Ibnu
Abi Syaibah rahimahullah berkata :
حَدَّثَنَا ابْنُ نُمَيْرٍ، عَنْ عَبْدِ الْمَلِكِ بْنِ سَلْعٍ،
عَنْ عَبْدِ خَيْرٍ، قَالَ: سَمِعْتُ عَلِيًّا، يَقُولُ: " قُبِضَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى خَيْرِ مَا قُبِضَ عَلَيْهِ نَبِيٌّ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ،
وَأَثْنَى عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "، قَالَ: " ثُمَّ اسْتُخْلِفَ
أَبُو بَكْرٍ، فَعَمِلَ بِعَمَلِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَبِسُنَّتِهِ، ثُمَّ قُبِضَ أَبُو بَكْرٍ عَلَى خَيْرِ مَا قُبِضَ عَلَيْهِ أَحَدٌ،
وَكَانَ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ، فَعَمِلَ
بِعَمَلِهِمَا وَسُنَّتِهِمَا، ثُمَّ قُبِضَ عَلَى خَيْرِ مَا قُبِضَ عَلَيْهِ أَحَدٌ،
وَكَانَ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ بَعْدَ نَبِيِّهَا وَبَعْدَ أَبِي بَكْرٍ "
Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Numair, dari ‘Abdul-Malik bin Sal’, dari ‘Abdul-Khair,
ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam wafat dalam keadaan sebaik-baik seorang nabi dari kalangan nabi
diwafatkan”. Kemudian ‘Aliy memuji beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Selanjutnya ia berkata : “Kemudian diangkatlah Abu Bakr menggantikan beliau,
lalu ia menjalankannya berdasarkan yang diperbuat oleh Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Kemudian Abu Bakr wafat dalam keadaan sebaik-baik hamba
yang diwafatkan. Ia adalah sebaik-baik umat setelah Nabinya. Kemudian
diangkatlah ‘Umar menggantikannya. Ia pun menjalankan berdasarkan yang
diperbuat dan sunnah mereka berdua (Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
dan Abu Bakr). Kemudian ‘Umar pun wafat dalam keadaan sebaik-baik hamba
diwafatkan. Ia adalah sebaik-baik umat setelah Nabinya dan setelah Abu Bakr” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 38050, dan darinya Ahmad
dalam Al-Musnad, 1/128 no. 1059 dan Adl-Dliyaa’ dalam Al-Mukhtarah no.
671].
Diriwayatkan
juga oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah 3/418 dari jalan ‘Abdullah bin
Numair, selanjutnya seperti sanad di atas.
Diriwayatkan
juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Al-Musnad 1/128 no. 1055 &
dalam Zawaaid Fadlaailish-Shahaabah no. 72, dan darinya Adl-Dliyaa’
dalam Al-Mukhtarah no. 670 dan ‘Abdul-Ghaniy Al-Maqdisiy dalam Ats-Tsaaniy
min Fadlaaili ‘Umar bin Al-Khaththaab no. 10, dari Marwaan bin Mu’aawiyyah
Al-Fazaariy : Telah memberitakan kepada kami ‘Abdul-Malik bin Sal’
Al-Hamdaaniy, dan selanjutnya seperti riwayat di atas.
Sanadnya
hasan.
Berikut
keterangan perawinya :
a.
‘Abdullah bin Numair
Al-Hamdaaniy, Abu Hisyaam Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah
shaahibul-hadiits dari kalangan Ahlus-Sunnah.
Termasuk thabaqah ke-5, lahir tahun 115 H, dan wafat tahun 199 H.
Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan
Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 553 no. 3692].
b.
Marwaan bin Mu’aawiyyah bin Al-Haarits bin
Asmaa’ bin Khaarijah Al-Fazaariy, Abu ‘Abdillah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah
lagi haafidh, namun ia sering melakukan tadlis pada nama-nama
syuyuukh. Termasuk thabaqah ke-8, dan wafat tahun 193 H. Dipakai
oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu
Maajah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 932 no. 6619].
c.
‘Abdul-Malik bin
Sal’ Al-Hamdaaniy; seorang yang shaduuq. Termasuk thabaqah ke-6. Dipakai oleh An-Nasaa’iy [Taqriibut-Tahdziib, hal.
623 no. 4211].
Tidak ada yang
mentsiqahkannya dari kalangan mutaqaddimiin selain Ibnu Hibbaan, dan ia
berkata : “Yukhthi’ (sering keliru)” [Ats-Tsiqaat, 7/107].
Beberapa orang tsiqaat atau shaduuq meriwayatkan darinya, di
antaranya : Ibraahiim bin Muhammad Al-Hamdaaniy, Abu Khaalid Al-Ahmar, Ash-Shalt
bin Bahraam, ‘Abdullah bin Numair, dan Marwaan bin Mu’aawiyyah Al-Fazzaariy.
Ada orang yang
keliru memahami bahwa perkataan yukhthi’ dari Ibnu Hibbaan dalam Ats-Tsiqaat
tersebut dianggap sebagai jarh yang mengkonsekuensikan 'Abdul-Malik masuk dalam katagori perawi dla’iif. Ini keliru. Jika perkataan itu mengkonsekuensikan kedla’ifan,
tentu ia akan memasukkannya juga dalam kitab Al-Majruuhiin – sebagaimana
dikenal dari manhaj Ibnu Hibbaan. Maksud perkataan yukhthi’ Ibnu Hibbaan
terhadap seorang perawi dalam Ats-Tsiqaat adalah kedudukan perawi
tersebut tidak sampai pada derajat tsiqah karena mempunyai sedikit kelemahan,
sehingga haditsnya hanya berderajat hasan. Banyak sekali perawi yang ia hukumi yukhthi’
dalam Ats-Tsiqaat, kemudian ia pergunakan dalam kitabnya Shahiih
Ibni Hibbaan [lihat : Ar-Raudlud-Daaniy fil-Fawaaidil-Hadiitsiyyah
lil-Albaaniy oleh ‘Ishaam Muusaa Haadiy, hal. 67].[1]
Basyar ‘Awwaad
dan Al-Arna’uth menyepakati penghukuman Ibnu Hajar dalam At-Tahriir
(2/383 no. 4183).
d.
‘Abdul-Khair bin Yaziid/Yuhmid
bin Khauliy bin ‘Abdi-‘Amru bin ‘Abdi Yaghuuts bin Ash-Shaa’id Al-Hamdaaniy,
Abu ‘Umaarah Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah. Termasuk thabaqah ke-2.
Dipakai oleh Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [Taqriibut-Tahdziib,
hal. 567 no. 3805].
Diriwayatkan
juga oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid Fadlaailish-Shahaabah no.
427 dari Abu ‘Abdirrahmaan ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Mus-hir bin ‘Abdil-Malik bin Sal’ Al-Hamdaaniy, dari ‘Abdul-Khair,
ia berkata : Aku mendengar ‘Aliy berkata : “.....(al-atsar)...”.
Akan tetapi sanad ini terputus antara
Mus-hir dengan ‘Abdul-Khair, dimana diketahui bahwa riwayatnya yang berasal
dari ‘Abdul-Khair melalui perantaraan ayahnya. Ia sendiri (yaitu Mus-hir)
seorang yang lemah.
Ahmad Syaakir rahimahullah dalam
tahqiq & takhrij-nya atas Musnad Al-Imaam Ahmad (2/54-55
& 56) menghukumi atsar ‘Aliy ini dengan perkataannya : “Sanadnya shahih”. Dr.
Washiyullah ‘Abbas hafidhahullah berkata : “Sanadnya hasan” [Tahqiiq
& Takhriij Fadlaailish-Shahaabah, hal. 122-123]. Al-Arna’uth dkk. hafidhahumullah
berkata : “Sanadnya kuat (qawiy)” [Tahqiiq & Takhriij
Al-Musnad, 2/313-314 & 315].
Atsar ini mempunyai syahid[2]
dari riwayat :
حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ، أَنْبَأَنَا سُفْيَانُ،
عَنِ الْأَسْوَدِ بْنِ قَيْسٍ، عَنْ رَجُلٍ، عَنْ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ،
أَنَّهُ قَالَ يَوْمَ الْجَمَلِ: إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم
لَمْ يَعْهَدْ إِلَيْنَا عَهْدًا نَأْخُذُ بِهِ فِي إِمَارَةِ، وَلَكِنَّهُ شَيْءٌ
رَأَيْنَاهُ مِنْ قِبَلِ أَنْفُسِنَا، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ أَبُو بَكْرٍ، رَحْمَةُ
اللَّهِ عَلَى أَبِي بَكْرٍ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، ثُمَّ اسْتُخْلِفَ عُمَرُ
رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَى عُمَرَ، فَأَقَامَ وَاسْتَقَامَ، حَتَّى ضَرَبَ الدِّينُ
بِجِرَانِهِ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq
: Telah memberitakan Sufyaan, dari Al-Aswad bin Qais, dari seorang laki-laki,
dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya ia pernah berkata pada waktu
perang Jamal : “Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah berwasiat/mengamanatkan kepada kami satu
wasiatpun yang mesti kami ambil dalam masalah kepemimpinan. Akan tetapi hal itu
adalah sesuatu yang kita pandang menurut pendapat kita, kemudian diangkatlah
Abu Bakr menjadi Khalifah, semoga Allah mencurahkan rahmatnya kepada Abu Bakr. Ia
menjalankan (tampuk pimpinan) dan istiqamah di dalam menjalankannya,
kemudian diangkatlah ‘Umar menjadi Khalifah semoga Allah mencurahkan rahmatnya
kepada ‘Umar maka dia menjalankan (tampuk pimpinan) dan istiqamah di
dalam menjalankannya sampai agama ini berdiri kokoh karenanya”
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/114 & dalam Al-Fadlaail
no. 477 – baca pembahasannya di sini].
Dengan
atsar ini bukanlah berarti kita menganggap Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa
itu ma’shum dan terjaga dari kekeliruan, sebagaimana kita tidak pernah
menganggap selain mereka dari umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam terjaga
dari kekeliruan – termasuk di antaranya ‘Utsmaan, ‘Aliy, dan para shahabat yang
lainnya radliyallaahu ‘anhum. Apa yang mereka lakukan merupakan hasil
bimbingan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang secara umum
sesuai dengan petunjuknya. Jika tidak demikian, mustahil beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam akan berkata :
فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين عضوا عليها
بالنواجذ
“Maka
wajib bagi kalian untuk berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah Al-Khulafaa’
Ar-Raasyidiin yang mendapatkan petunjuk. Gigitlah ia erat-erat dengan gigi
geraham” [Takhrij haditsnya bisa dibaca di sini].
Semoga
bermanfaat.
Wallaahu
a’lam.
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta – 30052012].
[1] Baca juga Al-Fawaaid Al-Hadiitsiyyah
yang dikumpulkan oleh Dr. Maahir Al-Fahl hafidhahullah di : http://majles.alukah.net/showthread.php?28130-%D9%85%D8%A7%D8%A6%D8%A9-%D9%88%D8%AE%D9%85%D8%B3-%D9%82%D9%88%D8%A7%D8%B9%D8%AF-%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB%D9%8A%D8%A9-%D8%AC%D9%85%D8%B9%D9%87%D8%A7-%D8%A7%D9%84%D8%B4%D9%8A%D8%AE-%D9%85%D8%A7%D9%87%D8%B1-%D8%A7%D9%84%D9%81%D8%AD%D9%84-%D9%87%D8%AF%D9%8A%D8%A9-%D9%84%D8%B7%D9%84%D8%A7%D8%A8-%D8%A7%D9%84%D8%AD%D8%AF%D9%8A%D8%AB
[2] Ada yang berpikiran aneh dalam memaknai syaahid
atau syawaahid satu riwayat, dimana ia mensyaratkan semua inti lafadhnya
dan maknanya mesti sama.
Syaahid
atau
syawaahid diambil dari riwayat-riwayat yang mempunyai makna sama yang
menguatkan, baik sebagian atau seluruhnya.
Dapat kita ketahui dari riwayat-riwayat 'Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu 'anhu, bahwa ia dan Al-Khulafaaur-Raasyidiin lainnya (juga para shahabat yang lainnya) adalah saudara yang saling mencintai. Berbeda halnya dengan Syi'ah yang senantiasa membuat skenario bahwa 'Aliy bermusuhan dengan para shahabat (terutama Abu Bakr, 'Umar, dan 'Utsmaan), atau para shahabat memusuhi 'Aliy radliyallaahu 'anhu.
BalasHapusSubhanallah ...terima kasih info nya Ustadz, ijin Copas...
BalasHapusJazakallah
Umar dan Abu Bakr adalah mertua Nabi Salallahalaihiwasallam. Utsman adalah menantu Nabi yang menikahi 2 putri Nabi Muhammad.
BalasHapusDilihat dari hubungan keluarga ini dan tingkat keshalihan mereka, adalah mustahil mereka bermusuhan seperti dusta para syiah.
Makanya, supaya tiduhannya tampak nyata, syiah membuat dongeng bahwa Abu Bakr, Umar, dan Utsman itu kafir sehingga masuk akal kalau dibenci.
Syiah lebih dusta dari tukang obat ngibul yang pintar main sulap.