27 Januari 2020

Murji'ah Fuqahaa Keluar dari Ahlus-Sunnah ?


ASY-SYAIKH SHAALIH AL-FAUZAAN HAFIDHAHULLAH
Pertanyaan:
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة، وهذا سائل يقول: هل الخلاف مع مرجئة الفقهاء يخرجهم من مسمى أهل السنة والجماعة وما حقيقة الخلاف معهم؟
"Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda, shaahibul-fadlilah. Orang ini bertanya : Apakah perselisihan Ahlus-Sunnah dengan Murji'ah Fuqahaa' mengeluarkan mereka dari cakupan Ahlus-Sunnah wal-Jama'aah? Dan bagaimana sebenarnya hakikat perselisihan kita dengan mereka?".

Jawab:
لا يخرجهم من أهل السنة والجماعة؛ ولذلك يسمونهم مرجئة السنة، أو مرجئة أهل السنة، لا يخرجهم هذا عن أهل السنة والجماعة. لكن ما هم عليه خطأ في الإيمان؛ لأنهم يقولون أن العمل لا يدخل في الإيمان، هذا اللي سبَّبْ كونهم مرجئة أرجئوا العمل يعني أخروه عن مسمى الإيمان، وهذا خطأ بلا شك , نعم
"Mereka (Murji'ah Fuqahaa) tidak dikeluarkan dari Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Oleh karena itu mereka dinamakan Murji'ah Sunnah atau Murji'ah Ahlis-Sunnah. Hal ini tidak mengeluarkan mereka dari Ahlus-Sunnah. Akan tetapi pendapat mereka dalam masalah keimanan adalah keliru, karena mereka berpendapat : amal tidak masuk dalam iman. Inilah yang menjadi sebab mereka disebut Murji'ah, karena mereka menangguhkan amal, yaitu mengakhirkannya dari cakupan nama iman. Dan ini adalah kekeliruan tanpa diragukan lagi, na'am"
ASY-SYAIKH ‘ABDUL-MUHSIN AL-‘ABBAAD HAFIDHAHULLAH
الإيمان عند أهل السنة هو قول وعمل واعتقاد، يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية، وقد ظهرت فرق من أهل الإسلام تقول بالإرجاء، وأنه لا يضر مع الإيمان ذنب، ولا فرق بين أتقى الناس وأفجر الناس ما دام أن الكل مسلم، وهذا قول غلاة المرجئة، أما مرجئة الفقهاء فيقولون: إن الإيمان قول وتصديق ولا يلزم معه العمل، ومع ذلك فلا يخرج مرجئة الفقهاء من دائرة أهل السنة والجماعة
“Iman menurut Ahlus-Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad); bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dan kemudian muncul kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang berpendapat dengan (‘aqidah) irjaa’, yaitu dosa tidak memudlaratkan keimanan dan tidak ada perbedaan antara orang yang paling bertaqwa dengan orang yang paling jahat selama mereka semua berstatus muslim. Ini adalah perkataan Murji’ah ekstrem (ghullatul-murji’ah). Adapun Murjiah Fuqahaa’, mereka mengatakan : sesungguhnya iman adalah perkataan dan pembenaran (tashdiiq), serta iman tidak membutuhkan amal. Namun demikian, Murji’ah Fuqahaa tidak dikeluarkan dari wilayah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah” [Syarh Sunan Abi Daawud no. 524 - https://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=173410].
ASY-SYAIKH ‘ABDUL-‘AZIIZ BIN ABDILLAH AR-RAAJIHIY HAFIDHAHULLAH
والطائفة الرابعة: مرجئة الفقهاء الذين يقولون الإيمان شيئان : الإقرار باللسان، والتصديق بالقلب، والأعمال ليست من الإيمان لكنها مطلوبة، هم طائفة من أهل السنة، وهذا هو مذهب الإمام أبي حنيفة وهو عليه جمهور وأصحابه، وأول من قال بالإرجاء شيخ الإمام أبي حنيفة حماد بن أبي سليمان، أول من قال بالإرجاء شيخ الإمام أبي حنيفة، أبي حنيفة من المرجئة، المرجئة الفقهاء، ولكنه من أهل السنة.
ولهذا أقر الطحاوي الطحاوية مذهب المرجئة يقول إيمان أهل الأرض وأهل السماء سواء، لا يزيد ولا ينقص، عندهم الإيمان لا يزيد ولا ينقص، لكن مرجئة الفقهاء يختلفون عن المرجئة المحضة؛ لأنهم يقولون الأعمال مطلوبة، الواجبات واجبات والمحرمات محرمات، ومن فعل الطاعات فهو ممدوح ويثاب يستحق الثواب الذي رتب عليه، ومن فعل الكبائر فهو مذموم ويقام عليه الحد ويستحق العقوبة، لكن ما يسمى إيمانا يسميه واجب آخر يقول الأعمال مطلوبة؛ لكن ليست من الإيمان نسميها بر، نسميها تقوى، فالإنسان عليه واجبان واجب الإيمان وواجب العمل.
وجمهور أهل السنة يقولون: هي بر وتقوى وإيمان، وهي داخلة في مسميات فقالوا: لا ليست داخلة، هذا الخلاف بينهم، الخلاف لفظي.
“Golongan keempat, Murji’ah Fuqahaa yang mengatakan iman terdiri dari dua, yaitu pengakuan lisan dan pembenaran hati. Amalan tidak termasuk keimanan, akan tetapi sesuatu yang dituntut (wajib). Mereka adalah golongan dari Ahlus-Sunnah. Ini adalah madzhab Al-Imaam Abu Haniifah yang dipegang oleh jumhur ulamanya (Hanafiyyah). Orang yang pertama kali mengatakan irjaa’ adalah guru Al-Imaam Abu Haniifah yang bernama Hammaad bin Abi Sulaimaan. Orang yang pertama kali mengatakan irjaa’ adalah guru Al-Imaam Abu Haniifah, Abu Haniifah termasuk Murji’ah, yaitu Murji’ah Fuqahaa’. Akan tetapi ia termasuk Ahlus-Sunnah.
Oleh karena itu, Ath-Thahawiy dalam Ath-Thahawiyyah[1] menyepakati madzhab Murji’ah, dimana ia (Ath-Thahawiy) yang mengatakan keimanan penduduk bumi dan penduduk langit sama, tidak bertambah dan tidak pula berkurang[2]. Mereka memiliki iman yang tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Akan tetapi Murji’ah Fuqahaa berbeda dengan Murji’ah tulen, karena mereka (Murji’ah Fuqahaa) mengatakan amalan merupakan tuntutan (keimanan); berbagai perkara kewajiban, wajib dilakukan; perkara yang diharamkan, haram dilakukan; barangsiapa yang mengamalkan ketaatan, ia terpuji dan diberikan pahala sesuai dengan yang ditetapkan; dan barangsiapa yang melakukan dosa besar, maka ia dicela, ditegakkan padanya hadd, dan berhak mendapatkan hukuman (yang sesuai). Akan tetapi apa yang dinamakan iman, dinamakan kewajiban lain. Mereka mengatakan amalan merupakan tuntutan/kewajiban iman, akan tetapi tidak termasuk iman. (Mereka katakan) : Kami menamakan amalan tersebut sebagai kebaikan/kebajikan (birr) atau ketaqwaan. Manusia wajib melakukan dua kewajiban : kewajiban iman dan kewajiban amal. Jumhur Ahlus-Sunnah mengatakan : Amal perbuatan merupakan kebaikan, ketaqwaan, dan keimanan. Amalan masuk dalam nama iman. Mereka (Murji’ah Fuqahaa) mengatakan : Tidak masuk (dalam nama iman). Inilah perselisihan diantara mereka (Ahlus-Sunnah dan Murji’ah Fuqahaa), khilaaf lafdhiy…” [Syarh Ushuulis-Sunnah li-Abi Zamaniin, pelajaran ke-10 - https://shrajhi.com.sa/lessons/382].
Meskipun Murji’ah Fuqahaa tidak memasukkan amal dalam nama iman – dan ini adalah kekeliruan - , mereka mengatakan amal anggota badan masuk dalam khithaab Syaari’ berupa kebaikan/kebajikan (al-birr) dan taqwa, sehingga seorang muslim akan mendapatkan pahala apabila melakukan ketaatan dan diberikan hukuman apabila melakukan kemaksiatan. Mereka (Murji’ah Fuqahaa) mengatakan : Para pelaku dosa masuk dalam lingkup celaan dan ancaman, sehingga di akhirat di bawah kehendak Allah (yaitu) apabila berkehendak Ia akan mengampuni mereka dan apabila berkehendak Ia akan mengadzab mereka. Bersamaan dengan ini, Murji’ah Fuqahaa mengatakan keimanan mereka sempurna, namun kurang dari sisi kebajikan dan taqwa. Karena itu, para ulama tidak mengeluarkan mereka dari lingkup Ahlus-Sunnah.
Abu ‘Ubaid Al-Qaasim bin Salaam rahimahullah berkata:
اعلم رحمك الله أن أهل العلم والعناية بالدين افترقوا في هذا الأمر فرقتين :
فقالت إحداهما : الإيمان بالإخلاص لله بالقلوب وشهادة الألسنة وعمل الجوارح.
وقالت الفرقة الأخرى : بل الإيمان بالقلوب والألسنة ، فأما الأعمال فإنما هي تقوى وبرٌّ ، وليست من الإيمان .
وإنا نظرنا في اختلاف الطائفتين ، فوجدنا الكتاب والسنة يصدقان الطائفة التي جعلت الإيمان : بالنية والقول والعمل ، جميعاً ، وينفيان ما قالت الأخرى
“Ketahuilah, semoga Allah merahmatimu. Bahwasannya para ulama dan orang-orang yang mempunyai perhatian terhadap agama dalam permasalahan ini terbagi menjadi dua kelompok:
Satu kelompok di antara mereka berkata : Iman itu adalah ikhlash kepada Allah dengan hati, syahadat yang diucapkan oleh lisan, dan perbuatan dengan anggota badan.
Kelompok kedua berkata : Iman itu adalah dengan hati dan lisan saja. Adapun perbuatan hanyalah ketaqwaan dan kebaikan, bukan termasuk iman.
Dan jika kita memperhatikan perbedaan antara dua kelompok tersebut, kita akan mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah membenarkan kelompok (pertama) yang menjadikan iman dengan adanya niat, perkataan, dan perbuatan; yang bersamaan dengan itu menafikkan (kebenaran) apa yang dikatakan kelompok kedua” [Al-Iimaan, hal. 10 – tahqiiq, takhriij, dan ta’liiq oleh Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah[3]].
Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وكانت هذه البدعة أخف البدع فان كثيرا من النزاع فيها نزاع فى الاسم واللفظ دون الحكم اذ كان الفقهاء الذين يضاف اليهم هذا القول مثل حماد بن أبى سليمان وأبى حنيفة وغيرهما هم مع سائر أهل السنة متفقين على أن الله يعذب من يعذبه من أهل الكبائر بالنار ثم يخرجهم بالشفاعة كما جاءت الاحاديث الصحيحة بذلك وعلى انه لابد فى الايمان أن يتكلم بلسانه وعلى أن الأعمال المفروضة واجبة وتاركها مستحق للذم والعقاب فكان فى الأعمال هل هى من الايمان وفى الاستثناء ونحو ذلك عامته نزاع لفظى
“Bid’ah ini adalah bid’ah yang paling ringan. Karena kebanyakan perselisihan padanya terjadi dalam hal nama dan lafadh, bukan hukum. Ketika para fuqahaa yang disandarkan kepada mereka pendapat ini seperti Hammaad bin Abi Sulaimaan, Abu Haniifah, dan lainnya, mereka bersepakat dengan Ahlus-Sunnah bahwa Allah mengadzab para pelaku dosa besar dengan neraka, kemudian mengeluarkan mereka dengan syafa’at sebagaimana terdapat dalam hadits shahih yang berbicara tentang hal tersebut. Juga bersepakat bahwa menjadi keharusan dalam iman untuk diucapkan dengan lisannya; (bersepakat bahwa) amal fardlu wajib dilakukan serta orang yang meninggalkannya berhak untuk dicela dan mendapatkan hukuman. Maka dalam permasalahan amal, apakah itu termasuk iman, dan juga dalam permasalahan istitsnaa’, dan semisalnya; kebanyakannya merupakan perselisihan lafdhiy” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 13/38].
Jika kita memahami uraian tersebut di atas, kita pun  dapat memahami bahwa sebagian perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah yang mirip dengannya saat ini terjadi karena kurang memahami substansi serta terjebak dalam nama dan lafadh.
Sungguh terjadi, ada orang dituduh mengeluarkan amal dari iman dan kemudian dicap sebagai Murji’ah, keluar dari Ahlus-Sunnah. Sementara, orang tersebut berulang kali mengatakan iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan; iman bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan; kekufuran dapat terjadi melalui keyakinan, perkataan, dan perbuatan; serta memperingatkan kaum muslimin akan bahaya dan kesalahan Murji'ah. Jangan ragu untuk mengatakan ini sebuah kedhaliman, siapapun dia yang melemparkan tuduhan tesrebut.
Allaahul-musta’aan…
NB : Sebagai catatan, sebagian ulama tidak bersepakat dengan uraian tersebut di atas, karena tabdii' dan tahdzir para ulama mutaqaddimiin terhadap Murji’ah, mayoritasnya tertuju kepada Murji’ah Fuqahaa’. Ada pembahasan lain…
[abul-jauzaa’ – 27012020].



[1]    Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
والإيمان واحد وأهله في أصله سواء، والتفاضل بينهم بالخشية والتقى، ومخالفة الهوى، وملازمة الأولى
“Dan keimanan adalah satu, dan orang yang beriman pada asalnya adalah sama. Perbedaan tingkatan di antara mereka adalah dengan rasa takut, taqwa, penyelisihan terhadap hawa nafsu, dan sikap mengutamakan yang utama” [Al-‘Aqiidah Ath-Thahawiyyah hal. 22 no. 85].
[2]    Ini adalah ucapan Abu Haniifah rahimahullah, dimana beliau berkata:
والإيمان هو الإقرار والتصديق وإيمان أهل السماء والأرض لا يزيد ولا ينقص من جهة المؤمن بها ويزيد وينقص من جهة اليقين والتصديق والمؤمنون مستوون في الإيمان والتوحيد متفاضلون في الأعمال
“Iman adalah pengakuan (dengan lisan) dan pembenaran (dengan hati). Maka, keimanan penduduk langit dan bumi tidak bertambah dan tidak berkurang dari sisi keimanan terhadap-Nya. Tidak bertambah dan tidak berkurang dari sisi keyakinan dan pembenaran. Orang-orang yang beriman, tingkatan keimanan dan tauhid mereka sama, namun berbeda dalam hal amalan” [Al-Fiqhul-Akbar hal. 6].
[3]    Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah mempunyai pengetahuan yang daqiiq dalam masalah iman. Beliau rahimahullah telah membaca, mempelajari, mentahqiq, mentakhrij,  dan/atau menta’liq banyak kitab ‘aqidah seperti Al-Imaan-nya Ibnu Taimiyyah, Al-Imaan-nya Abu 'Ubaid Al-Qaasim bin Salaam, Al-Imaan-nya Ibnu Abi Syaibah, Ar-Radd 'alal-Jahmiyyah-nya Ad-Daarimiy, Al-'Aqiidah Ath-Thahawiyyah, As-Sunnah-nya Ibnu Abi 'Aashim, Ashlus-Sunnah wa I’tiqaadud-Diin, Iqtidlaaul' Ilmi Al-'Amal-nya Al-Khathiib, dan yang lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar