ASY-SYAIKH
SHAALIH AL-FAUZAAN HAFIDHAHULLAH
Pertanyaan:
أحسن الله إليكم صاحب الفضيلة، وهذا سائل
يقول: هل الخلاف مع مرجئة الفقهاء يخرجهم من مسمى أهل السنة والجماعة وما حقيقة
الخلاف معهم؟
"Semoga
Allah memberikan kebaikan kepada Anda, shaahibul-fadlilah. Orang ini
bertanya : Apakah perselisihan Ahlus-Sunnah dengan Murji'ah Fuqahaa'
mengeluarkan mereka dari cakupan Ahlus-Sunnah wal-Jama'aah? Dan bagaimana
sebenarnya hakikat perselisihan kita dengan mereka?".
Jawab:
لا يخرجهم من أهل السنة والجماعة؛ ولذلك
يسمونهم مرجئة السنة، أو مرجئة أهل السنة، لا يخرجهم هذا عن أهل السنة والجماعة.
لكن ما هم عليه خطأ في الإيمان؛ لأنهم يقولون أن العمل لا يدخل في الإيمان، هذا
اللي سبَّبْ كونهم مرجئة أرجئوا العمل يعني أخروه عن مسمى الإيمان، وهذا خطأ بلا
شك , نعم
"Mereka
(Murji'ah Fuqahaa) tidak dikeluarkan dari Ahlus-Sunnah wal-Jama'ah. Oleh karena
itu mereka dinamakan Murji'ah Sunnah atau Murji'ah Ahlis-Sunnah. Hal ini tidak
mengeluarkan mereka dari Ahlus-Sunnah. Akan tetapi pendapat mereka dalam
masalah keimanan adalah keliru, karena mereka berpendapat : amal tidak masuk
dalam iman. Inilah yang menjadi sebab mereka disebut Murji'ah, karena mereka
menangguhkan amal, yaitu mengakhirkannya dari cakupan nama iman. Dan ini adalah
kekeliruan tanpa diragukan lagi, na'am"
[selesai
- sumber : http://www.alfawzan.af.org.sa/ar/node/9524].
ASY-SYAIKH
‘ABDUL-MUHSIN AL-‘ABBAAD HAFIDHAHULLAH
الإيمان عند أهل السنة هو قول وعمل
واعتقاد، يزيد بالطاعة وينقص بالمعصية، وقد ظهرت فرق من أهل الإسلام تقول
بالإرجاء، وأنه لا يضر مع الإيمان ذنب، ولا فرق بين أتقى الناس وأفجر الناس ما دام
أن الكل مسلم، وهذا قول غلاة المرجئة، أما مرجئة الفقهاء فيقولون: إن الإيمان قول
وتصديق ولا يلزم معه العمل، ومع ذلك فلا يخرج مرجئة الفقهاء من دائرة أهل السنة
والجماعة
“Iman
menurut Ahlus-Sunnah adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan (i’tiqad);
bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dan kemudian muncul
kelompok-kelompok dari kaum muslimin yang berpendapat dengan (‘aqidah) irjaa’,
yaitu dosa tidak memudlaratkan keimanan dan tidak ada perbedaan antara orang
yang paling bertaqwa dengan orang yang paling jahat selama mereka semua
berstatus muslim. Ini adalah perkataan Murji’ah ekstrem (ghullatul-murji’ah).
Adapun Murjiah Fuqahaa’, mereka mengatakan : sesungguhnya iman adalah perkataan
dan pembenaran (tashdiiq), serta iman tidak membutuhkan amal. Namun
demikian, Murji’ah Fuqahaa tidak dikeluarkan dari wilayah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah”
[Syarh Sunan Abi Daawud no. 524 - https://audio.islamweb.net/audio/Fulltxt.php?audioid=173410].
ASY-SYAIKH
‘ABDUL-‘AZIIZ BIN ABDILLAH AR-RAAJIHIY HAFIDHAHULLAH
والطائفة الرابعة: مرجئة الفقهاء الذين
يقولون الإيمان شيئان : الإقرار باللسان، والتصديق بالقلب، والأعمال ليست من
الإيمان لكنها مطلوبة، هم طائفة من أهل السنة، وهذا هو مذهب الإمام أبي حنيفة وهو
عليه جمهور وأصحابه، وأول من قال بالإرجاء شيخ الإمام أبي حنيفة حماد بن أبي
سليمان، أول من قال بالإرجاء شيخ الإمام أبي حنيفة، أبي حنيفة من المرجئة، المرجئة
الفقهاء، ولكنه من أهل السنة.
ولهذا أقر الطحاوي الطحاوية مذهب المرجئة
يقول إيمان أهل الأرض وأهل السماء سواء، لا يزيد ولا ينقص، عندهم الإيمان لا يزيد
ولا ينقص، لكن مرجئة الفقهاء يختلفون عن المرجئة المحضة؛ لأنهم يقولون الأعمال
مطلوبة، الواجبات واجبات والمحرمات محرمات، ومن فعل الطاعات فهو ممدوح ويثاب يستحق
الثواب الذي رتب عليه، ومن فعل الكبائر فهو مذموم ويقام عليه الحد ويستحق العقوبة،
لكن ما يسمى إيمانا يسميه واجب آخر يقول الأعمال مطلوبة؛ لكن ليست من الإيمان
نسميها بر، نسميها تقوى، فالإنسان عليه واجبان واجب الإيمان وواجب العمل.
وجمهور أهل السنة يقولون: هي بر وتقوى
وإيمان، وهي داخلة في مسميات فقالوا: لا ليست داخلة، هذا الخلاف بينهم، الخلاف
لفظي.
“Golongan
keempat, Murji’ah Fuqahaa yang mengatakan iman terdiri dari dua, yaitu
pengakuan lisan dan pembenaran hati. Amalan tidak termasuk keimanan, akan
tetapi sesuatu yang dituntut (wajib). Mereka adalah golongan dari Ahlus-Sunnah.
Ini adalah madzhab Al-Imaam Abu Haniifah yang dipegang oleh jumhur ulamanya
(Hanafiyyah). Orang yang pertama kali mengatakan irjaa’ adalah guru Al-Imaam
Abu Haniifah yang bernama Hammaad bin Abi Sulaimaan. Orang yang pertama kali
mengatakan irjaa’ adalah guru Al-Imaam Abu Haniifah, Abu Haniifah
termasuk Murji’ah, yaitu Murji’ah Fuqahaa’. Akan tetapi ia termasuk
Ahlus-Sunnah.
Oleh
karena itu, Ath-Thahawiy dalam Ath-Thahawiyyah[1]
menyepakati madzhab Murji’ah, dimana ia (Ath-Thahawiy) yang mengatakan keimanan
penduduk bumi dan penduduk langit sama, tidak bertambah dan tidak pula
berkurang[2].
Mereka memiliki iman yang tidak bertambah dan tidak pula berkurang. Akan tetapi
Murji’ah Fuqahaa berbeda dengan Murji’ah tulen, karena mereka (Murji’ah
Fuqahaa) mengatakan amalan merupakan tuntutan (keimanan); berbagai perkara kewajiban,
wajib dilakukan; perkara yang diharamkan, haram dilakukan; barangsiapa yang
mengamalkan ketaatan, ia terpuji dan diberikan pahala sesuai dengan yang
ditetapkan; dan barangsiapa yang melakukan dosa besar, maka ia dicela,
ditegakkan padanya hadd, dan berhak mendapatkan hukuman (yang sesuai).
Akan tetapi apa yang dinamakan iman, dinamakan kewajiban lain. Mereka
mengatakan amalan merupakan tuntutan/kewajiban iman, akan tetapi tidak termasuk
iman. (Mereka katakan) : Kami menamakan amalan tersebut sebagai kebaikan/kebajikan
(birr) atau ketaqwaan. Manusia wajib melakukan dua kewajiban : kewajiban
iman dan kewajiban amal. Jumhur Ahlus-Sunnah mengatakan : Amal perbuatan
merupakan kebaikan, ketaqwaan, dan keimanan. Amalan masuk dalam nama iman.
Mereka (Murji’ah Fuqahaa) mengatakan : Tidak masuk (dalam nama iman). Inilah
perselisihan diantara mereka (Ahlus-Sunnah dan Murji’ah Fuqahaa), khilaaf
lafdhiy…” [Syarh Ushuulis-Sunnah
li-Abi Zamaniin, pelajaran ke-10
- https://shrajhi.com.sa/lessons/382].
Meskipun
Murji’ah Fuqahaa tidak memasukkan amal dalam nama iman – dan ini adalah
kekeliruan - , mereka mengatakan amal anggota badan masuk dalam khithaab Syaari’
berupa kebaikan/kebajikan (al-birr) dan taqwa, sehingga seorang muslim
akan mendapatkan pahala apabila melakukan ketaatan dan diberikan hukuman
apabila melakukan kemaksiatan. Mereka (Murji’ah Fuqahaa) mengatakan : Para
pelaku dosa masuk dalam lingkup celaan dan ancaman, sehingga di akhirat di
bawah kehendak Allah ﷻ
(yaitu) apabila berkehendak Ia akan mengampuni mereka dan apabila berkehendak
Ia akan mengadzab mereka. Bersamaan dengan ini, Murji’ah Fuqahaa mengatakan
keimanan mereka sempurna, namun kurang dari sisi kebajikan dan taqwa. Karena
itu, para ulama tidak mengeluarkan mereka dari lingkup Ahlus-Sunnah.
Abu
‘Ubaid Al-Qaasim bin Salaam rahimahullah berkata:
اعلم رحمك الله أن أهل العلم والعناية
بالدين افترقوا في هذا الأمر فرقتين :
فقالت إحداهما : الإيمان بالإخلاص لله
بالقلوب وشهادة الألسنة وعمل الجوارح.
وقالت الفرقة الأخرى : بل الإيمان بالقلوب
والألسنة ، فأما الأعمال فإنما هي تقوى وبرٌّ ، وليست من الإيمان .
وإنا نظرنا في اختلاف الطائفتين ، فوجدنا
الكتاب والسنة يصدقان الطائفة التي جعلت الإيمان : بالنية والقول والعمل ، جميعاً
، وينفيان ما قالت الأخرى
“Ketahuilah,
semoga Allah merahmatimu. Bahwasannya para ulama dan orang-orang yang mempunyai
perhatian terhadap agama dalam permasalahan ini terbagi menjadi dua kelompok:
Satu
kelompok di antara mereka berkata : Iman itu adalah ikhlash kepada Allah dengan
hati, syahadat yang diucapkan oleh lisan, dan perbuatan dengan anggota badan.
Kelompok
kedua berkata : Iman itu adalah dengan hati dan lisan saja. Adapun perbuatan
hanyalah ketaqwaan dan kebaikan, bukan termasuk iman.
Dan
jika kita memperhatikan perbedaan antara dua kelompok tersebut, kita akan
mendapati Al-Qur’an dan As-Sunnah membenarkan kelompok (pertama) yang
menjadikan iman dengan adanya niat, perkataan, dan perbuatan; yang bersamaan
dengan itu menafikkan (kebenaran) apa yang dikatakan kelompok kedua” [Al-Iimaan,
hal. 10 – tahqiiq, takhriij, dan ta’liiq oleh Asy-Syaikh
Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy rahimahullah[3]].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
وكانت هذه البدعة أخف البدع فان كثيرا من
النزاع فيها نزاع فى الاسم واللفظ دون الحكم اذ كان الفقهاء الذين يضاف اليهم هذا
القول مثل حماد بن أبى سليمان وأبى حنيفة وغيرهما هم مع سائر أهل السنة متفقين على
أن الله يعذب من يعذبه من أهل الكبائر بالنار ثم يخرجهم بالشفاعة كما جاءت الاحاديث
الصحيحة بذلك وعلى انه لابد فى الايمان أن يتكلم بلسانه وعلى أن الأعمال المفروضة
واجبة وتاركها مستحق للذم والعقاب فكان فى الأعمال هل هى من الايمان وفى الاستثناء
ونحو ذلك عامته نزاع لفظى
“Bid’ah ini adalah bid’ah yang paling ringan. Karena kebanyakan
perselisihan padanya terjadi dalam hal nama dan lafadh, bukan hukum. Ketika
para fuqahaa yang disandarkan kepada mereka pendapat ini seperti Hammaad bin
Abi Sulaimaan, Abu Haniifah, dan lainnya, mereka bersepakat dengan Ahlus-Sunnah
bahwa Allah mengadzab para pelaku dosa besar dengan neraka, kemudian
mengeluarkan mereka dengan syafa’at sebagaimana terdapat dalam hadits shahih
yang berbicara tentang hal tersebut. Juga bersepakat bahwa menjadi keharusan dalam
iman untuk diucapkan dengan lisannya; (bersepakat bahwa) amal fardlu wajib
dilakukan serta orang yang meninggalkannya berhak untuk dicela dan mendapatkan
hukuman. Maka dalam permasalahan amal, apakah itu termasuk iman, dan juga dalam
permasalahan istitsnaa’, dan semisalnya; kebanyakannya merupakan
perselisihan lafdhiy” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 13/38].
Jika
kita memahami uraian tersebut di atas, kita pun
dapat memahami bahwa sebagian perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah yang
mirip dengannya saat ini terjadi karena kurang memahami substansi serta terjebak
dalam nama dan lafadh.
Sungguh
terjadi, ada orang dituduh mengeluarkan amal dari iman dan kemudian dicap
sebagai Murji’ah, keluar dari Ahlus-Sunnah. Sementara, orang tersebut berulang
kali mengatakan iman adalah keyakinan, perkataan, dan perbuatan; iman
bertingkat-tingkat, bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan;
kekufuran dapat terjadi melalui keyakinan, perkataan, dan perbuatan; serta
memperingatkan kaum muslimin akan bahaya dan kesalahan Murji'ah. Jangan ragu
untuk mengatakan ini sebuah kedhaliman, siapapun dia yang melemparkan tuduhan tesrebut.
Allaahul-musta’aan…
NB
: Sebagai catatan, sebagian ulama tidak bersepakat dengan uraian tersebut di
atas, karena tabdii' dan tahdzir para ulama mutaqaddimiin terhadap Murji’ah,
mayoritasnya tertuju kepada Murji’ah Fuqahaa’. Ada pembahasan lain…
[abul-jauzaa’
– 27012020].
[1] Ath-Thahawiy rahimahullah berkata:
والإيمان
واحد وأهله في أصله سواء، والتفاضل بينهم بالخشية والتقى، ومخالفة الهوى، وملازمة
الأولى
“Dan
keimanan adalah satu, dan orang yang beriman pada asalnya adalah sama. Perbedaan
tingkatan di antara mereka adalah dengan rasa takut, taqwa, penyelisihan
terhadap hawa nafsu, dan sikap mengutamakan yang utama” [Al-‘Aqiidah
Ath-Thahawiyyah hal. 22 no. 85].
[2] Ini adalah ucapan Abu Haniifah rahimahullah,
dimana beliau berkata:
والإيمان
هو الإقرار والتصديق وإيمان أهل السماء والأرض لا يزيد ولا ينقص من جهة المؤمن بها
ويزيد وينقص من جهة اليقين والتصديق والمؤمنون مستوون في الإيمان والتوحيد
متفاضلون في الأعمال
“Iman
adalah pengakuan (dengan lisan) dan pembenaran (dengan hati). Maka, keimanan
penduduk langit dan bumi tidak bertambah dan tidak berkurang dari sisi keimanan
terhadap-Nya. Tidak bertambah dan tidak berkurang dari sisi keyakinan dan
pembenaran. Orang-orang yang beriman, tingkatan keimanan dan tauhid mereka sama,
namun berbeda dalam hal amalan” [Al-Fiqhul-Akbar hal. 6].
[3] Asy-Syaikh Muhammad Naashiruddiin Al-Albaaniy
rahimahullah mempunyai pengetahuan yang daqiiq dalam masalah
iman. Beliau rahimahullah telah membaca, mempelajari, mentahqiq, mentakhrij,
dan/atau menta’liq banyak kitab ‘aqidah
seperti Al-Imaan-nya Ibnu Taimiyyah, Al-Imaan-nya Abu 'Ubaid Al-Qaasim
bin Salaam, Al-Imaan-nya Ibnu Abi Syaibah, Ar-Radd 'alal-Jahmiyyah-nya
Ad-Daarimiy, Al-'Aqiidah Ath-Thahawiyyah, As-Sunnah-nya Ibnu Abi
'Aashim, Ashlus-Sunnah wa I’tiqaadud-Diin, Iqtidlaaul' Ilmi Al-'Amal-nya
Al-Khathiib, dan yang lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar