Zakat
Fithri[1]
1.
Hukum Zakat Fithri
Zakat
fithri hukumnya wajib. Hal ini
berdasarkan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
فرض زكاة الفطر من رمضان على كل نفس من المسلمين
Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah mewajibkan zakat fithri
di bulan Ramadlan terhadap setiap orang dari kalangan muslimin (HR. Muslim no.
984).
2.
Siapa yang Wajib Membayar Zakat Fithri ??
Zakat
fithri diwajibkan kepada semua golongan dari kaum muslimin baik anak kecil dan
orang tua, laki-laki dan wanita, merdeka dan budak. Hal berdasarkan hadits Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma :
فرض رسول الله صلى الله عليه
وسلم زكاة الفطر صاعا من تمر أو صاعا من شعير على العبد والحر والذكر والأنثى
والصغير والكبير من المسلمين
Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
telah mewajibkan zakat fithri di bulan Ramadlan kepada manusia; satu sha’ tamr
(kurma) atau satu sha’ gandum atas budak dan orang merdeka, laki-laki dan
wanita dari kalangan umat muslimin (HR. Al-Bukhari no. 1503 dan Muslim no. 984;
ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Seorang
muslim wajib mengeluarkan zakat fithri untuk dirinya dan orang-orang yang
menjadi tanggungannya, baik anak kecil, besar, laki-laki, wanita, orang
merdeka, maupun budak. Berdasarkan
hadits dari Ibnu Umar radliyallaahu ‘anhuma :
أمر رسول الله صلى الله عليه
وسلم بصدقة الفطر عن الصغير والكبير والحر والعبد ممن تمونون
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan menunaikan zakat fithri untuk anak kecil,
orang tua, orang merdeka, dan budak yang masuk dalam tanggungannya” (HR.
Ad-Daruquthni no. 2078 dan Al-Baihaqi no. 7474 dengan sanad hasan).
Tidak
wajib zakat fithri atas janin yang masih ada di dalam perut ibunya.
3.
Jenis-Jenis yang Dibayarkan Sebagai Zakat Fithri
Jenis-jenis
yang dapat dibayarkan sebagai zakat fithri adalah semua jenis makanan pokok,
gandum, kurma, keju, dan kismis (anggur kering). Hal berdasarkan hadits dari Abu Sa’id
Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu :
كنا نخرج زكاة الفطر صاعا من
طعام أو صاعا من شعير أو صاعا من تمر أو صاعا من أقط أو صاعا من زبيب
“Dulu
kami mengeluarkan zakat fithri (sebanyak) satu sha’ makanan, atau satu sha’
gandum, atau satu sha’ tamr (kurma), atau satu sha’ keju, atau satu sha’ anggur
kering (kismis)” (HR. Bukhari no. 1506
dan Muslim no. 985).
4.
Ukuran Zakat Fithri
Seorang
muslim mengeluarkan zakat fithri sebanyak satu sha’ dari berbagai jenis makanan
yang telah disebutkan. Satu sha’
kira-kira hampir setara dengan 3 kg beras.[2]
5.
Yang Berhak Menerima Zakat Fithri
Adapun
golongan yang berhak menerima zakat fithri hanyalah dari golongan orang-orang
miskin saja, sebagaimana hadits dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
فرض رسول الله صلى الله عليه
وسلم زكاة الفطر طهرة للصائم من اللغو والرفث وطعمة للمساكين
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
mewajibkan zakat fithri sebagai pembersih bagi orang yang berpuasa dari
perbuatan sia-sia dan kata-kata kotor, serta menjadi makanan bagi orang-orang
miskin” (HR. Abu Dawud no. 1609, Ibnu Majah no. 1827,
dan Al-Hakim no. 1488. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/447 dan Irwaaul-Ghaliil 3/332 no. 843).
Inilah
pendapat yang dipilih oleh Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’
Fataawaa (25/71-78) dan muridnya Ibnul-Qayyim dalam kitabnya Zaadul-Ma’aad
(2/44).[3]
Adapun
mengqiyaskan pemberian zakat fithri ini dengan zakat maal (yaitu untuk delapan
golongan), maka pengqiyasan ini adalah pengqiyasan yang salah. Zakat fithri berbeda sifatnya dengan zakat
maal, sehingga tidak boleh adanya pengqiyasan (terhadap 2 hal yang
berbeda).
6.
Waktu Penyerahan Zakat Fithri
Zakat
fithri dikeluarkan sebelum orang-orang berangkat menunaikan shalat ‘Ied, dan
tidak boleh menundanya hingga shalat didirikan.
Hal ini didasarkan pada hadits Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma
:
.... من أداها قبل الصلاة فهي زكاة مقبولة ومن أداها بعد الصلاة
فهي صدقة من الصدقات
“….Barangsiapa
yang menyerahkannya sebelum shalat (‘Ied), berarti ia adalah zakat yang
diterima. Dan barangsiapa yang
menyerahkan setelah shalat (‘Ied), maka ia hanyalah sedekah biasa” (idem)
Diperbolehkan
membentuk panitia pengumpulan zakat fithri serta diperbolehkan juga
membayarkannya bagi kaum muslimin sehari atau dua hari sebelum pelaksanaan
shalat ‘Ied.
وأن عبد الله بن عمر كان يؤدي
قبل ذلك بيوم ويومين
Bahwasannya Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma membayarkan zakat fithri sehari atau dua hari sebelum shalat ‘Ied (HR. Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya no. 2421).
Menentukan Jatuhnya Tanggal 1 (Satu) Syawal
Penjelasan dalam bab ini serupa dengan
pembahasan Bab Cara Penentuan Bulan Ramadlan. Ada satu penjelasan penting dalam
bab ini untuk penekanan pentingnya menjaga persatuan umat (di atas sunnah).
Syaikh
Al-Albani berkata : “Inilah yang sesuai dengan syari’at yang mudah ini (yaitu :
berpuasa dan berhari raya ‘Iedul-Fithri bersama masyarakat/orang banyak – tidak
menyendiri) yang diantara tujuan-tujuannya adalah menyatukan umat dan
menyamakan barisan-barisan mereka, serta menjauhkan mereka dari segala sesuatu
yang dapat mencerai-beraikan persatuan mereka dari pemikiran-pemikiran
individualistis, sehingga syari’at tidaklah memihak kepada pemikiran seseorang
– walaupun benar dari sudut pandang dirinya – dalam peribadatan yang bersifat
jama’i seperti puasa, hari raya, dan shalat berjama’ah. Tidaklah Anda pernah
melihat bahwa para shahabat radliyallaahu ‘anhum, mereka sebagiannya shalat di
belakang lainnya dalam keadaan di antara mereka ada yang menilai bahwa
menyentuh wanita, kemaluan, atau keluarnya darah termasuk pembatal-pembatal
wudlu. Sebagian mereka ada yang shalat secara sempurna di waktu safar, dan
sebagian lagi ada yang mengqasharnya ? Kendatipun demikian, perselisihan mereka
dengan yang lainnya tidaklah menjadi penghalang bagi mereka untuk berkumpul
(bersatu) di dalam masalah shalat di belakang imam yang tunggal, sehingga
mereka tidak berpecah karenanya. Hal itu karena pengetahuan mereka bahwa
perpecahan dalam agama lebih jelek dari sekedar perbedaan sebagian pendapat.
Bahkan sampai pada tingkatan dimana sebagian mereka tidak menghiraukan suatu
pendapat yang menyelisihi pendapat imam besar di lingkup yang lebih besar
seperti ketika di Mina, hingga mendorongnya untuk meninggalkan pendapat pribadi
secara mutlak dalam lingkup tersebut, demi menjauhi akibat buruk yang akan
ditimbulkan karena beramal dari hasil pemikirannya (yang menyelisihi imam)”.
Maka diriwayatkan oleh Abu Dawud 1/307 (sebuah contoh yang sangat baik dalam
masalah ini) :
أن عثمان
رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي
صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر
ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم
الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين , ثم إن ابن مسعود صلى أربعا !
فقيل له : عبت على عثمان ثم صليت أربعا !
قال : الخلاف شر .
Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu
‘anhu shalat di Mina empat
raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari
perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua
raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, kemudian beliau
melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar), kemudian kalian
berselisih, dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at
(sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu
‘alaihi wa sallam) Akan tetapi kemudian Ibnu Mas’ud shalat empat raka’at. Maka
ditanyakan kepadanya : Engkau telah mencela perbuatan ‘Utsman, namun engkau
sendiri shalat empat raka’at ?”. Maka beliau menjawab : “Perselisihan itu
jelek”
[selesai -
Lihat selengkapnya dalam Silsilah
Ash-Shahiihah no. 224].
Dalam atsar
Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu tersebut tergambar sebuah pemahaman yang
agung dalam menjaga persatuan umat [4]. Tidak
dipungkiri di sini bahwa apa yang menjadi pendapat Ibnu Mas’ud itulah yang
benar, yaitu mengqashar shalat ketika mabit di Mina sebagaimana yang
dicontohkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam – dan itulah
yang berlaku hingga kini.
Larangan untuk Berpuasa di Dua Hari Raya
Dari Abu
‘Ubaid budak Ibnu Azhar. Ia mengatakan :
شهدت العيد
مع عمر بن الخطاب رضى الله تعالى عنه فقال هذان يومان نهى رسول الله صلى الله عليه
وسلم عن صيامهما يوم فطركم من صيامكم واليوم الآخر تأكلون فيه من نسككم
“Aku ikut shalat ‘Ied
bersama ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu
‘anhu lalu ia berkata : ‘Dua hari ini telah
dilarang untuk melakukan puasa padanya : Hari kalian berbuka dari berpuasa
(‘Iedul-Fithri) dan hari dimana kalian memakan kurban kalian (‘Iedul-Adlha)” (HR. Al-Bukhari
no. 1990 dan Muslim no. 1137; ini adalah lafadh Muslim).
Imam
An-Nawawi berkata :
وَقَدْ
أَجْمَعَ الْعُلَمَاء عَلَى تَحْرِيم صَوْم هَذَيْنِ الْيَوْمَيْنِ بِكُلِّ حَال ،
سَوَاء صَامَهُمَا عَنْ نَذْرٍ أَوْ تَطَوُّعٍ أَوْ كَفَّارَةٍ أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ
“Ulama telah
berijma’ tentang haramnya melakukan bentuk puasa apapun di kedua hari ini, apakah
ia puasa nadzar, puasa sunnah, puasa kaffarat, maupun puasa lainnya” (Syarh Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 809).
Shalat ‘Ied di Mushalla (Tanah Lapang)
Adalah
sunnah yang pasti dari Rasulullah shallallaahu ‘laihi ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya untuk melaksanakan shalat ‘Ied di mushalla (tanah lapang). Dari
Abdillah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma ia berkata :
كان النبي
صلى الله عليه وسلم يغدو إلى المصلى والعنزة بين يديه تحمل وتنصب بالمصلي بين يديه
فيصلي إليها
”Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa berpagi-pagi (menuju) ke tanah lapang pada hari ‘Ied, sedangkan
‘anazah (semacam tombak – Pent.) dibawa di depannya. Ketika beliau
sampai di sana, (‘anazah tadi) ditancapkan di depan beliau dan beliau
menghadapnya (yaitu dijadikannya sebagai sutrah/pembatas shalat). Hal ini karena tanah lapang itu terbuka, tidak ada yang membatasinya” (HR. Al-Bukhari
no. 973).
Dari Abi
Sa’id Al-Khudri radliyallaahu ‘anhu ia berkata :
كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يخرج يوم الفطر والأضحى إلى المصلى فأول شيء يبدأ به
الصلاة ثم ينصرف فيقوم مقابل الناس والناس جلوس على صفوفهم فيعظهم ويوصيهم ويأمرهم
فإن كان يريد أن يقطع بعثا قطعه أو يأمر بشيء أمر به ثم ينصرف قال أبو سعيد فلم
يزل الناس على ذلك.....
“Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam biasa keluar menuju tanah lapang pada hari ‘Iedul-Fthri dan
‘Iedul-Adlhaa. Hal pertama yang beliau lakukan adalah shalat. Kemudian beliau
berpaling menghadap manusia, dimana mereka dalam keadaan duduk di shaff-shaff
mereka. Beliau memberi pelajaran, wasiat, dan perintah. Jika beliau ingin
mengutus satu utusan, maka (beliau) memutuskannya. Atau bila beliau ingin
memerintahkan sesuatu, maka beliau memerintahkannya dan kemudian berpaling”.
Abu Sa’id berkata : “Maka manusia terus-menerus melakukan yang demikian
(sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam)…..” (HR. Al-Bukhari
no. 913, Muslim no. 889, An-Nasa’i dalam Al-Kubraa
no. 1798 dan yang lainnya; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Tidak
diragukan lagi bahwasannya Masjid Nabawi mempunyai keutamaan yang lebih dari
tempat lain.[5] Walaupun
demikian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para shahabatnya tetap
melaksanakannya di tanah lapang. Hal ini menunjukkan bahwa disyari’atkannya
pelaksanaan shalat ‘Ied adalah di tanah lapang. Ibnu Hajar Al-‘Asqalani berkata
:
واستدل به
على استحباب الخروج إلى الصحراء لصلاة العيد وأن ذلك أفضل من صلاتها في المسجد
لمواظبة النبي صلى الله عليه وسلم على ذلك مع فضل مسجده
“Dari hadits ini diambillah dalil
atas sunnahnya keluar ke tanah lapang untuk shalat ‘Ied. Sesungguhnya yang
demikian itu lebih utama daripada shalat ‘Ied di masjid karena Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam terus-menerus melakukan demikian. Padahal shalat
di masjid beliau memiliki banyak keutamaan” (lihat Fathul-Bari 2/450).
Namun jika ada sesuatu yang tidak
memungkinkan mengerjakannya di tanah lapang (karena hujan, atau tidak
tersedianya tanah lapang/tanah kosong sebagaimana lazim di sebagian perkotaan
padat), maka shalat di masjid adalah tidak mengapa. Wallaahu a’lam.
Shalat
‘Ied
1.
Makan Sebelum Shalat
‘Iedul-Fithri dan Tidak Makan Sebelum Shalat ‘Iedul-Adlha
عن بن بريدة عن أبيه أن رسول
الله صلى الله عليه وسلم كان لا يخرج يوم الفطر حتى يأكل وكان لا يأكل يوم النحر
حتى يرجع
Dari (Abdullah) bin Buraidah dari ayahnya : Bahwasannya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wasallam tidaklah keluar (menuju
tanah lapang untuk melaksanakan shalat) pada hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum
makan. Dan tidaklah beliau makan pada hari raya ‘Iedul-Adlhaa sebelum beliau
kembali (dari melaksanakan shalat) (HR. At-Tirmidzi no. 542, Ibnu Majah
no. 1756, Ad-Darimi no. 1641, dan Ahmad 5/352; ini adalah lafadh Ibnu Majah. Dishahihkan
oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan
Ibni Majah 2/86).
2. Mandi di Pagi Hari Sebelum Melaksanakan Shalat ‘Ied
Dari Nafi’ ia berkata :
أن عبد الله بن عمر كان يغتسل
يوم الفطر قبل أن يغدو إلى المصلى
“Abdullah
bin ‘Umar biasa mandi pada hari raya ‘Iedul-Fithri sebelum pergi ke tanah
lapang (untuk melaksanakan shalat)” (Diriwayatkan oleh Malik no.
468, Asy-Syafi’i dalam Musnad Asy-Syafi’i
bersama Syifaaul-‘Iyyi dalam Kitaabul-‘Iedain 1/316, dan Abdurrazzaq
no. 5754 dengan sanad shahih sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Salim Al-Hilaly
dalam tahqiq dan takhrij beliau atas kitab Al-Muwaththa’).
3.
Berpakaian yang Bagus
أن عبد الله بن عمر قال أخذ عمر
جبة من إستبرق تباع في السوق فأخذها فأتى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا
رسول الله ابتع هذه تجمل بها للعيد والوفود فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم
إنما هذه لباس من لا خلاق له فلبث عمر ما شاء الله أن يلبث ثم أرسل إليه رسول الله
صلى الله عليه وسلم بجبة ديباج فأقبل بها عمر فأتى بها رسول الله صلى الله عليه
وسلم فقال يا رسول الله إنك قلت إنما هذه لباس من لا خلاق له وأرسلت إلي بهذه
الجبة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم تبيعها أو تصيب بها حاجتك
Bahwasannya Abdullah bin
‘Umar berkata : ‘Umar (bin Khaththab) mengambil sebuah baju dari sutera tebal
yang dijual di pasar, lalu ia datang kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan
berkata : “Ya Rasulullah, belilah jubah ini agar engkau dapat berdandan
dengannya di hari raya dan saat menerima utusan”.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada ‘Umar :
“Ini adalah pakaiannya orang yang
tidak mendapatkan kebahagiaan (di akhirat)”.
Maka tinggallah ‘Umar sepanjang waktu yang Allah inginkan. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengirimkan kepadanya
jubah dari sutera. ‘Umar menerimanya lalu mendatangi beliau. Ia berkata : “Ya
Rasulullah, dulu engkau pernah berkata bahwa pakaian ini merupakan pakaian
orang yang tidak mendapatkan kebahagiaan (di akhirat), dan engkau kemudian
mengirimkan kepadaku jubah ini”. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya : “Juallah ia atau penuhilah kebutuhanmu dengannya” (HR. Al-Bukhari no. 948, Muslim
no. 2068, Abu Dawud no. 1076, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Al-‘Allamah As-Sindi berkata :
أن التجمل يوم العيد كان عادة
متقررة بينهم ولم ينكرها النبي صلى الله تعالى عليه وسلم فعلم بقاؤها
“Dari hadits
ini diketahui bahwa berdandan (membaguskan penampilan) pada hari raya merupakan
kebiasaan yang ditetapkan di antara mereka (para shahabat), dan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak mengingkarinya, maka diketahui tetapnya
kebiasaan itu” (Hasyiyah As-Sindi
‘alan-Nasa’i 3/181 no. 1560).
4. Semua Kaum Muslimin Keluar Menuju Tanah Lapang
(untuk Melaksanakan Shalat) Tanpa Terkecuali
Bahkan, bagi para wanita yang
haidl yang mereka tidak melaksanakan puasa dan shalat pun tetap diperintahkan
oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk
datang di tanah lapang menyaksikan pelaksanaan shalat.
عن أم عطية قالت كنا نؤمر أن
نخرج يوم العيد حتى نخرج البكر من خدرها حتى نخرج الحيض فيكن خلف الناس فيكبرن
بتكبيرهم ويدعون بدعائهم يرجون بركة ذلك اليوم وطهرته
Dari Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu
‘anhaa, ia berkata : “Kami diperintahkan untuk keluar pada hari
’Ied, hingga kami pun mengeluarkan wanita-wanita gadis dari tempat pingitannya
dan para wanita haidl untuk ditempatkan di belakang orang-orang. Maka mereka
pun bertakbir mengikuti takbir kaum laki-laki dan berdoa mengikuti doa kaum
laki-laki. Mereka mengharapkan barakah dan kesucian pada hari itu” (HR. Al-Bukhari no. 971 dan Muslim no.
890; ini adalah lafadh Al-Bukhari).
Pada riwayat lain disebutkan :
وأمر الحيض أن يعتزلن مصلى
المسلمين
”....dan beliau
shallallaahu ’alaihi wasallam memerintahkan para wanita haidl menjauhi tempat
shalat kaum muslimin” (HR. Muslim no. 890).[6]
5. Berjalan Kaki Menuju Tanah Lapang
عن علي بن أبي طالب قال من السنة
أن تخرج إلى العيد ماشيا
Dari ‘Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Termasuk sunnah yaitu
engkau keluar (menuju tanah lapang) di hari ‘Ied dengan berjalan kaki” (HR.
At-Tirmidzi no. 530 dan Ibnu Majah no. 1296. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi
1/164).
Imam At-Tirmidzi berkata ketika mengomentari hadits
di atas : “Kebanyakan dari ahli ‘ilmu (ulama) mengamalkan hadits ini dimana
mereka menyukai seseorang yang keluar menuju shalat ‘Ied (di tanah lapang)
dengan berjalan kaki. Mereka (ahli ilmu) juga men-sunnah-kan memakan sesuatu
sebelum mereka keluar untuk shalat ‘Iedul-Fithri. Janganlah seseorang menaiki
kendaraan kecuali jika ia mempunyai udzur”.
6. Menempuh Jalan yang Berbeda Ketika Berangkat dan
Pulang dari Tanah Lapang
عن جابر قال كان النبي صلى الله
عليه وسلم إذا كان يوم عيد خالف الطريق
Dari Jabir radliyallaahu
‘anhu ia berkata : “Adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di hari ‘Ied, beliau mengambil jalan yang berbeda (ketika berangkatdan
pulang dari tanah lapang)” (HR. Al-Bukhari no. 986).
7.
Takbir ‘Ied
a.
Waktu Disunnahkannya
Mengumandangkan Takbir Hari Raya ‘Iedul-Fithri
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
كان يخرج يوم الفطر فيكبر حتى يأتي المصلى وحتى يقضي الصلاة فإذا قضى الصلاة قطع
التكبير
Bahwasannya bila beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar (dari rumah
beliau) pada hari ‘Iedul-Fithri, maka beliau bertakbir hingga tiba di tanah
lapang dan hingga ditunaikannya shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat
beliau menghentikan takbir (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannaf-nya 4/192-193 no. 5667 dan
Al-Muhamili dalam Kitab Shalatul-‘Iedaian
dengan sanad mursal shahih. Namun memiliki pendukung yang menguatkannya.
Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Silsilah
Ash-Shahiihah no. 171).
b.
Lafadh Takbir Hari Raya
Tidak ada lafadh takbir hari raya shahih yang marfu’
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Hanya saja ada beberapa riwayat shahih
dari para shahabat, antara lain :
ü Dari Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ أَكْبَرُ ،
لا إِلَهَ إِلَّا اللهُ ، وَاللهُ أَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ ، وَللهِ اْلحَمْدُ
[Alloohu akbar, alloohu akbar. Laa ilaaha illalloohu
walloohu akbar, alloohu akbar wa lillaahil-hamd]
“Allah Maha Besar Allah Maha
Besar, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Allah dan Allah Maha Besar, Allah
Maha Besar. Dan untuk Allah lah segala puji” (Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah
dalam Al-Mushannaf no. 5697; shahih).
ü Dari Abdullah bin ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْراً ، اللهُ
اَكْبَرُ كَبِيْراً ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ
[Alloohu akbar kabiiro, Alloohu akbar kabiiro,
Alloohu akbar wa ajallu, Alloohu akbar wa lillaahil-hamd]
“Allah Maha Besar Kabiir, Allah
Maha Besar Kabiir, Allah Maha Besar dan Maha Mulia, Allah Maha Besar dan untuk
Allah lah segala puji.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf no. 5701 dengan sanad
shahih).
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ وَللهِ اْلحَمْدُ ، اللهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ ،
اللهُ أَكْبَرُ عَلَى مَا هَدَانَا
[Alloohu akbar alloohu akbar
alloohu akbar, alloohu akbar wa lillaahil-hamd, alloohu akbar wa ajallu,
alloohu akbar ‘alaa maa hadaanaa]
“Allah Maha Besar Allah Maha
Besar Allah Maha Besar, Allah Maha Besar untuk Allah lah segala puji. Allah
Maha Besar dan Maha Mulia. Allah Maha Besar atas petunjuk yang diberikan-Nya
kepada kita” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi no. 6074 dengan sanad
shahih).
ü Dari Salman Al-Khair radliyallaahu ‘anhu :
اللهُ أَكْبَرُ اللهُ اَكْبَرُ كَبِيْراً
[Alloohu
akbar alloohu akbar allohu akbar kabiira]
“Allah Maha Besar Allah Maha
Besar Kabiir” (Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam Al-Kubraa no.6076)[7].
Takbir ini hendaknya terus
diucapkan oleh semua kaum muslimin sampai datangnya imam untuk ditegakkannya
shalat ‘Iedul-Fithri.
8.
Waktu Ditegakkanya Shalat ‘Ied
Ibnul-Qayyim berkata : “Beliau shallallaahu
‘alaihi wasallam mengakhirkan shalat ‘Iedul-Fithri dan menyegerakan shalat
‘Iedul-Adlhaa. Dan adalah Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma – dengan
kuatnya upayanya untuk mengikuti Sunnah Nabi – tidak keluar hingga matahai
terbit” (Zaadul-Ma’ad 1/442).
Syaikh Abu Bakar Jabir Al-Jazaairi berkata : “Waktu
shalat ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlha adalah dimulai dari naiknya matahari
setinggi satu tombak sampai tergelincir. Yang paling utama, shalat
‘Iedul-Adlhaa dilakukan di awal waktu agar manusia dapat menyembelih hewan-hewan
kurban mereka. Sedangkan shalat ‘Iedul-Fithri agak diakhirkan waktunya agar
manusia dapat mengeluarkan zakat fithri mereka[8] ” (Minhajul-Muslim halaman 278).
9.
Tidak Ada Shalat Sunnah Sebelum
dan Sesudah Shalat ‘Ied
عن بن عباس أن النبي صلى الله
عليه وسلم صلى يوم الفطر ركعتين لم يصل قبلها ولا بعدها
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia
berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
shalat ‘Iedul-Fithri dua raka’at, dan beliau tidak shalat sebelum maupun
sesudahnya….” (HR. Al-Bukhari no. 964).
Peniadaan shalat sunnah tersebut hanya ketika berada
di tanah lapang. Akan tetapi bila ia telah sampai rumah, maka ia boleh shalat
sunnah mutlak sebagaimana hadits :
عن أبي سعيد الخدري قال كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم لا يصلي قبل العيد شيئا فإذا رجع إلى منزله صلى ركعتين
Dari Abu Sa’id Al-Khudry radliyallaahu ‘anhu
ia berkata : “Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam tidak pernah
shalat sebelum ‘Ied, tetapi bila beliau pulang ke rumahnya maka beliau shalat
dua raka’at” (HR. Ibnu Majah no. 1293 dan Ahmad 3/28,3/40; ini adalah
lafadh Ibnu Majah. Dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil 3/100).
10.
Tidak Ada Adzan dan Iqamat
عن جابر بن سمرة قال صليت مع
رسول الله صلى الله عليه وسلم العيدين غير مرة ولا مرتين بغير أذان ولا إقامة
Dari Jabir bin Samurah radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : “Aku pernah shalat hari raya bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bukan hanya sekali atau
dua kali tanpa adzan dan iqamat” (HR. Muslim no. 887).
Ibnul-Qayyim berkata : “Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam apabila sampai ke tanah lapang, beliau memulai
shalat tanpa adzan dan iqamat, tidak pula ucapan : Ash-Sholaatu jaami’ah [الصلاة جامعة]. Menurut
sunnah, itu semua tidak usah dilakukan” (Zaadul-Ma’ad
1/442).
11.
Kaifiyat Shalat ‘Ied
a.
Dilaksanakan dalam Dua Raka’at
Hal ini berdasarkan riwayat ‘Umar bin Khaththab radliyallaahu
‘anhu :
صلاة الجمعة ركعتان وصلاة الفطر
ركعتان وصلاة الأضحى ركعتان وصلاة السفر ركعتان تمام غير قصر على لسان محمد صلى
الله عليه وسلم
“Shalat
Jum’at itu dua raka’at, shalat ‘Iedul-Fithri itu dua raka’at, shalat ‘Iedul-Adlhaa
itu dua raka’at, shalat safar itu dua raka’at; sempurna tanpa dikurangi menurut
lisan Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam” (HR. An-Nasa’i dalam Al-Mujtabaa no. 1420, dan Ibnu Majah no.
1063-1064. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan An-Nasa’i 1/457).
b. Takbiratul-Ihram, kemudian
takbir tujuh kali pada raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua
عن عائشة أن رسول الله صلى الله
عليه وسلم كان يكبر في الفطر والأضحى في الأولى سبع تكبيرات وفي الثانية خمسا
Dari ‘Aisyah radliyallaahu
‘anhaa : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam bertakbir pada shalat ‘Iedul-Fithri dan ‘Iedul-Adlhaa tujuh kali pada
raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua (HR. Abu
Dawud no. 1149, Ibnu Majah no. 1280, dan Baihaqi 3/287; ini adalah lafadh Abu
Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/315 dan Irwaaul-Ghalil no. 639).
Imam Al-Baghawi berkata dalam Syarhus-Sunnah (4/309) : Inilah pendapat
mayoritas ahli ilmu dari kalangan shahabat dan generasi setelahnya, yaitu
takbir tujuh kali pada raka’at pertama setelah takbir iftitah (pembukaan) dan
lima takbir pada raka’at kedua selain takbir berdiri sebelum membaca. Pendapat
ini diriwayatkan dari Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ali, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu
Hurairah, Abu Sa’id Al-Khudri, dan ini juga merupakan pendapat ahli Madinah dan
Az-Zuhri, ‘Umar bin Abdilaziz, Mali, Auza’i, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq”.[9]
Pada setiap takbir disunnahkan
untuk mengangkat tangan. Hal ini sesuai dengan keumuman hadits :
عن وائل بن حجر الحضرمي قال رأيت
رسول الله صلى الله عليه وسلم يرفع يديه مع التكبير
Dari Wail bin Hujr Al-Hadlrami
radliyallaahu ‘anhu ia berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya bersamaan dengan takbir” (HR. Ahmad 4/316;
dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalam Irwaaul-Ghalil
no. 641).
Tidak ada satu pun riwayat
dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang
bacaan-bacaan tertentu yang diucapkan di sela-sela takbir tadi. Akan tetapi
telah shahih atsar dari Ibnu Mas’ud radliyallaahu ‘anhu :
بين كل تكبيرتين حمد الله عز وجل
وثناء على الله
“Diantara
dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah ‘azza wa jalla” (Diriwayatkan oleh Al-Mahammili dalam Shalatul-‘Iedain 2/121 dengan sanad jayyid. Lihat Irwaaul-Ghalil 3/115).
c. Membaca Al-Fatihah dan Membaca Surat
لا صلاة لمن لم يقرأ [فيها]
بفاتحة الكتاب [فصاعداً]
“Tidak sah
shalat seseorang yang tidak membaca di dalamnya Fatihatul-Kitab (Al-Fatihah)” (HR. Al-Bukhari
no. 723, Muslim no. 394, dan lain-lain. Lihat Ashlu Shifat Shalat Nabi oleh Syaikh Al-Albani halaman 300).
Sunnah membaca surat Al-A’la
dan Al-Ghaasyiyah setelah Al-Fatihah.
عن النعمان بن بشير قال كان رسول
الله صلى الله عليه وسلم يقرأ في العيدين وفي الجمعة بسبح اسم ربك الأعلى وهل أتاك
حديث الغاشية
Dari An-Nu’man bin Basyir radliyallaahu
‘anhu ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca Sabbihisma
rabbikal-a’la
(Surat Al-A’la) dan Hal ataaka
hadiitsul-ghaasyiyah
(Surat Al-Ghasyiyah) pada shalat ‘Iedain dan shalat Jum’at” (HR. Muslim
no. 878).
Atau membaca Surat Qaaf dan
Al-Qamar.
أن عمر بن الخطاب سأل أبا واقد
الليثي ما كان يقرأ به رسول الله صلى الله عليه وسلم في الأضحى والفطر فقال كان
يقرأ فيهما بق والقرآن المجيد واقتربت الساعة وانشق القمر
Bahwasanya
‘Umar bin Khaththab radliyallaahu
‘anhu bertanya kepada Abu
Waqid Al-Laitsi : “Apa yang biasa dibaca oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam shalat ‘Iedul-Adlhaa dan ‘Iedul-Fithri ?”. Ia menjawab : “Beliau
biasa membaca Qaaf,
wal-qur’aanil-majiid
(Surat Qaaf) dan Iqtarabatis-saa’ati
wan-syaqal-qamar
(Surat Al-Qamar)” (HR. Muslim no. 891).
d.
Kaifiyat lainnya seperti shalat
biasa, tidak ada perbedaan.
12.
Tertinggal Shalat ‘Ied
Orang yang tertinggal shalat hari raya secara
jama’ah, hendaknya ia shalat dua raka’at. Imam Al-Bukhari membuat bab dalam
Shahih-nya : Bab Apabila Seseorang Ketinggalan Shalat ‘Ied Maka Hendaknya Ia
Shalat Dua Raka’at. Kemudian beliau menyebut atsar ‘Atha’ secara mu’allaq : “Apabila ketinggalan shalat ‘Ied, maka ia
shalat dua raka’at” (di-maushul-kan
oleh Ibnu Abi Syaibah dan Al-Firyabi dengan sanad shahih. Lihat Mukhtashar Shahih Bukhari 1/302 no.
198).
Imam Malik berkata :
في رجل وجد الناس قد انصرفوا من
الصلاة يوم العيد إنه لا يرى عليه صلاة في المصلى ولا في بيته وأنه إن صلى في
المصلى أو في بيته لم أر بذلك بأسا ويكبر سبعا في الأولى قبل القراءة وخمسا في
الثانية قبل القراءة
“Apabila seseorang
mendapati orang-orang telah selesai mengerjakan shalat ‘Ied, (sebagian orang
berpandangan bahwa) ia tidak perlu mengerjakan shalat di tanah lapang maupun di
rumahnya. (Akan tetapi), bila ia shalat (sendirian) di tanah lapang atau di
rumahnya, menurutku hal itu tidak mengapa. Hendaklah ia bertakbir tujuh kali di
raka’at pertama dan lima kali pada raka’at kedua sebelum Al-Fatihah” (Al-Muwaththa’ no. 477).
13.
Khutbah ‘Ied
a.
Khutbah Dilaksanakan Setelah Shalat.
عن بن عباس قال شهدت العيد مع
رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان رضى الله تعالى عنهم فكلهم
كانوا يصلون قبل الخطبة
Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma ia
berkata : “Aku menghadiri shalat ‘Iedul-Fithri bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, Abu Bakar, ‘Umar, dan
‘Utsman. Semuanya melaksanakan shalat sebelum khutbah” (HR. Al-Bukhari no. 962 dan
Muslim no. 884; ini adalah lafadh Al-Bukhari)
b.
Hukum Menghadiri Khutbah adalah
Sunnah, Tidak Wajib.
عن عبد الله بن السائب قال شهدت
مع رسول الله صلى الله عليه وسلم العيد فلما قضى الصلاة قال إنا نخطب فمن أحب أن
يجلس للخطبة فليجلس ومن أحب أن يذهب فليذهب
Dari Abdullah bin Saib radliyallaahu ‘anhu ia
berkata : Aku menghadiri ‘Ied bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Ketika telah selesai
shalat, maka beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya kami akan berkhutbah. Barangsiapa yang ingin duduk
untuk mendengarkan khutbah, hendaklah ia duduk. Dan barangsiapa yang ingin
pergi, maka silakan ia pergi” (HR. Abu
Dawud no. 1155, Ibnu Majah no. 1290, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Abu
Dawud. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/316).
c. Khutbah Dimulai dengan Pujian dan Tasyahud kepada
Allah.
Telah menjadi sunnah yang
tsabit (tetap) dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila
beliau akan memulai khutbah, maka beliau memulainya dengan pujian kepada Allah ta’ala.
عن جابر قال كان رسول الله صلى
الله عليه وسلم يخطب الناس يحمد الله ويثني عليه بما هو أهله ثم يقول من يهده الله
فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له وخير الحديث كتاب الله
Dari
Jabir radliyallaahu
‘anhu ia berkata : Adalah
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berkhutbah kepada
manusia, beliau memuji Allah dan menyanjungnya yang memang Dia pemilik
(puji-pujian dan sanjungan). Dan kemudian beliau mengucapkan : “Barangsiapa yang Allah pimpin,
tidak ada satupun yang menyesatkannya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah,
maka tidak ada satupun yang akan bisa menunjukinya”. Kemudian beliau mengucapkan : “Amma ba’du, maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan
itu adalah adalah Kitabullah” (HR. Muslim
no. 867).
عن أبي هريرة عن النبي صلى الله
عليه وسلم قال كل خطبة ليس فيها تشهد فهي كاليد الجذماء
Dari Abi Hurairah radliyallaahu
‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau
bersabda : “Setiap khutbah yang tidak
(dimulai) dengan tasyahhud, maka ia (khutbah) itu sepeti tangan yang
berpenyakit” (HR. Abu Dawud no. 4861. Dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani
dalam Silsilah Ash-Shahiihah no.
169).
d. Khutbah ‘Ied Dua Kali Diselingi dengan Duduk
(Seperti Shalat Jum’at) ?
Yang rajih dalam hal ini
adalah bahwa khutbah ‘Ied itu satu kali dan tidak diselingi dengan duduk.
Dasarnya adalah :
شهدت مع رسول الله صلى الله عليه
وسلم الصلاة يوم العيد فبدأ بالصلاة قبل الخطبة بغير أذان ولا إقامة ثم قام متوكئا
على بلال فأمر بتقوى الله وحث على طاعته ووعظ الناس وذكرهم ثم مضى حتى أتى النساء
فوعظهن وذكرهن فقال تصدقن فإن أكثركن حطب جهنم فقامت امرأة من سطة النساء سفعاء
الخدين فقالت لم يا رسول الله قال لأنكن تكثرن الشكاة وتكفرن العشير قال فجعلن
يتصدقن من حليهن يلقين في ثوب بلال من أقرطتهن وخواتمهن
Dari Jabir bin ‘Abdillah radliyallaahu
‘anhu ia berkata : Aku hadir bersama Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada hari ‘Ied. Beliau memulai shalat sebelum khutbah tanpa adzan dan
iqamat. Kemudian beliau berdiri dengan berpegangan kepada Bilal. Lalu beliau
memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah, menganjurkan ketaatan kepada-Nya,
lalu beliau memberi nasihat dan mengingatkan mereka. Kemudian beliau berjalan
hingga mendatangi wanita, menyampaikan nasihat kepada mereka dan mengingatkan
mereka, lalu bersabda : “Wahai
sekalian wanita, hendaklah kalian mengeluarkan shadaqah, karena kalian adalah
kayu bakar Jahannam yang paling banyak”. Seorang wanita dari kerumunan para wanita yang kedua pipinya
kehitaman, berdiri dan berkata : “Mengapa wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab :
“Karena kalian banyak mengeluh
dan mengingkari suami”.
Jabir berkata : “Maka mereka dengan segera bershadaqah dengan perhiasan mereka,
dengan melemparkan ke kain Bilal, berupa anting-anting dan cincin mereka” (HR. Muslim
no. 885).
Dhahir hadits di atas
menunjukkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam hanya
berkhutbah sekali dan kemudian pergi ke tempat para wanita. Adapun hadits yang
menyebutkan bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah dua kali
(sebagaimana khutbah Jum’at), maka ia adalah hadits dla’if.
عن جابر قال خرج رسول الله صلى
الله عليه وسلم يوم فطر أو أضحى فخطب قائما ثم قعد قعدة ثم قام
Dari Jabir ia berkata : “Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam keluar pada hari raya ‘Iedul-Fithri atau ‘Iedul-Adlha, maka beliau
berkhutbah dengan berdiri, kemudian duduk, dan kemudian berdiri kembali” (HR. Ibnu
Majah no. 1289 – dla’if/munkar. Lihat Dla’if
Sunan Ibni Majah 1/95).
Adapun apa yang diriwayatkan
dalam Shahih Ibnu Khuzaimah no. 1446
(shahih) :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
كان يخطب الخطبتين وهو قائم وكان يفصل بينهما بجلوس
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah dua kali dengan berdiri dan memisahkan antara dua khutbah
itu dengan duduk” ;
maka ini adalah shifat khutbah
Jum’at. Hal itu dikarenakan dalam riwayat lain, hadits tersebut dibawakan
dengan redaksi :
كان رسول الله صلى الله عليه
وسلم يخطب يوم الجمعة قائما ثم يجلس
“Adalah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri kemudian duduk…” (HR. Muslim no. 861).
14. Bila ‘Ied Bertepatan dengan Hari Jum’at
Apabila hari raya ‘Ied jatuh
bertepatan dengan hari Jum’at, maka kewajiban melaksanakan shalat Jum’at bagi
laki-laki (yang telah melaksanakan shalat ‘Ied di hari itu) menjadi gugur –
akan tetapi ia wajib melaksanakan shalat Dhuhur. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam bersabda :
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن
شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون
“Pada hari
ini telah berkumpul dua hari raya pada kalian. Maka barangsiapa yang ingin, maka tidak ada
kewajiban Jum’at baginya. Karena sesungguhnya kita telah dikumpulkan” (HR. Abu
Dawud no. 1073 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud 1/296).
Bolehnya Mendengarkan Rebana (Duff) yang Dimainkan oleh Anak Kecil di Hari Raya
Dari ‘Aisyah
radliyallaahu ‘anhaa ia berkata :
دخل علي
رسول الله صلى الله عليه وسلم وعندي جاريتان تغنيان بغناء بعاث فاضطجع على الفراش
وحول وجهه ودخل أبو بكر فانتهرني وقال مزمارة الشيطان عند النبي صلى الله عليه
وسلم فأقبل عليه رسول الله عليه السلام فقال دعهما فلما غفل غمزتهما فخرجتا
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memasuki rumahku sedang aku bersama dua orang anak perempuan kecil
yang sedang mendendangkan nyanyian Bu’ats. Lalu beliau berbaring dan
mengarahkan wajahnya ke arah lain. Kemudian Abu Bakar masuk dan memukulku
seraya berkata : “Ada seruling syaithan di dekat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Lalu Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam menghadapkan wajahnya kepada Abu Bakar seraya bersabda : “Biarkan saja mereka berdua”. Ketika Abu Bakar lengah, aku mencubit kedua anak perempuan itu dan
merekapun pergi keluar. Dan waktu itu adalah hari
’Ied....” [HR. Bukhari no. 949 dan Muslim no. 892].
عن عائشة أن
أبا بكر رضى الله تعالى عنه دخل عليها وعندها جاريتان في أيام منى تدففان وتضربان
والنبي صلى الله عليه وسلم متغش بثوبه فانتهرهما أبو بكر فكشف النبي صلى الله عليه
وسلم عن وجهه فقال دعهما يا أبا بكر فإنها أيام عيد وتلك الأيام أيام منى
Dari ’Aisyah
: ”Bahwasannya Abu Bakr radliyallaahu ta’ala ’anhu masuk menemuinya
(’Aisyah) dimana di sampingnya terdapat dua orang anak perempuan di hari Mina
yang memukul duff. Adapun Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam waktu itu
dalam keadaan menutup wajahnya dengan bajunya. Ketika melihat hal tersebut,
maka Abu Bakr membentak kedua anak perempuan tadi. Nabi shallallaahu ’alaihi
wa sallam kemudian
membuka bajunya yang menutup wajahnya dan berkata : ”Biarkan mereka wahai Abu Bakr, sesungguhnya hari ini adalah hari raya
Mina” . Pada waktu itu adalah hari-hari Mina” [HR. Bukhari no. 987].
Al-Hafidh
Ibnu Hajar berkata :
وفي هذا
الحديث الفوائد مشروعية التوسعة على العيال في أيام الاعياد بأنواع ما يحصل لهم
بسط النفس وترويح البدن من كلف العبادة وأن الإعراض عن ذلك أولى وفيه أن إظهار
السرور في الاعياد من شعار الدين
“Dalam hadits ini ada beberapa
faedah, yaitu disyari’atkannya untuk memberikan kelapangan kepada keluarga pada
hari-hari raya untuk melakukan berbagai hal yang dapat menyampaikan mereka pada
kesenangan jiwa dan istirahatnya tubuh dari beban ibadah. Dan sesungguhnya
berpaling dari hal itu lebih utama. Dalam hadits ini juga menunjukkan bahwa
menampakkan kegembiraan pada hari-hari raya merupakan syi’ar agama” (Fathul-Bari 2/307)
Ucapan Selamat (Tahniah) Hari Raya
Al-Hafidh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari
2/310 mengatakan : “Kami meriwayatkan dari guru-guru kami dalam Al-Mahamiliyyat dengan sanad hasan dari
Jubair bin Nufair, beliau berkata :
عن جبير بن
نفير قال كان أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا التقوا يوم العيد يقول بعضهم
لبعض : تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
“Para shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam apabila mereka saling jumpa pada hari raya, sebagian mereka
mengucapkan pada lainnya : ‘Taqabbalalloohu minnaa wa
minka’ (Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu)”.
Ibnu Qudamah
Al-Maqdisi dalam Al-Mughni 3/294-295
menyebutkan :
أن محمد بن
زياد قال: كنت مع أبي أمامة الباهلى وغيره من أصحاب النبي - صلى الله عليه وسلم-
فكانوا إذا رجعوا من العيد يقول بعضهم لبعض: تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَمِنْكَ
وقال أحمد: إسناد حديث أبي أمامة إسناد جيد
“Bahwasannya
Muhammad bin Ziyad pernah berkata : Aku pernah bersama Abu Umamah Al-Bahily dan
selainnya dari kalangan shahabat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; apabila
mereka kembali dari ‘Ied, sebagian mereka mengucapkan kepada sebagian yang lain
: “Taqabbalalloohu minnaa wa minka”
(Semoga Allah menerima amalanku dan amalanmu). Imam Ahmad berkata : Isnad
hadits Abu Umamah jayyid (bagus)”.
Adapun
ucapan selain yang dicontohkan tersebut, hendaknya kita tinggalkan dan kita
gantikan dengan yang dicontohkan. Allah telah berfirman :
أَتَسْتَبْدِلُونَ
الّذِي هُوَ أَدْنَىَ بِالّذِي هُوَ خَيْرٌ
“Maukah kamu mengambil yang
rendah sebagai pengganti yang baik” (QS. Al-Baqarah : 61).
Puasa
Syawal
1. Puasa Enam Hari di Bulan Syawal Sebanding dengan
Puasa Setahun
Disunnahkan mengiringi puasa
Ramadlan dengan puasa enam hari di bulan Syawal dan itu sebanding dengan puasa
setahun. Diriwayatkan dari Abu Ayyub Al-Anshari radliyallaahu ‘anhu,
bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
من صام رمضان ثم أتبعه ستا من
شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa
yang berpuasa di bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di
bulan Syawal, maka ia seperti puasa selama setahun” (HR. Muslim no. 1164, Abu Dawud no.
2433, At-Tirmidzi no. 759, dan lain-lain).
Imam An-Nawawi berkata :
قَالَ الْعُلَمَاء : وَإِنَّمَا
كَانَ ذَلِكَ كَصِيَامِ الدَّهْر ؛ لِأَنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ،
فَرَمَضَانُ بِعَشَرَةِ أَشْهُرٍ ، وَالسِّتَّة بِشَهْرَيْنِ ، وَقَدْ جَاءَ هَذَا
فِي حَدِيث مَرْفُوع فِي كِتَاب النَّسَائِيِّ .
“Para ulama mengatakan bahwa itu sebanding dengan
puasa setahun karena satu kebaikan balasannya sepuluh kali lipat dan puasa
sebulan Ramadlan sama dengan puasa sepuluh bulan. Sedangkan puasa enam hari
sama dengan puasa dua bulan. Keterangan ini juga terdapat pada hadits marfu’ dalam kitab An-Nasa’i" (Syarah Shahih Muslim lin-Nawawi hal. 827).
2.
Tidak Disyaratkan Melakukannya
Secara Berurutan
Hal itu sesuai dengan kemutlakan hadits : “lalu ia mengiringinya dengan puasa enam
hari”. Kalimat hadits ini tidak menunjukkan keharusan melakukannya secara
berurutan. Imam Ahmad berkata : “Nabi mengatakan : ‘Enam hari dari bulan Syawal’ ; maka bila seseorang berpuasa enam
hari tersebut, ia tidak peduli apakah dilakukan secara acak atau berurutan” (Masa’il Abdullah bin Ahmad bin Hanbal
halaman 93).
3.
Bolehkan Mendahulukan Puasa Enam
Hari Bulan Syawal dari Meng-Qadla Puasa Ramadlan ?
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjawab :
“Di sini ada satu masalah yang perlu dijelaskan. Yaitu bahwa puasa enam hari
bulan Syawal tidak boleh didahulukan dari meng-qadla puasa Ramadlan. Jika itu
terjadi, maka puasa tersebut menjadi puasa sunnah mutlak dan pelakunya tidak
memperoleh pahala seperti yang dijelaskan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam
dalam haditsnya :
من صام رمضان ثم أتبعه بست من
شوال كان كصيام الدهر
“Barangsiapa yang berpuasa di
bulan Ramadlan, lalu ia mengiringinya dengan puasa enam hari di bulan Syawal,
maka ia seperti puasa selama setahun”.
Hal itu karena bunyi hadits
tersebut adalah : Barangsiapa yang
berpuasa Ramadlan, dan ini sangat jelas. Sebagian pengkaji ilmu mengira
bahwa masalah perbedaan tentang sahnya melakukan puasa sunnah sebelum
meng-qadla puasa wajib berlaku pula pada masalah ini. Padahal masalah ini tidak
berlaku pada kasus yang satu ini, karena haditsnya jelas menyatakan bahwa tidak
ada puasa enam hari kecuali setelah meng-qadla puasa Ramadlan” (Asy-Syarhul-Mumti’ 6/448).[10] Wallaahu
a’lam.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bassam, ‘Abdullah bin
‘Abdirrahman. Taudlihul-Ahkaam min
Buluughil-Maraam. Maktabah Al-Asady. Cet. V. 1423.
Abdul-‘aziz, Usamah. Puasa Sunnah : Hukum dan Keutamaannya
(Judul Asli : Shiyaamu Tathawwu’
Fadlaailu wa Ahkaam). Daarul-Haq. Cet. I. 1425/2004 M. Jakarta.
Ad-Daarimi, ‘Abdullah bin
‘Abdirrahman bin Fadhl bin Bahram. Sunan Ad-Daarimi. Tahqiq : Husain Salim Asad. Daarul-Mughni. Cet.
I. 1421. Riyadl.
Ad-Daruquthni, ‘Ali bin ‘Umar. Sunan Ad-Daruquthni. Ta’liq : Abu
Thayyib Muhammad Syamsul-Haq ‘Adhim ‘Abadi. Tahqiq : Syu’aib Al-Arna’uth, Hasan
‘Abdil-Mun’im Asy-Syibliy, ‘Abdul-Lathif Hirzallah, dan Ahmad Barhuum. Muassasah
Ar-Risalah. Cet. 1. 1424. Beirut.
Al-Albani, Muhammad Nashiruddin. Ashlu Shifat Shalat Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam minat-Takbiir ilat-Tasliim. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr
wat-Tauzi’. Cet. I. 1427/2006 M. Riyadl.
____________________________. Dla’if Sunan Ibni Majah. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’.
Cet. I. 1417 H/1997 M. Riyadl.
____________________________. Irwaa’ul-Ghaliil fii Takhriiji Ahaaditsi Manaaris-Sabiil. Al-Maktab
Al-Islami. Cet. I. 1399/1979 M.
____________________________. Jaami’ At-Tirmidzi. Free
Program (down load from : www.alalbany.net).
____________________________. Mukhtashar Shahih Al-Imam Al-Bukhari. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr
wat-Tauzi’. 1422/2002 M. Riyadl.
____________________________. Risaalah Qiyaami-Ramadlaan : Fadlluhu wa Kaifiyyatu Adaaihi wa
Masyru’iiyatul-Jamaa’ati Fiih. Al-Maktabah Al-Islamiyyah. Cet. VI. 1413.
____________________________. Shahih wa Dla’if Al-Jami’ Ash-Shaghir wa Ziyaadatihi. Al-Maktab
Al-Islamy. Cet. III. 1408 H/1988 M. Damaskus.
____________________________. Shahih At-Targhib wat-Tarhib. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr
wat-Tauzi’. Cet. 1412 H. Riyadl. (Maktabah Sahab - down load from : www.sahab.org/books).
____________________________. Shahih Sunan Abi Dawud. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’.
Cet. I. 1419 H/1998. Riyadl.
____________________________. Shahih Sunan An-Nasa’i. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’.
Cet. I. 1419 H/1998 M. Riyadl.
____________________________. Shahih Sunan At-Tirmidzi. Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I.
1420 H/2000 M. Riyadl.
____________________________. Shahih Sunan Ibni Majah. Maktabah Al-Ma’arif lin-Nasyr wat-Tauzi’.
Cet. I. 1417 H/1997 M. Riyadl.
____________________________. Shifat Shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam minat-Takbiir ilat-Tasliim.
Maktabah Al-Ma’arif. Cet. 1996. Riyadl.
____________________________. Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahiihah. Maktabah Al- Ma’arif lin-Nasyr
wat-Tauzi’. Riyadl.
____________________________. Qiyaamur-Ramadlaan. Al-Maktabah Al-Islamiyyah. Cet. 1. 1421. Urdun.
____________________________. Tamaamul-Minnah fii Ta’liq ‘ala Fiqhis-Sunnah. Daarur-Raayah. Cet.
II. Tanpa Tahun.
Al-Ashbahani, Abu Nua’im Ahmad bin ‘Abdillah. Hilyatul-Auliyaa’. Daarul-Kutub
Al-‘Ilmiyyah. Cet. I. 1409.
Al-’Asqalaniy, Ahmad bin ’Ali bin Hajar. Fathul-Bari bi-Syarh Shahih Al-Bukhari.
Daarul-Ma’rifah. Tanpa Tahun. Beirut.
Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Husain. As-Sunanul-Kubraa. Free Program Mausu’ah
Al-Haditsiyah An-Nabawiyyah (down load from : www.islamspirit.com).
Al-Baihaqi, Abu Bakr Ahmad bin Husain. Al-Jaami’ li-Syu’abil-Iman. Tahqiq :
‘Abdul-‘Ali bin ‘Abdil-Hamid Al-Haamid. Maktabah Ar-Rusyd. Cet. 1. 1423.
Al-Barik, Haya binti Mubarak.
Ensiklopedi Wanita (Judul
Asli : Mausu’ah Mar’atil-Muslimah).
Daarul-Falah. Cet. X. 1423. Jakarta.
Al-Bukhari, Muhammad bin
Isma’il. Shahih Al-Bukhari. Tahqiq : Muhibbuddin Al-Khathib. Al-Maktabah As-Salafiyyah.
Cet. I. 1400. Kairo, Mesir.
Al-Haitsami, Nuruddin ‘Ali bin Abi Bakr. Mawaaridudh-Dham’aan ilaa Zawaaidi Ibni
Hibban. Al-Maktabah Al-Mahmudiyyah. Cet. Tahun 1351.
Al-Halaby, Ali bin Hasan Al-Atsary. I’tikaf Menurut Sunnah Nabi (Judul Asli
: Al-Inshaaf fii Ahkaamil-I’tikaaf.
Pustaka Mantiq. Cet. I. 1997. Solo.
____________________________. Shalat Hari Raya dan Qurban Menurut Sunnah Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wasallam (Judul asli : Ahkaamul-‘Iedain
fis-Sunnatil-Muthahharah). Pustaka Hauraa’. Cet. III. 1420/1999 M.
Yogyakarta.
Al-Hilaly, Salim bin ‘Ied. Ensiklopedi Larangan Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah (Jilid 2)
(Judul Asli :Mausu’ah
Al-Manahiyyisy-Syar’iyyah fii Shahiihis-Sunnah An-Nabawiyyah). Pustaka Imam
Asy-Syafi’i. Cet. I. 1426/2005. Bogor.
Al-Hilaly, Salim bin ‘Ied dan Al-Halaby, Ali bin
Hasan Al-Atsary. Mukhtashar Kitab Shifat
Shaumin-Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam fii Ramadlan. Maktahab Sahab
(down load from : www.sahab.org/books).
____________________________. Puasa Bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam (Judul Asli : Shifat Shaumin-Nabi shallallaahu ‘alaihi
wasallam fii Ramadlan). Daarus-Sunnah Press. Cet. I. 2004. Jakarta.
Al-Juda’i, Nashir bin ‘Abdirrahman bin Muhammad. At-Tabarruk, Anwa’uhu wa Ahkaamuhu.
Maktabah Ar-Rusyd, Cet. Tahun 1411. Riyadl.
Al-Juraisy, Khalid bin ‘Abdirrahman. Al-Fataawaa Asy-Syar’iyyah
fil-Masaailil-’Ashriyyah min Fataawaa ’Ulamaa Al-Baladil-Haraam. Muassasah
Al-Juraisy. Cet. 1. 1420. Riyadl.
Al-Maqdisi, Muwaffaquddin Abu Muhammad Abdillah
bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah. Al-Mughni.
Tahqiq : Dr. ‘Abdullah bin ‘Abdil-Muhsin At-Turky dan Dr. ‘Abdul-Fattah
Muhammad Al-Halawi. Daarul-‘Aalamil-Kutub. Cet. 3. 1417. Riyadl.
Al-Mishri, Abu ‘Umair Majdi
bin Muhammad bin ‘Arafat. Syifaaul-’Iyyi
bi-Takhriiji wa Tahqiiqi Musnad Al-Imam Asy-Syafi’i bi-Tartiibi Al-’Allamah
As-Sindi. Taqdim : Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i. Maktabah Ibnu
Taimiyyah. Cet. 1. 1416. Kairo.
Al-Mundziri, Zakiyyuddin
‘Abdil-‘Adhim Al-Hafidh. Mukhtashar
Shahih Muslim (Tahqiq : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Al-Maktab Al-Islamy. Cet. VI. 1408/1987.
Al-Qahthani, Sa’id bin ‘Ali bin Wahf. Hisnul-Muslim min Adzkaaril-Kitaab
was-Sunnah. Maktabah Sahab (down load from : www.sahab.org/books).
An-Naisaburi, Al-Hakim Abu ‘Abdillah Muhammad bin
Abdillah. Al-Mustadrak ‘alash-Shahihain
(Ma’a Tattabu’u Auham Al-Hakim Allatii Sakata ‘alaihaa Adz-Dzahabi). Tahqiq
: Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i. Daarul-Haramain. Cet. 1. 1417. .
An-Nasa’i, Abu ‘Abdirrahman Ahmad bin Syu’aib bin
‘Ali. Sunan Ash-Shughra (Al-Mujtabaa)
(dengan penghukuman hadits : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Maktabah
Al-Ma’aarif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. Tanpa Tahun. Riyadl.
____________________________. Sunan Al-Kubraa. Tahqiq dan takhrij : Hasan bin ‘Abdil-Mun’im
Asy-Syalbiy. Muassasah Ar-Risalah. Cet. 1. 1421. Beirut..
An-Nawawi, Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin
Syaraf. Syarah Shahih Muslim. Maktabah
Ash-Shaid. (down load from : www.saaid.net/book).
Al-Qusyairi, Muslim bin Al-Hajjaj. Shahih Muslim. Bait Al-Afkar
Ad-Dauliyyah. Cet. Tahun 1419 H.
As-Sijistani, Sulaiman bin Al-Asy’ats (Abu Dawud).
Sunan Abi Dawud ma’a Ma’aalimis-Sunnah
lil-Khaththabiy. Daar Ibni Hazm. Cet. I. 1418. Beirut.
As-Sindi, Nuuruddin bin Abdil-Hadi. Hasyiyah As-Sindi ‘alan-Nasa’i. Maktabah
Sahab (down load from : www.sahab.org/books).
Ash-Shan’any, Abu Bakr ‘Abdurrazzaq bin Hammam. Al-Mushannaf. Tahqiq, takhrij dan ta’liq
: Habiburrahman Al-A’dhamy. Al-Majlisul-‘Ilmy. Cet. 1. 1390.
Asy-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Free Program (down load from : www.islamway.com).
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir
Ath-Thabari. Jaami’ul-Bayaan ‘an
Ta’wiilil-Qur’an (Tafsir Ath-Thabari). Tahqiq & ta’liq : Mahmud bin
Muhammad Syaakir. Takhrij : Ahmad bin Muhammad Syaakir. Maktabah Ibnu
Taimiyyah. Tanpa tahun. Kairo.
At-Tirmidzi, Abu ‘Isa Muhammad bin Saurah. Al-Jaami’ul-Kabiir (Sunan At-Tirmidzi). Tahqiq,
Takhrij, dan Ta’liq : Dr. Basyaar bin ‘Awwaad. Daarul-Gharbil-Islamy. Cet. I.
1996.
Ath-Thayalisi, Sulaiman bin Dawud. Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisi. Maktabah
Sahab. (down load from : www.sahab.org/books).
Ibnu Abi Syaibah, Abu Bakr ‘Abdullah bin Muhammad.
Al-Mushannaf. Tahqiq dan takhrij :
Muhammad ‘Awwamah. Daarul-Qiblah. Cet. I. 1427. Jeddah.
Ibnu Anas, Malik. Al-Muwaththa’. Majmu’atul-Furqaan At-Tijaariyyah. Tahqiq dan
takhrij : Abu Usamah Salim bin ‘Ied Al-Hilaly. Cet. Tahun 1424.
Ibnu Hanbal, Ahmad. Al-Musnad. Syarah : Syaikh Ahmad Syaakir. Daarul-Hadiits. Cet. I. 1419.
Kairo.
____________________________.
Al-Musnad. Tahqiq, ta’liq, dan
takhrij oleh Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth dan ’Aadil Mursyid. Muassasah
Ar-Risalah. Cet. I. 1417.
Beirut.
Ibnu Hazm. Maraatibul-Ijmaa’.
Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah. Beirut (down load from : www.almeshkat.net/books).
Ibnu Khuzaimah, Abu Bakar
Muhammad bin Ishaq. Shahih Ibni Khuzaimah.
Tahqiq dan Ta’liq : Dr. Muhammad Musthafa Al-A’dhamy. Al-Maktab Al-Islamy. Cet.
Tahun 1400 H/1980 M. Damaskus.
Ibnu Majah, Abu ‘Abdillah
Muhammad bin Yazid. Sunan Ibni Majah (dengan
penghukuman hadits : Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani). Maktabah
Al-Ma’aarif lin-Nasyr wat-Tauzi’. Cet. I. Riyadl.
Ibnul-Mundzir. Kitaabul-Ijma’. Tahqiq dan ta’liq : Abu
‘Abdil-A’la Khalid bin Muhammad bin ‘Utsman. Daarul-Atsar. Cet. 1. 1425. Kairo.
Jawas, Yazid bin Abdil-Qadir. Doa & Wirid. Pustaka Imam Asy-Syafi’i. Cet. III. 1424/2003 M.
Bogor.
Salim, Abu Malik Kamal bin Sayyid. Shahih Fiqhis-Sunnah. Al-Maktabah
At-Taufiqiyyah. Cet. Tahun 2003. Kairo.
‘Utsamin, Muhammad bin Shalih dan Aalu Bassam,
‘Abdullah bin ‘Abdirrahman. Tanbiihul-Afhaam
dan Taisirul-‘Allaam; Syarh ‘Umdatil-Ahkaam. Daar Ibn Haitsam
(Dicetak Bersama). 1425/2004 M. Mesir.
[1] Istilah inilah yang lebih tepat, sebab – dalam bahasa Arab – Al-Fithru tidak sama dengan Al-Fithrah.
[2] Ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kontemporer ketika
mereka mengkonversikan satu sha’ ke
dalam satuan kilogram. Ada yang mengatakan 2,3 kg; 2,5 kg; 2,75 kg; dan 3 kg.
Di sini kami mengambil pendapat paling selamat di antara pendapat-pendapat tersebut.
[3] Dinukil melalui perantaraan leaflet
yang diterbitkan oleh Markaz Imam Al-Albani (no. 25, Ramadlan 1427 H) yang berjudul Zakaatul-Fithri yang terpublikasi dalam situs resmi Majalah
Al-Ashalah, ’Urdun,Yordania : http://www.asaala.com/viewTopic.php?topicID=117
.
[4] Atsar tersebut janganlah dipahami bahwa upaya menjaga persatuan
dan kesatuan umat menafikkan nasihat dan penyampaian kebenaran. Dalam beberapa
riwayat disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud dan para shahabat lain tetap menyampaikan
nasihat kepada ‘Utsman bin ‘Affan radliyallaahu ‘anhum. Hal ini merupakan satu
upaya untuk menampakkan al-haq dan
tidak menyembunyikankannya. Dan kebenaran itu memang harus disampaikan.
[5] Rasulullah shallallaahu ’alaihi wa sallam bersabda :
صلاة في مسجدي هذا خير من ألف صلاة فيما سواه إلا المسجد
الحرام
”Shalat di masjidku ini (yaitu Masjid Nabawi) lebih baik
daripada 1000 kali shalat di masjid lainnya, kecuali Al-Masjidil-Haram” (HR. Al-Bukhari no. 1190 dan Muslim no. 1394; ini
adalah lafadh Al-Bukhari).
[6] Hadits ini menunjukkan bahwa para wanita haidl diperintahkan
untuk mendatangi tanah lapang, akan tetapi tempat mereka agar terpisah dari
shaff-shaff kaum muslimin yang melaksanakan shalat (sedikit menjauh). Sebagian
ulama juga beristidlal dengan hadits ini atas terlarangnya wanita haidl untuk
menetap di masjid. Wallaahu a’lam.
[7] Adapun lafadh takbir hari raya ‘Iedul-Fithri (juga ‘Iedul-Adlhaa)
selain dari yang disebut di atas, menurut ulama ahli hadits, bukanlah berasal
dari riwayat yang shahih. Allaahu a’lam.
[8] Waktu paling utama mengeluarkan zakat adalah dipagi hari sebelum
pelaksanaan shalat ‘Iedul-Fithri.
[9] Lihat pula keterangan senada dalam Al-Mughni (3/272-273).
[10] Dikutip melalui buku Puasa
Sunnah : Hukum dan Keutamaannya (Judul Asli : Shiyaamu Tathawwu’ Fadlaailu wa Ahkaam) oleh Usamah bin
’Abdil-’Aziz.
Comments
Assalamu'alaykum,
Ustadz, tolong sedikit dibahas mengenai pembayaran zakat maal apabila ingin disalurkan sendiri..
Jazakallahu khoiron..
Assalamu’alaykum,
Kami memiliki simpanan logam mulia n perhiasan yg sdh melebihi nishob. juga ada simpanan reksadana yg tidak sampai nishob. Yang saya pahami, nilai LM & perhiasan + reksadana + sedikit tabungan sisa gaji saya keluarkan zakatnya. Saya biasa menunaikan zakat pada bln ramadhan, agar bisa membayar dengan uang THR.
1. Apakah cara saya berzakat sdh benar..?
2. LM yg kami miliki ada beragam ukuran, sedangkan tiap ukuran berbeda harganya (bisa dilihat di http://www.logammulia.com/gold-bar-id). Bagaimana cara menghitung LMnya..?
3. Apakah boleh uang zakatnya sebagian di belikan barang sembako, sebagian lagi melalui LAZ..?
Wassalam,
Dari Salman: "Alloohu akbar (berkali-kali), allohumma anta a'laa wa ajallu min antakuuna
shooHibah, aw yakuuna laka walad, aw yakuuna laka syariikun fil-mulk, aw yakuuna laka
waliyyun minadz-dzull, wakabbirhu takbiiro, alloohu akbar kabiiro, allohummaghfirlanaa,
allohummarHamnaa"
[Diriwayatkan oleh 'Abdurrozzaaq]
6)Dari Salman: "Alloohu akbar, alloohu akbar kabiiro, allohumma anta a'laa wa ajallu min
antakuuna shooHibah, aw yakuuna laka walad, aw yakuuna laka syariikun fil-mulk, aw yakuuna
laka waliyyun minadz-dzull, wakabbirhu takbiiro, allohummaghfirlanaa, allohummarHamnaa"
[Diriwayatkan oleh al-Baihaqi]
Ustadz bagaimana dengan riwayat ini? Bisa dijadikan tambahan lafazh?
Posting Komentar