Mu'aththilah adalah pengingkar/penolak sifat-sifat Allah. Jelas sesatnya. Ada
yang menolak semuanya, ada pula yang menolak sebagian. Keberadaan mereka masyhur
zaman dulu di bawah bendera Jahmiyyah yang mengkampanyekan Khalqul-Qur'an dan
penolakan sifat-sifat Allah ﷻ.
Para ulama mutaqaddimiin
mengkritik sangat keras penganut sekte ini, bahkan mengkafirkannya, meskipun
yang diingkari hanya sebagian sifat saja (tidak keseluruhan). Seperti misal
penolakan mereka terhadap sifat kalam, sehingga menetapkan ‘aqidah baru Khalqul-Qur’an
(Al-Qur’an adalah makhluk).
Sufyaan Ats-Tsauriy rahimahullah berkata:
مَنْ قَالَ إِنَّ قُلْ هُوَ اللَّهُ
أَحَدٌ * اللَّهُ الصَّمَدُ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِر
“Barangsiapa yang mengatakan :
‘Sesungguhnya ayat qul huwallaahu ahad, allaahush-shamad adalah
makhluk’, maka ia kafir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah
no. 7].
Yahyaa bin Khalaf Al-Muqri’ rahimahullah
berkata:
كُنْتُ عِنْدَ مَالِكِ بْنِ أَنَسٍ،
فَجَاءَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: مَا تَقُولُ فِيمَنْ يَقُولُ: " الْقُرْآنُ
مَخْلُوقٌ؟، قَالَ: عِنْدِي كَافِرٌ، فَاقْتُلُوهُ "، وَقَالَ يَحْيَى بْنُ
خَلَفٍ: فَسَأَلْتُ اللَّيْثَ بْنَ سَعْدٍ، وَابْنَ لَهِيعَةَ عَمَّنْ قَالَ:
الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ ؟ فَقَالا: " كَافِرٌ "
“Aku pernah berada di samping Maalik
bin Anas. Lalu datanglah seorang laki-laki yang kemudian berkata : ‘Apa
pendapatmu tentang orang yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk?’. Maalik
menjawab : ‘Menurutku kafir, bunuhlah ia”. Yahyaa bin Khalaf berkata : “Lalu
aku bertanya kepada Al-Laits bin Sa’d dan Ibnu Lahii’ah tentang orang yang
mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka mereka menjawab : ‘Kafir”
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/206].
‘Aliy bin Sahl Ar-Ramliy rahimahulah
berkata:
سَأَلْتُ الشَّافِعِيَّ عَنِ الْقُرْآنِ،
فَقَالَ لِي: " كَلامُ اللَّهِ غَيْرُ مَخْلُوقٍ "، قُلْتُ: فَمَنْ
قَالَ بِالْمَخْلُوقِ، فَمَا هُوَ عِنْدَكَ؟، قَالَ: كَافِرٌ "، فَقُلْتُ
لِلشَّافِعِيِّ رَحِمَهُ اللَّهُ: مَنْ لَقِيتَ مِنْ أُسْتَاذِيكَ قَالُوا مَا
قُلْتَ؟ قَالَ: " مَا لَقِيتُ أَحَدًا مِنْهُمْ إِلا قَالَ: مَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ مَخْلُوقٌ فَهُوَ كَافِرٌ عِنْدَهُمْ
“Aku bertanya kepada Asy-Syaafi’iy
tentang Al-Qur’an, lalu ia berkata kepadaku : ‘Kalaamullah, bukan makhluk’. Aku
bertanya : ‘Orang yang mengatakan makhluk, bagaimana menurut pendapatmu?’. Ia
menjawab : ‘Kafir’. Aku kembali bertanya kepada Asy-Syaafi’iy rahimahullah :
‘Orang yang engkau temui dari kalangan guru-gurumu, mereka juga mengatakan apa
yang engkau katakan ?’. Ia menjawab : ‘Aku tidak bertemu dengan seorangpun diantara
mereka melainkan ia mengatakan : barangsiapa yang mengatakan tentang Al-Qur’an
adalah makhluk, makai a kafir – menurut mereka” [Idem].[1]
Atau dalam pengingkaran sifat
‘Ulluw, Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:
مَنْ لَمْ يُقِرَّ بِأَنَّ اللَّهَ تَعَالَى عَلَى عَرْشِهِ قَدِ
اسْتَوَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتِهِ، فَهُوَ كَافِرٌ بِرَبِّهِ يُسْتَتَابُ،
فَإِنْ تَابَ، وَإِلا ضُرِبَتْ عُنُقُهُ
“Barangsiapa yang tidak mengatakan
bahwasannya Allah ta’ala beristiwa’ di atas ‘Arsy, di atas tujuh lagit, maka ia
telah kafir terhadap Rabbnya. Ia diminta untuk bertaubat. Jika mau bertaubat,
maka diterima, jika tidak, dipenggal lehernya” [Ma’rifatu ‘Uluumil-Hadiits
hal. 84].
Ad-Daarimiy rahimahullah
berkata:
فَمَنْ لَمْ يَقْصِدْ بِإِيمَانِهِ وَعِبَادَتِهِ إِلَى اللَّهِ
الَّذِي اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ، وَبَانَ مِنْ خَلْقِهِ،
فَإِنَّمَا يَعْبُدُ غَيْرَ اللَّهِ
“Barangsiapa yang tidak bermaksud
dengan keimanan dan peribadahannya kepada Allah ﷻ yang berisitiwaa’ di
atas ‘Arsy di atas langit-langit-Nya, serta terpisah dengan makhluk-Nya; maka
ia hanyalah beribadah kepada selain Allah” [Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah,
hal. 69].
Sa’iid bin ‘Aamir rahimahullah berkata:
الْجَهْمِيَّةُ أَشَرُّ قَوْلا مِنَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى،
قَدِ اجْتَمَعَتِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى، وَأَهْلُ الأَدْيَانِ أَنَّ اللَّهَ
تَبَارَكَ وَتَعَالَى عَلَى الْعَرْشِ، وَقَالُوا هُمْ: لَيْسَ عَلَى الْعَرْشِ
شَيْءٌ "
“Jahmiyyah memiliki pendapat yang
lebih buruk daripada orang Yahudi dan Nashara. Orang Yahudi, Nashara, dan para
pemeluk agama lain bersepakat bahwa Allah tabaaraka wa ta’ala di atas
‘Arsy, sedangkan mereka berkata : ‘Di atas ‘Arsy tidak ada sesuatupun” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy dalam Khalqu Af’aalil-‘Ibaad, 1/26].
Yaziid bin Haaruun rahimahulah berkata:
مَنْ زَعَمَ أَنَّ الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى عَلَى
خِلافِ مَا يَقِرُّ فِي قُلُوبِ الْعَامَّةِ، فَهُوَ جَهْمِيٌّ
“Barangsiapa yang menyangka bahwa Allah
Yang Maha Pemurah, beristiwaa’ di atas 'Arsy (QS. Thaha : 5) berbeda dengan
apa yang diyakini oleh kaum muslimin, maka ia Jahmiy” [Idem, 1/41].
‘Abdullah bin Al-Mubaarak rahimahullah
berkata:
نَعْرِفُ رَبَّنَا فَوْقَ سَبْعِ سَمَاوَاتٍ، عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ، وَلا نَقُولُ كَمَا قَالَتِ الْجَهْمِيَّةُ
بِأَنَّهُ هَهُنَا، وَأَشَارَ إِلَى الأَرْضِ
“Kami mengetahui Rabb kami berada di
atas tujuh langit, beristiwaa’ di atas ‘Arsy, terpisah dari makhluk-Nya. Dan
kami tidak mengatakan seperti yang dikatakan Jahmiyyah bahwasannya Allah ada di
sini” – dan ia berisyarat menunjuk ke bumi/tanah [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin Ahmad dalam As-Sunnah no. 174 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa’
wash-Shifaat no. 903].
Dan Jahmiyyah adalah mu’aththilah
yang kafir dengan kekafiran lebih buruk daripada Yahudi dan Nashara –
sebagaimana riwayatnya akan dituliskan di bawah.
Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah
berkata:
وأخبر عن فرعون أنه قَالَ: يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا
لَعَلِّي أَبْلُغُ الأَسْبَابَ * أَسْبَابَ السَّمَوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ
مُوسَى وَإِنِّي لأَظُنُّهُ كَاذِبًا فكان فرعون قد فهم عن مُوسَى أنه يثبت إلها
فوق السماء حتى رام بصرحه أن يطلع إليه، وأتهم مُوسَى بالكذب فِي ذَلِكَ؟ والجهمية
لا تعلم أن الله فوقه بوجود ذاته، فهم أعجز فهما من فرعون.
“Dan Allah ﷻ mengkabarkan tentang
Fir’aun, bahwasannya ia berkata: ‘Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah
bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu
langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya
seorang pendusta’ (QS. Al-Mukmin : 36-37). Sungguh, Fir’aun memahami Musa
yang menetapkan tuhan/ilah di atas langit, hingga ia ingin dibuatkan
menara agar dapat naik mencapai-Nya. Namun Fir’aun menuduh Musa berbuat
kedustaan atas hal tersebut. Adapun Jahmiyyah tidak mengetahui bahwa Alah ﷻ di atasnya dengan
wujud Dzaat-Nya. Maka mereka (Jahmiyyah) itu adalah orang yang lebih lemah
pemahamannya dibandingkan Fir’aun” [Al-Hujjaah fii Bayaanil-Mahajjah,
2/115].
Ibnul-Qayyim rahimahullah memberikan
penjelasan tentang keburukan dan kekufuran penganut paham mu’aththilah dan
hubungannya dengan kesyirikan sebagai berikut:
الشرك شركان شرك بتعلق بذات المعبود
وأسمائه وصفاته وأفعاله وشرك فى عبادته ومعاملته وإن كان صاحبه يعتقد أنه سبحانه
لا شريك له فى ذاته ولا فى صفاته ولا فى أفعاله
والشرك الأول نوعان
أحدهما شرك التعطيل وهو أقبح أنواع
الشرك كشرك فرعون إذ قال : وَمَا رَبُّ الْعَالَمِينَ. وقال تعالى مخبرا عنه أنه
قال : وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا هَامَانُ ابْنِ لِي صَرْحًا لَعَلِّي أَبْلُغُ
الْأَسْبَابَ * أَسْبَابَ السَّمَاوَاتِ فَأَطَّلِعَ إِلَى إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي
لَأَظُنُّهُ كَاذِبًا. فالشرك والتعطيل متلازمان فكل مشرك معطل وكل معطل مشرك لكن
لا يستلزم أصل التعطيل بل قد يكون المشرك مقرا بالخالق سبحانه وصفاته ولكن عطل حق
التوحيد
وأصل الشرك وقاعدته التي ترجع إليها
هو التعطيل وهو ثلاثة أقسام:
تعطيل المصنوع عن صانعه وخالقه
وتعطيل الصانع سبحانه عن كماله
المقدس بتعطيل أسمائه وصفاته وأفعاله
وتعطيل معاملته عما يجب على العبد
من حقيقة التوحيد....
“Kesyirikan ada dua:
a. Kesyirikan yang terkait dengan Dzaat Allah, nama-nama,
sifat-sifat, dan perbuatan-Nya;
b. Kesyirikan dalam peribadahan dan muamalah kepada-Nya, meskipun
pelakunya berkeyakinan bahwa Allah ﷻ tidak ada sekutu
bagi-Nya dalam Dzaat-Nya, sifat-Nya, dan perbuatan-Nya.
Kesyirikan yang pertama dibagi
menjadi dua.
Kesatu, adalah syirik ta’thiil yang merupakan jenis
kesyirikan yang paling buruk seperti kesyirikan Fir’aun ketika ia berkata:
‘Siapa Tuhan semesta alam itu?’ (QS. Asy-Syu’araa’ : 23). Dan Allah ﷻ berfirman tentang
Fir’aun yang berkata: ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah
bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu)
pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku
memandangnya seorang pendusta’ (QS. Al-Mukmin : 36-37). Kesyirikan yang ta’thiil
saling mengkonsekuensikan (satu dengan yang lainnya). Setiap musyrik adalah
mu’aththil, dan setiap mu’aththil adalah musyrik. Akan tetapi
(kesyirikan) tidak mengkonsekuensikan pokok ta’thiil. Bahkan kadangkala
seorang musyrik mengakui Al-Khaaliq ﷻ dan sifat-sifat-Nya,
akan tetapi dirinya meniadakan hak tauhid.
Dan pokok dan dasar kesyirikan adalah
ta’thiil, yang terdiri dari tiga macam, yaitu:
a. Men-ta’thiil (meniadakan) yang diciptakan dari (Allah)
Yang Membuat dan Yang Menciptakannya;
b. Men-ta’thiil (meniadakan) (Allah) Yang Membuat ﷻ dari kesempurnaan-Nya
yang suci melalui ta’thiil nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-Nya;
c. Men-ta’thiil (meniadakan) mu’amalah dengan-Nya dari
(mengerjakan) apa-apa yang diwajibkan atas seorang hamba dari hakikat tauhid”
[Al-Jawaabul-Kaafiy, hal.
253-254].
Kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah
menjelaskan bahwa dari ta’thiil tersebut muncul kesyirikan sekte wihdatul-wujuud
dan orang-orang mulhid (atheis). Lalu beliau rahimahullah berkata:
ومن هذا شرك من عطل أسماء الرب
تعالى وأوصافه وأفعاله من غلاة الجهمية والقرامطة فلم يثبتوا أسما ولا صفة بل
جعلوا المخلوق أكمل منه إذا كمال الذات بأسمائها وصفاتها
“Dan dari sini, orang-orang yang
men-ta’thiil (meniadakan) nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan Rabb ta’ala
dari kalangan Jahmiyyah dan Qaraamithah ekstrem berbuat kesyirikan. Mereka
tidak menetapkan nama-nama maupun sifat (bagi Allah ﷻ), namun menjadikan
makhluk lebih sempurna daripada-Nya ﷻ karena kesempurnaan
Dzat adalah dengan (penetapan kesempurnaan) nama-nama dan sifat-sifat-Nya” [idem,
hal. 254].
Kemudian Ibnul-Qayyim rahimahullah
menjelaskan jenis kesyirikan kedua, yaitu kesyirikan dalam uluhiyyah
dengan menjadikan selain Allah ﷻ ilah yang lain, meskipun
ia tidak men-ta’thiil (meniadakan) nama-nama, sifat-sifat, dan
rubuubiyyah-Nya. Jenis kesyirikan ini adalah kesyirikan orang-orang Nashara
dengan ajaran trinitasnya, Majusi, dan Qadariyyah. Adapun jenis kesyirikan ketiga
adalah syirik berupa riyaa’ dalam ibadah.
Setelah itu, beliau rahimahullah menegaskan
bahwa mu’aththil lebih buruk daripada musyrik:
فإن المشرك المقر بصفات الرب خير من
المعطل الجاحد لصفات كماله كما أن أقر بالملك للملك ولم يجحد ملكه ولا الصفات التى
استحق بها الملك لكن جعل معه شريكا فى بعض الأمور تقربا إليه خير ممن جحد صفات
الملك وما يكون به الملك ملكا هذا أمر مستقر فى سائر الفطر والعقول
“Musyrik yang mengakui sifat-sifat
Rabb lebih baik daripada mu’aththil yang menolak/mengingkari sifat-sifat
kesempurnaan-Nya ﷻ. Sebagaimana halnya
orang yang mengakui kerajaan bagi seorang raja tanpa mengingkari kerajaannya
dan sifat-sifat yang berhak dimiliki raja tersebut, akan tetapi dirinya
menjadikan orang lain sebagai sekutu/tandingan bagi raja tersebut pada sebagian
perkara dalam rangka mendekatkan diri pada sang raja; maka itu lebih baik
daripada orang yang mengingkari sifat-sifat raja dan mengingkari segala sesuatu
yang menjadikannya sebagai raja. Perkara ini diakui oleh seluruh fitrah dan
akal manusia….” [idem, hal. 282].
Di tempat lain, Ibnul-Qayyim rahimahullah
berkata:
فشرك عباد الأصنام والأوثان
والكواكب والشمس والقمر خير من توحيد هؤلاء بكثير فإنه شرك في الإلهية مع إثبات
صانع العالم وصفاته وأفعاله وقدرته ومشيئته وعلمه بالكليات والجزئيات وتوحيد هؤلاء
تعطيل الربوبية والإلهية وسائر صفاته وهذا التوحيد ملازم لأعظم أنواع الشرك ولهذا
كلما كان الرجل أعظم تعطيلا كان أعظم شركا ولا تجد معطلا نافيا إلا وفيه من الشرك
بقدر ما فيه من التعطيل وتوحيد الجهمية والفلاسفة مناقض لتوحيد الرسل من كل وجه
فإن مضمون توحيد الجهمية إنكار حياة الرب وعلمه وقدرته وسمعه وبصره وكلامه
واستوائه على عرشه ورؤية المؤمنين له بأبصارهم عيانا من فوقهم يوم القيامة وإنكار
وجهه الأعلى ويديه ومجيئه وإتيانه ومحبته ورضاه وغضبه وضحكه وسائر ما أخبر به
الرسول عنه .
“Maka kesyirikan para penyembah
patung, berhala, bintang, matahari, dan bulan jauh lebih baik daripada
ketauhidan mereka (mu’aththilah). Karena kesyirikan mereka dalam ilahiyyah
dengan menetapkan adanya (Allah) Pencipta alam semesta, sifat-sifat, perbuatan,
kekuasaan, kehendak, dan ilmu-Nya secara keseluruhan maupun partikular;
sementara ketauhidan mereka dengan men-ta’thiil (meniadakan) rubuubiyyah,
ilahiyyah, dan seluruh sifat-sifat-Nya. Ketauhidan seperti ini
menghasilkan jenis kesyirikan yang paling besar. Oleh karena itu, orang yang
paling besar ta’thil-nya, maka paling besar pula kesyirikannya. Tidak
engkau temui seorang mu’aththil yang menafikkan (sifat-sifat Allah ﷻ) melainkan padanya
ada kesyirikan yang besarnya sesuai dengan kadar ta’thiil-nya. Tauhid
Jahmiyyah dan Falaasifah kontradiktif dengan tauhid para rasul dari segala
sisi. Karena kandungan tauhid Jahmiyyah adalah pengingkaran terhadap sifat Maha
Hidup Rabb ﷻ,
ilmu-Nya, kekuasaan-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya,
perkataan/firman-Nya, istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy, dan ru’yah kaum
mukminin kepada Allah ﷻ yang berada di atas
mereka dengan mata mereka sendiri kelak di hari kiamat. Serta pengingkaran
terhadap wajah-Nya yang Maha Tinggi, kedua tangan-Nya, sifat maji’ dan ityaan
(kedatangan)-Nya, kecintaan-Nya, ridla-Nya, kemarahan-Nya, tertawa-Nya, dan
seluruh yang dikabarkan Rasulullah ﷺ tentang-Nya” [Ash-Shawaaiqul-Mursalah,
3/1111-1112].
Apa yang dijelaskan Ibnul-Qayyim
merupakan ‘aqidah salaf mutaqaddimiin.
Dari Haaruun bin 'Abdillah
Al-Hammaal, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Haaruun bin Ma'ruuf rahimahumullah:
مَنْ قَالَ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ
فَهُوَ يَعْبُدُ صَنَمًا، ثُمَّ قَالَ لِي: احْكِ هَذَا عَنِّي
"Barangsiapa mengatakan
Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia (seperti) menyembah berhala (karena tidak beriman
terhadap sifat kalaam - Pent.)". Kemudian ia (Haaruun bin
Ma'ruuf) berkata kepadaku : "Ceritakanlah (kepada orang-orang) perkataan
ini dariku" [Diriwayatkan oleh 'Abdullah bin Ahmad dalam As-Sunnah
no. 63. Diriwayatkan juga oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/174,
dari jalan Haaruun bin 'Abdillah Al-Bazzaar, dari Haaruun bin Ma'ruuf].
'Abdullah bin Ma'bad
bin Ibraahiim bin Sa'd rahimahumullah berkata :
مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ،
فَهُوَ يَعْبُدُ صَنَمًا
"Barangsiapa mengatakan
Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia (seperti) menyembah berhala"
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah 2/174].
'Abdullah bin Idriis rahimahumallah
berkata:
الْيَهُودُ، وَالنَّصَارَى،
وَالْمَجُوسُ هُمْ وَاللَّهِ خَيْرٌ مِمَّنْ يَقُولُ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ
"Yahudi, Nashara, dan Majusi,
mereka itu - demi Allah - lebih baik daripada orang yang mengatakan Al-Qur'an
adalah makhluk" [Idem, 2/167].
Ibnul-Mubaarak dan Muusaa bin A'yan rahimahumullah
berkata:
مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ ؛
فَهُوَ كَافِرٌ أَكْفَرُ مِنْ هُرْمُزَ
"Barangsiapa mengatakan
Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia kafir, lebih kafir daripada Hurmuz"
[Diriwayatkan oleh Al-Laalikaa'iy dalam Syarh Ushuulil-I'tiqaad no.
429].
Hurmuz adalah penguasa Persia
beragama Majusi.
Abu 'Ubaid Al-Qaasim bin Salaam rahimahumallah
berkata:
مَنْ قَالَ الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ
فَهُوَ شَرٌّ مِمَّنْ، قَالَ: إِنَّ اللَّهَ ثَالِثُ ثَلاثَةٍ جَلَّ اللَّهُ
وَتَعَالَى ؛ لأَنَّ أُولَئِكَ يُثْبِتُونَ شَيْئًا، وَهَؤُلاءِ لا يُثْبِتُونَ
الْمَعْنَى
"Barangsiapa yang mengatakan
Al-Qur'an adalah makhluk, maka ia lebih buruk daripada orang yang mengatakan
'sesungguhnya Allah itu tiga (trinitas)'. Maha Agung dan Maha Tinggi Allah
(dari apa yang mereka ucapkan). Karena mereka (Nashara) menetapkan sesuatu,
sedangkan mereka (Jahmiyyah) tidak menetapkan makna" [Idem, no. 452
& 509].
مَنْ قَالَ: الْقُرْآنُ مَخْلُوقٌ،
فَقَدِ افْتَرَى عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ، وَقَالَ عَلَى اللَّهِ مَا لَمْ
تَقُلْهُ الْيَهُودُ، وَلا النَّصَارَى
"Barangsiapa yang
mengatakan Al-Qur'an adalah makhluk, sungguh ia mengada-adakan kedustaan
terhadap Allah, dan ia telah mengatakan terhadap Allah apa yang tidak dikatakan
oleh orang Yahudi dan Nashara" [Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah
2/169 dan Al-Baihaqiy dalam Al-Asmaa' wash-Shifaat no. 560].
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata:
فالمعطلة الجهمية: الّذين هُمْ شر
من اليهود والنصارى والمجوس كالأنعام بل أضل
“Kaum mu’aththilah jahmiyyah
yang mereka itu lebih jelek daripada orang Yahudi, Nashara, dan Majusi adalah
seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat” [At-Tauhiid, 1/202].
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
نَظَرْتُ فِي كَلامِ الْيَهُودِ
وَالنَّصَارَى وَالْمَجُوسِ فَمَا رَأَيْتُ أَضَلَّ فِي كُفْرِهِمْ مِنْهُمْ
“Aku meneliti perkataan orang
Yahudi, Nashara, dan Majusi; maka aku tidak melihat yang lebih sesat dalam
kekufuran mereka (Yahudi, Nashara, dan Majusi) daripada Jahmiyyah” [Khalqu
Af’aalil-‘Ibaad, 1/32].
Ibnu Thaahir Al-Maqdiisiy rahimahullah
berkata:
قرأت على أبي بكر السمسار بأصبهان، أخبركم جعفر الفقيه قال: سألت
أبا القاسم سليمان الطبراني: ما قولك -رحمك الله- فيمن يقول: إن أهل التوحيد
يخرجون من النار إلا من يقول: القرآن مخلوق؟ فكتب في جوابه:
من قال: القرآن مخلوق فهو كافر بالله العظيم بلا اختلاف بين أهل
العلم والسنة؛ لأنه زعم أن الله تعالى مخلوق؛ لأن القرآن كلام الله عز وجل تكلم به
وكلم به جبريل الروح الأمين، وأنزله جبريل عليه السلام من عند الله هكذا. قال الله
تبارك وتعالى: {نزل به الروح الأمين}، وأنزله جبريل على قلبك، من قال: إنه مخلوق،
فهو شر من اليهود والنصارى وعبدة الأوثان، وليس من أهل التوحيد المخلصين الذين
أدخلهم الله النار عقوبة منه لأعمال استوجبوا بها النار، فيخرجهم الله من النار
برحمته وشفاعة نبيه محمد صلى الله عليه وسلم وشفاعة الشافعين، ومن زعم أن من يقول:
((إن القرآن مخلوق)) يخرج من النار فهو كافر كمن زعم أن اليهود والنصارى يخرجون من
النار.
Aku pernah membacakan (riwayat)
kepada Abu Bakr As-Simsaariy di Ashbahaan : Telah mengkhabarkan kepada kalian
Ja’far Al-Faqiih, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abul-Qaasim Sulaimaan
Ath-Thabaraaniy : “Apa pendapatmu – semoga Allah memberikan rahmat kepadamu –
terhadap orang yang mengatakan : Ahli tauhid keluar dari neraka kecuali orang
yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk ?. Ia menuliskan jawabannya (sebagai
berikut) :
‘Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an
adalah makhluk, maka ia kafir kepada Allah yang Maha Agung tanpa ada
perselisihan di kalangan ulama dan Ahlus-Sunnah, karena dirinya menyangka
(dengan perkataannya itu) Allah adalah makhluk. Al-Qur’an adalah kalaamullah
(firman Allah) ﷻ yang Allah firmankan
dan diucapkan oleh Jibriil Ar-Ruuhul-Amiin. Jibriil ‘alaihis-salaam
menurunkannya (Al-Qur’an) dari sisi Allah demikian. Allah tabaaraka wa
ta’ala berfirman : ‘dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril)’
(QS. Asy-Syu’araa’ : 193), dan kemudian Jibriil menurunkannya di hatimu.
Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an itu makhluk, maka ia lebih buruk daripada
Yahudi, Nashara, dan penyembah berhala. Tidak ada dari kalangan ahli tauhid
yang benar-benar ikhlash yang kemudian Allah masukkan ke dalam neraka sebagai
satu hukuman kepadanya karena amal perbuatan yang mengkonsekuensikan neraka,
(melainkan) akan Allah keluarkan mereka dari neraka dengan rahmat-Nya, syafa’at
Nabi-Nya Muhammad ﷺ, dan syafa’at
orang-orang yang memberi syafa’at. Barangsiapa yang menyangka orang yang
mengatakan : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah makhluk’ keluar dari (kekekalan
adzab) neraka, maka ia kafir seperti halnya orang yang yang menyangka Yahudi
dan Nashara keluar dari (kekekalan adzab) neraka” [Al-Hujjah fii
Taarikil-Mahajjah, 2/484].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata:
وقد كان سلف الأمة وسادات الأئمة يرون كفر الجهمية أعظم من كفر
اليهود كما قال عبد الله بن المبارك والبخاري وغيرهما
“Dan para salaf umat dan pembesar
imam/ulama berpendapat kekufuran Jahmiyyah lebih besar daripada kekufuran
Yahudi, sebagaimana dikatakan oleh ‘Abdullah bin Al-Mubaarak, Al-Bukhaariy, dan
yang lainnya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 2/477].
وقال غير واحد من الأئمة انهم اكفر من اليهود والنصارى
“Lebih dari satu orang
dari kalangan imam/ulama (kaum muslimin) yang mengatakan bahwa mereka
(Jahmiyyah) lebih kafir daripada Yahudi dan Nashara” [idem, 12/485].
Dari uraian di atas dapat kita petik
beberapa point sebagai berikut:
1.
Ta’thiil sifat-sifat Allah ﷻ adalah perkara besar
dan harus diperangi. Sebagian orang meremehkannya karena menganggap hal itu sepele,
lumrah terjadi, dan menjadi tempat silang pendapat ulama yang tiada akhir.
Sungguh jelas perbedaan sikap para pembesar ulama – sebagaimana terkutip di
atas – dengan generasi belakangan yang menganggap kecil sesuatu yang (sebenarnya)
besar lagi membinasakan. Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu berkata:
إِنَّكُمْ
لَتَعْمَلُونَ أَعْمَالًا هِيَ أَدَقُّ فِي أَعْيُنِكُمْ مِنَ الشَّعَرِ، إِنْ
كُنَّا لَنَعُدُّهَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ مِنَ الْمُوبِقَاتِ
“Sesungguhnya kalian benar-benar melakukan amalan yang lebih halus
di mata kalian dibandingkan sehelai rambut, padahal kami menganggapnya di zaman
Nabi ﷺ
sebagai perkara yang membinasakan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6492].
2. Ta’thiil (peniadaan) terhadap sifat-sifat
Allah ﷻ
sebagaimana dilakukan Jahmiyyah/Mu’tazilah, dalam banyak segi, lebih besar kekufurannya
dibandingkan orang Yahudi, Nashara, Majusi, dan orang yang berbuat syirik dalam
perkara uluhiyyah. Semakin banyak sifat-sifat Allah ﷻ yang ditolak/diingkari
seseorang, semakin besar pula kekufuran dan kesyirikannya.
3. Pengingkaran terhadap sifat-sifat Allah ﷻ menurut ulama salaf mutaqaddimiin
merupakan kemunkaran yang jelas (jaliy). Hal tersebut nampak dari diksi
tahdzir yang mereka katakan terhadap mu’aththil. Kerasnya kecaman mereka
(ulama) menandakan perkara Al-Qur’an adalah Kalaamullah secara umum merupakan
perkara ma’luum minad-diin bidl-dlaruurah di zaman tersebut.
Dari Harb bin Ismaa'iil, ia berkata : Aku mendengar Abu
'Abdillah (Ahmad bin Hanbal) rahimahumullah yang ketika itu disebutkan
di sisinya perkataan manusia tentang Al-Qur'an (yaitu Khalqul-Qur'an),
maka ia berkata :
كُفْرٌ ظَاهِرٌ، كُفْرٌ ظَاهِرٌ
"Kekufuran yang jelas, kekufuran yang jelas" [Diriwayatkan
oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah, 2/175].
Dari Al-Fadhl bin Ziyaad rahimahumallah:
سَأَلْتُ أَبَا
عَبْدِ اللَّهِ عَنْ عَبَّاسٍ النَّرْسِيُّ، فَقُلْتُ: كَانَ صَاحِبُ سُنَّةٍ؟
فَقَالَ: رَحِمَهُ اللَّهُ قُلْتُ: بَلَغَنِي عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: مَا قُولِي:
الْقُرْآنُ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، إِلا كَقَوْلِي: لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ "،
فَضَحِكَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ، وَسُرَّ بِذَلِكَ، قُلْتُ: يَا أَبَا عَبْدِ
اللَّهِ، أَلَيْسَ هُوَ كَمَا قَالَ؟ قَالَ: بَلَى،....
Aku bertanya kepada Abu 'Abdillah tentang 'Abbaas An-Nursiy. Aku
katakan : "Apakah ia Ahlus-Sunnah ?". Ia menjawab : "Semoga
Allah merahmatinya". Aku berkata : "Telah sampai kepadaku darinya
bahwa ia berkata : "Perkataanku bahwa Al-Qur'an bukan makhluk seperti
perkataanku laa ilaha illallaah". Maka Abu 'Abdillah tertawa dan
bergembira dengannya. Aku katakan : "Wahai Abu 'Abdillah, tidakkah perkara
itu seperti yang dikatakannya ?". Abu 'Abdillah menjawab :
"Ya….." [Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii'ah
1/224-225 no. 192].
Fakta dan manhaj para ulama mutaqaddimiin ini sekaligus menunjukkan
kekeliruan perkataan orang-orang belakangan yang memutlakkan perkara sifat-sifat Allah ﷻ sebagai perkara
yang samar (khafiy).
4.
Meskipun kekafiran
orang yang berpendapat Khalqul-Qur’aan adalah perkara yang pasti, namun
ketika menjatuhkan hukum takfir mu’ayyan, mereka tetap hati-hati. Orang jahil
yang kejahilannya dipertimbangkan dalam syari’at, tidak dikafirkan kecuali setelah
tegak padanya hujjah.
Ibnu Abi ‘Aashim rahimahullah berkata:
والقرآن كلام
الله تبارك وتعالى تكلم الله به ليس بمخلوق، ومن قال: مخلوق، ممن قامت عليه الحجة
فكافر بالله العظيم، ومن قال من قبل أن تقوم عليه الحجة فلا شيء عليه
“Al-Qur’an adalah Kalaamullah tabaaraka wa ta’ala yang
Allah katakan, bukan makhluk. Barangsiapa mengatakan makhluk dari orang yang
telah tegak padanya hujjah, maka ia kafir kepada Allah yang Maha Agung. Dan
barangsiapa yang mengatakannya sebelum tegak padanya hujjah, maka tidak kafir”
[As-Sunnah dengan Dhilaalul-Jannah, 2/645 no. 1559].
Al-Bukhaariy rahimahullah berkata:
وَكُلُّ مَنْ
لَمْ يَعْرِفِ اللَّهَ بِكَلامِهِ أَنَّهُ غَيْرُ مَخْلُوقٍ، فَإِنَّهُ يُعْلَمُ،
وَيُرَدُّ جَهْلُهُ إِلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ، فَمَنْ أَبَى بَعْدَ الْعِلْمِ
بِهِ، كَانَ مُعَانِدًا، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ
قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ حَتَّى يُبَيِّنَ لَهُمْ مَا يَتَّقُونَ،
وَلِقَوْلِهِ: وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ
الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى
وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Dan semua orang yang belum mengenal Allah dengan kalam-Nya
yang itu bukan makhluk, maka ia diberitahu (diajari), dan ketidaktahuannya dikembalikan
kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Barangsiapa yang menolak setelah mengetahuinya,
maka ia seorang pembangkang/penentang (mu’aanid). Allah ﷻ berfirman : ‘Dan Allah
sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk
kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi’
(QS. At-Taubah : 115). Dan juga berdasarkan firman-Nya ﷻ : ‘Dan barang
siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan
yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan
yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam
itu seburuk-buruk tempat kembali’ (QS. An-Nisaa’ : 115)” [Khalqu Af’aalil-‘Ibaad,
1/98].
Muhammad bin Idriis As-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
للهِ أَسْمَاءٌ
وَصِفَاتٌ، جَاءَ بِهَا كِتَابُهُ ، وَأَخْبَرَ بِهَا نَبِيُّهُ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُمَّتَهُ ، لاَ يَسَعُ أَحَداً قَامَتْ عَلَيْهِ الحُجَّةُ
رَدُّهَا ، لأَنَّ القُرْآنَ نَزَلَ بِهَا ، وَصَحَّ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ القَوْلَ بِهَا. فَإِنْ خَالَفَ ذَلِكَ بَعْدَ ثُبُوتِ
الحُجَّةِ عَلَيْهِ : فَهُوَ كَافِرٌ ، فَأَمَّا قَبْلَ ثُبُوْتِ الحُجَّةِ ،
فَمَعْذُورٌ بِالجَهْلِ ، لأَنَّ عِلْمَ ذَلِكَ لاَ يُدْرَكُ بِالعَقْلِ ، وَلاَ
بِالرَّوِيَّةِ وَالفِكْرِ ، وَلاَ نُكَفِّرُ بِالجَهْلِ بِهَا أَحَداً إِلاَّ
بَعْدَ انتهَاءِ الخَبَرِ إِلَيْهِ بِهَا
“Allah memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang dijelaskan dalam
Kitab-Nya dan dikhabarkan oleh Nabi-Nya ﷺ kepada umatnya. Tidak
ada kelonggaran bagi siapapun untuk menolaknya ketika telah tegak hujjah kepadanya,
karena Al-Qur’an turun dengannya dan telah shahih dari Rasulullah ﷺ perkataan tentangnya.
Apabila ia menyelisihi hal itu setelah tetapnya hujjah padanya, maka ia kafir.
Namun jika penyelisihannya itu sebelum tetapnya hujjah, maka ia diberikan
‘udzur kejahilan, karena ilmu tentang hal itu tidaklah dicapai dengan akal,
pandangan, dan pemikiran. Dan kami tidak mengkafirkan seorangpun yang tidak
mengetahuinya kecuali setelah hal itu (hujjah/nash) sampai kepadanya” [Siyaru
A’laamin-Nubalaa’, 10/79-80].
5.
Adalah keanehan jika
ada pendapat mengatakan perkara syirik akbar tidak menerima udzur
kejahilan, padahal sebagaimana dijelaskan para ulama di atas, ta’thiil
lebih jelek/kufur daripada syirik dalam banyak segi.
Allaahul a’lam.
[abul-jauzaa’ – 19022020].
[1] Untuk pembahasan tentang Al-Qur’an adalah Kalaamullah,
silakan baca artikel terkait di Blog ini:
Ustadz,Manakah Yang Lebih Parah Sisi Kekafirannya, Kekafiran Asya'irah Dalam Menta'thil Sifat-Sifat Allah? Ataukah Kekafiran Quburiyyun-Shufiyyun Dalam BerIstighatsah Syirkiy Kepada Kubur-Kubur Waliy?
BalasHapus