An-Nis-yaan (النِّسْيَانُ)
dalam lisan bahasa Arab yang sering kita ucapkan sering diartikan ‘lupa’.
Padahal, an-nis-yaan merupakan shifat fi’liyyah khabariyyah yang tsaabit
bagi Allah berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebelum kita bahas apa makna
an-nis-yaan, mari kita cermati dalil-dalil yang ada dalam kedua sumber tersebut
:
Dalil
Al-Qur’an
Allah
ta’ala berfirman :
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا
وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَذَا
وَمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ
“(Yaitu)
orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan
kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan
pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari
ayat-ayat Kami” [QS. Al-A’raaf : 51].
الْمُنَافِقُونَ وَالْمُنَافِقَاتُ
بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمَعْرُوفِ
وَيَقْبِضُونَ أَيْدِيَهُمْ نَسُوا اللَّهَ فَنَسِيَهُمْ
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
“Orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama, mereka menyuruh membuat yang mungkar dan melarang berbuat yang makruf dan
mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa
kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang
munafik itulah orang-orang yang fasik” [QS. At-Taubah : 67].
فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ
يَوْمِكُمْ هَذَا إِنَّا نَسِينَاكُمْ وَذُوقُوا
عَذَابَ الْخُلْدِ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
“Maka
rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan kamu melupakan akan pertemuan dengan
harimu ini (Hari Kiamat); sesungguhnya Kami telah
melupakan kamu (pula) dan rasakanlah siksa yang kekal, disebabkan apa
yang selalu kamu kerjakan" [QS. As-Sajdah : 14].
وَقِيلَ الْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا وَمَأْوَاكُمُ
النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Dan
dikatakan (kepada mereka): "Pada hari ini Kami
melupakan kamu sebagaimana kamu telah melupakan pertemuan (dengan)
harimu ini dan tempat kembalimu ialah neraka dan kamu sekali-kali tidak
memperoleh penolong” [QS. Al-Jaatsiyyah : 34].
Dalil
As-Sunnah
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ
الزُّهْرِيُّ الْبَصْرِيُّ، حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ سُعَيْرٍ أَبُو مُحَمَّدٍ
التَّمِيمِيُّ الْكُوفِيُّ، حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، وَعَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَا: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يُؤْتَى بِالْعَبْدِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
فَيَقُولُ اللَّهُ لَهُ: أَلَمْ أَجْعَلْ لَكَ سَمْعًا وَبَصَرًا وَمَالًا
وَوَلَدًا وَسَخَّرْتُ لَكَ الْأَنْعَامَ وَالْحَرْثَ وَتَرَكْتُكَ تَرْأَسُ
وَتَرْبَعُ، فَكُنْتَ تَظُنُّ أَنَّكَ مُلَاقِي يَوْمَكَ هَذَا؟ قَالَ: فَيَقُولُ:
لَا، فَيَقُولُ لَهُ: الْيَوْمَ أَنْسَاكَ كَمَا
نَسِيتَنِي"
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Muhammad Az-Zuhriy Al-Bashriy : Telah
menceritakan kepada kami Maalik bin Su’air Abu Muhammad At-Tamiimiy Al-Bashriy
: Telah menceritakan kepada kami Al-A’masy, dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah
dan Abu Sa’iid, mereka berdua berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam : “Akan didatangkan seorang hamba pada hari kiamat,
lalu Allah berkata kepadanya : ‘Tidakkah Aku telah memberikan bagimu
pendengaran, penglihatan, harta, dan anak. Dan Aku telah menundukkan bagimu
hewan ternak dan tanaman, serta Aku tinggalkan bagimu menjadi pemimpin dan
mendapatkan seperempat (bagian harta rampasan). Dan (apakah) dulu engkau
mengira bahwa engkau akan menemui-Ku pada hari ini ?’. Ia menjawab : ‘Tidak’.
Allah berkata kepadanya : ‘Pada hari ini Aku telah
melupakanmu sebagaimana engkau telah melupakan-Ku” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidziy 4/224 no. 2428, dan ia berkata : ‘shahih ghariib’].
Makna
An-Nis-yaan
At-Tirmidziy
rahimahullah setelah membawakan hadits di atas berkata :
وَقَدْ فَسَّرَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ
هَذِهِ الْآيَةَ فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ، قَالُوا: إِنَّمَا مَعْنَاهُ الْيَوْمَ
نَتْرُكُهُمْ فِي الْعَذَابِ
“Sebagian
ulama telah menafsirkan ayat ini : ‘Maka pada hari (kiamat) ini, Kami
melupakan mereka’ (QS. Al-A’raaf : 51), mereka berkata : ‘Maknanya adalah :
Pada hari Kami tinggalkan/biarkan mereka dalam siksaan” [Sunan At-Tirmidziy,
4/225].
Al-Imaam
Ahmad rahimahullah berkata :
أما قوله : (فَالْيَوْمَ نَنْسَاكُمْ كَمَا
نَسَيْتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا)؛ يقول : نترككم في النار؛ (كَمَا
نَسَيْتُمِ)؛ كما تركتم العمل للقاء يومكم هذا
“Adapun
firman-Nya : ‘Pada hari ini Kami melupakan kamu sebagaimana kamu telah
melupakan pertemuan (dengan) harimu ini’ (QS. Al-Jaatsiyyah : 34); yaitu :
Kami tinggalkan/biarkan mereka dalam neraka. Firman-Nya : ‘Sebagaimana kamu
telah melupakan’; yaitu sebagaimana kalian meninggalkan ‘amal (shalih)
untuk perjumpaan (dengan Allah) pada hari ini” [Ar-Radd ‘alaz-Zanaadiqah
wal-Jahmiyyah, hal. 21].
Ibnu
Faaris rahimahullah berkata :
النسيان : الترك، قال الله جل وعز :
(نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ).
“An-Nis-yaan maknanya adalah at-tark (meninggalkan/membiarkan),
sebagaimana firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Mereka telah lupa kepada
Allah, maka Allah melupakan mereka’ (QS. At-Taubah : 67)” [Mujmalul-Lughah,
hal. 866].
Ath-Thabariy
rahimahullah saat menafsirkan ‘Mereka telah lupa kepada Allah, maka
Allah melupakan mereka’ (QS. At-Taubah : 67), berkata :
معناه : تركوا اللهَ أن يطيعوه ويتبعوا
أمره، فتركهم اللهُ من توفيقه وهدايته ورحمته، وقد دللنا فيما مضى على أن معنى
النسيان : الترك.....
“Maknanya
adalah : mereka meninggalkan Allah untuk taat kepada-Nya dan mengikuti
perintah-Nya. Maka Allah pun meninggalkan mereka dari taufiq, hidayah, dan
rahmat-Nya. Dan telah kami tunjukkan pada bahasan yang lalu bahwa makna
an-nis-yaan adalah at-tark (meninggalkan)…” [Tafsiir Ath-Thabariy,
14/339].
Asy-Syaikh
Ibnu ‘Utsaimiin rahimahullah pernah ditanya : “Apakah Allah itu disifati
dengan nis-yaan ?”. Maka beliau menjawab :
((للنِّسْيَان معنيان :
أحدهما : الذهول عن شيء معلوم ؛ مثل قوله
تعالى : { رَبَّنَا لا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا } )) -وضرب
مجموعة من الأمثلة لذلك- ثم قال : ((وعلى هذا؛ فلا يجوز وصف الله بالنِّسْيَان
بهذا المعنى على كل حال.
والمعنى الثاني للنِّسْيَان : الترك عن علم
وعمد ؛ مثل قوله تعالى : { فَلَمَّا نَسُوا مَا ذُكِّرُوا بِهِ فَتَحْنَا
عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ } الآية ، ومثل قوله تعالى : { وَلَقَدْ
عَهِدْنَا إِلَى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا } ؛ على
أحد القولين ، ومثل قوله صلى الله عليه وسلم في أقسام أهل الخيل : ((ورجل ربطها
تغنياً وتعففاً ، ولم ينس حق الله في رقابها وظهورها ؛ فهي له كذلك ستر)). وهذا
المعنى من النِّسْيَان ثابت لله تعالى عَزَّ وجَلَّ ؛ قال الله تعالى : {
فَذُوقُوا بِمَا نَسِيتُمْ لِقَاءَ يَوْمِكُمْ هَذَا إِنَّا نَسِينَاكُمْ } ، وقال
تعالى في المنافقين : { نَسُوا اللهَ فَنَسِيَهُمْ إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ } . وفي ((صحيح مسلم)) في (كتاب الزهد والرقائق) عن أبي هريرة رضي
الله عنه ؛ قال : قالوا : يا رسول الله! هل نرى ربنا يوم القيامة؟ (فذكر الحديث ،
وفيه : ((أنَّ الله تعالى يلقى العبد ، فيقول : أفظننت أنك ملاقي؟ فيقول : لا.
فيقول : فإني أنساك كما نسيتني)).
وتركُه سبحانه للشيء صفةً من صفاته الفعلية
الواقعة بمشيئته التابعة لحكمته ؛ قال الله تعالى : { وَتَرَكَهُمْ فِي ظُلُمَاتٍ
لا يُبْصِرُونَ } ، وقال تعالى : { وَتَرَكْنَا بَعْضَهُمْ يَوْمَئِذٍ يَمُوجُ فِي
بَعْضٍ } ، وقال: { وَلَقَد تَرَكْنَا مِنْهَا آيَةً بَيِّنَةً } والنصوص في ثبوت
الترك وغيره من أفعاله المتعلقة بمشيئته كثيرة معلومة وهي دالة على كمال قدرته
وسلطانه.
وقيام هذه الأفعال به سبحانه لا يماثل
قيامها بالمخلوقين ، وإن شاركه في أصل المعنى ؛ كما هو معلوم عند أهل السنة)).هـ
“An-Nis-yaan
itu mempunyai dua makna. Pertama, maknanya adalah adz-dzuhuul (lupa)
dari sesuatu yang telah diketahui sebelumnya, seperti firman-Nya ta’ala :
‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami
tersalah’ (QS. Al-Baqarah : 286)” – kemudian beliau (Ibnu ‘Utsaimiin)
menyebutkan beberapa ayat yang mempunyai makna tersebut, lalu beliau berkata :
“Oleh karena itu, tidak diperbolehkan menyifati Allah dengan an-nis-yaan
pada makna ini. Kedua, maknanya adalah at-tark (meninggalkan/membiarkan)
dengan ilmu dengan kesengajaan. Seperti firman-Nya : ‘Maka tatkala mereka
melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kami-pun membukakan
semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka’ (QS. Al-An’aam : 44). Dan juga
seperti firman-Nya : ‘Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam
dahulu, maka ia lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan
yang kuat’ (QS. Thaha : 115) – berdasarkan salah satu dari dua pendapat.
Dan juga seperti sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam
pembagian pasukan berkuda : ‘Dan seorang yang menjadikan kudanya sebagai
alat untuk mencari kebutuhan hidup, namun dia tidak melupakan hak Allah pada
leher dan punggung kudanya, maka kuda itu menjadi pelindung baginya’ (HR.
Al-Bukhaariy, An-Nasaa’iy, Maalik, dan yang lainnya). Makna nis-yaan
dalam hal ini adalah tsaabit (tetap) bagi Allah ta’ala ‘azza wa jalla.
Allah ta’ala berfirman : ‘Maka rasailah olehmu (siksa ini) disebabkan
kamu melupakan akan pertemuan dengan harimu ini (Hari Kiamat); sesungguhnya
Kami telah melupakan kamu (pula)’ (QS. As-Sajdah : 14). Allah ta’ala
berfirman tentang orang-orang munafiq : ‘Mereka telah lupa kepada Allah,
maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itulah
orang-orang yang fasik’ (QS. At-Taubah : 67). Dan dalam Shahiih Muslim
pada kitab Az-Zuhd war-Raqaaiq, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu,
ia berkata : Mereka berkata : ‘Wahai Rasulullah, apakah kami akan melihat Rabb
kami pada hari kiamat ?’. Lalu beliau menyebutkan haditsnya yang didalamnya
terdapat sabda beliau : ‘Bahwasannya Allah ta’ala akan menemui hamba-Nya dan
berfirman : ‘Apakah kalian pernah menyangka bahwa kalian akan bertemu dengan-Ku
?’. Ia (si hamba) berkata : ‘Tidak’. Allah berfirman : ‘Sesungguhnya Aku telah
melupakanmu sebagaimana engkau telah melupakan-Ku’.
Dan
meninggalkannya Allah subhaanahu wa ta’ala terhadap sesuatu merupakan
shifat fi’liyyah yang berkaitan dengan kehendak-Nya yang menyertai
hikmah-Nya. Allah ta’ala berfirman : ‘Dan Allah membiarkan mereka
dalam kegelapan, tidak dapat melihat’ (QS. Al-Baqarah : 17). ‘Kami
biarkan mereka di hari itu bercampur aduk antara satu dengan yang lain’
(QS. Al-Kahfi : 99). ‘Dan sesungguhnya Kami tinggalkan daripadanya satu
tanda yang nyata’ (QS. Al-Ankabuut : 35). Dan nash-nash yang menetapkan
(shifat) at-tark (meninggalkan) dan perbuatan-perbuatan-Nya yang lainnya
yang berkaitan dengan kehendak-Nya, banyak sekali. Nash-nash tersebut
menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya.
Dan
keberadaan perbuatan-perbuatan tersebut pada Allah subhaanahu wa ta’ala
tidaklah sama dengan keberadaan perbuatan-perbuatan pada makhluk-makhluk-Nya;
meskipun berkumpul pada asal makna yang sama, sebagaimana telah ma’lum menurut
Ahlus-Sunnah” [Majmuu’ Fataawaa wa Rasaail, 3/54-56 no. 354].
Jadi
kesimpulannya makna shifat an-nis-yaan yang disandarkan kepada Allah adalah
at-tark (meninggalkan).
Wallaahu
a’lam.
Semoga
ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta – banyak mengambil faedah dari buku
Shifatullah ‘azza wa jalla Al-Waaridatu fil-Kitaab was-Sunnah karya
‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, hal. 340-343; Daarul-Hijrah, Cet. 3/1426
H].
Jazakallah atas penjelasannya Ustadz.
BalasHapusO iya, penulis kitab Shifatullah ‘azza wa jalla Al-Waaridatu fil-Kitaab was-Sunnah ‘Alawiy bin ‘Abdil-Qaadir As-Saqqaaf, kalau ndak salah, beliau ini Habib yang "menyimpang" ya Ustadz?
Maksudnya menyimpang yakni Tidak mengikuti kebanyakan Habib yang Sufi dan menceburkan dirinya kedalam Wahabi.
kalau memungkinkan tulisan-tulisan dari para Habib Wahabi bisa banyak ditampilkan.
sekedar variasi suasana saja Ustadz
:)
Beliau adalah salah seorang habib muridnya Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah.
BalasHapusNB : Walaupun habib, tetap saja butuh menimba ilmu dari non-habib
Assalamualaikum,
BalasHapusUstadz, sehubungan dengan sifat Allah ini, bolehkah memberi nama anak dengan nama Abdun Nisyaan?
Jazakallah khaira
Wa'alaikumus-salaam. Tidak boleh. Nama 'abd' hanya boleh disandarkan pada nama-nama Allah saja.
BalasHapuswallaahu a'lam.
Assalaamu'alaikum
BalasHapusapa maksud dari "shifat fi’liyyah khabariyyah yang tsaabit bagi Allah"?
Jazakumullah
wa'alaikumus-salaam.
BalasHapusmaksudnya sifat yang merupakan perbuatan-perbuatan Allah ta'ala, yang dikhabarkan melalui nash-nash yang shahih.
wallaahu a'lam.
Assalamu alaykum akhi,
BalasHapusAna mau tanya tentang hadist :
"Sesungguhnya Allah tidak akan merasa bosan terlebih dahulu hingga kalianlah yang merasa bosan terlebih dahulu"
apakah benar penjelasan syaikh Ibnu Utsaimin seperti yang dituduhkan oleh penulis web: http://ummatipress.com/2012/03/16/astaghfirullah-ulama-salafy-wahabi-mensifati-allah-dengan-sifat-bosan/ ?
mohon penjelasannya
Jazakallohu Khoiron
Arif Rahman
Wa'alaikumus-salaam.
BalasHapusPenjelasan Syaikh Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah adalah benar. Allah disifati dengan bosan, karena memang ada dasarnya dalam nash. Tapi berhubung orang-orang tersebut pendek akalnya, mereka tidak bisa memahami perkataan Ibnu 'Utsaimiin rahimahullah.
Semoga nanti saya bisa menuliskan sedikit bahasannya di blog ini.
sepertinya sifat bosan itu sama dengan Lupa (An-Nisyan) ya pak Ustadz?
BalasHapuskarena prinsipnya adalah At-Tark (Allah meninggalkan mereka)
mungkin masih ada kaitan dengan sifat kedekatan Allah pada hambanya ya pak ustadz?...kedekatan sedepa, sehasta, berjalan, berlari
semoga Allah mudahkan UJ (Ustadz al-Jauza) memberikan penjelasannya.
Amin
salam alaik.......ada sifat Allah 'meluapakan"...setahu saya...itu aartinya menyianyiakan
BalasHapusAssalamualaikum, al-katibi mengatakan ustaz kontradiksi disini
BalasHapushttp://aswj-rg.blogspot.com/2013/11/menjawab-syubhat-abul-jauzaa-tentang.html
Wa'alaikumus-salaam.
BalasHapusSaya kira artikel di atas sudah sedemikian jelas. Bagaimana dikatakan 'menta'wil' sedangkan an-nisyaan sendiri secara bahasa bermakna at-tark ?.
akhii, tolong antum segera tuliskan bahasan tentang sifat Allah bosan. teman ana yang (lulusan Madinah) ingin segera mendapatkan faedah pembahasan. Sebab antum ingin membahasnya. Sebagaimana antum ingin menulisnya pada mulai tanggal 25 April 2012. Afwan.
BalasHapusDARI SEORANG PECINTA RASULULLAH,SEBUT SAJA SAYA ABU UMAR
BalasHapusASSALAMU`ALAIKUM
OH INI TOH JADI TULISAN PENDUKUNG KAUM WAHABI SALAFI,HA...HA... KATANYA HARAM MENAKWIL SHIFAT2 ALLAH TERNYATA KALIAN JUGA TERMAKAN OMONGAN SENDIRI LIHAT AN NISYAN SECARA ZHAHIR JELAS-JELAS BERARTI LUPA KEMUDIAN DITAKWIL JADI AT-TARK(MENINGGALKAN)...EH TETAP AJA GAK NGAKUI. LIHAT PERKATAAN IMAM SYAUKANI: والنسيان الترك: أي تركوا ما أمرهم به، فتركهم من رحمته وفضله، لأن النسيان الحقيقي لا يصح إطلاقه على الله سبحانه، وإنما أطلق عليه هنا من باب المشاكلة المعروفة في علم البيان “ Dan Nisyan adalah at-tark yakni “ Tinggalkan lah apa yang Allah perintahkan pada mereka, maka Allah meninggakan mereka dari rahmat dan keutamaan-Nya. Karena Nisyan makna secara hakekatnya tidaklah sah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya lafaz nisyan dinisbatkan atas Allah di sini hanyalah dari segi bab musyakalah yang sudah ma’ruf dalam ilmu Bayan
TANGGAPAN; WAHAI KAUM WAHABI SALAFI SUDAH SAATNYA KALIAN SADAR DARI (MAAF) KETOLOLAN KALIAN,DAN KEMBALILAH KE JALAN BENAR
Bagaimana bisa dikatakan menakwil, kalau makna at-tark itu disebutkan dalam kamus bahasa Arab ?
BalasHapusDasar Abu Umar Sang Pecinta Rasulullah
BalasHapusHa...ha... Dasar tolong baca dong pernyataan Imam Syaukani sekali lagi:والنسيان الترك: أي تركوا ما أمرهم به، فتركهم من رحمته وفضله، لأن النسيان الحقيقي لا يصح إطلاقه على الله سبحانه، وإنما أطلق عليه هنا من باب المشاكلة المعروفة في علم البيان “ Dan Nisyan adalah at-tark yakni “ Tinggalkan lah apa yang Allah perintahkan pada mereka, maka Allah meninggakan mereka dari rahmat dan keutamaan-Nya. Karena Nisyan makna secara hakekatnya tidaklah sah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala. Sesungguhnya lafaz nisyan dinisbatkan atas Allah di sini hanyalah dari segi bab musyakalah yang sudah ma’ruf dalam ilmu Bayan. TANGGAPAN SAYA (ABU UMAR): Udalah lepaskan ketololan kalian jelas2 Imam Syaukani di atas berkata " Karena Nisyan makna secara hakekatnya tidaklah sah dinisbatkan kepada Allah Ta’ala." Lihat wahai wahabi yang masih naif perkataan Imam Syaukani makna secara hakikatnya tidaklah sah dinisbatkan kepada ALlah,berarti kan seorang ulama besar Imam Syaukani saja secara tak langsung ikut menakwil,udahlah lepaskan ketololan anda ha...ha...
An-Nis-yaan bermakna at-tark itu secara lughah (bahasa) itu sudah masyhur. Ini bukan ta'wil ala ahli tahrif yang menakwil tangan dengan nikmat. Di atas kan sudah disebut referensi kamus bahasa Arabnya, dari Ibnu Faaris.
BalasHapusIni yang lain dari Maqaayiisul-Lughah:
النون والسين والياء أصلانِ صحيحان: يدلُّ أحدهما على إغفال الشيء، والثاني على تَرْك شيء.فالأوّل نسِيتُ الشَّيءَ، إذا لم تذكُره، نِسياناً.
وممكنٌ أن يكونَ النِّسْيُ منه.
والنِّسْيُ ما سَقَط من منازل المرتحلين، من رُذَال أمتعتهم، فيقولون: تتبَّعوا أنساءَكم. قال الشَّنْفرى:
كأنَّ لها في الأرض نِسياً تقُصُّه *** على أمِّها وإنْ تكلِّمْك تَبْلَِتِ
وعلى ذلك يفسَّر قولُه تعالى: نَسُوا اللهَ فنَسِيَهُمْ [التوبة 67]، وكذلك قولـه سبحانه: وَلَقَدْ عَهِدْنَا إلى آدَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ ولَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْماً [طه 115]، أراد والله أعلمُ: فتركَ العَهد.
Nuun, siin, yaa, ada dua makna asal yang benar, pertama : lupa/lalau terhadap sesuatu, yang kedua, meninggalkan sesuatu.....dst.
Oleh karena itu, 'tafsir' yang ada di artikel di atas yang menukil kalam para ulama adalah tafsir dari segi lughah (bahasa) itu sendiri.
Ya.... yang seperti ini memang nggak dijelaskan oleh 'mereka'.
Kalau kata "an-nisyan" dimaknai sebagai "at-tark" dan itu tidak disebut sebagai takwil sehingga diperbolehkan, maka mengapa ketika kata "al-yad" dimaknai sebagai "al-qudrah" disebut sebagai takwil sehingga tidak diperbolehkan?
BalasHapusKalau alasannya bahasa, bukankah kedua-duanya "waarid" (eksis) secara "lughah" (bahasa)?
Dalam kamus Lisanul 'Arab misalnya, kata "yad" juga dimaknai sebagai nikmat, ihsan, "al-quwwah" dan lain sebagainya.
واليَدُ النِّعْمةُ والإِحْسانُ تَصْطَنِعُه والمِنَّةُ والصَّنِيعَةُ
واليَدُ القُوَّةُ
واليَدُ الغِنَى والقُدْرةُ
ابن الأَعرابي: اليَدُ النِّعْمةُ، واليَدُ القُوَّةُ، واليَدُ القُدْرة، واليَدُ المِلْكُ، واليَدُ السُلْطانُ، واليَدُ الطاعةُ، واليَدُ الجَماعةُ، واليَدُ الأَكْلُ
Ya disebut dengan ta'wil karena menafikkan dari apa yang dimaksud dari nash itu sendiri dan juga apa yang dipahami dari salaf atas nash itu sendiri. Mengambil makna yang jauh daripada makna yang dekat.
BalasHapusMisalnya apa yang diriwayatkan oleh Abu Sa’iid Ad-Daarimiy rahimahullah:
حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ، ثنا عَبْدُ الْوَاحِدِ بْنُ زِيَادٍ، ثنا عُبَيْدُ بْنُ مِهْرَانَ وَهُوَ الْمُكْتِبُ، ثنا مُجَاهِدٌ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ: " خَلَقَ اللَّهُ أَرْبَعَةَ أَشْيَاءَ بِيَدِهِ: الْعَرْشُ، وَالْقَلَمُ، وَعَدْنٌ، وَآدَمُ، ثُمَّ قَالَ لِسَائِرِ الْخَلْقِ: كُنْ فَكَانَ "
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Waahid bin Ziyaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaid bin Mihraan Al-Muktib : Telah menceritakan kepada kami Mujaahid, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar : “Allah menciptakan empat hal dengan tangan-Nya : Al-‘Arsy, Al-Qalam (pena), (surga) Al-‘Adn, dan Aadam. Kemudian Allah berfirman kepada seluruh makhluk : ‘Jadilah’, maka jadilah ia” [Naqdud-Daarimiy ‘alaa Bisyr Al-Maarisiy hal. 98 no. 44 & hal. 262 no. 112].
Riwayat tersebut shahih.
Riwayat secara jelas dan gamblang memberikan pemahaman bahwa 'tangan' yang dimaksudkan (sebagai bagian dari sifat Dzaatiyyah Allah) adalah tangan yang hakiki. Selain dari itu, maka Allah berfirman dengan 'Kun', maka jadilah ia.
Jika dimaknai dengan nikmat dan kekuasaan, maka apakah selain dari keempat hal yang disebutkan oleh Ibnu 'Umar tersebut tidak diciptakan dengan nikmat atau kekuasaannya ?. Adakah makhluk yang diciptakan Allah di luar kekuasaannya ?. Inilah yang disebutkan dengan ta'wil atau tepatnya tahrif.
Atau riwayat berikut:
حدثنا سعيد بن منصور. حدثنا يعقوب (يعني ابن عبدالرحمن). حدثني أبو حازم عن عبيدالله بن مقسم؛أنه نظر إلى عبدالله بن عمر كيف يحكي رسول الله صلى الله عليه وسلم قال "يأخذ الله عز وجل سماواته وأرضيه بيديه. فيقول: أنا الله. (ويقبض أصابعه ويبسطها) أنا الملك" حتى نظرت إلى المنبر يتحرك من أسفل شيء منه. حتى إني لأقول: أساقط هو برسول الله صلى الله عليه وسلم؟
Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub (yaitu Ibnu ‘Abdirrahman) : Telah menceritakan kepadaku Abu Haazim, dari ‘Ubaidullah bin Miqsam : Bahwasannya ia melihat kepada ‘Abdullah bin ‘Umar bagaimana ia menirukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata : “Allah ‘azza wa jalla memegang langit-langit-Nya dan bumi-bumi-Nya dengan tangan-Nya, lalu berfirman : ‘Aku adalah Allah’ – lalu Ibnu ‘Umar menggenggam jari jemarinya dan membentangkannya - . Aku adalah Raja – hingga aku aku melihat ke mimbar bergerak/goyang di bagian bawah karena sesuatu darinya. Hingga aku pun ingin berkata : “Apakah ia telah menggantikan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam (dalam berkhutbah) ?” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2788].
Hadits di atas menunjukkan bahwa sifat tangan (اليد) Allah serta pengenggaman (القبض) langit dan bumi di hari kiamat sangat dipahami oleh Ibnu ‘Umar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan makna-maknanya yang hakiki. Dan tentu saja hal itu tanpa menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk.
Maka, 'tangan' Allah di situ tidak bisa dipahami dengan makna kekuasaan atau nikmat. So, bukankah orang yang menakwilkan tangan dengan nikmat atau kekuasaan itu tujuannya adalah untuk menafikkan makna hakiki tersebut?
Adapun nis-yaan dalam nash-nash yang disebutkan dalam artikel dimaknai dengan at-tark, selain memang telah masyhur secara bahasa, juga itulah yang dipahami oleh para ulama dari masa ke masa.... bukan nis-yaan pada makna adz-dzuhuul.
Wallaahu a'lam.
Dan tambahan dari penjelasan Asy-Syinqithiy dalam Adlwaaul-Bayaan yang mungkin masih ada kaitannya dengan pembicaraan:
BalasHapusقَوْلُهُ تَعَالَى فِي هَذِهِ الْآيَةِ الْكَرِيمَةِ : بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ ، لَيْسَ مِنْ آيَاتِ الصِّفَاتِ الْمَعْرُوفَةِ بِهَذَا الِاسْمِ ، لِأَنَّ قَوْلَهُ : بِأَيْدٍ لَيْسَ جَمْعَ يَدٍ : وَإِنَّمَا الْأَيْدُ الْقُوَّةُ ، فَوَزْنُ قَوْلِهِ هُنَا بِأَيْدٍ فَعْلٌ ، وَوَزْنُ الْأَيْدِي أَفْعُلُ ، فَالْهَمْزَةُ فِي قَوْلِهِ : بِأَيْدٍ فِي مَكَانِ الْفَاءِ ، وَالْيَاءُ فِي مَكَانِ الْعَيْنِ ، وَالدَّالُ فِي مَكَانِ اللَّامِ ، وَلَوْ كَانَ قَوْلُهُ تَعَالَى : بِأَيْدٍ جَمْعَ يَدٍ لَكَانَ وَزْنُهُ أَفْعُلًا ، فَتَكُونُ الْهَمْزَةُ زَائِدَةً وَالْيَاءُ فِي مَكَانِ الْفَاءِ ، وَالدَّالُ فِي مَكَانِ الْعَيْنِ ، وَالْيَاءُ الْمَحْذُوفَةُ لِكَوْنِهِ مَنْقُوصًا هِيَ اللَّامَ .
وَالْأَيْدُ ، وَالْآدُ فِي لُغَةِ الْعَرَبِ بِمَعْنَى الْقُوَّةِ ، وَرَجُلٌ أَيْدٌ قَوِيٌّ ، وَمِنْهُ قَوْلُهُ تَعَالَى : وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ [2 \ 87] ، أَيْ قَوَّيْنَاهُ بِهِ ، فَمَنْ ظَنَّ أَنَّهَا جَمْعُ يَدٍ فِي هَذِهِ الْآيَةِ فَقَدْ غَلِطَ غَلَطًا فَاحِشًا ، وَالْمَعْنَى : وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِقُوَّةٍ .
kutip: "disebut dengan ta'wil karena menafikkan dari apa yang dimaksud dari nash itu sendiri dan juga apa yang dipahami dari salaf atas nash itu sendiri. Mengambil makna yang jauh daripada makna yang dekat"
BalasHapusPertama:
Bagaimana bisa dikatakan "menafikkan dari apa yang dimaksud dari nash itu sendiri" padahal inilah yang sedang menjadi poin persengketaan, yaitu apa yang dimaksud dari nash itu sendiri?
Kedua:
Kalau pedomannya adalah "apa yang dipahami dari salaf atas nash itu sendiri" maka pemaknaan kata "al-yad" dengan "al-qudrah" atau dengan "al-quwwah" juga datang dari sebagian salaf.
Ketiga:
Kriteria "Mengambil makna yang jauh daripada makna yang dekat" apakah tidak berlaku pada kasus "an-nisyan" yang disimpangkan dari makna "adz-dzuhul"?
Point nya adalah orang yang melakukan ta'wil keliru (tahrif) terhadap ayat-ayat shifat adalah dalam rangka menafikkan makna hakiki dari sifat Allah tersebut. Atau, mereka tidak mengakui bahwa Allah ta'ala memang benar-benar memiliki tangan - apabila kita fokus membicarakan tangan. Bahkan mereka mengingkari dengan keras terhadap orang yang menetapkan makna hakiki ini sebagai kaum mujassimah/musyabbihah. Padahal sebagaimana yang Anda lihat dari riwayat yang saya sebutkan di atas, salaf menetapkannya.
BalasHapusSo dalam hal ini, ketika kita bicara tentang 'bahasa', ta'wil keliru itu bukan semata-mata tidak ada dalam makna asal bahasanya, akan tetapi ketidaktepatan menempatkan makna pada nash yang tidak pernah dipraktekkan oleh salaf. Contoh adalah adh-dhann. Secara bahasa ini bisa bermakna 'asy-syakk' atau 'al-yaqiin' sebagaimana dikatakan oleh Ibnul-Mandhuur. Namun jika ada orang yang memahami dhann dalam ayat:
الَّذِينَ يَظُنُّونَ أَنَّهُمْ مُلاقُو رَبِّهِمْ وَأَنَّهُمْ إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
"(Yaitu) orang-orang yang ber-dhann, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya" [QS. Al-Baqarah : 46].
sebagai syakk (keraguan), maka ini salah; karena dhann yang ada dalam ayat tersebut maknanya adalah al-yaqiin.
Kembali kepada masalah di atas, sependek pengetahuan saya, tidak ada riwayat shahih dari salaf yang manfikkan sifat hakiki tangan Allah yang terdapat dalam nash dan kemudian menakwilkannya dengan nikmat atau kekuasaan. Oleh karena itu, penafikkan sifat hakiki tangan Allah dan menakwilkannya dengan nikmat Allah adalah salah satu bentuk tahrif terhadap nash sebagaimana tahrif serupa jika ada orang yang memahami adh-dhann dalam QS. Al-Baqarah ayat 46 sebagai syakk (keraguan).
Dan kembali kepada artikel,... bagaimana dapat dianggap tahrif jika an-nisyaan dalam nash-nash yang disebutkan dalam artikel sebagai at-tark padahal secara itu masyhur dalam bahasa dan dipahami pula oleh para ulama sepanjang masa ?.
wallaahul-musta'aan.
Pertama:
BalasHapusDalam komentar Anda terdapat istilah "ta'wil keliru" yang kemudian Anda sebut sebagai "tahrif". Apakah berarti Anda mengakui bahwa ada ta'wil yang "tidak keliru"? Ataukah semua ta'wil adalah tahrif (keliru)?
Kedua:
Anda sering mengulang kata "menafikkan makna hakiki". Saya ingin tahu apa makna hakiki "al-yad" dan apa makna hakiki "an-nisyan"?
Dua pertanyaan itu saja dulu.
(Danang)
Saya kira telah disebutkan dalam banyak kitab 'Wahabiy' dalam memahami nash-nash sifat adalah tanpa merubah (tahrif), mengingkari (ta’thil), menanyakan bagaimana (takyif), dan tidak pula menyerupakan (tasybih) dengan sifat makhluk-Nya. Jadi ta'wil dengan makna tahriif ini yang diingkari. Tapi kalau ta'wiil dengan makna tafsii, maka ini ditetapkan.
BalasHapusAdapun makna hakiki al-yadd dan an-nis-yaan dalam nash yang telah saya sebutkan di atas adalah sebagaimana yang telah saya tuliskan.
Kok Anda nanya terus ya... Sekarang saya ganti nanya.
1. Menurut Anda, benar atau salah kalau kata tangan (yad) yang disebutkan dalam nash-nash di atas adalah tangan secara hakiki yang dengannya Allah menggenggam dan menggulung langit kelak di hari kiamat, serta menciptakan 4 makhluk dengannya ?. Atau menurut Anda yang benar adalah kekuasaan/kekuatan atau nikmat ?.
2. Apakah nis-yaan itu mesti dimaknai adz-dzuhuul atau al-ighfaal agar sesuai dengan alur pemikiran Anda dalam membuat dilema 'makna hakiki' pada kerangka logika Anda ?
3. Menurut Anda, ayat yang berbicara tentang sifat itu mestinya dipahami bagaimana ?
Saya mulai dulu dari pertanyaan Anda:
BalasHapus1. Menurut Anda, benar atau salah kalau kata tangan (yad) yang disebutkan dalam nash-nash di atas adalah tangan secara hakiki yang dengannya Allah menggenggam dan menggulung langit kelak di hari kiamat, serta menciptakan 4 makhluk dengannya ?. Atau menurut Anda yang benar adalah kekuasaan/kekuatan atau nikmat ?.
Jawabannya sebagaimana jawaban Imam Al-Qurthubi:
ليس معنى اليد في الصفات بمعنى الجارحة حتى يتوهم بثبوتها ثبوت الأصابع
"Makna tangan dalam masalah sifat bukanlah jarihah (organ tubuh) sehingga dengan keberadaannya memunculkan gambaran adanya jari-jemari."
Lebih lanjut beliau menjelaskan:
الأصابع قد يكون بمعنى الجارحة و الله تعالى يتقدس عن ذلك و يكون بمعنى القدرة على الشيء و يسارة تقليبه
"Jari-jemari bisa bermakna organ tubuh dan Allah SWT Maha Suci darinya, atau bisa juga bermakna qudrah (kemampuan) untuk melakukan sesuatu.."
2. Apakah nis-yaan itu mesti dimaknai adz-dzuhuul atau al-ighfaal agar sesuai dengan alur pemikiran Anda dalam membuat dilema 'makna hakiki' pada kerangka logika Anda ?
Jawaban:
Kata nisyan bisa bermakna hakiki yaitu dzuhul dan ighfal, dan Allah SWT Maha Suci darinya, atau bisa juga bermakna majazi yaitu "meninggalkan" dan inilah yang tepat bagi keagungan Allah SWT. Memalingkan kata nisyan dari makna hakiki ke makna majazi inilah yang dinamakan ta'wil.
3. Menurut Anda, ayat yang berbicara tentang sifat itu mestinya dipahami bagaimana ?
Jawaban:
Ada dua cara menyikapinya:
Pertama, dibaca dan diimani kemudian diam.
Kedua, dita'wilkan ke makna yang layak bagi keagungan Allah SWT.
Sekarang kembali ke komentar Anda. Saya ringkas dulu komentar Anda:
1. "dalam memahami nash-nash sifat adalah tanpa merubah (tahrif)... ta'wil dengan makna tahriif ini yang diingkari"
2. "ta'wiil dengan makna tafsii[r], maka ini ditetapkan"
Berarti ta'wil ada dua macam (pengertian): 1. tahrif (diingkari), 2. tafsiir (ditetapkan).
Kutip: "Adapun makna hakiki al-yadd dan an-nis-yaan dalam nash yang telah saya sebutkan di atas adalah sebagaimana yang telah saya tuliskan."
Tampaknya Anda belum mau berterus terang, namun dari tulisan Anda saya mendapati bahwa "tangan Allah di situ tidak bisa dipahami dengan makna kekuasaan atau nikmat" namun dipahami "dengan makna-maknanya yang hakiki".
Sekarang, apa makna hakiki dari sifat yad itu sendiri?
Kalau kembali kepada kaidah "disebutkan dalam kamus bahasa Arab" (sebagaimana tawaran Anda), maka dalam kamus Lisanul 'Arab misalnya disebutkan bahwa "al-yad" maknanya adalah "al-kaff" (telapak tangan). Ada juga yang memaknai:
من أَطْراف الأَصابع إِلى الكَتِفِ
"Mulai dari ujung jari sampai pundak."
Apakah menurut Anda makna ini hakiki? Atau majazi?
Adapun kata "an-nisyan", maka masih dalam kamus Lisanul 'Arab disebutkan bahwa maknanya adalah:
ضدّ الذِّكر والحِفظ
"Lawan kata dari ingat dan hafal."
Apakah menurut Anda makna ini juga hakiki? Ataukah majazi?
Tanggapan:
BalasHapus1. Pertanyaan saya adalah terkait dengan nash yang saya sebutkan di atas. Bukankah Anda sendiri juga paham bahwa 'Wahabiy' mengimani teks sesuai makna dhahirnya tanpa takyiif (menanyakan atau membayangkan bagaimananya). Metode itu juga dijelaskan sendiri oleh Al-Qurthubiy saat membahas tentang istiwaa':
ولم ينكر أحد من السلف الصالح أنه استوى على عرشه حقيقة. وخص العرش بذلك لأنه أعظم مخلوقاته، وإنما جهلوا كيفية الاستواء فإنه لا تعلم حقيقته. قال مالك رحمه الله: الاستواء معلوم - يعني في اللغة – والكيف مجهول، والسؤال عن هذا بدعة. وكذا قالت أم سلمة رضي الله عنها.
"Tidak seorang pun dari kalangan salaf yang shaalih yang mengingkari bahwasannya Allah beristiwaa' di atas 'Arsy-Nya secara HAKEKAT. Dan 'Arsy mempunyai kekhususan seperti itu karena ia merupakan makhluk-Nya yang paling besar/agung. Hanya saja, yang tidak diketahui adalah kaifiyahnya - karena ini tidak diketahui hakekat (kaifiyah)-nya. Telah berkata Al-Imam Malik rahimahullah : ‘Al-Istiwaa’ adalah diketahui (ma’luum) – yaitu (diketahui) dalam bahasa (‘Arab) – , kaifiyah-nya tidak diketahui (majhuul), bertanya tentang hal ini adalah bid’ah’. Hal yang sama juga dikatakan oleh Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa” [selesai - dengan penukilan seperlunya].
So, metode pemahaman antara tangan dan istiwaa' tidak ada bedanya. Oleh karena itu dapat Anda lihat bagaimana pemahaman Ibnu 'Umar saat memahami hadits Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam yang menyebutkan peristiwa di hari kiamat Allah memegang langit dan bumi dengan tangan-Nya. Ibnu 'Umar pun menggenggam jari jemarinya dan membentangkannya. Ini bukan maksud untuk mentasybih, akan tetapi memahamkan bahwa sifat tangan dan menggenggam itu adalah diketahui maknanya oleh Ibnu 'Umar (bukan tafwidl makna sebagaimana pemahaman sebagian orang). Juga tidak menakwilkan dengan takwil-takwil bathil yang lain.
Sama seperti Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam menyebutkan hadits tentang Dajjaal : “Sesungguhnya Allah tidak tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya – lalu beliau berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya Al-Masiih Ad-Dajjaal itu buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya itu seperti buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7407].
Artinya, sifat 'ain (mata) itu hakiki dan diketahui maknanya.
Selengkapnya saya sudah menuliskannya dalam artikel : At-Tafwidl dan Makna Hakiki.
2. Kata nisyaan itu memang bermakna hakiki adz-dzuhuul dan al-ighfaal. Tapi selain itu juga bermakna (hakiki) at-tark. Ini sesuai dengan konteksnya. Dan ini bukan majaziy. Anda sudah baca keterangan yang ada di dalam Lisaanul-'Arab secara keseluruhan ?. Cobalah sekali lagi,... Ibnul-Mandhuur bahkan membahasnya secara khusus dalam makna at-tark ini. Nisyaan dengan makna tark ini masyhur dalam perkataan orang Araba sebagaimana perkataan seseorang kepada temannya :
لا تنسني من عطيتك
maknanya :
لا تتركني
Jadi ketika dipilih makna dari nisyaan yang kedua (yaitu at-tark), maka ini bukan ta'wiil ke makna majaziy. Sama seperti contoh kata adh-dhann yang telah saya sebutkan di atas. Adh-Dhann banyak digunakan untuk pengertian syakk, padahal sebenarnya bukan hanya itu. Tapi ketika kata adh-dhann berbicara tentang seorang mukmin yang akan bertemu Rabb-nya, maka adh-dhann ini maknanya adalah al-yaqiin. Jadi masalahnya adalah sesuai dengan konteks kalimat/nashnya saja. Dalam bahasa Indonesia juga banyak dipraktekkan.
BalasHapus3. Kata Anda : dibaca, diimani, lalu diam. Ya ini memang dikatakan sebagian salaf. Tapi sepertinya 'diam' di sini arahnya tanpa mau paham akan maknanya alias tafwiidl. Adapun diam yang saya pahami adalah diam membicarakan kaifiyyahnya. Tentang maknanya, maka itu jelas karena Allah ta'ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka” [QS. Ibraahiim : 4].
Tentang ta'wiil (bukan tahriif), maka jika ini sesuai dengan kaedah bahasa dan konteks ayat, maka diterima sebagaimana ulama Wahabiy menerangkan tentang sifat ma'iyyah.
-----------
Ketika Anda membicarakan tentang masalah tangan dengan tangan makhluk, maka justru yang seperti itulah yang dihindari dalam pembicaraan.
Tentang makna nisyaan dalam Lisaanul-'Arab, sebagaimana saya katakan sebelumnya, cobalah baca lagi selengkapnya di situ. Kalau perlu, copi paste semua yang ulasan Ibnul-Mandhuur yang membahas makna at-tark.
Tahriif yang dimaksudkan adalah mengubah/menyelewengkannya dari makna yang benar yang nampak secara dhahir.
Wallaahu a'lam.
Sudah akui saja Pak Ustadz Abul Jauza. Jangan sampa antum disebut orang dengan sebutan otang dengan standar Ganda. Atau memang seperti itu? Wallahu'alam
HapusBisakah dikatakan/dimaknai Yad adalah terdiri dari Al-Kaffu dan al-Ashaabi'.. atau Al-Kaffu dan al-Ashaabi' adalah bagian dari Yad
BalasHapusAbu Opal
Ustadz, bahkan makna "melupakan" pun bisa berarti "meninggalkan" dalam bahasa Indonesia, tanpa dimaknai sebagai "hilang dari ingatan". Seperti contoh (tanpa bermaksud meng-endorse) : Si A telah putus dari pacarnya dan melupakannya. (Padahal yakin, si A itu masih ingat dengan pacarnya itu).
BalasHapusBertobatlah Jauza Kedunguan Mu sudah membuat mu Jatuh kelubang Kesesatan
BalasHapus