Sering kita dengar di sekitar kita kejadian/kasus ‘rebutan’ hak pengasuhan anak antara seorang laki-laki dan wanita pasca perceraian yang mereka lakukan. Tidak jarang kasus ini sampai diajukan ke meja pengadilan sehingga menyulut permusuhan tersendiri antara mantan suami istri tersebut.
Islam mengistilahkan hak pengasuhan tersebut dengan hidlaanah (حِضَانَةٌ). Hidlaanah menurut definisi syar’iy maksudnya adalah :
حفظ من لا يستقل بأمره، وتربيته عما يهلكه، أو يضره.
“Penjagaan/pemeliharaan anak yang belum mampu mandiri untuk mengurusi dirinya sendiri, pendidikannya, serta (pemeliharaan) dari segala sesuatu yang dapat membinasakannya atau membahayakannya”.
Begitulah yang dikatakan Ash-Shan’aniy rahimahullah dalam Subulus-Salam (3/617, ta’liq : Al-Albaaniy; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet. 1/1427).
Lantas, siapakah pihak yang paling berhak di antara mantan suami istri itu terhadap anak-anaknya ? Mari kita perhatikan riwayat berikut :
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ خَالِدٍ السُّلَمِيُّ حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ عَنْ أَبِي عَمْرٍو يَعْنِي الْأَوْزَاعِيَّ حَدَّثَنِي عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو أَنَّ امْرَأَةً قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ ابْنِي هَذَا كَانَ بَطْنِي لَهُ وِعَاءً وَثَدْيِي لَهُ سِقَاءً وَحِجْرِي لَهُ حِوَاءً وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقَنِي وَأَرَادَ أَنْ يَنْتَزِعَهُ مِنِّي فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْتِ أَحَقُّ بِهِ مَا لَمْ تَنْكِحِي
Telah menceritakan kepada kami Mahmuud bin Khaalid As-Sulamiy[1] : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid[2], dari Abu ‘Amru – yaitu Al-Auza’iy[3] - : Telah menceritakan kepadaku ‘Amru bin Syu’aib[4], dari ayahnya[5], dari kakeknya ‘Abdullah bin ‘Amru[6] : Bahwasannya ada seorang wanita berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya anakku ini, perutku adalah tempatnya, dan puting susuku adalah tempat minumnya, dan pangkuanku adalah rumahnya; sedangkan ayahnya telah menceraikanku dan ingin memisahkanya dariku”. Lalu Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Engkau lebih berhak terhadapnya selama engkau belum menikah” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 2276; hasan].[7]
Hadits ini menjadi dalil bahwa ibu lebih berhak dalam pengasuhan anak, selama ia belum menikah kembali dengan laki-laki lain.
‘Umar radliyallaahu ‘anhu pernah menceraikan istrinya yang kemudian keduanya berselisih tentang hak pengasuhannya anaknya. Lalu keduanya mengadukan perkara tersebut kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, lalu ia (Abu Bakr) berkata :
ريحها، وحرّها، وفرشها خير له منك حتى يَشِب ويختار لنفسه
“(Sesungguhnya) keharuman wanita itu, kehangatannya, dan tempat tidurnya lebih baik bagi anak itu daripada engkau (‘Umar), hingga ia mampu memilih yang baik bagi dirinya sendiri” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq 7/154 no. 12601; hasan].
Ash-Shan’aaniy rahimahullah kembali berkata :
ودلّ الحديث على أن الأم إذا نكحت، سقط حقها من الحضانة؛ وإليه ذهب الجماهير؛ قال ابن المنذر : أجمع على هذا كل من أحفظ عنه من أهل العلم. وذهب الحسن وابن حزم إلى عدم سقوط الحضانة بالنكاح، واستدل بأن أنس بن مالك كان عند والدته وهي مزوّجة، وكذا أم سلمة تزوجت بالنبي صلى الله عليه وآله وسلم وبقى ولدها في كفالتها، وكذا ابنة حمزة قضى بها النبي صلى الله عليه وسلم الخالتها وهي مزوجة.
قال : وحدث ابن عمرو المذكور فيه مقال؛ فإنه صحيفة؛ يريد : لأنه قد قيل : إن حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده صحيفة.
وأجيب عنه بأن حديث عمرو بن شعيب قبله الأئمة وعلموا به؛ البخاري وأحمد وابن المديني والحميدي وإسحاق بن راهويه وأمثالهم؛ فلا يلتفت إلى القدح فيه.
وأما ما احتج به، فإنه لا يتم دليلا إلا مع طلب من تنتقل إليه الحضانة ومنازعته.
وأما مع عدم طلبه، فلا نزاع في أن للأم المزوجة أن تقوم بولدها، ولم يذكر في القصص المذكورة أنه حصل نزاع في ذلك؛ فلا دليل فيما ذكره على ما ادعاه.
قال : وحدث ابن عمرو المذكور فيه مقال؛ فإنه صحيفة؛ يريد : لأنه قد قيل : إن حديث عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده صحيفة.
وأجيب عنه بأن حديث عمرو بن شعيب قبله الأئمة وعلموا به؛ البخاري وأحمد وابن المديني والحميدي وإسحاق بن راهويه وأمثالهم؛ فلا يلتفت إلى القدح فيه.
وأما ما احتج به، فإنه لا يتم دليلا إلا مع طلب من تنتقل إليه الحضانة ومنازعته.
وأما مع عدم طلبه، فلا نزاع في أن للأم المزوجة أن تقوم بولدها، ولم يذكر في القصص المذكورة أنه حصل نزاع في ذلك؛ فلا دليل فيما ذكره على ما ادعاه.
“Hadits ini (riwayat Abu Dawud di atas) menunjukkan bahwa ibu apabila ia telah menikah, maka gugurlah haknya dari asuhan dan pemeliharaan anaknya. Demikianlah menurut pendapat mayoritas ulama. Ibnul-Mundzir berkata : ‘Telah disepakati pendapat seperti ini dari setiap ulama yang menghapal hadits tersebut. Al-Hasan dan Ibnu Hazm berpendapat : Tidak gugur hak pemeliharaan oleh ibunya dikarenakan pernikahannya. Mereka berdalil bahwasannya Anas bin Maalik tetap berada dalam pemeliharaan ibunya yang telah menikah lagi. Demikian pula Ummu Salamah yang kemudian menikah dengan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi wa sallam, sedangkan anaknya tetap dalam pemeliharaannya. Demikian pula anak perempuan Hamzah telah diputuskan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa aalihi sallam untuk dipelihara bibinya padahal ia telah menikah lagi’.
Ia berkata : Dan hadits Ibnu ‘Amru di atas terdapat pembicaraan, karena periwayatan itu berasal dari shahiifah. Maksudnya : Sesungguhnya hadits ‘Amru bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya berasal dari shahiifah.
Dijawab : Bahwasannya hadits ‘Amru bin Syu’aib diterima para imam dan mereka beramal dengannya, diantaranya : Al-Bukhaariy, Ahmad, Ibnul-Madiiniy, Al-Humaidiy, Ishaaq bin Raahawaih, dan yang lainnya. Maka, tidak selayaknya memperhatikan celaan/kritik pada hadits tersebut.
Adapun hadits yang mereka jadikan dalil (untuk menetapkan hak pengasuhan ibu tidak gugur dengan adanya pernikahan), maka ia tidak sempurna menjadi dalil, kecuali bersama permintaan orang/laki-laki terhadap pemindahan pengasuhan dan pemisahan anaknya itu (dari ibunya).
Apabila tidak disertai permintaan, maka sepakat, bahwa ibunya yang telah menikah lagi masih berhak mengasuh anaknya itu. Tidak disebutkan dalam cerita/kisah tersebut bahwa pernah terjadi perselisihan/gugatan (tentang hak pengasuhan anak). Oleh karena itu, tidak ada bukti tentang sesuatu yang ia sebutkan untuk menguatkan pendapatnya itu” [Subulus-Salaam, 3/618-619].
Shiddiq Hasan Khaan menambahkan jawaban yang diberikan Ash-Shan’aaniy rahimahumallah di atas :
ويجاب عن ذلك؛ بأن موجود البقاء مع عدم المنازع لا يحتج به؛ لاحتمال أنه لم يبق له قريب غيرها.
“Jawaban atas hal itu : Tinggalnya seorang anak bersama ibu tanpa gugatan (dari pihak lain) tidak bisa dijadikan hujjah, karena ada kemungkinan anak itu tidak mempunyai keluarga dekat selain ibunya” [At-Ta’liiqaatur-Radliyyah ‘alar-Raudlatin-Nadliyyah oleh Al-Albaaniy, 2/336; Daar Ibnu ‘Affaan, Cet. 1/1423].
Namun jika anak tersebut telah menginjak usia tamyiiz, maka ia (si anak) berhak memilih kepada siapa ia akan tinggal/ikut antara ayahnya atau ibunya.
حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَأَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ أَنَّ أَبَا مَيْمُونَةَ سَلْمَى مَوْلًى مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ رَجُلَ صِدْقٍ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَارِسِيَّةٌ مَعَهَا ابْنٌ لَهَا فَادَّعَيَاهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَرَطَنَتْ لَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ وَرَطَنَ لَهَا بِذَلِكَ فَجَاءَ زَوْجُهَا فَقَالَ مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أَقُولُ هَذَا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Hulwaaniy[8] : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq[9] dan Abu ‘Aashim[10], dari Ibnu Juraij[11] : Telah mengkhabarkan kepadaku Ziyaad[12], dari Hilaal bin Usaamah[13] : Bahwasannya Abu Maimuunah Salmaa mantan budak penduduk Madinah[14] yang termasuk orang jujur, berkata : Ketika aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang kepadanya seorang wanita Persia yang membawa anaknya - keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut -, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata menggunakan bahasa Persia : “Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku”. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya menggunakan bahasa asing : “Undilah anak tersebut”. Kemudian suaminya datang dan berkata : “Siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku ?”. Kemudian Abu Hurairah berkata : “Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali karena aku telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata : ‘Wahai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inaabah, dan ia telah memberiku manfaat’. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Undilah anak tersebut !’. Kemudian suaminya berkata : ‘Siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku ?’. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata : ‘Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!’. Kemudian anak itu menggandeng tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2277; shahih].
Al-Khaththaabiy rahimahullah berkata :
هذا في الغلام الذي قد عقل واستغنى عن الحضانة، وإذا كان كذلك خير بين والديه.
“Ini berlaku pada anak yang telah berakal (tamyiiz) dan tidak membutuhkan pengasuhan lagi. Jika keadaan seperti itu, maka ia disuruh memilih antara ayah atau ibunya (yang hendak ia ikuti)” [‘Aunul-Ma’buud, 6/373, tahqiq : ‘Abdurrahman Muhammad ‘Utsmaan].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata :
قد ثبت التخييرُ عن النبيِّ صلى الله عليه وسلم في الغلام، من حديث أبي هريرة:وثبت عن الخلفاء الراشدين، وأبي هريرة، ولا يُعرف لهم مخالفٌ في الصحابة ألبتة، ولا أنكره منك. قالوا: وهذا غايةٌ في العدل الممكن، فإن الأمَّ إنما قُدِّمتْ في حال الصغر لحاجة الولد إلى التربية والحمل والرضاع والمداراة التي لا تتهيأ لِغير النساء، وإلا فالأمُّ أحد الأبوين، فكيف تُقدَّم عليه؟ فإذا بلغ الغلام حداً يُعْرِبُ فيه عن نفسه، ويستغني عن الحمل والوضع وما تُعانيه النساء، تساوى الأبوانِ، وزال السببُ الموجبُ لتقديم الأم، والأبوانِ متساويانِ فيه، فلا يُقَدَّمُ أحدُهما إلا بمرجِّح، والمرجِّحُ إما من خارج، وهو القرعةُ، وإما من جهة الولد، وهو اختيارُه، وقد جاءت السنةُ بهذا وهذا، وقد جمعهما حديثُ أبي هريرة، فاعتبرناهما جميعاَ، ولم ندفع أحدهما بالآخر.
وقدمنا ما قدمه النبيّ صلى الله عليه وسلم، وأخّرنا ما أخره، فقدم التخييرُ، لأن القُرعة إنما يُصار إليها إذا تساوت الحقوقُ مِن كل وجه، ولم يبق مرجِّحٌ سواها، وهكذا فعلنا هاهنا قدمنا أحدَهما بالاختيار، فإن لم يختر، أو اختارهما جميعاً، عدلنا إلى القُرعة، فهذا لو لم يكن فيه موافقة السنة، لكان مِن أحسن الأحكام، وأعدلها، وأقطعها للنزاع بتراضي المتنازعين. وفيه وجه آخر في مذهب أحمد والشافعي: أنه إذا لم يختر واحداً منهما كان عند الأم بلا قُرعة، لأن الحضانة كانت لها، وإنما ننقلُه عنها باختياره، فإذا لم يختر، بقي عندها على ما كان.
فإن قيل: فقد قدمتُمُ التخييرَ على القُرعة، والحديث فيه تقديمُ القُرعة أولاً، ثم التخيير، وهذا أولى، لأن القرعة طريق شرعي للتقديم عند تساوي المستحقين، وقد تساوى الأبوانِ، فالقياسُ تقديمُ أحدهما بالقُرعة، فإن أبيا القُرعة، لم يبق إلا اختيارُ الصبي، فيُرجح به، فما بالُ أصحابِ أحمد والشافعي قدَّموا التخييرَ على القرعة.
وقدمنا ما قدمه النبيّ صلى الله عليه وسلم، وأخّرنا ما أخره، فقدم التخييرُ، لأن القُرعة إنما يُصار إليها إذا تساوت الحقوقُ مِن كل وجه، ولم يبق مرجِّحٌ سواها، وهكذا فعلنا هاهنا قدمنا أحدَهما بالاختيار، فإن لم يختر، أو اختارهما جميعاً، عدلنا إلى القُرعة، فهذا لو لم يكن فيه موافقة السنة، لكان مِن أحسن الأحكام، وأعدلها، وأقطعها للنزاع بتراضي المتنازعين. وفيه وجه آخر في مذهب أحمد والشافعي: أنه إذا لم يختر واحداً منهما كان عند الأم بلا قُرعة، لأن الحضانة كانت لها، وإنما ننقلُه عنها باختياره، فإذا لم يختر، بقي عندها على ما كان.
فإن قيل: فقد قدمتُمُ التخييرَ على القُرعة، والحديث فيه تقديمُ القُرعة أولاً، ثم التخيير، وهذا أولى، لأن القرعة طريق شرعي للتقديم عند تساوي المستحقين، وقد تساوى الأبوانِ، فالقياسُ تقديمُ أحدهما بالقُرعة، فإن أبيا القُرعة، لم يبق إلا اختيارُ الصبي، فيُرجح به، فما بالُ أصحابِ أحمد والشافعي قدَّموا التخييرَ على القرعة.
“Telah shahih adanya hak pilih yang diriwayatan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang anak dalam hadits Abu Hurairah. Telah shahih pula ketetapan itu dari Khulafaaur-Raasyidiin dan Abu Hurairah dimana tidak diketahui adanya penyelisihan sedikitpun terhadap (pendapat) mereka dari kalangan shahabat; dan tidak pula ada pengingkaran. Bahkan mereka berkata : ‘Ini adalah keputusan yang paling adil’. Karena seorang ibu harus diutamakan/didahulukan untuk mengasuh anak kecil dalam hal mendidiknya, menggendongnya, menyusuinya, dan bersikap lemah-lembut kepadanya. Semuanya itu tidak mungkin akan didapati kecuali dari diri seorang wanita. Ia adalah salah satu di antara dua orang tua si anak; lantas bagaimana ia tidak diutamakan terhadap anak itu ?
Apabila anak itu telah mencapai usia tertentu dan mampu menyampaikan isi hatinya, tidak perlu digendong dan dibawa-bawa lagi oleh seorang wanita, maka dalam hal tersebut kedua orang tua mempunyai kedudukan yang sama. Hak pendahuluan/pengutamaan terhadap ibu menjadi hilang karena keduanya mempunyai hak yang sama. Tidak boleh diutamakan salah satu di antara keduanya kecuali ada faktor khusus yang menyebabkan pengutamaan itu dilakukan. Faktor itu bisa bersifat eksternal, yaitu dengan pengundian; atau bersifat internal, yaitu berdasarkan pilihan dari anak itu sendiri. Terdapat hadits yang menjadi dasar atas kedua hal tersebut yang terkumpul pada hadits Abu Hurairah (sebagaimana telah disebutkan di atas – Abul-Jauzaa’). Hendaklah keduanya (suami istri) memakai dua cara ini, dan tidak menolak salah satu di antara keduanya. Kita mendahulukan apa-apa yang telah didahulukan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan mengakhirkan apa-apa yang beliau telah akhirkan. Yang pertama dilakukan adalah menyuruh si anak untuk memilih, karena undian hanya dilakukan bila terdapat hak yang sama kuat dalam pengasuhan anak dari segala sisi dimana tidak ada cara lain yang ditempuh selain dengan cara tersebut. Inilah yang kita lakukan dengan mendahulukan salah satu di antara keduanya (orang tua) dengan cara meberikan pilihan kepada si anak. Jika ia tidak memilih, atau ia memilih keduanya secara bersama-sama, baru beralih kepada cara pengundian. Seandainya saja tidak ada sunnah (dalil) yang mendasari pengundian ini, maka ini adalah pendapat yang paling baik dan adil (yang bisa diijtihadkan); yang bisa menghindari perselisihan sehingga kedua belah pihak dapat ridla menerima keputusan tersebut. Ada pendapat lain dari madzhab Ahmad dab Asy-Syaafi’iy : ‘Apabila anak tersebut tidak memilih salah satu di antara kedua orang tuanya, maka hak itu otomatis jatuh ke ibu tanpa harus melalui undian. Karena al-hidlaanah (pengasuhan) merupakan hak si ibu secara asal. Pemindahan hak asuh dari ibu tersebut hanya dapat dilakukan dengan pilihan si anak. Apabila ia tidak memilih, maka hak itu kembali ke asalnya (yaitu ibu)” [Zaadul-Ma’aad, 5/468-469; Muassasah Ar-Risaalah, Cet. 3/140].
فمن قدمناه بتخيير أو قرُعة أو بنفسه، فإنما نُقدِّمه إذا حصلت به مصلحة الولد، ولو كانت الأم أصون مِن الأب وأغيرَ منه قدمت عليه، ولا التفات إلى قرعة ولا اختيار الصبي في هذه الحالة، فإنه ضعيفُ العقل يؤثِرُ البطالة واللعب، فإذا اختار من يُساعِدُهُ على ذلك، لم يُلتفت إلى اختياره، وكان عند من هو أنفعُ له وأخيرُ، ولا تحتمِلُ الشريعة غيرَ هذا،
“Setiap anak yang kita berikan pilihan, baik dengan mengundi atau pilihan dirinya sendiri, yang semua itu dipertimbangkan untuk menghasilkan kemaslahatan bagi si anak. Seandainya ada seorang ibu yang lebih shaalih dan lebih bisa menjaga dibandingkan dengan ayahnya, maka ibunya lebih didahulukan daripada ayahnya. Tidak boleh hal ini dipalingkan pada cara undian atau pilihan si anak dalam keadaan seperti ini. Karena anak itu akalnya masih lemah, masih terpengaruh perkara sia-sia dan suka bermain-main. Jika ia memilih, maka tidak boleh pilihannya itu dipengaruhi oleh orang lain. Ia harus bersama dengan orang yang paling bermanfaat dan paling baik bagi dirinya. Syari’at tidak menetapkan hidlaanah selain dari cara ini” [idem, 5/474].
Itu saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[1] Ia adalah Mahmuud bin Khaalid bin Abi Khaalid, Abu ‘Aliy Ad-Dimasyqiy (wafat : 249 H) – seorang yang tsiqah [Taqriibut-Tahdziib, hal. 924 no. 6553, tahqiq : Abul-Asybaal Shaghiir Ahmad Al-Baakistaaniy; Daarul-‘Aashimah].
[2] Ia adalah Al-Waliid bin Muslim Al-Qurasyiy, Abul-‘Abbaas Ad-Dimasyqiy maula Bani Umayyah (wafat : 195 H) – seorang yang tsiqah, namun banyak melakukan tadliis [At-Taqriib, hal. 1041 no. 7506].
[3] Ia adalah ‘Abdurrahmaan bin ‘Amru bin Abi ‘Amru Asy-Syaamiy, Abu ‘Amru Al-Auzaa’iy (wafat : 151/155/156 H) – seorang imam, tsiqah, jalil, dan faqiih [At-Taqriib, hal. 593 no. 3992].
[4] Ia adalah ‘Amru bin Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash Al-Qurasyiy As-Sahmiy, Abu Ibraahiim (wafat : 118/119 H) – seorang yang shaduuq [At-Taqriib, hal. 738 no. 5085].
[5] Ia adalah Syu’aib bin Muhammad bin ‘Abdillah bin ‘Amru bin Al-‘Aash Al-Qurasyiy As-Sahmiy – seorang yang shaduuq tsabt [At-Taqriib, hal. 438 no. 2822].
[6] Ia adalah ‘Abdullah bin ‘Amru bin Al-‘Aash radliyallaahu ‘anhumaa – salah seorang shahabat masyhuur.
[7] Al-Waliid bin Muslim membawakan dengan ‘an’anah sedangkan dirinya disifati dengan tadliis. Namun dalam riwayat Al-Haakim (2/207) dan Al-Baihaqy (8/4-5), ia membawakan dengan tashriih penyimakannya dari Al-Auzaa’iy.
[8] Ia adalah Al-Hasan bin ‘Aliy bin Muhammad Al-Hudzaliy Al-Khallaal, Abu ‘Aliy Al-Hulwaaniy Ar-Raihaaniy (wafat : 242 H) – seorang yang tsiqah, haafidh, mempunyai banyak tulisan [At-Taqriib, hal. 240 no. 1272].
[9] Ia adalah ‘Abdurrazzaaq bin Hammaam bin Naafi’ Al-Humairiy Al-Yamaaniy, Abu Bakr Ash-Shan’aaniy (wafat : 211 H) – seorang tsiqah, haafidh, penulis terkenal, namun kemudian mengalami kebutaan sehingga berubah hapalannya di akhir umurnya [At-Taqriib, hal. 607 no. 4092].
[10] Ia adalah Adl-Dlahhaak bin Makhlad bin Adl-Dlahhaak bin Muslim bin Adl-Dlahhaak Asy-Syaibaaniy, Abu ‘aashm An-Nabiil Al-Bashriy (wafat : 211/212/213 H) – seorang yang tsiqah lagi tsabt [At-Taqriib, hal. 459 no. 2994].
[11] Ia adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid (wafat : 149/150/151 H) – seorangyang tsiqah, faqiih, lagi mempunyai keutamaan; namun banyak melakukan tadliis dan irsaal [At-Taqriib, hal. 624 no. 4221].
[12] Ia adalah Ziyaad bin Sa’d bin ‘Abdirrahmaan Al-Khurasaaniy, Abu ‘Abdirrahman – seorang yang tsiqah lagi tsabt [At-Taqriib, hal. 345 no. 2091].
[13] Ia adalah Hilaal bin ‘Aliy bin Usaamah, dikatakan juga ia bernama : Hilaal bin Abi Maimuunah atau Hilaal bin Abi Hilaal; Al-Qurasyiy Al-‘Aamiriy Al-Madaniy (wafat : ±113-119 H) – seorang yang tsiqah [At-Taqriib, hal. 1027 no. 7394].
[14] Ia adalah Abu Maimuunah Al-Faarisiy Al-Madaniy Al-Abaar, ayah dari Hilaal bin Abi Maimuumah (Hilaal bin ‘Aliy bin Usamah) – seorang yang tsiqah [At-Taqriib, hal. 1213 no. 8474].
Assalamu'alaikum...mohon izin bertanya,kami punya dua orang anak yg pertama usia 7,5 tahun dan yg ke dua 4,5 tahun.thn 2008 yang lalu saya digugat cerai oleh isteri dengan alasan TIDAK SANGGUP LAGI BERUMAH TANGGA DENGAN SAYA (padahal ada orang ke 3 yg sekarang menikahinya).kemudian dia menawarkan JIKA ANAK MENJADI ALASAN BUAT MUNCULNYA SURAT CERAI SILAHKAN ANAK DIBAWA DUA-DUANYA,sayangnya ketika itu tidak saya buatkan surat pernyataan atau menghadirkan saksi2,karena sekarang dia sudah menikah lagi maka saya akan mengambilnya untuk saya asuh.apakah saya punya kekuatan untuk bisa mengasuhnya??? mohon penjelasannya karena mereka bermaksud untuk membawanya ketempat yang jauh,yg memungkinkan kami hanya bisa bertemu setahun sekali....terima kasih sebelumnya wassalam..
BalasHapus