26 Juni 2011

Imam Ahlul-Bait Taqlid pada ‘Bid’ah’ ‘Umar bin Al-Khaththaab

Eit,… jangan salah paham…. baca dulu baik-baik artikel di bawah.
Telah berkata Al-Imaam Al-Aajurriy rahimahullah :
وَحَدَّثَنَا ابْنُ عَبْدِ الْحَمِيدِ، قَالَ: حَدَّثَنَا جَعْفَرُ بْنُ مُحَمَّدٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو سَعِيدٍ الأَشَجُّ، قَالَ: سَمِعْتُ حَفْصَ بْنَ غِيَاثٍ، يَقُولُ: سَمِعْتُ جَعْفَرَ بْنَ مُحَمَّدٍ يَقُولُ: نَحْنُ أَهْلَ الْبَيْتِ نَقُولُ: " مَنْ طَلَّقَ امْرَأَتَهُ ثَلاثًا فَهِيَ ثَلاثٌ "
Telah menceritakan kepada kami Ibnu ‘Abdil-Hamiid, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ja’far bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Sa’iid Al-Asyaj, ia berkata : Aku mendengar Hafsh bin Ghiyaats berkata : Aku mendengar Ja’far bin Muhammad berkata : “Kami Ahlul-Bait berkata : ‘Barangsiapa yang menthalaq istrinya tiga kali sekaligus (dalam satu lafadh/majelis), maka ia terhitung tiga” [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah, 3/560 no. 2071; muhaqqiq (Al-Waliid bin Muhammad) berkata : “Sanadnya shahih”].

Maksud perkataan : ‘menthalaq istrinya tiga kali’ di sini adalah perkataan : ‘kamu telah aku thalaq, kamu telah aku thalaq, kamu telah aku thalaq’ dalam satu majelis. 
Hafsh bin Ghiyaats bin Thalq bin Mu’aawiyyah bin Maalik bin Al-Haarits An-Nakha’iy, Abu ‘Umar Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah lagi faqiih, namun sedikit berubah hapalannya di akhir usianya. Termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Lahir tahun 117 H, wafat tahun 194/195 H.
Abu Sa’iid Al-Asyajj namanya adalah ‘Abdullah bin Sa’iid bin Hushain Al-Kindiy; seorang yang tsiqah. Termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Wafat tahun 257 H.
Catatan : Muslim dalam kitab Shahih-nya mengambil periwayatan Abu Sa’iid Al-Asyajj dari Hafsh bin Ghiyaats.
Ja’far bin Muhammad, ia adalah Ibnu Ya’quub, Abul-Fadhl Ash-Shandaliy. Seorang yang tsiqah, sebagaimana dikatakan oleh Al-Khathiib Al-Baghdaadiy. Wafat tahun 318 H [At-Taariikh, 8/120-121 no. 3639].
Ibnu ‘Abdil-Hamiid, namanya adalah ‘Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdil-Hamiid Al-Waasithiy; seorang yang tsiqah, sebagaimana dikatakan Al-Khathiib Al-Baghdaadiy. [At-Taariikh, 11/315-316 no. 5177].
Ada beberapa riwayat penguat, di antaranya :
حدثنا أبو كريب عن حفص بن غياث قال: سمعت جعفر بن محمد يقول: من طلق ثلاثا فهي ثلاث، وهو قولنا: أهل البيت
Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, dari Hafsh bin Ghiyaats, ia berkata : Aku mendengar Ja’far bin Muhammad berkata : “Barangsiapa yang menthalaq tiga (dalam satu lafadh/majelis), maka ia terhitung thalaq tiga. Hal itu adalah pendapat kami : Ahlul-Bait” [Diriwayatkan oleh Muhammad bin Manshuur dalam Al-Amaaliy sebagaimana dinukil oleh Ash-Sayyaaghiy dalam Ar-Raudlun-Nadliir, 4/387].
Sanad riwayat ini shahih. Abu Kuraib, ia adalah Muhammad bin Al-‘Alaa’ bin Kuraib Al-Hamdaaniy; seorang yang tsiqah lagi haafidh. Termasuk perawi yang dipakai Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah. Lahir tahun 160 H, wafat tahun 247 H.
أخبرنا أبو عبد الله الحافظ نا أبو عمرو عثمان بن أحمد بن السماك ببغداد أنا حنبل بن إسحاق بن حنبل نا محمد بن عمران بن محمد بن عبد الرحمن بن أبي ليلى نا مسلمة بن جعفر الأحمسي قال قلت لجعفر بن محمد إن قوما يزعمون أن من طلق ثلاثا بجهالة رد إلى السنة يجعلونها واحدة يروونها عنكم قال معاذ الله ما هذا من قولنا من طلق ثلاثا فهو كما قال
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Amru ‘Utsmaan bin Ahmad bin As-Sammaak di Baghdaad : Telah memberitakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq bin Hanbal : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Imraan bin Abi Lailaa, dari Maslamah bin Ja’far Al-Ahmasiy : Aku bertanya kepada Ja’far bin Muhammad : “Sesungguhnya satu kaum mengatakan bahwasannya siapa saja yang menthalaq dengan kebodohan, maka dikembalikan kepada sunnah, menjadikannya terhitung satu thalaq. Mereka meriwayatkan hal itu dari engkau”. Ia (Ja’far) berkata : “Ma’aadzallah, itu bukanlah dari perkataan kami. Barangsiapa yang menthalaq tiga (dengan sekali ucapan), maka hukumnya adalah sebagaimana yang ia katakan (yaitu thalaq ba’in kubraa)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 7/340].
‘Utsmaan bin Ahmad bin As-Samaak, seorang yang tsiqah [Lisaanul-Miizaan, 4/131 no. 299]. Hanbal bin Ishaaq, tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/406 no. 8558]. Muhammad bin ‘Imraan bin Abi Lailaa, seorang yang shaduuq [Taqriibut-Tahdziib, hal. 885 no. 6237]. Adapun Maslamah bin Ja’far, adalah dla’iif  [Lisaanul-Miizaan, 6/33 no. 129], sehingga riwayat ini dla’iif.
وأخبرنا أبو عبد الله الحافظ نا أبو محمد الحسن بن سليمان الكوفي ببغداد نا محمد بن عبد الله الحضرمي نا إسماعيل بن بهرام نا الأشجعي عن بسام الصيرفي قال سمعت جعفر بن محمد يقول من طلق امرأته ثلاثا بجهالة أو علم فقد بانت منه
Telah mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Muhammad Al-Hasan bin Sulaimaan Al-Kuufiy di Baghdaad : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin ‘Abdillah Al-Hadlramiy : Telah mengkhabarkan Ismaa’iil bin Bahraam : Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Asyja’iy, dari Bassaam Ash-Shairafiy, ia berkata : Aku mendengar Ja’far bin Muhammad berkata : “Barangsiapa yang menthalaq tiga istrinya (dalam satu lafadh/majelis) dengan kebodohan atau ilmu, sungguh ia terceraikan darinya” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy, 7/340].
Sanad riwayat ini juga dla’iif. Abu Muhammad Al-Hasan bin Sulaimaan Al-Kuufiy belum saya ketemukan biografinya. Adapun perawi lainnya adalah tsiqah atau shaduuq.
Walhasil, riwayat yang menyatakan madzhab Ja’far bin Muhammad bin ‘Aliy bin Al-Husain bin ‘Aliy bin Abi Thaalib, imam keenam Syi’ah, tentang jatuhnya thalaq ba’in kubraa atas seorang yang menthalaq tiga istrinya dalam satu lafadh/majelis adalah shahih.
Fakta :
Al-Imaam Muslim rahimahullah berkata :
حدثنا إسحاق بن إبراهيم ومحمد بن رافع. (واللفظ لابن رافع) (قال إسحاق: أخبرنا. وقال ابن رافع: حدثنا عبدالرزاق). أخبرنا معمر عن ابن طاوس، عن أبيه، عن ابن عباس. قال: كان الطلاق على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وسنتين من خلافة عمر، طلاق الثلاث واحدة. فقال عمر بن الخطاب: إن الناس قد استعجلوا في أمر قد كانت لهم فيه أناة. فلو أمضيناه عليهم ! فأمضاه عليهم.
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim dan Muhammad bin Raafi’ (dan lafadhnya adalah milik Ibnu Raafi’) (Ishaaq berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami. Dan Ibnu Raafi’ berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdurrazzaaq) : Telah mengkhabarkan kepada kami Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : “Thalaq di masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan dua tahun pertama masa kekhilafahan ‘Umar, thalaq tiga (dalam satu lafadh/majelis) terhitung satu thalaq saja. Lalu ‘Umar bin Al-Khaththaab berkata : “Sesungguhnya manusia terburu-buru dalam urusan thalaq (sehingga menthalaq tiga dalam satu lafadh) yang seharusnya mereka berhati-hati dalam hal tersebut. Seandainya kami jalankan ketentuan tersebut (yaitu thalaq tiga dalam satu lafadh berlaku thalaq tiga), niscaya mereka akan lebih berhati-hati”. Lalu ia (‘Umar) pun memberlakukan hal itu pada mereka [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1472 (15)].
حدثنا إسحاق بن إبراهيم. أخبرنا روح بن عبادة. أخبرنا ابن جريج. ح وحدثنا ابن رافع (واللفظ له). حدثنا عبدالرزاق. أخبرنا ابن جريج. أخبرني ابن طاوس عن أبيه ؛ أن أبا الصهباء قال لابن عباس: أتعلم أنما كانت الثلاث تجعل واحدة على عهد النبي صلى الله عليه وسلم وأبي بكر، وثلاثا من إمارة عمر ؛ فقال ابن عباس: نعم.
Telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim : Telah mengkhabarkan kepada kami Rauh bin ‘Ubaadah : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Juraij. Dan telah menceritakan kepada kami Ibnu Raafi’ (dan lafadh ini miliknya) : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Thaawuus, dari ayahnya : Bahwasannya Abush-Shahbaa’ berkata kepada Ibnu ‘Abbaas : “Apakah engkau mengetahui bahwasannya thalaq tiga (dalam satu lafadh/majelis) terhitung satu thalaq pada masa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakr, dan tiga tahun pertama masa pemeintahan ‘Umar ?”. Ibnu ‘Abbaas menjawab : “Ya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1472 (16)].
Dapat dipahami dari riwayat di atas bahwa bahwa thalaq tiga yang diucapkan dalam satu lafadh/majelis terhitung sebagai thalaq tiga masyhur diberlakukan pada jaman kekhilafahan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu dengan pertimbangan untuk mencegah ketergesa-gesaan orang-orang yang terbiasa dengan perbuatan tersebut. Hal ini kemudian diikuti oleh jumhur shahabat (bahkan ternukil ijma’ akan hal tersebut).
Ja’far bin Muhammad atau lebih dikenal dengan Ja’far Ash-Shaadiq pun mengikuti keputusan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu tersebut. Dan itulah madzhab Ahlul-Bait, menurut perkataannya.[1]
Antitesis :
1.    Kasus Shalat Tarawih Berjama’ah.
Orang Syi’ah mengatakan bahwa shalat tarawih itu adalah bid’ah yang dilakukan ‘Umar, sehingga tidak disyari’atkan untuk mengerjakannya. Berikut saya kutipkan ulasan dari beberapa situs/blog Syi’ah :
Dari sini jelaslah bahwa, pelaksanaan ‘ibadah shalat tarawih berjamaah’ bukan hanya tidak pernah diperintahkan oleh Rasul, bahkan Rasul sendiri tidak pernah mencontohkannya. Dan terbukti pula bahwa sahabat umar-lah yang mempelopori ibadah tersebut. Padahal kita tahu bahwa ‘penentuan amal ibadah’ adalah hak mutlak Allah yang dijelaskan melalui lisan suci Rasulullah. Rasul sendiri tidak berhak menentukan suatu amal ibadah, apalagi manusia biasa, walaupun ia tergolong sahabat. Oleh karenanya, sahabat Umar sendiri mengakui bahwa itu adalah bagian dari Bid’ah. Sedang kita tahu bahwa semua bid’ah adalah sesat, sehingga tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah kepada baik dan tidak baik.
Perkataan di atas berada di bawah artikel bertajuk : “Shalat Tarawih Berjama’ah adalah Bid’ah”.
Orang-orang Syi’ah mengatakan bahwa ‘Umar lah yang membuat-buat syari’at shalat tarawih berjama’ah. Dalil utama yang mereka pakai adalah :
“Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!”” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).
Sebenarnya tuduhan mereka bahwa ‘Umar adalah pembuat syari’at shalat tarawih berjama’ah sangat tidak tepat. Ada hadits lain yang menyebutkan tentang shalat tarawih berjama’ah di jaman Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
عَنْ أَبي ذَرٍ رضي الله عنه قَالَ: صُمْنَا معَ رَسُولِ الله صلى الله عليه وسلم رَمَضَانَ فَلَمْ يَقُمْ بنا شَيءٌ مِنَ الشَّهرِ حَتَّى بَقيَ سَبعٌ فَقَام بنا حتَّى ذَهَبَ ثُلُثُ اللَّيلِ، فلمَّا كَانتْ السَّادسَةُ لم يَقُم بِنَا، فلمَّا كانت الخَامِسَةُ قام بِنَا حتَّى ذَهَبَ شطْرُ اللَّيلِ فَقُلتُ: يا رَسُولَ الله، لو نَفَلْتَنَا قِيَامَ هذهِ اللَّيلةِ، قَالَ: فَقَالَ: إنَّ الرَّجُلَ إذا صَلَّى مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنصَرِفَ حُسِبَ له قِيَامُ لَيلَةٍ، قالَ: فلمَّا كانَت الرَّابِعَةُ لم يَقُمْ، فلمَّا كانت الثَّالثَةُ جَمَعَ أَهْلَهُ ونِسَاءَهُ والنَّاسَ فقَامَ بنَا حتَّى خَشِينَا أن يَفُوتَنَا الفَلاحُ. قَالَ: قُلتُ: مَا الفَلاحُ؟ قَالَ: السَّحُورُ، ثمَّ لم يَقُم بنَا بَقِيَّة الشَّهر
Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu ia berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadlan. Tidaklah beliau shalat tarawih bersama kami hingga tersisa tujuh hari dari bulan tersebut. Saat itu baru beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada sepertiga malam (yang terakhir). Pada saat malam tersisa enam hari lagi, beliau kembali tidak shalat bersama kami. Ketika malam tersisa lima hari lagi, maka beliau shalat bersama kami hingga berakhir/selesai pada waktu tengah malam. Aku berkata : “Wahai Rasulullah, seandainya kita shalat kembali pada (sisa) malam ini ?”. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya, seseorang yang shalat bersama imam hingga selesai, maka dihitung baginya shalat semalam suntuk”. Ketika malam tersisa empat hari lagi, beliau tidak shalat bersama kami. Namun ketika malam tinggal tersisa tiga hari, beliau mengumpulkan keluarganya, istri-istrinya, dan orang-orang yang ada; kemudian shalat bersama kami hingga kami khawatir tertinggal waktu falah. Aku pernah bertanya : ”Apa makna falah itu ?”. Beliau shallallaahu ’alaihi wasallam menjawab : ”Waktu sahur”. Kemudian beliau kembali tidak shalat bersama kami pada sisa malam di bulan Ramadlan tersebut [Diriwayatkan oleh oleh Abu Daawud no. 1375, At-Tirmidziy no. 806 dan ia berkata : Hasan shahih, An-Nasaa’yi 3/83, Ibnu Maajah no. 1327, Ahmad 5/163. Dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah no. 2205 dan Ibnu Hibban no. 2547].
Saya tidak akan berpanjang lebar mengenai sebab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak shalat bersama shahabat setelah sebelumnya shalat bersama mereka atau mengenai sebab ‘Umar menghidupkan kembali sunnah shalat tarawih berjama’ah, karena bukan itu tujuan ditulisnya artikel ini.[2]
Yang jelas, Syi’ah berargumentasi atas perbuatan ‘Umar yang menghidupkan kembali sunnah shalat tarawih berjama’ah sebagai tindakan membuat syari’at yang patut dicela.
2.    Kasus Nikah Mut’ah.
Sama seperti sebelumnya, orang Syi’ah menuduh bahwa ‘Umar bin Al-Khaththaab lah yang melarang nikah mut’ah. Mereka berargumentasi dengan riwayat di antaranya :
B. Dari Abu Bashrah, ia berkata:
“Aku berada di sisi Jabir lalu datanglah seseorang dan berkata, ” Ibnu Abbas dan Ibnu Zubair berselisih tentang dua jenis mut’ah”. Jabir berkata,” Kami melakukannya bersama Rasululah saw., kemudian Umar melarang melaksanakan keduanya, maka kami tidak kembali (melakukannya) lagi.”[14]
C. Abu Zubair berkata, “Aku mendengar Jabir ibn Abdillah berkata:
“Kami bermut’ah dengan emas kawin (mahar) segenggam kurma dan tepung untuk jangka waktu beberapa hari di masa Rasulullah saw. dan masa Abu Bakar, sampai Umar melarangnya kerena kasus Amr ibn Huraits.”[15]
Kemudian penganut agama Syi’ah berkomentar tentang ‘dosa’ shahabat dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum sebagai berikut :
……..adalah aneh rasanya hukum itu tidak diketahui oleh semua sahabat sepanjang masa hidup mereka sepeninggal Nabi saw. termasuk Abu Bakar dan Umar, hingga sampai dipenghujung masa kekhalifahan Umar, ia baru terbangun dari tidur panjangnya dan mengumandangkan suara pengharaman itu. Jika benar ada hadis dari Nabi saw., dimanakah hadis selama kurun waktu itu.Yang pasti para sukarelawan telah berbaik hati dengan membantu Khalifah Umar ra. jauh setelah wafat beliau dalam memproduksi hadis yang dinisbatkan kepada Nabi saw., agar kebijakan pengharaman itu tidak berbenturan dengan sunah dan ajaran Nabi saw. dan agar Khalifah Umar tampil sebagai penyegar sunah setelah sekian belas tahun terpasung.
Sekali lagi, saya tidak berhajat untuk membahas nikah mut’ah.[3] Namun point yang ingin saya tuju adalah orang Syi’ah hendak menyatakan bahwa larangan nikah mut’ah adalah ajaran ‘Umar radliyallaahu ‘anhu, dengan bukti yang ter-compare dari riwayat shahabat lainnya.
Konklusi
Dengan melihat logika argumentasi orang-orang Syi’ah yang menuduh ‘Umar sebagai salah seorang yang mengacak-acak syari’at dan membuat-buat sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam dua antitesis yang dituliskan; jika kita menerapkan konsekuensi logika proposisi ‘jika-maka’, ternyata Ja’far bin Muhammad Ash-Shaadiq, imam ma’shum mereka, akan ternisbat sebagai seorang yang taqlid terhadap ‘Umar yang telah ‘mensyari’atkan’ thalaq tiga dalam satu lafadh/majelis terhitung thalaq tiga.
Keputusan ‘Umar tentang thalaq sama persis dengan logika Syi’ah atas baseline bagaimana keputusan ‘Umar dalam masalah shahat tarawih dan nikah mut’ah dibuat.
Pendek kata, Ja’far Ash-Shaadiq taqlid dengan bid’ah ‘Umar, si pengacak-acak syari’at. Orang yang mengikuti dengan ilmu tentu hukumnya sama dengan orang yang diikuti. Konsekuensinya, Ja’far Ash-Shaadiq tidak ma’shum menurut logika ini.
Semoga informasi ini bermanfaat.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – 1432 H, jl. Arjuna 4/6, wonokarto, wonogiri].


[1]     Silakan baca bagaimana sikap imam Ahlul-Bait terhadap Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/04/berlepas-dirinya-imam-ahlul-bait.html
[2]     Silakan baca pembahasan tentang keutamaan shalat tarawih berjama’ah di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/09/keutamaan-shalat-tarawih-berjamaah.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar