Pertama :
Asal dari perkara ibadah (yang dilakukan)
adalah sah, dan penetapan atas pembatalannya membutuhkan dalil. Berdasarkan
atas hal ini, dituntut bagi orang yang mendakwakan batalnya (ibadah tersebut)
untuk membawakan dalil. Di sini, tidak ada dalil sharih yang menyatakan
batalnya puasa akibat onani.
Kedua :
Penyamaan onani dengan jima’ adalah penyamaan
secara qiyas, dan itu merupakan qiyas faasid ditinjau dari dua sisi :
1.
Tidak sahnya ‘illat.
Orang
yang mengqiyaskan onani dengan jima’ meninjaunya dari dua hal berikut :
a.
Kesenangan/kenikmatan
(al-ladzdzah - اللذّة) atau syahwat (الشهوة).
Jawab
: Kenikmatan dalam jima’ itu lebih kuat dan lebih jelas dibandingkan kenikmatan
dalam onani, sedangkan syarat adanya penyamaan (dalam qiyas) adalah
keberadaan sifat yang ada dalam cabang (al-far’) sebanding dengan
pokoknya (al-ashl) atau lebih kuat.
b.
Keluarnya mani.
Jawab
: Hal ini tidak sah dijadikan ‘illat dalam qiyas, karena tidak
ada hubungannya dengan sifat yang diqiyaskan. Jima’ tanpa disertai keluarnya
mani tetap membatalkan puasa berdasarkan ijma’. Seandainya ‘illat-nya
adalah keluarnya mani, konsekuensinya : jima’ tidaklah membatalkan puasa
kecuali jima’ yang mengeluarkan mani. Oleh karena itu, selama keluarnya mani
dalam jima’ tidak dianggap sebagai pembatal puasa, maka tidak sah menjadikannya
sebagai ‘illat dalam qiyas (terhadap onani).
2.
Penempatan onani
pada jima’ mengkonsekuensikan penetapan hukum-hukum jima’ pada onani. Dengan
itu dikatakan : Onani itu seperti jima’ yang membatalkan puasa dan wajib
membayar kaffarah. Akan tetapi kenyataannya, orang yang mengatakan onani
membatalkan puasa tidak mewajibkan kaffarah padanya.
Seandainya
dikatakan kaffaarah hanya masuk dalam bab celaan, maka onani yang
statusnya diharamkan (dalam segala kondisi) lebih layak untuk
mengkonsekuensikan kaffaarah dibandingkan jima’ yang hanya dilarang pada
waktu puasa. Seandainya dikatakan kaffaarah merupakan bentuk celaan dan
pemaksaan (untuk melakukannya), maka hukum jima’ dan onani hakekatnya satu
(sama) dikarenakan pelanggaran kehormatan hari puasa akibat syahwat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pernah bersabda :
يَتْرُكُ طَعَامَهُ، وَشَرَابَهُ، وَشَهْوَتَهُ مِنْ أَجْلِي الصِّيَامُ
لِي
“....Ia meninggalkan makanannya,
minumannya, dan syahwatnya dikarenakan puasanya untuk-Ku...” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 1894 & 7492, Muslim no. 1151, Ibnu Maajah no. 1638,
Ad-Daarimiy no. 1770, dan yang lainnya dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu].
Hadits ini dijadikan dalil bahwa onani
membatalkan puasa. Jika dikatakan bahwa lafadh syahwat dalam hadits ini
adalah umum, sehingga dipahami mencakup jima’ dan onani, namun mengapa mereka
tidak memasukkan bermesra-mesraan dan mencium dengan istri sebagai pembatal
puasa (tanpa mengeluarkan mani) ? padahal ia masuk dalam keumuman lafadh
tersebut (syahwat).
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، قَالَ: عَنْ شُعْبَةَ، عَنِ
الْحَكَمِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهَا، قَالَتْ: " كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ وَهُوَ صَائِمٌ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لِإِرْبِهِ "
Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan
bin Harb, ia berkata : Dari Syu’bah, dari Al-Hakam, dari Ibraahiim, dari
Al-Aswad, dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata : “Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam pernah mencium dan bermesraan (dengan istrinya) ketika
sedang berpuasa. Dan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling kuat menahan keinginannya (hawa nafsunya) di antara kalian”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1927].
Dan dengan hadits ‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhu ini dapat diketahui bahwa syahwat yang dimaksudkan dalam
hadits sebelumnya adalah jima’.
حَدَّثَنَا رَبِيعٌ الْمُؤَذِّنُ، قَالَ: ثنا شُعَيْبٌ، قَالَ: ثنا اللَّيْثُ،
عَنْ بُكَيْرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الأَشَجِّ، عَنْ أَبِي مُرَّةَ، مَوْلَى عَقِيلٍ
عَنْ حَكِيمِ بْنِ عِقَالٍ، أَنَّهُ قَالَ: سَأَلْتُ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا
" مَا يَحْرُمُ عَلَيَّ مِنَ امْرَأَتِي وَأَنَا صَائِمٌ ؟ قَالَتْ: فَرْجُهَا
"
Telah menceritakan kepada kami Rabii’
Al-Muadzdzin, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Syu’aib, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Al-Laits, dari Bukair bin ‘Abdillah bin
Al-Asyajj, dari Abu Murrah maulaa ‘Aqiil, dari Hakiim bin ‘Iqaal : Bahwasannya
ia pernah bertanya kepada ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa : Apa yang
diharamkan dari istriku sedangkan aku berpuasa ?”. Ia menjawab : “Farji
(kemaluan)-nya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Ma’aanil-Aatsaar
no. 2190; sanadnya shahih].
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلابَةَ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ:
سَأَلْتُ عَائِشَةَ مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنَ امْرَأَتِهِ صَائِمًا؟ قَالَتْ: كُلُّ
شَيْءٍ إِلا الْجِمَاعَ "
Dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu
Qilaabah, dari Masruuq, ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Aaisyah tentang apa
yang dihalalkan bagi seorang laki-laki yang berpuasa terhadap istrinya. Ia
menjawab : “Semua hal, kecuali jima’” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no.
8439].
Riwayat Ma’mar dari Ayyuub diperbincangkan
oleh sebagian ahli hadits, namun dikuatkan oleh riwayat sebelumnya sehingga
shahih.
Ash-Shan’aniy berkata :
الأظهر أنه لا قضاء ولا كفارة إلا على من جامع وإلحاق غير المجامع به بعيد.
“Tapi pendapat yang paling benar adalah tidak
perlu qadla’ dan tidak perlu kaffarat, kecuali bagi orang yang
melakukan jima’. Dan menyamakan sebab lain dengan jima’ adalah tidak
benar” [Subulus-Salaam oleh Ash-Shan’aniy, 2/226; Daarul-Hadiits,
Cet. Thn. 1425].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga bahasan sederhana ini bermanfaat.
[abul-jauzaa’ – wonokarto, wonogiri –
30072012 - direvisi tanggal 02082012 dengan penambahan riwayat 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa].
Maaf Mas D.A.W. (Ustâdz Abû al-Jauzâ'), kalimat, "Dan dengan hadits 'Aisyah radliyallâhu 'anhu..," mungkin maksdunya, "Dan dengan hadits 'Aisyah radliyallaahu 'anhâ."
BalasHapus(Huruf "u" nya minta diubah ke huruf "a" : )
'Alâ kulli hâl.. Jazâkallâhu khairaljazâ'.
Afwan ustadz, adakah khilaf di antara para ulama terhadap permasalahan ini ???
BalasHapusSaya blm mengerti maksud artikel ini ustadz. Jadi, apakah onani memang tidak membatalkan puasa begitu ya? Sebab yang saya yakini selama ini justru onani membatalkan puasa karena telah keluar mani dengan disengaja, tetapi tidak dikenakan kaffarah karena dikeluarkannya bukan dengan jalan jima'
BalasHapusMohon diluruskan, ustadz...
--Tommi--
Mas Anonim 1, terima kasih atas masukannya. Sudah saya ganti. Jazaakallaahu khairan.
BalasHapus=====
Mas Anonim 2, jumhur ulama mengatakan batal, sedangkan yang lain tidak.
=====
Mas Tommie, maksudnya, artikel di atas ingin menyampaikan bahwa onani tidak membatalkan puasa.
Sebaiknya dicantumkan juga ucapan para ulama salaf yang berpendapat bahwa onani tidak membatalkan puasa, ustadz..
BalasHapussekaligus juga ulama mutaakhirin yang merajihkan pendapat antum..
Saya memang sengaja menulisnya secara ringkas saja tanpa berpanjang-panjang dalam membawakan perkataan ulama. Karena sifatnya tulisan ringkas, maka ia ditulis sesuai dengan kebutuhan, yaitu ditilik dari sisi perajihan satu pendapat saja. Model penulisan seperti ini biasa di kalangan ulama dan penuntut ilmu.
BalasHapusDi atas sudah saya sebutkan satu ulama, yaitu Ash-Shan'aniy rahimahullah. Bersama Ash-Shan'aaniy ada Asy-Syaukaaniy. Kalau antum pingin tahu pendapat muta'khkhiriin, di situ ada Al-Albaaniy, Ibnu 'Utsaimin, dan yang lainnya. Yang berseberangan dengan mereka dari kalangan muta'akhkhiriin yang berpendapat batal adalah Lajnah Daaimah yang diketuai Ibnu Baaz rahimahullah. Saya dulu pernah menyinggungnya di :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/sifat-puasa-nabi-vs-sifat-puasa-wahabi.html.
Setahu saya, syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah berpendapat onani membatalkan puasa, fatwa beliau ada di Fatawaa Arkaanil Islaam 2/661..
BalasHapusApakah beliau memiliki pendapat yang lain ustadz? atau itu (onani tidak membatalkan puasa) merupakan pendapat beliau yang terakhir?
Antum benar. Saya salah ingat, karena dalam Asy-Syarhul-Mumti' beliau menjelaskan batalnya. Di kalangan muta'khkhiriin yang berpendapat tidak batalnya adalah Syaikh Al-Albaaniy (misal dalam Tamaamul-Minnah) dan mayoritas murid-muridnya, Syaikh Muhammad 'Aliy Firkuuz (dalam Fataawaanya di : sini), dan yang lainnya.
BalasHapusTerima kasih telah mengingatkan.
afwan ustadz. kl onani dengan pasangan(tidak mempertemukan kedua farji) apakah masih dalam katagori jima'?
BalasHapusjika tidak, berarti menurut artikel di atas, onani dengan pasangan tidak membatalkan puasa ya?
syukron
Assalaamu'alaykum warohmatullohi wabarokaatuh, yaa akhi Abul Jauzaa yang saya cintai karena Allah.
BalasHapusDalam masalah tulisan membahas onani di atas dijelaskan bahwa onani sebagian mengatakan membatalkan sebagian tidak. Apakah bisa jadi maksudnya batal di sini adalah sampai memancarkan mani (sperma)?
Karena yang saya ketahui bahwasannya memancarkan mani dengan cara disengaja membatalkan puasa. Berbeda dengan memancarkan mani tanpa sengaja seperti mimpi basah.
Namun kalau sekedar onani (mastrubasi), tanpa mengeluarkan mani saya kira itu yang dibahas di sini.
Benar begitu?
@Anonim dan Muhammad Yusuf Al-Faruq, coba perhatikan riwayat 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa di atas.
BalasHapusNB : Saya belum pernah tahu ada yang membahas onani dalam pengertian tidak sampai mengeluarkan mani. Dalam bahasa 'Arab pun jelas : istimnaa'.
Apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sudah benar. Penyamaan hukum (baca: qiyas) antara jima' dengan onani termasuk kategori qiyas aulawi. Artinya, jika jima' saja tanpa disertai keluarnya air mani membatalkan puasa, maka mengeluarkan mani disertai kenikmatan syahwat ketika beronani lebih membatalkan lagi. Ibaratnya, mengatakan 'ah' kepada orangtua saja diharamkan, apalagi memukul atau membunuhnya. Memang tidak ada dalil (nash yang sharih) yang mengharamkan membunuh orangtua. Tapi, melalui metode qiyas aulawi diperoleh bahwa membunuh orangtua lebih kejam daripada mengatakan 'ah' sehingga hukumnya sama, bahkan lebih.
BalasHapusAdapun pendapat Zhohiriyah (Ibnu Hazm cs.) bisa dimaklumi karena mereka mengingkari qiyas sebagai sumber hukum. Berbeda dengan jumhur ulama yang mengakuinya. Kerusakan pola pikir Zhohiriyah dalam masalah qiyas juga sudah banyak dikupas dalam kitab-kitab ulama.
Maksud saya adalah yang saya ketahui mengeluarkan mani secara sengaja membatalkan puasa.
BalasHapusBukankah mengeluarkan mani secara sengaja dalam pembahasan ini onani bisa membatalkan puasa?
@tholib,.... tentang tidak shahihnya 'illat qiyas dapat dibaca pada artikel di atas. Qiyas itu ada aturannya. Dan ini tidak semata-mata hanya karena pendapat Ibnu Hazm, tapi merupakan pendapat 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa. Sebagaimana dimaklumi dalam ilmu ushul-fiqh, pemahaman istri-istri Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam perihal hubungan antara suami-istri lebih dikedepankan dari shahabat yang lainnya. Juga, Asy-Syaukaaniy sebagai salah satu pakar ushul fiqh - yang tentu paham akan qiyas - juga mengaminkan pendapat tersebut. Ash-Shan'aaniy pun memahami bahwa qiyas tersebut adalah tidak benar.
BalasHapus@Muhammad Yusuf,... jika memang itu yang antum ketahui, maka yang antum ketahui itu hanyalah pendapat jumhur ulama.
Oh, ngerti saya sekarang. Memang perlu membaca berulang-ulang untuk bisa faham.
BalasHapusJazakallahu khair atas penjelasannya.
Qiyas memang ada aturannya dan jumhur ulama sudah memahaminya kemudian menerapkannya dalam kasus ini. Sedangkan jawaban Aisyah sama sekali tidak menyinggung masalah onani. Adapun pertanyaan: mengapa mereka tidak memasukkan bermesra-mesraan dan mencium dengan istri sebagai pembatal puasa (tanpa mengeluarkan mani) padahal ia masuk dalam keumuman lafadh tersebut (syahwat)? Jawabannya: sebab mencium dan memeluk saja tidak memuaskan syahwat seksual sehingga tidak membatalkan puasa, berbeda dengan onani yang memuaskan syahwat seksual dengan keluarnya air mani. Dan tidak ada kaidah bahwa kenikmatan dalam jima’ itu lebih kuat dibandingkan kenikmatan dalam onani. Ilmu Psikologi modern membuktikan bahwa pecandu onani lebih puas dengan aktivitas onaninya daripada berhubungan seks dengan istrinya.
BalasHapusJadi, alasan kaum Zhohiriyah bahwa onani tidak membatalkan puasa sangat rapuh dari berbagai sisi.
Kalau memang kata antum qiyas itu ada aturannya, sudah semestinya antum menjelaskan 'illat qiyasnya. Dalam komentar antum di atas, 'illat nya gak jelas. Ujug-ujug 'qiyas aula'.
BalasHapusDan ingat kaedah :
الْعِبرَةُ لِلْغَالِبِ الشَّائِعِ لاَ لِلنَّادِرِ
“Ibrah itu didapat dari kondisi yang umum terjadi, bukan kondisi yang jarang terjadi".
Jadi kalau antum mengatakan bahwa menurut psikologi modern - dan alhamdulillah saya sedikit mengetahui tentang ini - bahwa kenikmatan onani itu lebih besar daripada jima', ini merupakan hukum umum ataukah tidak ?. Saya rasa kita semua sudah tahu kok jawabannya, kecuali antum bukan termasuk orang yang pernah menikah, tentu akan sangat-sangat saya pahami.
Dan mengherankan antum mengeluarkan aktifitas berciuman dan bercumbu antara suami istri sebagai pengecualian dari bahasan syahwat. Memangnya kalau dikatakan syahwat itu mesti mengeluarkan mani ?. Dimana kamusnya saya dapat penjelasan ini ?.
Dan yang lebih mengherankan lagi antum mengatakan bahwa jawaban 'Aaisyah itu tidak menyinggung masalah onani, dan kemudian mengesampingkan istinbath hukum dari perkataannya tersebut. Antum paham makna : kullu syain illal-jimaa' ? (segala sesuatu boleh, kecuali jima') ?.
Dan coba antum baca kitab Al-Mushannaf nya 'Abdurrazzaaq, yaitu di nomor 1260 :
عَنْ مَعْمَرٍ، عَنْ أَيُّوبَ، عَنْ أَبِي قِلابَةَ، عَنْ مَسْرُوقٍ، قَالَ: دَخَلْتُ عَلَى عَائِشَةَ، فَقُلْتُ: يَا أُمَّ الْمُؤْمِنِينَ ! مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنِ امْرَأَتِهِ حَائِضًا؟، قَالَتْ: " مَا دُونَ الْفَرْجِ "، قَالَ: فَغَمَزَ مَسْرُوقٌ بِيَدِهِ رَجُلا كَانَ مَعَهُ أَيِ اسْمَعْ، قَالَ: قُلْتُ: فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا صَائِمًا؟، قَالَتْ: " كُلُّ شَيْءٍ، إِلا الْجِمَاعَ "، قَالَ مَعْمَرٌ: " بَلَغَنِي أَنَّ امْرَأَةً مِنْ نِسَاءِ ابْنِ عُمَرَ كَانَتْ تُنَاوِلُهُ الْخُمْرَةَ حَائِضًا "
Sanad... : Dari Masruuq : Aku pernah menemui 'Aaisyah dan berkata : 'Wahai Ummul-Mukminiin, apakah yang dihalalkan seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haidl ?". 'Aaisyah menjawab : "Segala hal selain kemaluannya". Lalu Masruuq berisyarat dengan tangannya kepada seorang laki-laki yang bersamanya, yang artinya : 'Dengarkanlah'. Masruuq berkata : "Lalu apa yang dihalalkan bagiku darinya (istri) yang sedang puasa ?". 'Aaisyah menjawab : "Segala sesuatu kecuali jimaa'" [selesa].
Jawaban 'Aaisyah maa duunal-farj (saat ditanya tentang wanita haidl), dalam riwayat lain ia menjawab dengan kalimat sama dengan jawaban ketika ia ditanya tentang dalam keadaan puasa.
Jadi, 'Aaisyah menyamakan jawaban antara keadaan haidl dan keadaan puasa. Sekarang, apa yang diperbolehkan bagi seorang laki-laki terhadap istrinya yang sedang haidl ?. Saya yakin antum pun paham, bahwa seorang suami tetap diperbolehkan mencumbui istri meskipun keluar maninya asalkan tidak menjimai kemaluannya. Nah, sekali lagi, jawaban tentang wanita haidl itu sama dengan puasa. Segala sesuatu kecuali farjinya. Segala sesuatu kecuali jima'. Inilah yang diperbolehkan bagi seorang suami terhadap istrinya ketika berpuasa.
Jika antum fasih bicara qiyas aula, niscaya antum tidak kesusahan memahami konsekuensi hukum keadaan ini terhadap hukum onani. Bukan dalam hal boleh dan tidak bolehnya, tapi dari segi batal dan tidak batalnya.
Adalah hak bagi siapapun untuk mengatakan pendapat yang tidak ia setujui sebagai pendapat yang rapuh.
intinya onani tidak membatalkan puasa, tapi sebaiknya dihindari saja pada saat puasa karena bisa mengurangi pahala puasa yg melakukannta. begitukah ustadz?
BalasHapusBohong tidak membatalkan puasa, tapi ia merupakan perbuatan yang dilarang (dosa) sehingga dapat mengurangi pahala puasa. Sama halnya dengan onani. Onani tidak membatalkan puasa, tapi ia merupakan perbuatan yang dilarang (dosa) sehingga dapat mengurangi pahala puasa.
BalasHapuswallaahu a'lam.
Wah subhanallah ustadz pembahasan masalah ini. alhamdulillah ana dapat memahami dengan baik artikel ustadz walaupun dengan beberapa kali membacanya agar tidak salah menafsirkan. ana lebih suka kesimpulan yang terakhir ustadz.
BalasHapus"Bukan dalam hal boleh dan tidak bolehnya, tapi dari segi batal dan tidak batalnya". Dan kesimpulan terakhir yang ana dapat adalah lebih baik menghindarinya daripda melakukan onani itu tersebut krena bernilai dosa dimata Allah SWT dan dapat mengurangi pahala puasa. Jazakumullahu khairan ustadz.
Jumhur ulama memfatwakan bahwa onani itu membatalkan puasa
BalasHapustp dlm artikel ini merupakan pendapan seorang ulama
mana yang di utamakan?
jumhur ulama atau artikel di atas?
blognya menarik ustad.
BalasHapussaya baru tahu.
tapi terlepas apapun hukumnya itu memang kemanfaatan onani di bulan puasa sedikit, malah bisa-bisa merusak puasa.
Tulisan dan sanggahan yang bagus ustadz.
BalasHapusWalaupun bukan bagian dari tema tulisannya, akan tetapi mungkin akan lebih baik jika di bagian akhir tetap dimunculkan peringatan bahwa kendatipun tidak membatalkan puasa, onani haram dilakukan. Sehingga tidak hanya kadar pahala puasa yang bisa berkurang atau hilang, malah ditambah dengan mendapatkan dosa.
Wal'ilmu 'indallahi ta'ala.
Semoga Allah senantiasa menjaga dan mengampuni kita semua.
Ustadz, kalau onani tidak membatalkan puasa, berarti yang punya otak ngeres dan membayangkan berjima' juga nggak membatalkan puasa?
BalasHapusMusafir
"Asal dari ibadah(yg dilakukan) adalah sah"
BalasHapuslalu bgaimana kita hadapkan ucapan antum itu dengan yang berikut
ini,"al ilmu qoblal qowli wal amal..mohon penjelasannya..
Ingin paham.
Ustadz afwan ada dua pertanyaan, yang satu nyambung yang satu ga
BalasHapus1. Beberapa ulama yang saya tahu membolehkan onani dengan bantuan istri.. Nah apa ga musykil ini ? berarti triknya kita bisa onani dengan bantuan istri di tengah puasa disiang bolong tanpa takut dosa..
2. Bagaimana sikap ulama dengan penggambaran sahabat yang dijanjikan surga dan Nabi salallahu'alayhi wasallam ?? ini terkait sinetron umar.. Adakah dalil pengharamannya ?
jazakallahu khoiron atas ilmunya
Abu Hasan
ya ustadznya memang karbitan. Selalu ingin cari topik yang rame walau sebetulnya masih banyak tema yang jauh lebih bermanfaat. Mungkin pikirnya Kalau pake topik yang kontroversi biar rame banyak yang coment. Abis kalau yang biasa-biasa aja sepi comment jadi kurang semangat deh ustadznya. Memang kalau banyak tepuk tangan bisa lebih termotivasi
BalasHapusAbu Al-Jauzaa' 4 Agustus 2012 23:11 mengatakan: Onani tidak membatalkan puasa, tapi ia merupakan perbuatan yang dilarang (dosa) sehingga dapat mengurangi pahala puasa.
BalasHapusAnonim 7 Agustus 2012 18:58 mengatakan: mungkin akan lebih baik jika di bagian akhir tetap dimunculkan peringatan bahwa kendatipun tidak membatalkan puasa, onani haram dilakukan.
Setahu saya keharaman onani tidak mutlak. Kalau dilakukan oleh pasangan sah maka boleh. Jadi lebih baik tidak antum tidak menuliskan pengharaman yang mutlak seperti itu.
Tapi di lain pihak saya setuju bahwa tidak ada gunanya onani saat sedang puasa.
To : Abu Hasan @ 9 Agustus 2012 21:07
BalasHapusterkait sinetron Omar bisa antum baca di sini
Wallohu ta'alaa a'lam
Rekan-rekan pembaca, Ibnu Hajar Al-Haitamiy rahimahullah berkata : "Istimnaa' adalah :
BalasHapusوهو استخراج المني بغير جماع حراما كان كإخراجه بيده، أو مباحا كإخراجه بيد حليلته
"Mengeluarkan mani dengan jalan selain jima', yang itu bisa berstatus haram jika dilakukan dengan tangannya sendiri, atau mubah jika dilakukan dengan tangan istrinya" [selesai].
Namun para ulama sering memutlakkan istilah istimnaa' dengan pengertian yang diharamkan, yaitu mengeluarkan mani dengan bantuan tangannya sendiri. Oleh karena itu, para ulama sering menyebut istimnaa' dengan 'kebiasaan tersembunyi' (العادة السرية).
=====
@Musafir,.... tidak.
=====
@Anonim 9 Agustus 2012 21:07,.... saya belum paham maksud antum.
=====
@Abul-Hasan,... onani yang sering disebutkan para ulama lebih sering dengan term yang saya sebutkan di atas. Jika demikian, maka hukum yang antum tanyakan adalah kembali pada atsar 'Aaisyah yang saya sebutkan. Saya yakin antum paham. Namun jika dikatakan bahwa bercumbu dengan istri hingga keluar mani (tanpa melewati jalan jima') tidak membatalkan puasa, lantas apakah itu bisa dikatakan boleh secara mutlak ?. Perhatikan riwayat berikut :
Telah diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
كنا عند النبي صلى الله عليه وسلم فجاء شاب فقال يا رسول الله أقبل وأنا صائم قال لا فجاء شيخ فقال أقبل وأنا صائم قال نعم قال فنظر بعضنا إلى بعض فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم قد علمت لم نظر بعضكم إلى بعض ان الشيخ يملك نفسه
Kami pernah bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, tiba-tiba seorang pemuda mendekati beliau seraya berkata : "Wahai Rasulullah, bolehkah aku mencium istriku sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab : ”Tidak boleh”. Kemudian datang seorang yang telah tua seraya berkata : ”Apakah aku boleh mencium (istriku) sedangkan aku dalam kondisi berpuasa?”. Beliau menjawab : ”Boleh”. Abdullah berkata : ”Lalu kami saling berpandangan, kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya orang yang sudah tua tersebut mampu untuk menahan nafsunya” [HR. Ahmad 2/185 dan 2/220. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 1606].
Jika dikatakan bahwa mencium itu makruh bagi orang yang masih muda saat puasa - padahal mencium itu tidak membatalkan puasa - karena dikhawatirkan akan terjadi jima', lantas bagaimana dengan percumbuan yang sudah diniatkan untuk mengeluarkan mani ?.
كَالرَّاعِي يَرْعىَ حَوْلَ الْحِمَى يُوْشِكُ أَنْ يَرْتَعَ فِيْهِ،
"Sebagaimana penggembala yang menggembalakan hewan gembalaannya disekitar (ladang) yang dilarang untuk memasukinya, maka hampir saja ternak itu makan di tempat yang dilarang tersebut." [HR. Al-Bukhaariy dan Muslim].
Tentang sinetron 'Umar, saya pribadi belum paham benar dengan sinetron itu walau saya sering mendengar orang membicarakannya. Akh orangawam telah menunjukkan link penjelasannya di Konsultasisyari'ah.
=====
@Faidzin,... pemutlakan kata onani dalam term al-'aadatus-sirriyyah (kebiasaan tersembunyi) itu sering dilakukan oleh para ulama, yaitu dalam term yang diharamkan. Makanya, kita banyak menemukan pembahasan masalah istimnaa' (onani) dalam pengertian ini. Bukan dalam pengertian dilakukan dengan tangan istri.
wallaahu a'lam.
===
@Anonim 9 Agustus 2012 22:57,.... begitu ya ?. Berapa kali antum berkomentar semisal di Blog ini ?. Kalau begitu,... saya bisa dibantu bagaimana mendefinisikan tema-tema kontroversial dan tidak kontroversial ?. Perasaan saya, permasalahan onani ini sudah banyak disinggung ulama klasik, ulama modern, dan begitu pula para ustadz-ustadz. Apakah karena perajihan di sini yang mengatakan tidak batal antum anggap sebagai kontrversial ?. Jika iya, kenapa kekontroversialan itu mesti antum capkan ke saya, tidak pada Al-Albaniy dan murid-muridnya, Asy-Syaukaaniy, dan yang lainnya ?. Kalau antum merasa bahasan ini tidak bermanfaat, antum tidak usah capek-capek berkunjung ke Blog ini. Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda :
BalasHapusمِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
"termasuk tanda baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya".
Amalkan hadits ini, dan antum tidak perlu berpusing ria dengan orang lain.
Tambahan untuk akhi Abu Hasan, terkait perkara sandiwara islami dan yang semisalnya :
BalasHapushttp://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/03/hukum-sandiwara-islamiy.html
apa yang dijelaskan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzan di dalam artikel tersebut senada dengan penjelasan Syaikh Utsman bin Muhammad al-Khomis (konsultasisyariah) mengenai visualisasi shahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam.
Wallohul Musta'an
Anonim 9 Agustus 2012 22:57 ya ustadznya memang karbitan. Selalu ingin cari topik yang rame walau sebetulnya masih banyak tema yang jauh lebih bermanfaat. Mungkin pikirnya Kalau pake topik yang kontroversi biar rame banyak yang coment. Abis kalau yang biasa-biasa aja sepi comment jadi kurang semangat deh ustadznya. Memang kalau banyak tepuk tangan bisa lebih termotivasi
BalasHapusSaya meyakini bahwa kalimat ini dibangun di atas kebodohan
jazakallah khoiran ustadz atas jawabannya
BalasHapusAfwan lagi ustadz ini masalah sinetron Omar jawaban dari konsultasisyariah yang didasarkan oleh khotbah Syaikh Utsman bin Muhammad al-Khomis itu belum memuaskan dahaga, mungkin karena memang bukan pembahasan ilmiah yang khusus dengan topik sehingga cuman disinggung poin2nya saja
langsung to the poin saja ini yang ingin saya tahu
"Oleh karena itu, tidak dibenarkan dan tidak boleh sinetron yang demikian. Para ulama berpendapat visualisasi sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan perendahan terhadap kedudukan mereka."
Ini ijma' atau cuma beberapa ulama saja atau bagaimana ?.. Dalilnya bagaimana ? Karena banyak penjidal berhujjah kalo sahabat boleh saja difilmkan kan yang penting bukan Rasul salallahu'alayhi wasallam..
Nah ini tentunya membawa saya bertanya dalil ga boleh divisualisasikannya Rasul apa ya ? ijma' atau bagaimana ?
Karena yang saya khawatirkan ada dai yang mengatakan karena sudah terlanjur ya kita dukung saja.. Ini kan ruwet ?? Apa nanti kalo mereka membuat sinetron Nabi Isa ato bahkan Nabi Muhammad kita dukung saja karena sudah terlanjur ??
Sekiranya ustadz atau ikhwah yang lain ada info mohon dipaparkan. Supaya ana dapat manfaatnya juga jazakallahu khairan
Abu Hasan
Assalamu'alaikum
BalasHapusSepertinya benar apa yang telah di katakan oleh Syaikh Fauzan dan Syaikh Utsman al-Khomis,
bahwa visualisasi shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam adalah bentuk perendahan terhadap figur mereka, baik orang yang memerankan merasa atau tidak.
karena saya pribadi merasa orang / aktor yang ada di dalamnya tidak pantas memerankan figur shahabat -radliyallahu'anhum-.
Wallohul Musta'an
Ada bahasan bagus tentang masalah onani ini di :
BalasHapushttp://kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?t=40281.
Akan saya tambahkan atsar dari salaf yang menafikkan 'illat qiyas keluarnya mani sebagai pembatal puasa.
BalasHapusحَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، عَنْ حَبِيبٍ، عَنْ عَمْرِو بْنِ هَرِمٍ، قَالَ: سُئِلَ جَابِرُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ رَجُلٍ نَظَرَ إلَى امْرَأَتِهِ فِي رَمَضَانَ فَأَمْنَى مِنْ شَهْوَتِهَا هَلْ يُفْطِرُ؟ قَالَ: لَا وَيُتِمُّ صَوْمَهُ
Telah menceritakan kepada kami Yaziid bin Haaruun, dari Habiib, dari 'Amru bin Harim, ia berkata : Jaabir bin Zaid pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang memandang istrinya di bulan Ramadlaan, lalu ia keluar mani akibat syahwatnya tersebut, apakah batal puasanya ?". Ia berkata : "Tidak, hendaknya ia sempurnakan puasanya" [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, dengan sanad hasan].
Jaabir bin Zaid adalah seorang tabi'iy pertengahan, tsiqah lagi faqiih. Wafat tahun 93 H/103 H.
Atsar ini menunjukkan bahwasannya keluarnya mani karena syahwat tidaklah membatalkan puasa - menurut Jaabir bin Zaid. Tidak ada bedanya antara melihat dengan mata atau memegang dengan tangan.
ustadz bagaimana dengan hukumnya wanita yang berpuasa tapi keluar darah haid sebelum waktunya buka.
BalasHapusBatal apa diteruskan puasanya ?
jazakallahu khoiron,
selamet rahardjo
Batal.
BalasHapuspk ustadz, saya pernah membaca suatu artikel yang mengatakan:
BalasHapusjika keluar air mani saat puasa, maka puasanya harus di qada'.
apakah itu benar atau tidak?
jika benar, bagaimana cara mengqada'nya?
--mukrom--
Bkn bermaksud Tatabu' Rukhsah ustadZ, terus terang ana lebih condong kependapat onani tidak membatalkan shaum. namun apakah lebih baik kita sebaiknya meninggalkannya untuk kehati-hatian??
BalasHapusDi atas sama sekali tidak ada pernyataan anjuran untuk onani.
BalasHapusijma itu hanyalah pendapat bukan wahyu dan bukan pula ijtihat rasullah.kalau tak tahu atau tak cukup faham bertakliklah pada jumhur.kalau cukup faham silalah tarjih.saya ingin mengulas dakwaan tholibul ilmi menyatakan onani lebih puas dari jima adalah adalah sangkaan yg lemah dan tak berasas.kalau onani lebih puas kenapa perlu merogol.kalau ditanya kepada orang ramai yg mana kamu lebih suka onani atau jima apa orang akan jawab wahai tholibul ilmi
BalasHapusAsalamu'alaikum ustadz
BalasHapusSy mau tanya, kalo onani saat puasa tapi tidak mengeluarkan mani, apakah puasanya batal?
Trimakasih
wa'alaikumus-salaam. tidak.
BalasHapusJumhur ulama memfatwakan bahwa onani itu membatalkan puasa.
BalasHapustp dlm artikel ini merupakan pendapan seorang ulama.. mana yang di utamakan?
jumhur ulama atau artikel di atas?
Bukan seorang, tapi beberapa orang ulama.Termasuk di antaranya 'Aaisyah radliyallaahu 'anhaa.
BalasHapusJumhur ulama tidak selalu benar, karena kebenaran tidak selalu mengikuti orang banyak.
Yang salah itu jika menyelisihi kesepakatan (semua) ulama, bukan menyelisihi jumhur ulama.
Ini tuh maksudnya gimana? Onani membatalkan puasa atau tidal? Harus bayar atau nggak?? Bingung.. Yang mana pendapat terbaik?
BalasHapusCoba antum baca perkataan Ash-Shan'aaniy rahimahullah di akhir artikel.
BalasHapusassalamualaikum pak ustad
BalasHapusjadi intinya Onani di bulan romadhon itu tdk membatal kan soum pak ustad !
dan tdak perlu melakukan qodho dan kifarath, bgitukah pak ustad. . .
Hatur Nuhun
Tolong jawab wassalamualaikum
Wa'alaikumus-salaam.
BalasHapusOnani adalah perbuatan dosa dan buruk. Namun onani tidak membatalkan puasa dan tidak mengkonsekuensikan kaffarat.
Assalamu'alaikum ustadz
BalasHapusbagaimana jika kita sudah onani lalu mani keluar dan kita lanjutkan dengan makan/minum sedangkan kita tidak tahu kalau onani itu tidak membatalkan puasa karena kita telah beranggapan puasa kita telah batal.
Apakah puasanya dikatakan batal ustadz ?
Assalamu'alaikum ustadz
BalasHapustambahan yang tadi kalau kita sudah keluar maninya apakah kita harus mandi wajib ? Sedangkan puasa itu harus suci dari hadast besar ?
Tolong dijawab ustadz
Wa'alaikumus-salaam.
BalasHapus@Anonim 7 Agustus 2013 11.22,... ya batal. Mesti mengqadla nya di waktu yang lain.
----
Anonim 7 Agustus 2013 11.52,...... mesti mandi wajib.
Assalamu alaikum ustadz, sebelumnya jg sy berpendapat bhw onani adalah salah satu pembatal puasa, dan hrs mengqadha di hari yg lain (kt guru ngaji sy dulu), tp stlh sy bc artikel di atas, alhamdulillah sy mendptkan ilmu bermanfaat, dan membuat sy yakin bhw onani bknlah salah satu pembatal puasa, krn yg membatalkan puasa itu berjima' meskipun tdk keluar mani, sdgkan bercumbu, ciuman dg istri tdk membatalkan puasa, terimakasih atas pencerahannya...
BalasHapusBismillah,
BalasHapusafwan ustadz, bagaimana jika ilah yang membatalkan puasa itu sesuatu yang masuk atau keluar dari tubuh yang menyebabkan kita lemas atau tambah kuat?
ilah ini dipakai untuk menghukumi onani,,
seperti orang di infus sehingga tambah kuat, dll,,
kalau onani kata orang membuat lemas,
Saya belum pernah mendengar 'illat itu dipakai dalam masalah ini.
BalasHapusAssalamuallaikum!
BalasHapusapakah setelah melakukan onani harus mandi wajib tapi kan waktu itu saya belum tau hukumnya! dikirain gak batal ustad? tapi perasaan gak keluar mani kok ustad!
sekarang saya dah taubat karena tau bahwa itu hukumnya haram! :(
Saya sedikit sulit mengikuti pembahasan ini, saya mohon bimbingannya.
BalasHapusApakah itu 'illat?
Karena penjelasan tentang apa itu 'illat di google itu cukup membingungkan dan terlalu letterlag, saklek dari definisi bahasa arabnya tanpa digubah ulang ke pemahaman bahasa indonesia.
Lalu bagaimana jika onani dengan tangan istri ketika puasa?
BalasHapusOnani hanya dosa jika dengan tangan sendiri kan?
Dan onani juga tak membatalkan puasa, hanya saja mengurangi pahala puasa jika dilakukan dengan tangan sendiri (onani yang haram).
@Anonim 3 Juli:
BalasHapusSebaiknya kita merasa cukup dengan penjelasan yang ada saja.
Jangan seperti Bani Israil yang suka memperpanjang pertanyaan yang pada akhirnya malah semakin menyulitkan urusan mereka sendiri.
Yang secara umum dilarang pada orang yang berpuasa sudah jelas.
Yang secara khusus mampu membatalkannya pun juga sudah jelas.
Dalam hal muamalah dengan istri, diatas sudah disebutkan kalau yang membatalkan puasa adalah jima' dengan sengaja.
Jima' secara umum adalah bertemunya kelamin pria dengan kelamin wanita, itu sudah!
Diatas, onani diqiyaskan dengan berbohong, yaitu melakukan hal buruk yang tak sampai pada tahap membatalkan puasa.
Namun yang dimaksud ini adalah onani dengan tangan sendiri. Karena onani dengan tangan istri itu tak buruk, dan mengonani/masturbasikan pasangan juga termasuk dalam konteks bercumbu.
Sama seperti Dry Humping yang juga termasuk bagian dari bercumbu (tak termasuk jima').
NB:
Namun tentu semua kembali pada ijtihad mana yang anda ikuti.
Perkataan saya ini hanya berlaku pada orang yang setuju dengan artikel Ust. Abul-Jauzaa.
Adapun saya sendiri, saya lebih memilih tak melakukannya karena ini termasuk hal syubhat.
Nekat menjalankan hal syubhat itu diibaratkan seperti menggembala kambing di pekarangan orang.
Anda tak berdosa jika kambing itu memang hanya lewat tanpa merugikan pemilik pekarangan.
Tapi kalau kambing itu sampai mencret atau makan rumput di pekarangan itu (meskipun anda tak mengetahuinya), maka anda tetap dinilai dosa karena nekatnya (tidak wara'/berhati-hati).
Lagipula menahan syahwat seharian itu kan bagus juga untuk kehidupan asmara anda dengan istri.
Istri tak akan bosan & cenderung haus kasih sayang juga ketika sudah waktunya berbuka.
Dan kehidupan berumah tangga pun semakin menggairahkan jika syahwat diantara suami/istri terus menyala tanpa batas.
Jadi kesimpulannya onani membatalkan puasa atau tidak?
BalasHapusJumhur Ulama mengatakan: Batal.
BalasHapusSedangkan sebagian Ulama lain & artikel ini mengatakan: Tidak.
Mana yang anda merasa lebih yakin terhadapnya, silahkan diikuti.
Wa'alaikumus-salaam. Artikel di atas sudah mencukupi, insya allah....
BalasHapusJd betullah puasanya tidak batal walaupun keluar air mani kerana melakukan onani dengan sengaja
BalasHapus