14 Juni 2010

Analisis Hadits Tabarruk : Berkah Kubur Nabi SAW

Telah berkata Al-Imam Ad-Daarimiy rahimahullah :
حَدَّثَنَا أَبُو النُّعْمَانِ حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ زَيْدٍ حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ مَالِكٍ النُّكْرِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو الْجَوْزَاءِ أَوْسُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قُحِطَ أَهْلُ الْمَدِينَةِ قَحْطًا شَدِيدًا فَشَكَوْا إِلَى عَائِشَةَ فَقَالَتْ انْظُرُوا قَبْرَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاجْعَلُوا مِنْهُ كِوًى إِلَى السَّمَاءِ حَتَّى لَا يَكُونَ بَيْنَهُ وَبَيْنَ السَّمَاءِ سَقْفٌ قَالَ فَفَعَلُوا فَمُطِرْنَا مَطَرًا حَتَّى نَبَتَ الْعُشْبُ وَسَمِنَتْ الْإِبِلُ حَتَّى تَفَتَّقَتْ مِنْ الشَّحْمِ فَسُمِّيَ عَامَ الْفَتْقِ
Telah menceritakan kepada kami Abun-Nu’maan : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Zaid : Telah menceritakan kepada kami ‘Amru bin Maalik An-Nukriy : Telah menceritakan kepada kami Abul-Jauzaa’ Aus bin ‘Abdillah, ia berkata : Penduduk Madinah pernah mengalami kemarau panjang yang dahsyat, kemudian mereka mengadu kepada ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, lalu ia (‘Aaisyah) berkata : “Lihatlah kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan buatlah darinya lubang ke arah langit, sehingga antara dia dan langit tidak terhalang atap”. Ia (Ibnu Abdillah) berkata : “Kemudian mereka melakukan hal itu, lalu kami pun dituruni hujan lebat, sehingga tumbuhlah rumput dan unta pun menjadi gemuk, sehingga melimpahkan lemak. Maka disebutlah tahun limpahan” [no. 93 – tahqiq : Husain Saliim Asad].

Riwayat ini adalah dla’iif, dengan kelemahan terletak pada :
1.    Abun-Nu’maan; ia adalah Muhammad bin Al-Fadhl As-Saduusiy Al-Haafidh, dikenal dengan nama ‘Aarim – perawi yang dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya.
Ia seorang yang tsiqah, namun berubah hapalannya di akhir hayatnya.
Al-Bukhaariy berkata : “Berubah hapalannya di akhir umurnya” [Al-Kabiir, 1/208 no. 654].
Abu Haatim berkata : “’Aarim bercampur hapalannya di akhir umurnya dan hilang akalnya (hapalannya). Barangsiapa yang mendengar riwayatnya sebelum tercampur hapalannya, maka riwayatnya itu shahih. Aku menulis riwayat darinya sebelum tercampur hapalannya pada tahun 214 H, dan aku tidak mendengar riwayat darinya setelah bercampur hapalannya. Barangsiapa yang menulis (riwayat) darinya sebelum tahun 220 H, maka riwayatnya itu jayiid [Al-Jarh wat-Ta’diil 8/59 no. 268].
Abu Dawud berkata : Telah sampai kepada kami bahwasannya ‘Aarim diingkari (riwayatnya) pada tahun 213 H (karena ikhtilath), lalu hapalannya kembali, dan kemudian menjadi sempurna ikhtilath-nya tahun 216 H” [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, hal. 1277 no. 1684].
Al-‘Ijliy berkata : “Orang Bashrah yang tsiqah, laki-laki yang shaalih. Bercampur hapalannya setahun atau dua tahun sebelum kematiannya” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 2/5 no. 806].
An-Nasaa’iy berkata : “Ia salah seorang di antara orang-orang tsiqah sebelum bercampur hapalannya” [As-Sunan Al-Kubraa].
Al-‘Uqailiy berkata : “Bercampur hapalannya di akhir umurnya”. Lalu ia berkata : Telah berkata kakekku : “Aku melakukan ibadah haji tahun 215 H, dan kemudian aku kembali ke Bashrah yang ternyata ‘Aarim telah berubah hapalannya. Aku tidak mendengar/meriwayatkan (hadits) darinya sedikitpun setelah itu hingga ia meninggal pada tahun 224 H”. Al-‘Uqailiy juga berkata : “Barangsiapa yang mendengar riwayat dari ‘Aarim sebelum tercampur hapalannya, maka ia termasuk orang-orang tsiqah. Perbincangan mengenai dirinya hanya setelah bercampur hapalannya” [Adl-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, hal. 1277].
Ibnu Hibbaan berkata : “Ikhtilath (bercampur hapalannya) di akhir umurnya hingga ia tidak mengetahui apa yang diriwayatkannya sehingga banyak pengingkaran dalam riwayatnya” [Al-Majruuhiin, 2/311 no. 993].
Ad-Daaruquthniy berkata : “’Aarim Abun-Nu’maan tsiqah, berubah hapalannya di akhir umurnya. Akan tetapi tidak nampak adanya hadits munkar setelah ikhtilath-nya” [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy, hal. 614 no. 3302]. Adz-Dzahabiy berhujjah dengan perkataan Ad-Daaruquthniy ini ketika membantah perkataan Ibnu Hibbaan di atas.
Akan tetapi ini perlu mendapat kritikan. Terdapat beberapa bukti bahwa ia kacau dalam periwayatan di akhir umurnya.
Al-‘Uqailiy telah membawakan hadits tentang keutamaan bersedekah (فَاتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ “Maka jagalah diri kalian dari api neraka walau hanya dengan setengah biji kurma.); yaitu dari Muhammad bin ‘Ismaa’iil dan ‘Aliy bin ‘Abdil-‘Aziiz, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aarim Abun-Nu’maan – berkata ‘Aliy : yaitu pada tahun 217 H - , ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Humaid, dari Anas : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : …..(al-hadits)…..
Akan tetapi dalam riwayat kakeknya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Aarim pada tahun 218 H : Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah, dari Humaid, dari Al-Hasan : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : lalu disebutkan hadits yang semisal. Ada ketidakakuratan penyebutan perawi setelah Hammaad; dan ini berasal dari ‘Aarim.
Yang menguatkan hal itu, Al-‘Uqailiy menyebutkan pengingkaran ‘Affaan akan riwayat pertama (dari Anas) kemudian berkata : “Adapun kami, maka telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Salamah, dari Humaid, dari Al-Hasan : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Jagalah diri kalian akan api neraka meskipun hanya dengan setengah biji kurma” [lihat Adl-Dlu’afaa’, hal. 1277].
Abu Dawud pun menyebutkan riwayat yang menunjukkan tercampur hapalannya di akhir umurnya tentang hadits puasa saat safar [lihat : Tahdziibul-Kamaal 26/291].
Oleh karena itu, perkataan Ad-Daaruquthniy yang kemudian diikuti oleh Adz-Dzahabiy tertolak dengan bukti yang disampaikan Al-‘Uqailiy dan Abu Dawud.
Dalam hadits ini, tidak diketahui kapan Ad-Daarimiy mendengar riwayat dari ‘Aarim. Apakah sebelum atau setelah ikhtilath-nya ? Hukum bagi orang yang semisal ini adalah riwayatnya diletakkan hingga didapatkan penguat berupa mutaba’at atau syawaahid.
Ibnu Shalah berkata :
والحكم فيهم أنه يقبل حديث من أخذ عنهم قبل الاختلاط ولا يقبل حديث من أخذ عنهم بعد الاختلاط أو أشكل أمره فلم يدر هل أخذ عنه قبل الاختلاط أو بعده.
“Hukum tentang mereka (orang-orang yang tercampur hafalannya) adalah bahwa hadits yang diriwayatkan dari mereka sebelum tercampur hafalannya, maka dapat diterima. Tetapi tidak dapat diterima hadits yang diriwayatkan dari mereka setelah tercampur hafalannya; atau persoalannya menjadi musykil (sulit), lalu tidak diketahui apakah diriwayatkan sebelum ataukah setelah tercampurnya hafalan mereka itu” [‘Ulumul-Hadiits, hal. 352. Baca juga penjelasan semisal dalam kitab At-Taqyiid wal-Iidlaah oleh Zainuddiin Al-‘Iraaqiy, hal. 442 dan ‘Ilmu ‘Ilalil-Hadiits oleh Washiyullah ‘Abbaas, hal. 36].
Tidak ada satu pun qarinah yang menjelaskan Ad-Daarimiy mengambil riwayat ‘Aarim sebelum ikhtilath-nya.
2.    Sa’iid bin Zaid; ia adalah Ibnu Dirham Al-Azdiy. Para ulama telah memperselisihkan statusnya.
Ahmad berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)” [Al-‘Ilal no. 3461 dan Suaalaat Abi Dawud no. 502 – melalui Mausu’ah Aqwaal Al-Imam Ahmad 2/34 no. 951. Lihat Al-Jarh wat-Ta’diil 4/21]. Ad-Daaruquthniy berkata saat ditanya Al-Haakim tentangnya : “Seorang yang dla’iif, Yahyaa Al-Qaththaan memperbincangkan dirinya” [Mausu’ah Aqwaal Ad-Daaruquthniy hal. 282 no. 1424]. ‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata : “Aku mendengar Yahyaa Al-Qaththaan sangat mendla’ifkan Sa’iid bin Zaid saudara Hammaad bin Zaid dalam haditsnya”. Sulaimaan bin Harb berkata : “Tsiqah”. ‘Abbaas Ad-Duuriy berkata : Aku mendengar Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Tidak kuat,….. ditulis haditsnya” [Al-Jarh wat-Ta’diil 4/21-22 no. 87]. Di lain tempat – masih riwayat Ad-Duuriy – Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah” [Taariikh Ad-Duuriy 2/146 no. 3851]. Di tempat lain, dalam riwayat Muhammad bin ‘Utsmaan bin Abi Syaibah, Ibnu Ma’iin berkata : “Dla’iif” [Al-Dlu’afaa’ Al-Kabiir, 2/467 no. 574]. ‘Uqailiy menyepakati pendla’ifannya.
Al-Bukhaariy berkata : Aku mendengar Muslim berkata : “….Shaduuq, haafidh” [At-Taariikh Al-Kabiir, 3/472 no. 1576]. Habbaan bin Hilaal berkata : “Shaduuq haafidh” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/33 no. 51]. Al-Juzajaaniy berkata : “Aku mendengar para ulama melemahkan hadits-haditnya, sehingga ia tidak bisa dipergunakan sebagai hujjah” [Ahwaalur-Rijaal, hal. 114 no. 183]. Al-Baihaqiy berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)”. Di lain tempat ia berkata senada : “Tidak kuat dalam hadits (ghairu qawiy fil-hadiits)” [lihat : Al-Kubraa 6/112, Al-Ma’rifah 4/500, dan Ash-Shughraa 1/544 – melalui perantaraan Ad-Durrun-Naqiy hal. 123 no. 382]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak kuat” [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun no. 275]. Ibnu Hibbaan berkata : “Ia seorang yang jujur lagi haafidh, namun melakukan kekeliruan dan kelalaian dalam khabar-khabar dan atsar-atsar, sehingga tidak boleh berhujjah dengannya apabila ia bersendirian” [Al-Majruuhiin, 1/401 no. 388]. Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, dan telah diriwayatkan darinya (hadits/khabar)” [Ath-Thabaqaat, 7/287]. Al-Bazzaar berkata : “Layyin”. Di lain tempat ia berkata : “Tidak hafidh”. Abu Haatim berkata : “Tidak kuat (laisa bil-qawiy)” [Tahdziibut-Tahdziib, 4/33 no. 51]. Al-‘Ijliy berkata : “Tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat, 1/399 no. 590]. As-Sa’diy berkata : “Para ulama mendla’ifkan hadits Sa’iid bin Zaid, saudara Hammaad bin Zaid. Dan ia bukanlah hujjah” [Al-Kaamil, 4/422 no. 806].
Ibnu ‘Adiy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif, namun kemudian berkata : “Ia tidak mempunyai matan (hadits) yang munkar yang tidak diriwayatkan selain dirinya, dan menurutku ia termasuk orang yang jujur (shidq)” [idem, 4/423]. Maksudnya, ia seorang yang tetap kejujurannya dan kedudukannya kuat dengan adanya mutaba’ah. Jika tidak, maka lemah.
Ibnul-Jauziy memasukkannya dalam jajaran perawi dla’iif [Adl-Dlu’afaa’ wal-Matruukuun, 1/319 no. 1395].
Adz-Dzahabiy memasukkannya dalam kitab Man Tukullima fiih Wahuwa Muwatstsaq au Shaalihul-Hadiits hal. 221 no. 129 – namun penghukumannya tersebut dikritik oleh muhaqqiq kitab (‘Abdullah bin Dlaifillah Ar-Ruhailiy).
Ibnu Hajar berkata : Jujur, namun mempunyai beberapa kekeliruan (shaduuq lahu auhaam)” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 378 no. 2325].
Dari keterangan di atas, para ulama yang mentsiqahkan Sa’iid bin Zaid adalah Habbaan bin Hilaal, Sulaiman bin Harb, Ahmad, Yahyaa bin Ma’iin dalam satu riwayat, Muslim, dan Ibnu Sa’d. Sedangkan yang mendla’ifkannya adalah Yahyaa Al-Qaththaan, Ad-Daaruquthniy, Yahyaa bin Ma’iin dalam jumhur riwayat yang ternukil darinya, Juuzajaaniy, Al-Baihaqiy, An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, As-Sa’diy, Al-Bazzaar, Abu Haatim, Al-‘Uqailiy, As-Sa’diy, Ibnu ‘Adiy, dan Ibnul-Jauziy rahimahumullah.
Kesimpulan yang benar atas diri Sa’iid – wallaahu a’lam – , ia seorang yang tetap kejujurannya, namun lemah dalam akurasi hapalannya. Jarh ini bersifat mufassar (dijelaskan sebabnya) sehingga ia harus didahulukan daripada pen-tsiqah-annya sebagaimana kaedah : al-jarhul-mufassar muqaddamun ‘alat-ta’diilil-‘aam. Riwayatnya tidak diterima jika bersendirian, namun baik untuk i’tibar.
3.    ‘Amru bin Maalik An-Nukriy.
Ibnu ‘Adiy saat menyebutkan biografi Abul-Jauzaa’ Aus bin ‘Abdillah berkata : “Telah menceritakan darinya ‘Amru bin Maalik An-Nukriy sekitar sepuluh hadits yang tidak mahfudh” [Al-Kaamil, 2/108].[1] Ia juga berkata : “Aku mendengar Abu Ya’laa berkata : “’Amru bin Maalik An-Nukriy, seorang yang dla’iif” [idem, 6/258 no. 1315].[2]
Ibnu Ma’iin berkata : “Tsiqah” [Suaalaat Ibni Junaid, hal. 202 no. 754].
Ibnu Hibbaan berkata : “Aku mendapati hal-hal yang diingkari (manaakir) dalam hadits-haditsnya dari riwayat anaknya darinya. Dan ia adalah seorang yang berlisan jujur (shaduuqul-lahjah)” [Masyaahiru ‘Ulamaa Al-Amshaar, hal. 155]. Pernyataan bahwa ia berlisan jujur bukanlah pernyataan yang menunjukkan haditsnya hasan – sebagaimana telah diketahui – ; karena ia tidak menunjukkan keberadaan sifat dlabth. Perkataan shaduuqul-lahjah tidaklah sama dengan shaduuq dalam ilmu al-jarh wat-ta’diil. Hal ini dikuatkan oleh perkataan Ibnu Hibbaan yang lain : “Haditsnya dijadikan i’tibar selain riwayat anaknya darinya” [Ats-Tsiqaat, 7/228]. Telah dimaklumi bahwa i’tibar itu ditujukan kepada riwayat perawi dla’iif. Adapun perawi tsiqah, maka ia dijadikan hujjah secara mutlak, bukan sebagai i’tibar.
Ahmad telah mendla’ifkannya, sebagaimana riwayat ‘Abdullah bin Ahmad : “Tidak shahih shalat tasbiih, karena sanadnya berselisihan sehingga hal itu tidak shahih menurutku” – (‘Abdullah berkata) : ‘seakan-akan ia (Ahmad) mendla’ifkan ‘Amru bin Maalik An-Nukriy [lihat Al-Masaail, hal. 89 – melalui perantaraan At-Tanqiih limaa Jaa’a fii Shalaatit-Tasbiih oleh Jaasim Ad-Duusariy, hal. 71]. Al-Khallaal telah membawakan riwayat – sebagaimana dalam An-Naqdush-Shahiih oleh Al-‘Alaa’iy (hal. 32) – dari ‘Aliy  bin Sa’iid, ia berkata : Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang shalat tasbih, lalu ia menjawab : “Hal itu tidak shahih sedikitpun menurutku”. ‘Aliy melanjutkan : “(Bagaimana dengan) hadits ‘Abdullah bin ‘Amru (bin Al-‘Aash) ?”. Ia menjawab : “Setiap hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amru bin Maalik terdapat pembicaraan (fiihi maqaal)” [selesai]. Di sini terdapat penunjukkan yang sangat jelas pendla’ifan Ahmad terhadap An-Nukriy; karena saat ia ditanya hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, maka ia mendla’ifkannya dengan alasan ‘Amru bin Maalik (An-Nukriy).
Adz-Dzahabiy berkata : “Shaduuq, termasuk orang Bashrah” [Taariikhul-Islaam 5/118]. Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, mempunyai beberapa kekeliruan” [At-Taqriib, hal. 744 no. 5139].
Kesimpulan atas ‘Amru bin Maalik An-Nukriy ini adalah ia seorang perawi dla’iif dari sisi hapalannya, terutama, riwayatnya yang berasal dari Abul-Jauzaa’ yang besar kemungkinan tidak mahfudh sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Adiy.
Di sini, sekaligus penjelasan atas kekeliruan muhaqqiq kitab Sunan Ad-Daarimiy (yaitu : Husain Saliim Asad) dan yang bertaqlid kepadanya yang mengatakan rijal hadits di atas adalah tsiqaat (lihat hal. 227 no. 93).
Dari segi matan hadits, maka riwayat ini juga mengandung ‘illat sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah rahimahulllah :
وما روي عن عائشة - رضى الله عنها - من فتح الكوة من قبره إلى السماء لينزل المطر، فليس بصحيح ولا يثبت إسناده، وإنما نقل ذلك من هو معروف بالكذب. ومما يبين كذب هذا أنه في مدة حياة عائشة لم يكن للبيت كوة، بل كان بعضه باقياً كما كان على عهد النبي صلى الله عليه وسلم، بعضه مسقوف وبعضه مكشوف، وكانت الشمس تنزل فيه كما ثبت في "الصحيحين" عن عائشة أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يصلي العصر والشمس في حجرتها لم يظهر الفيء بعد. ولم تزل الحجرة كذلك حتى زاد الوليد بن عبد الملك في المسجد في إمارته لما زاد الحجر في مسجد الرسول صلى الله عليه وسلم
"Apa yang diriwayatkan ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa tentang membuka lubang kubur Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ke arah langit agar turun hujan, maka itu tidak shahih dan tidak tsabit sanadnya. Ia hanyalah dinukil dari orang yang dikenal kedustaannya. Termasuk yang menjelaskan kedustaan atsar ini adalah bahwa rumah tersebut – selama ‘Aaisyah masih hidup – tidak pernah mempunyai lubang. Bahkan tetap sebagaimana pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; sebagiannya diberi atap dan sebagiannya terbuka, sehingga sinar matahari sampai kepadanya. Di samping itu, diriwayatkan dalam Ash-Shahiihain dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhu bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat ‘Ashar, sedangkan sinar matahari masuk ke kamarnya. Selanjutnya tidak nampak ada tambahan, dan kamar tersebut masih tetap demikian sampai pada masa pemerintahan Al-Waliid bin ‘Abdil-Malik yang menambahkan kamar-kamar itu di masjid Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam [Ar-Radd ‘alal-Bakriy, hal. 68-69].
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
Semoga artikel ini ada manfaatnya.
Banyak mengambil faedah dari kitab Al-Is’aaf min Ighaatsati As-Saqqaaf oleh ‘Abdullah bin Fahd Al-Khaliifiy hafidhahullah.
[abul-jauzaa’ – 1431 – http://abul-jauzaa.blogspot.com].


[1]      Barangkali ada yang menyanggah bahwasannya Ibnu ‘Adiy telah keliru dalam penyebutan biografi ‘Amru bin Maalik An-Nukriy, sehingga ada kemungkinan ‘Amru bin Maalik di sini bukan dia, tapi Ar-Raasibiy. Perkataan ini tertolak, karena Ar-Raasibiy tidak meriwayatkan dari Aus bin ‘Abdillah Abul-Jauzaa’. Namun yang meriwayatkan dari Abul-Jauzaa’ adalah An-Nukriy.
[2]      Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil telah keliru dalam menyebutkan biografi ‘Amru bin Maalik An-Nukriy. Ia telah mencampurkan biografi An-Nukriy dengan Ar-Raasibiy. Akan tetapi di sini Ibnu ‘Adiy menukil dengan tashrih periwayatan dengan perkataannya : “Aku mendengar Abu Ya’laa berkata : “’Amru bin Maalik An-Nukriy, seorang yang dla’if”. Oleh karena itu, tidak ada alasan mengatakan bahwa Ibnu ‘Adiy keliru dalam penyebutan ini.

7 komentar:

  1. Terima kasih atas penjelasannya pak Ustadz. Bisakah saya minta tolong untuk memeriksa hujjah berikut ini, karena mereka menyebut kitab dan ulama' yang tidak saya kenal:

    Al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi menyebutkan sebuah kisah dalam kitabnya “Al Wafa bi Ahwal al Mushthafa” –

    kisah ini juga dituturkan oleh al Hafizh adl-Dliya' al Maqdisi - bahwa Abu Bakr al Minqari berkata: "Adalah aku, ath-Thabarani dan Abu asy-Syaikh berada di Madinah. Kami dalam suatu keadaan dan kemudian rasa lapar melilit perut kami, pada hari itu kami tidak makan.

    Ketika tiba waktu Isya', aku mendatangi makam Rasulullah dan mengadu: “Yaa Rasulallah, al Juu’ al Juu’ (Wahai Rasulullah! lapar...lapar)”, lalu aku kembali. Abu as-Syaikh berkata kepadaku: "Duduklah, (mungkin) akan ada rizqi atau (kalau tidak, kita akan) mati".

    Abu Bakr melanjutkan kisahnya: "Kemudian aku dan Abu asy-Syaikh beranjak tidur sedangkan ath-Thabarani duduk melihat sesuatu. Tiba-tiba datanglah seorang 'Alawi (sebutan bagi orang yang memiliki garis keturunan dengan Ali dan Fatimah) lalu ia mengetuk pintu dan ternyata ia ditemani oleh dua orang pembantu yang masing-masing membawa panci besar yang di dalamnya ada banyak makanan. Maka kami duduk lalu makan. Kami mengira sisa makanan akan diambil oleh pembantu itu, tapi ternyata ia meninggalkan kami dan membiarkan sisa makanan itu ada pada kami. Setelah kami selesai makan, 'Alawi itu berkata: "Wahai kaum, apakah kalian mengadu kepada Rasulullah?, sesungguhnya aku tadi mimpi melihat beliau dan beliau menyuruhku untuk membawakan sesuatu kepada kalian".

    Kisah ini dinukil oleh para ulama termasuk ulama madzhab Hanbali dan lainnya. Mereka ini di mata ummat Islam adalah Muwahhidun (Ahli Tauhid), bahkan merupakan tokoh-tokoh besar di kalangan para Ahli Tauhid,

    sedangkan di mata para anti tawassul mereka dianggap sebagai ahli bid’ah dan syirik.

    BalasHapus
  2. Tulisan ini telah di komentari oleh SP.
    antum lebih berilmu drpd ana tuk mengomentari tulisan tsb.

    baarokallohu fiik

    BalasHapus
  3. bagaimana komentar ustadz degan pembahasan hadist ini di http://myquran.com/forum/showthread.php/23908-Sahabat-me-maudlu-kan-Hadis-Imam-Darimi-dari-Aisyah

    terima kasih

    BalasHapus
  4. Pada sebuah riwayat yang menjelaskan tentang sebuah dalil tawassul, al-albani mengingkari tentang keshahihan riwayat tersebut dengan bersikeras menyatakan bahwa salah satu sanad riwayat tersebut, Sa’id ibn Zaid adalah pribadi yang cacat dan lemah.
    Di dalam bukunya at-Tawassul anwaa’uhu wa ahkaamuhu, demi untuk mengharamkan hukum tawassul, beliau berani menghukumi Sa’id ibn Zaid sebagai cacat dan tidak tsiqah (tidak dapat dipercaya).
    Mari kita lihat pernyataan beliau ini yang termaktub di dalam kitab karya beliau sendiri “at-Tawassul Anwaa’uhu wa Ahkaamuhu halaman 126″:

    Perhatikan yang saya beri tanda kotak merah:
    Aku (al-Albani) berkata: “Sanad ini dinyatakan lemah, tidak selayaknya dijadikan hujjah/dalil dikarenakan oleh tiga hal: Pertama, Sa’id ibn Zaid adalah saudara Hammad ibn Zaid yang lemah. Telah berkata al-Hafizh di dalam [[at-Taqrib]]: ‘Dia adalah perawi jujur yang suka berhalusinasi’. Adz-dzahabi berkata di dalam di dalam [[al-Mizaan]]: Yahya ibn Sa’id: ‘Dia lemah’, Sa’di berkata: ‘Tidak dapat dijadikan hujjah.’ Mereka melemahkan hadits-haditsnya, an-Nasa’i dan yang lain berkata: ‘Dia tidak kuat.’ Dan Ahmad berkata: ‘Tidak ada masalah dengan Sa’id ibn Zaid, sedangkan Yahya ibn Sa’id tidak memakainya.’ “
    Nah, menurut pernyataan beliau di atas, beliau menetapkan bahwa Sa’id ibn Zaid adalah lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah.
    Namun, anehnya di kitab beliau yang lain yaitu Irwa’ al-Ghalil jilid 5 halaman 338 disebutkan bahwasanya Sa’id ibn Zaid dinyatakan baik sanadnya. Mari kita lihat Irwa’ al-Ghalil jilid 5 halaman 338:

    Perhatikan yang saya beri tanda kotak merah:
    Aku (al-Albani) berkata: “Dan ini adalah sanad yang baik. Semua perawinya adalah orang-orang yang terpercaya (tsiqah). Mengenai Sa’id ibn Zaid –saudara Hammad ibn Zaid–, hadits-haditsnya tidak turun dari darajat hasan, insya’ Alloh Ta’aala. Dan telah berkata ibn al-Qayyim di dalam [[al-Farusiyyah]]: ‘Dia sanad haditsnya baik’. “
    Nah, saling kontradiksi bukan? Di satu sisi beliau mengatakan Sa’id ibn Zaid lemah sanadnya, namun di satu sisi beliau menetapkan Sa’id ibn Zaid sebagai sanad perawi yang tsiqah yang derajat hadits-haditsnya tidak turun dari derajat hasan.
    Kesimpulannya adalah, al-Albani pada saat memerlukan dalil-dalil untuk mengharamkan amalan tawassul beliau dengan beraninya mendhaifkan Sa’id ibn Zaid. Namun, di tempat lain ketika al-Albani memerlukan hadits Sa’id ibn Zaid sebagai pendukung dalilnya, maka beliau menyatakan bahwa Sa’id ibn Zaid adalah orang jujur, terpercaya, dan sanadnya tidak turun dari derajat hasan.

    BalasHapus
  5. Artikel di atas sama sekali tidak menyebutkan tentang Al-Albaaniy. Tapi anehnya, Anda menyebut Al-Albaaniy.

    Adapun keterangan mengenai Sa'iid bin Zaid sudah dituliskan di atas tanpa perlu penambahan lagi.

    BalasHapus
  6. @anonim 29 Februari 2012 09:50

    Ga nyambung mas,

    ustadz Abul Jauzaa' sama sekali ga menyinggung syaikh Al Albani dan tidak memakai analisa beliau didalam artikel ini. Tolonglah klo mau komen yg cerdas dikit dan yg nyambung ama artikel, gitu loch...

    BalasHapus