Muqaddimah
Siapakah Ja’d bin Dirham ? Dia adalah gembong ahli bid’ah. Dialah yang pertama kali menyatakan bahwa Al-Qur’an bukan Kalamullah melainkan adalah makhluk. Dia pencetus bid’ah ta’thil (penafian sifat-sifat Allah). Dia menyatakan bahwa Allah tidak punya tangan, tidak berbicara kepada Musa ‘alaihis-salaam, tidak menjadikan Nabi Ibraahim ‘alaihis-salaam sebagai khaliil (kekasih)-Nya, dan penafian sifat Allah lainnya. Dia adalah guru Jahm bin Shafwan yang padanya dinisbatkan sebuah kelompok sesat menyesatkan, Jahmiyyah.
Tentang riwayat hidupnya, selengkapnya bisa dilihat pada Al-Bidayah wan-Nihaayah 10/19, Miizaanul-I’tidaal 1/399, Lisaanul-Miizaan 2/105, dan lainnya.
Alkisah
Khaalid bin ‘Abdillah Al-Qasri – seorang gubernur Iraq pada masa pemerintahan Bani Umayyah – pada saat hari raya ‘Iedul-Adlha, selesai shalat beliau berkhutbah di hadapan kaum muslimin seraya berkata : “Wahai sekalian manusia, pulanglah kalian lalu sembelihlah binatang kurban, semoga Allah menerima ibadah kurban kami dan kalian. Saya akan menyembelih Ja’d bin Dirham karena dia mengatakan bahwa Allah tidak mengambil Nabi Ibrahim sebagai khaliil dan tidak berbicara kepada Nabi Musa. Maha Tinggi Allah atas apa yang dikatakan oleh Ja’d bin Dirham ini”. Lalu beliau turun dan menyembelih Ja’d bin Dirham.
Takhrij Kisah
Kisah ini diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Taariikh Kabiir (no. 142 & 542) dan Khalqu Af’aalil-‘Ibaad (no. 3), Ibnu Abi Haatim dalam As-Sunnah sebagaimana yang terdapat dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah (10/21), Ad-Daarimiy dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah (no. 13) dan Ar-Radd ‘alaa Bisyr Al-Maarisiy Al-Anid (118), Al-Ajurriy dalam Asy-Syarii’ah (97 & 328), Al-Laalikaiy dalam Syarh Ushuul I’tiqaad (no. 512), Al-Baihaqiy dalam As-Sunan Al-Kubraa (10/205), Ibnu ‘Asaakir dalam Taariikh Dimasyq. Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal (8/118), dan Adz-Dzahabiy dalam Al-‘Ulluw (99-100).
Semuanya dari jalur Qaasim bin Muhammad, dari ‘Abdurrahman bin Muhammad bin Habiib, dari bapaknya, dari kakeknya Habiib bin Abi Habiib, ia berkata : “Khaalid bin ‘Abdullah Al-Qasri berkhutbah di hadapan kami di daerah Wasiith pada hari raya ‘Iedul-Adlha dan dia berkata : “….. (lalu ia menyebutkan kisah di atas)”.
Kemasyhuran Kisah Ini
Kisah ini berulang-ulang disebutkan dalam berbagai kitab tauhid. Kisah ini selalu muncul dalam kebanyakan kitab yang menyebutkan ‘aqidah ulama salaf tentang Kalamullah. Dan yang mengisyaratkan kemasyhurannya adalah Al-Imam Ibnu Katsir dalam Al-Bidaayah wan-Nihaayah (10/21). Beliau berkata : “Kisah ini diriwayatkan oleh…. dan banyak lagi kalangan ulama yang menulis kitab ‘aqidah”.
Adz-Dzahabiy (Miizaanul-I’tidaal, 1/399) dan Ibnu Hajar (Lisaanul-Miizaan, 2/10) saat menyebutkan biografi Ja’d bin Dirham ini berkata : “Dia termasuk (generasi) tabi’in, seorang ahli bid’ah yang sesat, dia mengatakan bahwa Allah tidak berbicara kepada Musa. Dia dibunuh di ‘Iraq pada hari raya ‘Iedul-Adlha. Dan kisahnya sangat masyhur”.
Sisi Kelemahan Kisah Ini
Asy-Syaikh Masyhuur hafidhahullah berkata : “Sanad kisah ini lemah, bukan hanya satu rawi yang dipermasalahkan. Kisah ini berkisar pada jalur Qaasim bin Muhammad, sedangkan dia perawi yang dipermasalahkan. Sedangkan ‘Abdurrahman dan bapaknya tidak dikenal.
Al-Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah (Al-Miizaan, 3/387) berkata : “Qaasim bin Muhammad bin Humaid Al-Ma’mariy, rawi kisah disembelihnya Ja’d bin Dirham. Dinilai tsiqah oleh Qutaibah. Namun Yahya bin Ma’in berkata tentang dia : “Pendusta yang keji”. Ad-Daarimiy berkata : “Dia bukan seperti yang dikatakan Yahya (bin Ma’in). Saya pernah bertemu dengannya di Baghdaad”.
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata : “Saya mengira bahwa dia hanya meriwayatkan kisah tentang Ja’d ini saja. Dia diriwayatkan oleh Bakr bin A’yun, Hasan bin Shabbah, dan Qutaibah. Wafat tahun 228 H”.
Al-Imam Al-Laalika’iy membela Qaasim ini seakan-akan beliau merasa bahwa dia bukanlah seorang yang tidak dikenal riwayatnya. Beliau berkata : “Qaasim bin Abi Sufyaan ini adalah Qaasim bin Muhammad bin Humaid Al-Ma’mariy. Qutaibah bin Sa’id meriwayatkan kisah ini dan men-tsiqah-kan dia. ‘Abbas bin Abi Thaalib dan Hasan bin Shabbah juga meriwayatkan kisah ini darinya. Dalam ceritanya Hasan dan ‘Abbas, Khaalid Al-Qasri berkhutbah di daerah Wasiith”.
Asy-Syaikh Masyhuur hafidhahullah berkata : “Anggaplah kisah ini selamat dari Qaasim tadi, maka ia tidak selamat dari rawi setelahnya karena dalam riwayat ini juga ada ‘Abdurrahman bin Muhammad, dari bapaknya. Keduanya tidak dikenal”.
Al-Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata tentang ‘Abdurrahman ini (Al-Miizaan, 3/229) : “Dia tidak dikenal”.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa dia maqbuul (bisa diterima). Maksudnya, apabila ada yang menguatkan, namun jika tidak maka dia itu lemah.
Sedangkan bapaknya, yaitu Muhammad bin Habiib, adalah seorang yang majhuul (tidak dikenal). Begitulah yang dikatakan oleh Adz-Dzahabiy dalam Al-Miizaan (4/428) dan Ibnu Hajar dalam Taqriibut-Tahdziib (473).
Al-Imam Ibnu Abi Haatim rahimahullah berkata (Al-Jarh wat-Ta’diil, no. 1246) : “Saya menanyakan tentang dia kepada bapakku, maka beliau menjawab : ‘Aku tidak mengenalnya”.
Al-Imam Ibnu Hibban dalam Ats-Tsiqaat (9/55) dan Al-Mizziy dalam Tahdziibul-Kamaal mengisyaratkan bahwa hanya dia yang meriwayatkan kisah ini.
Jalan Lain Kisah Ini
Al-Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah (no. 100) berkata : “Saya membaca dalam kitab Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah oleh ‘Abdirrahman bin Abi Haatim Ar-Raaziy, (beliau berkata) : Telah menceritakan kepada kami ‘Isaa bin Abi ‘Imran Ar-Ramliy : Telah menceritakan kepada kami Ayyub bin Suwaid, dari Sirri bin Yahya, ia berkata : “Khalid Al-Qasri berkhutbah di hadapan kami seraya berkata : ‘Pulanglah kalian untuk menyembelih binatang kurban kalian, semoga Allah menerima kurbankalian karena saya akan menyembelih Ja’d bin Dirham”. Lalu beliau menyebutkan kisah di atas.
Asy-Syaikh Masyhuur hafidhahullah berkata : Kisah ini sangat lemah. Ia memiliki dua cacat :
1. ‘Isa bin Abi ‘Imraan Adz-Dzahabiy. Ibnu Abi Haatim berkata (Al-Jarh wat-Ta’diil) : “Saya tidak pernah menulis darinya di Ramlah, kemudian bapakku melihat haditsnya lalu berkata : ‘Haditsnya menunjukkan bahwa dia bukan orang yang jujur’. Maka saya pun meninggalkan periwayatan darinya”.
2. Ayyub bin Suwaid. Dia seorang yang jujur namun banyak salah sebagaimana yang dikatakan oleh Al-Haafidh Ibnu Hajar dalam Taqriibut-Tahdziib. Bahkan sebagian ulama menuduhnya berdusta. ‘Abdullah bin Al-Mubaarak berkata : “Tuduhlah ia berdusta”. Al-Imam Al-Bukhari berkata : “Para ulama mempersalahkannya”. Ibnu Ma’in berkata : “Dia tidak ada apa-apanya”.
Asy-Syaikh Masyhuur hafidhahullah melanjutkan penjelasannya : “Dan diantara yang makin menunjukkan kelemahan kisah ini adalah :
1. Sanad kisah ini berkisar pada perawi yang lemah dan tidak dikenal. Berarti kisah ini tidaklah shahih menurut standar para ulama jarh dan ta’dil.
2. Biografi Khaalid bin ‘Abdillah Al-Qasri penuh dengan kegelapan. Ada prediksi kuat bahwa dia seorang yang dhalim. Oleh karena itu, Adz-Dzahabiy (As-Siyar, 5/432) setelah menyebutkan kisah ini berkata : “Ini adalah di antara kebaikannya”.
3. Bukan merupakan kepentingan orang-orang macam Khaalid Al-Qasri saat itu untuk melakukan hal ini, yang mana ini tidaklah dilakukan kecuali oleh orang yang meyakini ‘aqidah yang benar. Sedangkan para khalifah dan gubernur pada jaman Bani Umayyah saat itu jauh sekali (dari kemungkinan) untuk sampai membunuh dengan sebab semacam ini. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa pembunuhan Ja’d ini hanyalah karena sebab politik, bukan sebab kesesatan ‘aqidahnya.
4. Yang penting bagi kita di sini adalah menetapkan bahwa kisah ini dengan sebab tersebut tidaklah sampai kepada kita dengan sanad yang bersih”.
Wallaahu a’lam.
[Aboel-Jaoezaa’, akhir bulan Sya’ban 1430 H – dinukil dari Majalah Al-Furqaan hal. 55-56, edisi 7, tahun ke-8, SHaffar 1430 H – dari tulisan Ahmad Sabiq bin ‘Abdul-Lathif Abu Yusuf].
Comments
Ustad , lantas apa manfaat yang di dapat dari kisah ini ? kalaulah shahih tentulah dapat dijadikan hujjah , sukron
Posting Komentar