a (apabila ia kembali)” [Syarh Shahiih Muslim, 5/100
– melalui perantaraan ta’liiq Al-Hilaaliy atas kitab Al-Muwaththa’ 1/362].
Tentang
lafadh tatswiib ‘ash-shalaatu khairun minan-nauum’, telah shahih
eksistensi lafadh tersebut dalam sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam maupun di kalangan shahabat yang semasa dengan beliau, di antaranya
:
1.
Hadits Anas radliyallaahu
‘anhu.
نا
مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ الْعِجْلِيُّ، نا أَبُو أُسَامَةَ، عَنِ ابْنِ عَوْفٍ،
عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ سِيرِينَ، عَنْ أَنَسٍ، قَالَ: " مِنَ السَّنَةِ إِذَا
قَالَ الْمُؤَذِّنُ فِي أَذَانِ الْفَجْرِ: حَيَّ عَلَى الْفَلاحِ، قَالَ:
الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan Al-‘Ijliy[1]
: Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah[2],
dari Ibnu ‘Auf[3],
dari Muhammad bin Siiriin[4],
dari Anas[5],
ia berkata : “Termasuk sunnah adalah jika muadzdzin berkata saat adzan fajr hayya
‘alal-falaah, maka ia mengucapkan : ash-shalaatu
khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 386].
Sanad riwayat ini
shahih. Perkataan ‘termasuk
sunnah’ menurut
para ulama ahli hadits dan ushul dihukumi marfuu’ (marfuu’
hukman) - sampai kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam - walau secara
sanad ia mauquf.
2.
Hadits Abu
Mahdzuurah radliyallaahu ‘anhu.
حَدَّثَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ عَلِيٍّ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ
يُوسُفَ أَبُو الطَّبَّاعِ، ثنا سَعِيدُ بْنُ دَاوُدَ. ح وثنا مُحَمَّدُ بْنُ
أَحْمَدَ بْنِ الْحَسَنِ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُثْمَانَ بْنِ أَبِي شَيْبَةَ، ثنا
عَبْدُ الْحَمِيدِ بْنُ صَالِحٍ ح وثنا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو، ثنا
أَبُو حُصَيْنٍ الْقَاضِي، ثنا يَحْيَى بْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ الْحِمَّانِيُّ. ح
وثنا أَحْمَدُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثنا عُبَيْدُ بْنُ الْحَسَنِ الْفَوَّالُ، ثنا
سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الشَّاذَكُونِيِّ، قَالُوا: ثنا أَبُو بَكْرِ بْنُ
عَيَّاشٍ، ثنا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ رُفَيْعٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا
مَحْدُورَةَ، يَقُولُ: " كُنْتُ غُلامًا صَبِيًّا فَأَذّنْتُ بَيْنَ يَدَيِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ حُنَيْنٍ الْفَجْرَ، فَلَمَّا
انْتَهَيْتُ إِلَى حَيِّ عَلَى الصَّلاةِ حَيِّ عَلَى الْفَلاحِ، قَالَ النَّبِيُّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَلْحِقْ فِيهَا الصَّلاةَ خَيْرٌ مِنَ
النَّوْمِ "
Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Abdillah Muhammad bin Ahmad bin ‘Aliy : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Yuusuf Abuth-Thabbaa’ : Telah menceritakan kepada kami
Sa’iid bin Daawud (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ahmad bin
Al-Hasan[6]
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah[7]
: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid bin Shaalih[8]
(ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad bin
‘Amru : Telah menceritakan kepada kami Abu Hushain Al-Qaadliy : Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin ‘Abdil-Hamiid Al-Himmaaniy (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Ishaaq : Telah
menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Al-Hasan Al-Fawwaal : Telah menceritakan
kepada kami Sulaimaan bin Daawud Asy-Syaadzakuuniy; mereka semua berkata :
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin ‘Ayyaasy[9]
: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Rufai’[10],
ia berkata : Aku mendengar Abu Mahdzuurah[11]
berkata : “Dulu ketika aku masih kecil, aku pernah mengumandangkan adzan di
hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat peperangan Hunain di
waktu Shubuh. Ketika aku sampai pada bacaan hayyaa ‘alash-shalaah, hayyaa
‘alal-falaah, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Tambahkanlah
: ash-shalaatu khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah
8/310].
Hadits ini hasan. Terdapat
beberapa jalan yang menguatkan jalan riwayat ini, di antaranya :
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الرَّحْمَنِ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ عَبْدُ الرَّحْمَنِ:
لَيْسَ هُوَ الْفَرَّاءَ، عَنْ أَبِي سَلْمَانَ، عَنْ أَبِي مَحْذُورَةَ، قَالَ:
" كُنْتُ أُؤَذِّنُ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي
صَلَاةِ الصُّبْحِ، فَإِذَا قُلْتُ: حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ، قُلْتُ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ
مِنَ النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، الْأَذَانُ الْأَوَّلُ "
Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdurrahmaan[12]
: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan[13],
dari Abu Ja’far[14] –
‘Abdurrahmaan berkata : Ia (Abu Ja’far) bukanlah Al-Farraa’ - , dari Abu Salmaan[15],
dari Abu Mahdzuurah, ia berkata : “Dulu aku pernah mengumandangkan adzan di
jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada shalat Shubuh. Apabila
aku mengatakan : hayya ‘alal-falaah, maka aku katakan : ash-shalaatu
khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 3/408].
Semua perawinya tsiqaat,
kecuali Abu Salmaan, ia maqbuul. Perkataan Ibnu Mahdiy bahwa Abu Ja’far
itu bukan Al-Farraa’, maka itu keliru, karena ia memang Al-Farraa’. Al-Mizziy rahimahullah
telah memberikan bantahan atas perkataan Ibnu Mahdiy ini dalam Tahdziibul-Kamaal.
حَدَّثَنَا
كَامِلٌ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا مَحْذُورَةَ،
إِذَا أَذَّنَ حَيَّ عَلَى الصَّلاةِ حَيَّ عَلَى الْفَلاحِ: الصَّلاةُ خَيْرٌ
مِنَ النَّوْمِ، الصَّلاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
Telah menceritakan
kepada kami Kaamil[16],
ia berkata : Aku mendengar Abu Shaalih[17],
ia berkata : Aku mendengar Abu Mahdzuurah apabila mengumandangkan adzan hayya
‘alash-shalaah, hayya ‘alal-falaah, mengucapkan : ash-shalaatu khairun
minan-naum [Diriwayatkan oleh Al-Fadhl bin Dukain dalam Fadlaailush-Shalaah,
no. 245].
Sanad riwayat ini
hasan. Hal ini menunjukkan adzan Abu Mahdzuurah – salah satu muadzdzin Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam – adalah melafadhkan tatswiib.
3.
Hadits Bilaal radliyallaahu
‘anhu :
حَدَّثَنَا
عَمْرُو بْنُ رَافِعٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْمُبَارَكِ، عَنْ
مَعْمَرٍ، عَنْ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ، عَنْ بِلَالٍ،
أَنَّهُ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ يُؤْذِنُهُ بِصَلَاةِ
الْفَجْرِ، فَقِيلَ: هُوَ نَائِمٌ، فَقَالَ: " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ
النَّوْمِ، الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "، فَأُقِرَّتْ فِي تَأْذِينِ
الْفَجْرِ، فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ
Telah menceritakan
kepada kami ‘Amru bin Raafi’[18]
: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Mubaarak[19],
dari Ma’mar[20],
dari Az-Zuhriy[21],
dari Sa’iid bin Al-Musayyib[22],
dari Bilaal[23] :
Bahwasannya ia pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dalam rangka mengumandangkan untuk beliau adzan shalat Shubuh. Dikatakan :
“Beliau masih tidur”. Lalu Bilaal berkata : “Ash-shalaatu khairun
minan-naum, ash-shalaatu khairun minan-naum”. Maka hal itu disetujui dalam
adzan shubuh (oleh beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam), dan jadilah ia perkara yang tetap dalam
syari’at [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 716].
Semua perawinya tsiqaat,
hanya saja sanadnya mursal karena Ibnul-Musayyib tidak pernah bertemu
dengan Bilaal[24]. Al-Baihaqiy
(1/422-423 no. 1983) dan Ahmad (4/42) membawakan perantara Ibnul-Musayyib
dengan Bilaal, yaitu ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Abdi Rabbih. Diriwayatkan juga dari
jalan ‘Abdurrahmaan bin Abi Lailaa dan Suwaid bin Ghafalah. Riwayat berikut juga
merupakan syaahid-nya :
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، عَنْ سُفْيَانَ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ سُوَيْدِ بْنِ
غَفَلَةَ، أَنَّهُ أَرْسَلَ إِلَى مُؤَذِّنِهِ إِذَا بَلَغْتَ حَيَّ عَلَى
الْفَلَاحِ فَقُلْ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، فَإِنَّهُ أَذَانُ بِلَالٍ
"
Telah menceritakan
kepada kami Wakii’[25],
dari Sufyaan[26],
dari ‘Imraan bin Muslim[27],
dari Suwaid bin Ghafalah[28]
: Bahwasannya ia memerintahkan muadzdzin jika sampai pada bacaan hayya
‘alal-falaah, maka hendaklah ia mengucapkan : ash-shalaatu khairun
minan-nauum. Karena ia adalah adzan Bilaal [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah no. 2168].
Sanadnya shahih,
semua perawinya tsiqah.
Sudah dimaklumi
bahwa Bilaal adalah salah satu muadzdzin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Jika Suwaid mengatakan bahwa tatswiib merupakan adzan Bilaal,
maka maksudnya adalah adzan Bilaal yang dikumandangkan di sisi Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam.
Para
fuqahaa’ telah bersepakat tentang masyru’-nya tatswiib
dalam adzan Shubuh, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Hubairah [Al-Ifshaah ‘an
Ma’aanish-Shihaah 1/67, Syarh Ma’aanil-Aatsaar 1/137, Al-Bahrur-Raaiq
1/274 & 275, Al-Mudawwanah Al-Kubraa 1.178, Al-Istidzkaar
1/75, Al-Majmuu’ 3/100-101, Mughnil-Muhtaaj 1/136, Al-Mughniy
2/61, Al-Furuu’ 1/273].
Catatan : Asy-Syaafi’iy dalam al-qadiim
berpendapat tentang sunnahnya tatswiib, adapun dalam al-jadiid,
ia berpendapat makruuh [Al-Majmuu’, 3/100-101]. Namun pendapat baru
Asy-Syaafi’iy tidak masyhuur, hingga An-Nawawiy rahimahullah
berkata :
والمذهب أنه مشروع
“Dan
yang dipegang madzhab, bahwasannya tatswiib itu disyari’atkan” [idem,
3/101].
Ini
menunjukkan An-Nawawiy tidak terbelenggu fanatik madzhab meskipun berselisihan
pendapat dengan Asy-Syaafi’iy rahimahumallah. Inilah fiqh ahlul-hadits.
Kemudian
ada orang Syi’ah tergopoh-gopoh mengatakan sebagai berikut :
BID’AH TATSWIB DALAM PANDANGAN IBN UMAR
Ibn Umar menyatakan “tatswib” adalah Bid’ah
Mujahid berkata : Aku bersama Ibn Umar dan lalu ia mendengar
sesorang membaca Tatswib dalam masjid. Lalu (ibn Umar) berkata : “mari kita
pergi (menjauh) dari pembuat bid’ah ini (mubtadi). (al Mushanaf Abdul
Razaq , J. 1 h. 475, riwayat.1832)
Terus
terang saya ‘menikmati’ ulasan orang Syi’ah ini. ‘Abdurrazzaaq telah membawakan
riwayat ini dalam Bab : At-Tatswiib fil-Adzaan wal-Iqaamah, lalu berkata :
عَنِ
ابْنِ عُيَيْنَةَ، عَنْ لَيْثٍ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ،
فَسَمِعَ رَجُلا يُثَوِّبُ فِي الْمَسْجِدِ، فَقَالَ: " اخْرُجْ بِنَا مِنْ
عِنْدِ هَذَا الْمُبْتَدِعِ "
Dari
Ibnu ‘Uyainah[29],
dari Laits[30],
dari Mujaahid[31],
ia berkata: Aku pernah bersama Ibnu ‘Umar, lalu ia mendengar seorang laki-laki
mengumandangkan tatswiib di masjid. Maka ia berkata : “Keluarlah bersama
kami. Di sisi kami, orang ini adalah mubtadi’ (pelaku bid’ah)” [Al-Mushannaf
no. 1832].
Sanad
riwayat ini adalah lemah dikarenakan Laits bin Abi Sulaim. Ada riwayat lain
yang mendukung/menguatkan :
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ كَثِيرٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، حَدَّثَنَا أَبُو يَحْيَى
الْقَتَّاتُ، عَنْ مُجَاهِدٍ، قَالَ: كُنْتُ مَعَ ابْنِ عُمَرَ، فَثَوَّبَ رَجُلٌ
فِي الظُّهْرِ أَوِ الْعَصْرِ، قَالَ: " اخْرُجْ بِنَا فَإِنَّ هَذِهِ
بِدْعَةٌ "
Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Katsiir[32]
: Telah menceritakan kepada kami Sufyaan[33]
: Telah menceritakan kepada kami Abu Yahyaa Al-Qattaat[34],
dari Mujaahid, ia berkata : Aku pernah bersama Ibnu ‘Umar, lalu ada seorang
lak-laki mengumandangkan tatswiib pada shalat Dhuhur atau ‘Ashar. Maka
Ibnu ‘Umar berkata : “Keluarlah bersama kami, karena perbuatan ini adalah
bid’ah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 452].
Sanad
riwayat ini hasan, para perawinya tsiqaat kecuali Abu Yahyaa Al-Qattaat
– seorang yang lemah, namun riwayat Sufyaan darinya adalah muqaarib (pertengahan/hasan)
sebagaimana dikatakan Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Dengan
hal ini, apakah pendapat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa tersebut
sesuai dengan keinginan (baca : hawa nafsu) orang Syi’ah tersebut ?. Tentu saja
bid’ah, karena tatswiib yang ada di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam dikumandangkan ketika adzan Shubuh. Dan yang lebih meyakinkan
lagi, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sendiri mengamalkan tatswiib
dalam adzan, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا
عَبْدَةُ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ
يَقُولُ فِي أَذَانِهِ: " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdah[35],
dari ‘Ubaidullah[36],
dari Naafi’[37],
dari Ibnu ‘Umar[38] :
Bahwasannya ia mengatakan dalam adzannya : ash-shalaatu khairun minan-naum [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah no. 2171].
Sanadnya
shahih, semua perawinya tsiqaat. Dalam riwayat Muhammad bin ‘Ajlaan dari
Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, adzan yang ia kumandangkan dengan lafadh tatswiib
tersebut adalah adzan awal pada shalat Shubuh. Juga riwayat berikut :
قَالَ
عَبْدُ اللَّهِ، وَأُسُامَةُ، قَالَ نَافِعٌ: " وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا رَأَى
الْفَجْرَ أَذَّنَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ بِالنِّدَاءِ الْأُولَى، وَيَقُولُ فِي آذَانِهِ:
الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Telah
berkata ‘Abdullah[39]
dan Usaamah[40] :
Telah berkata Naafi’ : “Adalah Ibnu ‘Umar jika melihat fajr, ia mengumandangkan
adzan untuk shalat Shubuh dengan panggilan pertama, dan ia berkata dalam
adzannya tersebut : ash-shalaatu khairun minan-naum” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ no. 476].
Sanadnya
hasan.
Sampai
di sini, perkataan orang Raafidlah dalam membawakan perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa gagal total.
IMAM
MA’SHUM MELAKUKAN BID’AH ?
حَدَّثَنَا
حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، وَمُسْلِمِ بْنِ أَبِي
مَرْيَمَ، أَنَّ عَلِيَّ بْنَ حُسَيْنٍ كَانَ يُؤَذِّنُ، فَإِذَا بَلَغَ حَيَّ
عَلَى الْفَلَاحِ، قَالَ: حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ، وَيَقُولُ: " هُوَ
الْأَذَانُ الْأَوَّلُ "
Telah
menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil[41],
dari Ja’far[42],
dari ayahnya[43]
dan Muslim bin Abi Maryam[44]
: Bahwasannya ‘Aliy bin Al-Husain[45]
pernah mengumandangkan adzan, dan apabila sampai pada perkataan hayya
‘alal-falaah, ia mengucapkan : “Hayya ‘alaa khairil-‘amal”. Dan ia
berkata : “Ucapan itu ada pada adzan pertama (waktu Shubuh)” [Diriwayatkan oleh
Ibnu Abi Syaibah no. 2251].
Sanadnya
shahih.
Dengan
cara pikir ortodok ala Syi’ah dalam menyikapi tatswiib yang
dianggap sebagai bid’ahnya ‘Umar radliyallaahu ‘anhu – padahal tuduhan
ini keliru - , maka bagaimana mereka menyikapi adzannya imam ma’shum ini ?. Tidak
ada riwayat shahih lagi marfuu’ hingga Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam yang melegalkan lafadh hayya ‘alaa khairil-‘amal.
Imam
ma’shum melakukan bid’ah ? – sama seperti (anggapan) bid’ahnya ‘Umar ?.
Lantas
apa bedanya antara ‘Aliy bin Al-Husain dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhumaa kalau begitu ?.
Apakah
itu kembali pada dua aturan :
Pasal
1. Imam ma’shum tidak boleh salah.
Pasal
2. Jika terbukti bersalah, maka kembali pada Pasal 1.
?
? ?.
Jika
‘Umar senantiasa dituduh sebagai perusak syari’at – dan ia berlepas diri dari
tuduhan orang-orang tolol itu – , sementara sang imam....... (?).
تِلْكَ
إِذًا قِسْمَةٌ ضِيزَى
“Yang
demikian itu tentulah suatu pembagian yang tidak adil”
[QS. An-Najm : 22].
Mungkin
sebagian golongan pandir dari mereka berkata :
Bukankah
Ibnu ‘Umar juga mengucapkan hayya ‘alal khairil-‘amal dalam adzannya ?.
Benar
bahwasannya ternukil dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu bahwa ia
mengucapkan hayya ‘alaa khairil-‘amal dalam adzannya, sebagaimana
riwayat :
حَدَّثَنَا
أَبُو أُسَامَةَ، قَالَ: نَا عُبَيْدُ اللَّهِ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: كَانَ ابْنُ
عُمَرَ رُبَّمَا زَادَ فِي أَذَانِهِ حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ "
Telah
menceritakan kepada kami Abu Usaamah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada
kami ‘Ubaidullah, dari Naafi’, ia berkata : “Ibnu ‘Umar kadang-kadang
menambahkan dalam adzannya perkataan : ‘hayya ‘alaa khairil-‘amal”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah; shahih].
Akan
tetapi, tidak ada bedanya antara Ibnu ‘Umar, Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy,
atau yang lain di kalangan shahabat radliyallaahu ‘anhum, karena yang
menjadi hujjah adalah Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’. Ucapan siapapun boleh
diterima dan ditolak kecuali ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Ahlus-Sunnah tidak mengharamkan menolak pendapat siapapun yang tidak dilandasi
dalil. Pun dalam masalah ini adalah Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.
Dan,
sejak kapan orang Raafidlah itu berhujjah dengan perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa ?. Jawabnya, sejak perkataan Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
tersebut bermanfaat untuk membersihkan sang imam ma’shum dari kesalahan. Tentu
mereka gusar jika sang imam terbukti valid melakukan kekeliruan, meski dalam
ijtihadnya. Lantas, mengapa orang-orang pandir itu menyalahkan ‘Umar dalam
masalah tatswiib – padahal ‘Umar radliyallaahu ‘anhu tidak keliru
dalam masalah itu - dan tidak menyalahkan sang imam ?. Jawabnya, karena ‘Umar harus salah, dan imam harus benar. Klasik lagi basi.
Adapun
sikap ahlus-sunnah, maka setiap orang selain Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah ma’shum. Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsmaan, ‘Aliy, dan orang-orang
yang thabaqah-nya di bawah mereka di kalangan shahabat tidaklah mendapat
perkecualian dalam hal ini. ‘Aliy bin Al-Husain adalah seorang ulama ahlul-bait
yang shalih. Kita mencintainya, namun kita tidak menuhankannya dengan
menyucikan dari kekeliruan, meski dalam ijtihadnya.
Semoga
tulisan ini ada manfaatnya....
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– wonokarto, wonogiri, 29072012].
[1] Muhammad bin ‘Utsmaan bin Karaamah Al-‘Ijliy, Abu
Ja’far/Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah
ke-11, dan wafat tahun 256 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 877 no. 6174].
[2] Hammaad bin Usaamah bin Zaid Al-Qurasyiy Abu Usaamah
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat, kadang melakukan tadlis.
Termasuk thabaqah ke-9, dan wafat tahun 201 H dalam usia 80 tahun. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 267 no. 1495]. Ibnu Hajar memasukkannya dalam
tingkatan kedua mudallisiin, sehingga ‘an’anah yang dibawakannya tidak
memudlaratkannya.
[3] Begitulah yang tertulis dalam Shahiih
Ibni Khuzaimah. Yang benar adalah Ibnu ‘Aun sebagaimana yang terdapat dalam
Sunan Al-Baihaqiy, Sunan Ad-Daaruquthniy, Al-Ausath li-Ibnil-Mundzir, Al-Mukhtarah,
dan yang lainnya.
Ibnu
‘Aun adalah : ‘Abdullah
bin ‘Aun bin Arthabaan Al-Muzanniy, Abu ‘Aun Al-Bashriy; seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H
di Kuufah. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 533
no. 3543].
[4] Muhammad bin Siiriin Al-Anshaariy, Abu Bakr bin Abi ‘Amrah
Al-Bashriy; seorang tabi’iy masyhur,
tsiqah, lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-3, dan wafat
tahun 110 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 853 no. 5985].
[5] Anas bin Maalik bin An-Nadlr bin Dlamdlam bin Zaid bin
Haraam bin Jundab bin ‘Aamir bin Ghunm bin ‘Adiy bin An-Najjaar Al-Anshaariy
An-Najjaariy, Abu Hamzah Al-Madaniy; salah seorang shahabat masyhuur.
Wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 154 no. 570].
[6] Muhammad bin
Ahmad bin Al-Hasan bin Ishaaq bin Ibraahiim bin
‘Abdillah, Abu ‘Aliy – terkenal dengan nama Ibnush-Shawwaaf; seorang yang tsiqah
lagi ma’muun. Lahir tahun 270 H dan wafat tahun 359 H [Taariikh
Baghdaad, 2/115-116 no. 90].
[7] Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, Abu Ja’far
Al-‘Absiy Al-Haafidh; seorang yang ‘aalim dan luas wawasannya
dalam hadits dan rijaal, haditsnya hasan. Para ulama berbeda pendapat
tentangnya, ada yang mentautsiqnya, ada pula yang men-jarh-nya, bahkan
mendustakannya. Namun perkataan yang ‘adil tentangnya adalah : ia seorang yang shaduuq,
hasan haditsnya. Lahir tahun 214 H, dan wafat tahun 297 H [Lisaanul-Miizaan
7/340-342 no. 7158 dan Muqaddimah Kitaab Al-‘Arsy hal. 226-234].
[8] ‘Abdul-Hamiid
bin Shaalih bin ‘Ajlaan Al-Burjumiy, Abu Shaalih Al-Kuufiy; seorang yang
dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq”. Termasuk thabaqah ke-10, dan
wafat tahun 230 H. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal.
565 no. 3790]. Bahkan ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan oleh
Muthayyin, Ibnu Hibbaan, dan Maslamah bin Al-Qaasim. Abu Haatim berkata : “Shaduuq”.
Ibnul-Qaani’ berkata : “Shaalih” [lihat : Tahriirut-Taqriib,
2/229 no. 3766].
[9] Abu Bakr bin ‘Ayyaasy bin Saalim Al-Asadiy
Al-Kuufiy Al-Muqri’ Al-Hanaath; seorang yang tsiqah lagi ‘aabid,
namun ketika beranjak tua, hapalannya berubah/jelek, dan kitabnya adalah
shahih. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 95 H/96 H/100 H, dan wafat
tahun 194 H atau dikatakan setahun atau dua tahun sebelum itu. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1118 no. 8042].
[10] ‘Abdul-‘Aziiz
bin Rufai’ Al-Asadiy, Abu ‘Abdillah Al-Makkiy Ath-Thaaifiy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 130 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 612 no. 4123].
[11] Abu Mahdzurah Al-Qurasyiy Al-Jumahiy Al-Makkiy
Al-Muadzdzin; salah seorang shahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang
mulia. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun 59 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1200 no. 8407].
[12] ‘Abdurrahmaan bin Mahdiy bin Hassaan bin ‘Abdirrahmaan
Al-‘Anbariy Abu Sa’iid Al-Bashriy;
seorang yang tsiqah, tsabt, lagi haafidh.
Termasuk thabaqah ke-9,
lahir tahun 135 H, dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 601 no. 4044].
[13] Sufyaan bin
Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, ‘aabid, imam, lagi hujjah. Termasuk thabaqah ke-7, lahir tahun 97 H, dan wafat
tahun 161 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 394 no. 2458].
[14] Abu Ja’far Al-Farraa’ Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah.
Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad
dan Abu Daawud [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1126 no. 8078].
[15] Abu Salmaan Al-Muadzdzin, dikatakan bahwa
namanya adalah Hammaam; seorang yang maqbuul. Termasuk thabaqah ke-3.
Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1155 no. 8200].
[16] Kaamil bin
Al-‘Alaa’ At-Tamiimiy As-Sa’diy, Abul-‘Alaa’/Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang
yang shaduuq, namun banyak keliru. Termasuk thabaqah ke-7.
Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, dan An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 807 no. 5639].
Berikut perinciannya :
Ibnu Ma’iin, Al-Fasawiy, dan Al-‘Ijliy
berkata : “Tsiqah”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat”, namun dalam
riwayat lain : “Tidak mengapa dengannya”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Aku lihat dalam
sebagian haditsnya sesuatu yang aku ingkari. Dan aku harap tidak mengapa
dengannya”. Ibnu Sa’d berkata : Sedikit haditsnya, dan ia tidak seperti itu (laisa
bi-dzaaka)”. Ibnul-Mutsannaa berkata : “Aku tidak mendengar Ibnu Mahdiy
meriwayatkan darinya sedikitpun”. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia adalah orang yang
membolak-balikkan sanad, memarfu’kan sanad mursal tanpa ia ketahui, sehingga
tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya”. Oleh karena itu, penghukuman yang
lebih tepat baginya, ia adalah seorang yang shaduuq, hasan haditsnya
selama tidak terdapat perselisihan [lihat : Tahriirut-Taqriib, 3/191 no.
5604].
[17] Dzakwaan, Abu Shaalih As-Sammaan Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk
thabaqah ke-3, dan wafat tahun 101 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 313 no. 1850].
[18] ‘Amru bin Raafi’ bin Al-Furaat bin Raafi’
Al-Bajaliy, Abu Hajar Al-Qazwiiniy; seorang yang tsiqah
lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-10, dan wafat tahun 237 H.
Dipakai oleh Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 735 no. 5063].
[19] ‘Abdullah bin Al-Mubaarak bin Waadlih Al-Handhaliy At-Tamiimiy, Abu ‘Abdirrahmaan
Al-Marwaziy; seorang yang tsiqah, tsabat, faqiih, lagi ‘aalim.
Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 118 H, dan wafat tahun 181 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 540 no. 3595].
[20] Ma’mar bin Raasyid Al-Azdiy, Abu ‘Urwah Al-Bashriy;
seorang yang tsiqah, tsabat, lagi faadlil. Termasuk thabaqah ke-7, wafat tahun 154 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 961 no. 6857].
[21] Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdillah bin
Syihaab bin ‘Abdillah Al-Qurasyiy Az-Zuhriy, Abu Bakr Al-Madaniy; seorang yang tsiqah, faqiih, hafiidh, lagi mutqin. Termasuk thabaqah ke-4, wafat tahun 125 H,
atau dikatakan sebelumnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 896 no. 6336].
[22] Sa’iid bin Al-Musayyib bin Huzn bin Abi Wahb bin ‘Amru
bin ‘Aaidz bin ‘Imraan bin Makhzuum Al-Qurasyiy Al-Makhzuumiy, Abu Muhammad
Al-Madaniy; seorang yang telah disepakati ketsiqahan dan keimamannya. Termasuk thabaqah
ke-2, dan wafat tahun 93 H/94 H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 388 no. 2409].
[23] Bilaal
bin Rabbaah Al-Qurasyiy At-Taimiy, Abu ‘Abdillah/Abu ‘Abdirrahmaan/Abu
‘Abdil-Kariim/Abu ‘Amru Al-Muadzdzin maulaa Abi Bakr; salah seorang shahabat
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia dan termasuk golongan
yang pertama kali masuk Islam. Termasuk thabaqah ke-1, dan wafat tahun
17 H/18 H/20 H di Syaam. Dipakai Al-Bukhaariy,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 179 no. 787].
[24] Sebagian ulama ada yang menerima mursal Ibnul-Musayyib,
seperti Asy-Syaafi’iy rahimahullah. Al-Khathiib menukil riwayat dari
Ahmad dan Ibnu Ma’iin bahwasannya mursal Ibnul-Musayyib adalah mursal
yang paling shahih [Al-Kifaayah, hal. 404].
[25] Wakii’ bin Al-Jarraah bin Maliih Ar-Ruaasiy, Abu
Sufyaan Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah, haafidh, lagi ‘aabid. Termasuk thabaqah ke-9, wafat tahun 196/197
H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1037 no. 7464].
[26] Sufyaan bin
Sa’iid bin Masruuq Ats-Tsauriy, telah lewat keterangan tentangnya.
[27] ‘Imraan bin Muslim Al-Ju’fiy Al-A’maa;
seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-6 [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 752 no. 5204].
[28] Suwaid bin Ghafalah bin ‘Ausajah bin ‘Aamir bin Wadaa’
bin Mu’aawiyyah bin Al-Haarits bin Maalik bin ‘Auf Al-Ju’fiy, Abu Umayyah
Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2,
dan wafat tahun 80 H (dalam usia 130 tahun). Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim,
Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib
hal. 424 no. 2710 dan Al-Kaasyif 1/473 no. 2197].
[29] Sufyaan bin ‘Uyainah bin Abi ‘Imraan Al-Hilaaliy, Abu
Muhammad Al-Kuufiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah, haafidh, faqiih, imaam, dan hujjah.
Termasuk thabaqah ke-8, lahir tahun 107 H,
dan wafat tahun 198 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 395 no. 2464].
[30] Al-Laits bin Abi Sulaim Aiman/Anas bin Zunaim
Al-Qurasyiy Al-Kuufiy; seorang yang dla’iif. Termasuk thabaqah ke-6, dan wafat tahun 148 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy secara mu’allaq, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 817-818 no.
5721].
[31] Mujaahid bin Jabr Al-Makkiy, Abul-Hajjaaj Al-Qurasyiy
Al-Makhzuumiy; seorang yang tsiqah
lagi imam di
bidang tafsir. Termasuk thabaqah ke-3
dan wafat tahun 101/102/103/104 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 921 no. 6523].
[32] Muhammad bin Katsiir Al-‘Abdiy, Abu ‘Abdillah
Al-Bashriy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-10, lahir
tahun 133 H, dan wafat tahun 223 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu
Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 891 no. 6292].
[33] Sufyaan Ats-Tsauriy, telah lewat keterangan
tentangnya.
[34] Abu Yahyaa Al-Qattaat;
seorang yang lemah haditsnya (layyinul-hadiits). Termasuk thabaqah
ke-6. Dipakai oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 1224 no. 8512].
Berikut
perinciannya :
Syariik
melemahkan haditsnya. Ahmad berkata : “Israaiil telah meriwayatkan darinya
hadits-hadits yang sangat munkar dalam jumlah banyak. Adapun hadits Sufyaan
darinya, maka pertengahan (muqaarib)”.
Dalam riwayat
Ad-Duuriy Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah”. Dalam riwayat Ibnu Muhriz, ia
berkata : “Tidak mengapa dengannya, tsiqah”. Dalam riwayat Ibnu
Thuhmaan, ia berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Dalam riwayat Ahmad bin
Sinaan Al-Qaththaan, ia berkata : “Abu Yahyaa Al-Qattaat alam riwayat penduduk
Kuufah semisal dengan Tsaabit dalam riwayat penduduk Bashrah”.
Abu Daawud
berkata : “Seandainya apa yang dikatakan Abu Bakr bin ‘Ayyaasy tentang Abu
Yahyaa Al-Qattaat adalah benar, maka tidak halal bagi seorang pun untuk meriwayatkan
dari Abu Yahyaa Al-Qattaat, dan menulis hadits darinya”.
An-Nasaa’iy
berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Ibnu ‘Adiy berkata : “Ditulis
haditsnya”. Ibnu Sa’d berkata : “Padanya terdapat kelemahan”. Ibnu Numair
berkata : “Abu Yahyaa Al-Qattaat hasanul-hadiits”. Al-Fasawiy berkata :
“Tidak mengapa dengannya. Al-Bazzaar berkata : “Tidak mengapa dengannya, telah
meriwayatkan darinya sekelompok ahli ilmu”. Ibnu Hibbaan berkata : “Orang yang
jelek kekeliruannya serta banyak wahm-nya, hingga keluar dari jalan
keadilan dalam periwayatan. Wajib menjauhi riwayatnya jika ia bersendirian, dan
boleh menjadikan i’tibar jika berkesesuaian dengan riwayat perawi tsiqaat”.
[35] ‘Abdah bin
Sulaimaan Al-Kilaabiy, Abu Muhammad Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi tsabat.
Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 187 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy,
dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 635 no. 4297].
[36] ‘Ubaidullah bin ‘Umar bin Hafsh bin ‘Aashim bin ‘Umar
bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy Al-‘Umariy Al-Madaniy, Abu ‘Utsmaan;
seorang yang tsiqah
lagi tsabat. Termasuk thabaqah ke-5, wafat tahun 140-an
H. Dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 643 no. 4353].
[37] Naafi’ Abu ‘Abdillah Al-Madaniy maula Ibni ‘Umar;
seorang yang tsiqah, tsabat,faqiih, lagi masyhuur (w. 117 H). Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 996 no. 7136].
[38] ‘Abdullah bin
‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy, Abu ‘Abdirrahmaan Al-Makkiy
Al-Madaniy; salah seorang shahabat Nabi yang mulia. Termasuk thabaqah ke-1,
dan wafat tahun 73 H/74 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 528
no. 3514].
[39] ‘Abdullah bin
‘Umar bin Hafsh bin ‘Aashim bin ‘Umar bin Al-Khaththaab Al-Qurasyiy Al-‘Adawiy,
Abu ‘Abdirrahmaan Al-‘Umariy Al-Madaniy; seorang yang dla’iif, ahli
ibadah. Termasuk thabaqah ke-7, dan wafat tahun 171 H di Madinah. Dipakai
oleh Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 528 no. 3513].
[40] Usaamah bin Zaid Al-Laitsiy, Abu Zaid Al-Madaniy;
seorang yang shaduuq, namun sering ragu (yahimu). Termasuk thabaqah
ke-7, dan wafat tahun 153 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secara mu’allaq,
Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 124 no. 319].
[41] Haatim bin
Ismaa’iil Al-Madaniy, Abu Ismaa’iil Al-Haaritsiy; seorang yang dikatakan Ibnu
Hajar : “Shaduuq, tapi sering ragu (yahimu), shahiihul-kitaab”.
Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 186 H/187 H. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 207 no. 1002].
Berikut perinciannya :
Ahmad berkata : “Ia lebih aku sukai
daripada Ad-Daarawardiy. Mereka menyangka bahwa pada diri Haatim terdapat
kelalaian, hanya saja, kitabnya shaalih (baik)”. Abu Haatim berkata : “Ia
lebih aku sukai daripada Sa’iid bin Saalim”. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak
mengapa dengannya”. Di lain tempat ia berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”.
Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah lagi ma’muun, banyak haditsnya”.
Ibnu Hibbaan memasukkannya dalam Ats-Tsiqaat. Al-Ijliy berkata : “Tsiqah”.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tsiqah”.
Melihat perkataan para imam di atas, maka
Haatim lebih dekat pada ketsiqahan. Menurut Ahmad, kedudukannya lebih tinggi di
atas Ad-Daraawardiy. Ad-Daraawardiy sendiri menurut pendapat yang paling kuat,
adalag seorang yang tsiqah, kecuali periwayatannya dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar.
Begitu juga dengan pandangan Abu Haatim, bahwa ia kedudukannya lebih tinggi
daripada Sa’iid bin Saalim (Al-Qaddaah). Abu Haatim menghukumi Sa’iid dengan mahalluhush-shidq
(tempatnya kejujuran). Minimal, di sisi Abu Haatim, hadits Haatim bin Ismaa’iil
ini tidak jatuh dari derajat hasan. Adapun kritikan An-Nasaa’iy, maka itu bisa
dijamak dengan penta’dilannya. Beberapa ulam mengatakan bahwa lafadh laisa
bi-qawiy berbeda dengan laisa bil-qawiy. Yang pertama menunjukkan
kelemahan secara mutlak, dan yang kedua menunjukkan adanya kelemahan yang
menyebabkan dirinya tidak ada pada puncak ketsiqahan. Wallaahu a’lam
[lihat : Tahriirut-Taqriib, 1/229 no. 994].
[42] Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy
bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy, Abu ‘Abdillah Al-Madaniy; seorang
yang dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq, faqiih, lagi imaam”.
Termasuk thabaqah ke-6, lahir tahun 80 H, dan wafat tahun 148 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy dalam Al-Adabul-Mufrad, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 200
no. 958]. Bahkan ia seorang yang tsiqah. Telah ditsiqahkan para imam
seperti : Asy-Syaafi’iy, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Ma’iin, Syu’bah bin Al-Hajjaaj,
Ibnu Abi Khaitsamah, An-Nasaa’iy, Abu Haatim, Ibnu ‘Adiy, Ibnu Hibbaan,
Al-Haakim, Al-‘Ijliy, dan yang lainnya. Tautsiq inilah yang dikuatkan
oleh Adz-Dzahabiy [Al-Mughniy, 1/211 no. 1156].
[43] Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy
Al-Madaniy, Abu Ja’far Al-Baaqir; seorang yang tsiqah lagi mempunyai
keutamaan. Termasuk thabaqah ke-4, dan wafat tahun 114 H/115 H/116 H/117
H/118 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy,
An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 879 no. 6191].
[44] Muslim bin Abi Maryam Yasaar Al-Madaniy;
seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-4. Dipakai oleh
Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 940 no. 6691].
[45] ‘Aliy bin
Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib Al-Qurasyiy Al-Haasyimiy
Abul-Husain/Abul-Hasan/Abu Muhammad Al-Madaniy, dikenal dengan nama :
Zainul-‘Aabidiin; seorang yang tsiqah lagi tsabat. Termasuk thabaqah
ke-3, dan wafat tahun 93 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 693
no. 4749].
Ustadz, bagaimana mengkompromikan hadits-hadits berikut:
BalasHapusHADITS-HADITS YANG MENYATAKAN BAHWA AT TATSWIB PADA ADZAN KEDUA
أَنَّهُ أَرْسَلَ إِلَى مُؤَذِّنِهِ إِذَا بَلَغْتَ حَيَّ عَلَى الْفَلَاحِ فَقُلْ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ، فَإِنَّهُ أَذَانُ بِلَالٍ
Bahwasannya ibnu 'umar memerintahkan muadzdzin jika sampai pada bacaan hayya ‘alal-falaah, maka hendaklah ia mengucapkan : ash-shalaatu khairun minan-nauum. Karena ia adalah adzan Bilaal
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 2168, shahih]
أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي أَذَانِهِ: " الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ "
Bahwasannya IBNU 'UMAR mengatakan dalam adzannya : ash-shalaatu khairun minan-naum
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 2171; Sanadnya shahih, semua perawinya tsiqaat.]
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إِذَا رَأَى الْفَجْرَ أَذَّنَ لِصَلَاةِ الصُّبْحِ بِالنِّدَاءِ الْأُولَى، وَيَقُولُ فِي آذَانِهِ: الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنَ النَّوْمِ
“Adalah Ibnu ‘Umar jika melihat fajr, ia mengumandangkan adzan untuk shalat Shubuh dengan panggilan pertama, dan ia berkata dalam adzannya tersebut : ash-shalaatu khairun minan-naum”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb dalam Al-Muwaththa’ no. 476].
Sanadnya hasan.
HADITS-HADITS YANG MENGINDIKASIKAN BAHWA AT TATSWIB PADA ADZAN PERTAMA
وَإِذَا أَذَّنْتَ بِالْأَوَّلِ مِنْ الصُّبْح
"Dan jika kamu beradzan di awal dari Subuh,
Dalam lafadz lainnya disebutkan:
فِي الْأُولَى مِنْ الصُّبْحِ
Pada yang pertama dari Subuh...
فَقُلْ الصَّلَاةُ خَيْرٌ مِنْ النَّوْمِِ
...maka ucapkanlah [ash shalaatu khairun minan nawm]
(HR Ahmad (3/408-409); Abu Dawud, Bab Kaifa ad Adzan, no. 501; an Nasa-i, Bab al Adzan fis Safar (2/7); Abdurrazaaq dalam al Mushannaf, no.1821; Ibnu Abi Syaibah (1/204); Ibnu Khuzaimah, no. 385; Ibnu Hibban dalam Shahih-nya, no. 1673; ad Daraquthni (1/234) dan al Baihaqi (1/422) diringkas dari takhrij pentahqiq kitab asy Syarhu al Mumti’, lihat 2/56; dari almanhaj)
juga hadits:
كَانَ فِيْ الأَذَانِ الأَوَلِ بَعْدَ الْفَلاَحِ الصَّلاَةُ خَيْرٌ منَ النَّوْمِ مَرَّتَيْنِ
Dahulu berkata pada adzan awal setelah al falaah : [ash shalaatu khayrun minan nawm] dua kali.
[Diriwayatkan al Baihaqi, 1/423 dan demikian juga ath Thahawi dalam Syarhu al Ma’ani, 1/82 dan sanadnya hasan, sebagaimana disampaikan al Hafizh]
manakah diantara kedua riwayat diatas yang sebenarnya syadz? merujuk bahwa dari kedua hadits diatas diambil dari ibnu 'umar..
mohon penjelasannya... Jazakallaahu khairan...
Tiga hadits pertama itu bukan milik Ibnu 'Umar radliyallaahu 'anhu semua. Hadits yang pertama itu haditsnya Suwaid bin Ghafalah.
BalasHapusTentang tarjihnya,... mungkin saya belum bisa memberikan uraiannya di kolom komentar ini saat ini.
ini ada penjelasan menarik dari syaikh 'utsaimiin yang meng-counter para ulama yang merajihkan bahwa at tatswib itu ada pada adzan pertama...
BalasHapushttp://sabilulilmi.wordpress.com/2011/08/09/at-tatswiib-mengucapkan-%E2%80%9Cash-shalaatu-khairum-minan-naum%E2%80%9D-pada-adzan-subuh-sunnah-atau-bid%E2%80%99ah/
Sebaliknya ada artikel yg merajihkan tatswib ada di adzan awal, diantara-nya di sini http://almanhaj.or.id/content/2404/slash/0/at-tatswib-dalam-adzan/
BalasHapusatau yg ini (pada dasarnya sama aja sih) http://rendyasylum.wordpress.com/2010/09/29/tatswib-pada-adzan-shubuh/
BalasHapusTerdengar adzan subuh masih ngantuk banget
BalasHapusalthaf azhar,
BalasHapusUstad bagaimana penyebutan/ gelar ‘alaihis-salaam juga untuk ahlul bait ? sedangkan gelar tersebut sering saya dengar hanya untuk para nabi , rosul dan malaikat ?
Boleh, dan dalilnya ada dalam tasyahud yang sering kita baca :
BalasHapusاللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
allaahumma shalli 'alaa Muhammad wa 'alaa AALI MUHAMMAD kamaa shallaita 'alaa Ibraahiim wa 'alaa aali Ibraahiim, innaka hamiidun majiid. Allaahumma baarik 'alaa Muhammad wa 'alaa aali Muhammad, kamaa baarakta 'alaa Ibraahiim wa 'alaa aali Ibraahiim, innaka hamiidun majiid.
Dan prakteknya dari salaf kita (di antaranya) adalah sebagaimana terdapat dalam riwayat Shahiih Al-Bukhaariy :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ، حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدٍ، عَنْ صَالِحٍ، عَنْ ابْنِ شِهَابٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ، أَنَّ عَائِشَةَ أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا، أَخْبَرَتْهُ أَنَّ فَاطِمَةَ عَلَيْهَا السَّلَام
Telah menceritakan kepada kami 'Abdul-'Aziiz bin 'Abdillah : Telah menceritakan kepada kami Ibraahiim bin Sa'd, dari Shaalih, dari Ibnu Syihaab, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku 'Urwah bin Az-Zubair, bahwasannya 'Aaisyah Ummul-Mukminiin radliyallaahu 'anhaa telah mengkhabarkan kepadanya bahwa FAATHIMAH 'ALAIHAS-SALAAM......." [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3091].