Allah ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ
وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
"Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka".
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [QS.
Al-Ahzaab : 59].
Dalam ayat ini terdapat perintah kepada semua
wanita yang beriman untuk mengenakan dan mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh
mereka. Terkait ayat tersebut, Ummu Salamah radliyallaahu ‘anhaa menceritakan:
لَمَّا نَزَلَتْ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ خَرَجَ نِسَاءُ الْأَنْصَارِ كَأَنَّ عَلَى رُءُوسِهِنَّ
الْغِرْبَانَ مِنَ الْأَكْسِيَةِ
“Ketika turun ayat ‘Hendaklah mereka mengulurkan
jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’ (QS. Al-Ahzaab : 59), maka keluarlah wanita-wanita
Anshar (dari rumah mereka) dimana seakan-akan di atas kepala mereka terdapat
burung gagak dari pakaian (warna hitam) yang mereka kenakan” [Diriwayatkan
oleh Abu Daawud no. 3581; shahih].
Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah menjelaskan ayat ini dengan perkataannya:
فأمر النساء بالحجاب، ثُمَّ أمرن عند
الخروج أن يدنين عليهن من جلابيبهن، وهو القناع، وهو عِنْدَ جماعة العلماء في
الحرائر دون الإماء، وفيه أيضا أن ذوي المحارم من النسب والرضاع لا يحتجب منهم،
ولا يستتر عنهم إلا العورات، والمرأة في ما عدا وجهها وكفيها عورة بدليل أنها لا
يجوز لها كشفه في الصلاة
“Nabi ﷺ memerintahkan para wanita untuk berhijab, lalu
memerintahkan mereka ketika keluar rumah untuk mengulurkan jilbab-jilbab mereka,
yaitu qinaa’ (kerudung yang menutupi kepala, termasuk wajah). Perintah
tersebut menurut sekelompok ulama berlaku untuk wanita merdeka saja, tidak
termasuk budak. Pada perintah itu, bagi orang yang mempunyai hubungan mahram dengan
sebab nasab dan persusuan, tidak wajib berhijab dan menutup dari mereka kecuali
yang termasuk aurat. Bagi wanita, selain wajah dan kedua telapak tangannya
adalah aurat dengan dalil ia tidak boleh menyingkapnya ketika shalat” [At-Tamhiid,
9/236].
Abu ‘Abdillah Al-Qurthubiy rahimahumallah menjelaskan:
قوله تعالى: (من جلابيبهن) الجلابيب جمع
جلباب، وهو ثوب أكبر من الخمار. وروى عن ابن عباس وأبن مسعود أنه الرداء. وقد قيل:
إنه القناع. والصحيح أنه الثوب الذي يستر جميع البدن. وفي صحيح مسلم عن أم عطية:
قلت: يا رسول الله إحدانا لا يكون لها جلباب ؟ قال: (لتلبسها أختها من جلبابها).
“Tentang firman Allah ta’ala : ‘dari jilbab-jilbabnya’.
Jalaabiib adalah jamak dari kata jilbab, yaitu pakaian yang lebih besar
daripada khimaar (kerudung). Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu Mas’uud
bahwa yang dimaksudkan dengan jilbab adalah ridaa’ (kain yang dipakai di
atas pakaian, semacam jubah atau mantel – Abul-Jauzaa’). Dikatakan
juga, jilbab adalah qinaa’. Dan yang benar, jilbab adalah pakaian yang
menutupi seluruh badan. Dalam Shahiih Muslim hadits dari Ummu ‘Athiyyah
: Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, diantara kami ada yang tidak memiliki
jilbaab’. Beliau ﷺ bersabda
: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbab untuknya” [Tafsiir
Al-Qurthubiy, 14/243].
Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahullah berkata:
وهي القناع الذي يكون فوق الخمار، والرداء
الذي يكون فوق الثياب
“Jilbaab adalah qinaa’ yang dipakai di atas khimaar,
dan ridaa’ yang dipakai di atas pakaian” [Jaami’ul-Bayaan,
19/216].
Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata:
والجِلْبَابُ : الإزَارُ والرّدَاء . وقيل
المِلْحَفَة . وقيل هو كالمِقْنَعَة تُغَطّي به المرأة رأسها وظَهْرَها وصدرَها
وَجَمْعُه جَلاَبيبُ
“Dan jilbab adalah izaar (kain sarung) dan ridaa’.
Dan dikatakan juga milhafah (kain yang menyelimuti badan di atas pakaian
– Abul-Jauzaa’). Dikatakan juga jilbab seperti milhafah yang
menutupi kepala, punggung, dan dada seorang wanita. Bentuk jamaknya jalaabiib”
[An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits, 1/784].
Saat menjelaskan hadits Ummu ‘Athiyyah radliyallaahu
‘anhaa, An-Nawawiy rahimahullah berkata:
فَقَوْله : ( لَا يَكُون لَهَا جِلْبَاب )
قَالَ النَّضْر بْن شُمَيْلٍ هُوَ ثَوْب
أَقْصَر وَأَعْرَض مِنْ الْخِمَار وَهِيَ الْمِقْنَعَة تُغَطِّي بِهِ الْمَرْأَة
رَأْسهَا وَقِيلَ : هُوَ ثَوْب وَاسِع دُون الرِّدَاء تُغَطِّي بِهِ صَدْرهَا ،
وَظَهْرهَا ، وَقِيلَ : هُوَ كَالْمَلَاءَةِ وَالْمِلْحَفَة ، وَقِيلَ : هُوَ
الْإِزَار ، وَقِيلَ : الْخِمَار .
“Tentang sabda beliau ﷺ : ‘tidak memiliki jilbaab’. An-Nadlr
bin Syumail berkata : ‘Jilbaab adalah jenis pakaian yang lebih pendek dan lebih
lebar daripada khimaar, yaitu kerudung yang menutupi kepala seorang
wanita. Dikatakan, jilbab adalah jenis pakaian lebar di bawah ridaa’
yang menutupi dada dan punggung wanita. Dikatakan, jilbab adalah malaa’ah[1]
dan milhafah. Dikatakan, jilbaab adalah kain sarung. Dikatakan, jilbab
adalah khimaar” [Syarh Shahiih Muslim, 6/180].
Hadits Ummu ‘Athiyyah
radliyallaahu ‘anhaa tersebut selengkapnya adalah sebagai berikut:
عَنْ
أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِى
الْفِطْرِ وَالأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا
الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلاَةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ
الْمُسْلِمِينَ. قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لاَ يَكُونُ لَهَا
جِلْبَابٌ قَالَ « لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا ».
Dari Ummu ‘Athiyyah,
ia berkata : Rasulullah ﷺ memerintahkan kami untuk mengeluarkan para gadis, wanita yang sedang haidl, dan
wanita yang sedang dipingit. Untuk wanita haidl, mereka memisahkan diri dari
orang yang melaksanakan shalat agar tetap menyaksikan kebaikan dan dakwah kaum
muslimin. Aku berkata : ‘Wahai Rasulullah, diantara kami ada yang tidak
memiliki jilbaab’. Beliau ﷺ bersabda : ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbab untuknya” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 890].
Hadits Ummu 'Athiyyah radliyallaahu 'anhaa di atas tidak menunjukkan berjilbab diperintahkan Allah dan Rasul-Nya karena adanya gangguan orang yang jahat, sehingga jika aman dari mereka boleh tidak berjilbab. Dapat kita lihat dalam hadits ini para wanita keluar
bersama keluarga mereka dan kaum muslimin dari kalangan sahabat Nabi radliyallaahu
‘anhum, manusia terbaik, dalam kondisi aman dengan tetap mengenakan jilbab. Bahkan, mereka yang tidak memiliki jilbab harus dipinjami agar mereka dapat keluar turut berkumpul bersama kaum muslimin yang lain di hari raya ‘Iedain.
Pendek kata,
hadits tersebut menunjukkan wanita tidak boleh keluar rumah kecuali dengan memakai jilbab.
Asy-Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah berkata:
فدل
على أن المعتاد عند نساء الصحابة ألا تخرج المرأة إلا بجلباب، وفي الأمر بلبس
الجلباب دليل على أنه لابد من التستر والحجاب
“Hadits
ini menunjukkan bahwa kebiasaan yang berlaku di kalangan wanita sahabat adalah
tidak keluar (rumah) kecuali dengan (memakai) jilbab. Dan dalam perintah
memakai jilbab tersebut merupakan dalil wajibnya menutup (aurat) dan berhijab (bagi
wanita muslimah)” [Majmuu’
Al-Fataawaa wal-Maqaalaat, 5/231].
Dari penjalasan para ulama di atas, jilbab adalah jenis
pakaian yang digunakan untuk menutupi aurat wanita. Ia dikenakan bersama pakaian
yang lain sehingga dapat benar-benar menutupi aurat secara sempurna. Firman
Allah ﷻ dalam
Surat Al-Ahzaab ayat 59 jelas memuat perintah mengulurkan jilbab ke seluruh
tubuh. Nabi ﷺ
bersabda:
احْفَظْ
عَوْرَتَكَ إِلَّا مِنْ زَوْجَتِكَ أَوْ مَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ
“Jagalah auratmu kecuali pada istri atau budak
yang engkau miliki” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2769 & 2794,
Abu Daawud no. 4017, Ibnu Maajah no. 1920, dan yang lainnya. At-Tirmidziy
mengatakan hadits ini hasan[2]].
Maksud dari jagalah auratmu adalah tutupilah
auratmu seluruhnya [Haasyiyyah As-Sindiy ‘alaa Ibni Maajah, 4/172]. Meskipun
teks perintah beliau ﷺ untuk menutup seluruh aurat kepada laki-laki, namun
berlaku juga kepada wanita.
Apa batasan aurat yang wajib ditutup bagi wanita? Para ulama berbeda
pendapat. Akan tetapi mereka tidak keluar dari batasan wajibnya menutup anggota
badan selain wajah dan telapak tangan. Dalilnya:
عَنْ
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا: أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَأَعْرَضَ عَنْهَا رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ وَقَالَ: " يَا أَسْمَاءُ إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ
الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا هَذَا وَهَذَا، وَأَشَارَ
إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ "
Dari ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa :
Bahwasannya Asmaa’ bintu Abi Bakr pernah menemui Rasulullah ﷺ dengan mengenakan pakaian yang tipis. Maka
Rasulullah ﷺ pun
berpaling darinya dan bersabda : ‘Wahai Asmaa’, sesungguhnya apabila seorang wanita
telah haidl (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini. Beliau
ﷺ berisyarat menunjuk wajahnya dan kedua telapak
tangannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4104, dan ia berkata : ‘Mursal’.
Begitu juga dikatakan oleh Abu Haatim Ar-Raaziy. Al-Albaaniy rahimahumullah menghasankannya
dalam Shahiih At-Targhiib wat-Tarhiib no. 2045].
Allah ﷺ berfirman:
وَلا
يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” [QS. An-Nuur : 31].
حَدَّثَنَا
زِيَادُ بْنُ الرَّبِيعِ، عَنْ صَالِحٍ الدَّهَّانِ، عَنْ جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ،
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ: وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ قَالَ: " الْكَفُّ
وَرُقْعَةُ الْوَجْهِ "
Telah menceritakan kepada kami Ziyaad bin Ar-Rabii’,
dari Shaalih Ad-Dahhaan, dari Jaabir bin Zaid, dari Ibnu ‘Abbaas tentang firman
Allah ﷻ : ‘Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, (kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya) (QS. An-Nuur : 31)’, ia berkata : “Telapak tangan dan area
wajah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 3/383 no. 17165; sanadnya shahih[3]].
حَدَّثَنَا
حَفْصٌ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُسْلِمٍ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ، عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ: وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا ظَهَرَ مِنْهَا قَالَ:
" وَجْهُهَا وَكَفُّهَا "
Telah menceritakan kepada kami Hafsh, dari ‘Abdullah
bin Muslim, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas tentang ayat ‘Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya” (QS. An-Nuur : 31), ia berkata : “Wajah dan telapak tangannya”
[idem, 3/384 no. 17181; sanadnya lemah namun dikuatkan dengan riwayat sebelumnya sehingga hasan lighairihi].
حَدَّثَنِي
علي بْنُ سَهْلٍ، قال: ثنا الْوَلِيدُ بْنُ مُسْلِمٍ، قال: ثنا أَبُو عَمْرٍو،
عَنْ عَطَاءٍ، " فِي قَوْلِ اللَّهِ: وَلا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلا مَا
ظَهَرَ مِنْهَا، قَالَ: الْكَفَّانِ وَالْوَجْهُ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Sahl, ia
berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid bin Muslim, ia berkata :
Telah menceritakan kepada kami Abu ‘Amru, dari ‘Athaa’ (bin Abi Rabbaah)
tentang firman Allah ﷻ : ‘‘Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak
daripadanya” (QS. An-Nuur : 31), ia berkata : “Dua telapak tangan dan wajah”
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan, 19/157; sanadnya
hasan].
Inilah yang dikatakan sekelompok ulama salaf dulu
tentang ayat ini[4].
Zakariyyaa Al-Anshaariy Asy-Syaafi’iy rahimahullah
berkata:
( وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِي الصَّلَاةِ وَعِنْدَ الْأَجْنَبِيِّ )
وَلَوْ خَارِجَهَا ( جَمِيعُ بَدَنِهَا إلَّا الْوَجْهَ ، وَالْكَفَّيْنِ )
ظَهْرًا وَبَطْنًا إلَى الْكُوعَيْنِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى { وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا } قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُهُ مَا
ظَهَرَ مِنْهَا وَجْهُهَا وَكَفَّاهَا وَإِنَّمَا لَمْ يَكُونَا عَوْرَةً
“Aurat
wanita merdeka dalam shalat dan di depan orang asing (ajnabiy), meskipun
di luar shalat, adalah seluruh badannya kecuali wajah dan dua telapak tangan,
bagian luar maupun bagian dalam telapak tangan hingga pangkal pergelangan (tulang
yang menonjol – Abul-Jauzaa’) berdasarkan firman-Nya ﷺ : ‘Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya” (QS. An-Nuur : 31).
Ibnu ‘Abbaas berkata : ‘Kecuali yang (biasa) nampak daripadanya, yaitu
wajahnya dan kedua telapak tangannya, yang keduanya itu bukan termasuk aurat” [Asnal-Mathaalib,
3/41].
An-Nawawiy rahimahullah berkata:
وأما
عورة الحرة فجميع بدنها الا الوجه والكفين إلى الكوعين وحكى الخراسانيون قولا
وبعضهم يحكيه وجها أن باطن قدميها ليس بعورة وقال المزني القدمان ليسا بعورة
والمذهب الاول
“Adapun aurat wanita merdeka adalah seluruh
badannya kecuali wajah dan kedua telapak tangan hingga dua pangkal pergelangan
(tulang yang menonjol). Penduduk Khuarasaan menghikayatkan satu pendapat
(Asy-Syaafi’iy) dan sebagian mereka menghikayatkan pendapat (dari ashhaab-nya),
bahwa bagian dalam telapak kaki bukan aurat. Al-Muzanniy berkata : ‘Kedua telapak kaki
bukan termasuk aurat’. Dan pendapat terkuat madzhab adalah yang pertama (aurat
adalah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan – Abul-Jauzaa’)”
[Al-Majmuu’, 3/168].
Sebagai penguat telapak kaki wanita
seluruhnya termasuk aurat adalah hadits berikut:
عَنِ
ابْنِ عُمَرَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ رَخَّصَ لِلنِّسَاءِ أَنْ يُرْخِينَ
شِبْرًا، فَقُلْنَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِذَنْ تَنْكَشِفَ أَقْدَامُنَا؟ فَقَالَ:
" ذِرَاعًا، وَلَا تَزِدْنَ عَلَيْهِ "
Dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Rasulullah ﷺ memberikan keringanan bagi para wanita
untuk memanjangkan kainnya sejengkal (dari mata kaki). Mereka berkata : “Bagaimana
jika telapak kaki kami masih tersingkap?”. Beliau ﷺ menjawab : “Panjangkan lagi satu hasta”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 2/24; shahih].
Para shahabiyyat menganggap telapak kaki tidak
boleh terlihat sehingga mereka meminta tambahan lagi agar tidak tersingkap. Hadits
ini menunjukkan telapak kaki adalah aurat yang harus ditutup.
Inilah syari’at Islam yang wajib diimani dan
dilaksanakan setiap wanita muslimah. Yaitu, wajib bagi mereka menutup aurat kecuali wajah
dan kedua telapak tangan, menurut pendapat yang shahih. Pendapat yang lain
menyatakan wajah dan telapak tangan termasuk aurat sehingga wajib memakai cadar
dan kaus tangan. Saya tidak akan membahasnya. Yang menjadi poin penting adalah
mereka (ulama Islam) semuanya sepakat wanita wajib menutup aurat dari yang
dikecualikan dengan jilbab.
Sebelum era Islam, masyarakat Arab jahiliyyah tidak
mempunyai budaya menutup aurat. Bahkan, mereka thawaf mengelilingi Ka’bah dengan
telanjang.
حَدَّثَنَا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ. ح وحَدَّثَنِي
أَبُو بَكْرِ بْنُ نَافِعٍ وَاللَّفْظُ لَهُ، حَدَّثَنَا غُنْدَرٌ، حَدَّثَنَا
شُعْبَةُ، عَنْ سَلَمَةَ بْنِ كُهَيْلٍ، عَنْ مُسْلِمٍ الْبَطِينِ، عَنْ سَعِيدِ
بْنِ جُبَيْرٍ، عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: " كَانَتِ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ
بِالْبَيْتِ وَهِيَ عُرْيَانَةٌ، فَتَقُولُ: مَنْ يُعِيرُنِي تِطْوَافًا
تَجْعَلُهُ عَلَى فَرْجِهَا، وَتَقُولُ:.
الْيَوْمَ يَبْدُو
بَعْضُهُ أَوْ كُلُّهُ فَمَا بَدَا مِنْهُ فَلَا أُحِلُّهُ "
" فَنَزَلَتْ هَذِهِ
الْآيَةُ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin
Basysyaar : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far (ح). Dan telah menceritakan kepadaku Abu Bakr
bin Naafi’ - dan lafadh hadits ini adalah miliknya - : Telah menceritakan
kepada kami Ghundar : Telah menceritakan kepada kami Syu’bah, dari Salamah bin
Kuhail, dari Muslim Al-Bathiin, dari Sa’iid bin Jubair, dari Ibnu ‘Abbaas, ia
berkata : “Dulu para wanita melakukan thawaf di Baitullah dengan telanjang
seraya berkata : ‘Siapakah yang mau meminjamiku baju untuk thawaf yang digunakan
menutupi kemaluan?’. Dan wanita itu berkata : ‘‘Pada hari nampak
sebagian atau seluruhnya…. Dan apa yang telah nampak darinya, aku tidak menghalalkannya’.
Maka turunlah ayat ini : ‘Pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
masjid’ (QS. Al-A’raaf : 31)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 3028].
وحَدَّثَنَا
أَبُو كُرَيْبٍ، حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، حَدَّثَنَا هِشَامٌ، عَنْ أَبِيهِ،
قَالَ: " كَانَتِ الْعَرَبُ تَطُوفُ بِالْبَيْتِ عُرَاةً إِلَّا الْحُمْسَ
وَالْحُمْسُ قُرَيْشٌ، وَمَا وَلَدَتْ كَانُوا يَطُوفُونَ عُرَاةً إِلَّا أَنْ
تُعْطِيَهُمُ الْحُمْسُ ثِيَابًا، فَيُعْطِي الرِّجَالُ الرِّجَالَ وَالنِّسَاءُ
النِّسَاءَ
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib : Telah
menceritakan kepada kami Abu Usaamah : Telah menceritakan kepada kami Hisyaah,
dari ayahnya (‘Urwah bin Jubair), ia berkata : “Dulu orang Arab melakukan
thawaf di Baitullah dengan telanjang, kecuali humus, dan humus adalah orang
Quraisy dan keturunannya. Mereka (orang-orang Arab jahiliyyah) melakukan thawaf
sambil telanjang, kecuali apabila diberi pakaian oleh humus. Laki-laki memberi
pakaian kepada laki-laki, dan wanita memberi pakaian kepada wanita….” [Diriwayatkan
oleh Muslim no. 1219. Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhaariy no. 1665].
حَدَّثَنَا
حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا أَيُّوبُ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ قَالَ:
كَانَ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ يَطُوفُونَ بِالْبَيْتِ عُرَاةً، يَقُولُونَ:
نَطُوفُ فِي ثِيَابِنَا الَّتِي نُصَلِّي فِيهَا فَكَانَتِ الْمَرْأَةُ تَطُوفُ
عُرْيَانَةً وَتَقُولُ:
الْيَوْمُ يَبْدُو
بَعْضُهُ أَوْ كُلُّهُ وَمَا بَدَا مِنْهُ فَلا أُحِلُّهُ
Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid : Telah
menceritakan kepada kami Ayyuub, dari Sa’iid bin Jubair, ia berkata : “Dulu orang-orang
Jahiliyyah melakukan thawaf di Baitullah dengan telanjang. Mereka berkata : ‘Kami
thawaf dengan pakaian-pakaian kami yang kami shalat dengannya. Wanita melakukan
thawaf dengan telanjang seraya berkata : ‘Pada hari nampak sebagian atau
seluruhnya…. Dan apa yang telah nampak darinya, aku tidak menghalalkannya’
[Diriwayatkan oleh ‘Affaan bin Muslim dalam Ahaadiits-nya no. 83;
shahih].
Setelah Islam datang, Allah ﷻ dan Rasul-Nya ﷺ mewajibkan kaum muslimin – laki-laki dan
wanita – untuk menutup aurat. Jadi, perintah untuk berjilbab dan berpakaian menutup aurat bukan budaya Arab, tapi syari’at Islam.
Begitu pula ketika Islam datang ke Indonesia, sama.
Masyarakat yang semula berbudaya pagan, klenik, syirik, animisme, dinamise, atau
bahkan tak bertuhan (ateis) dikenalkan dengan syari’at Islam. Mereka yang
semula telanjang atau setengah telanjang (dengan kemben, konde, baju seadanya,
atau yang semisalnya), saat memeluk Islam, mereka diperintah untuk menutup
aurat. Sama seperti syari’at yang berlaku di Arab dan daerah lainnya di dunia, karena syariat
Islam adalah universal.
Para wanita Nusantara zaman dulu telah
mengenakannya, berikut dokumentasinya:
Foto di atas merupakan koleksi Digital Collection
Leiden University Libraries dengan judul “Maleise priesteressen,
vermoedelijk uit Pajakoemboh” (Pengajar Agama/Ustadzah dari Payakumbuh).
Diterbitkan sekitar tahun 1867.
Foto di atas juga merupakan koleksi Digital Collection
Leiden University Libraries dengan judul “Huwelijksceremonie volgens de Adat
Lampoeng Pepadon in de Lampongse districten (Upacara Pernikahan adat Pepadun
di Daerah Lampung)”. Foto terbit sekitar tahun 1900.
Foto di atas merupakan koleksi Nationaal Museum van
Wereldculturen dengan judul "Portret van de vrouw en zuster van
Panglima Polem” (Foto istri dan saudara perempuan Panglima Polim). Bisa
dibaca di sini.
Foto di atas, ibu yang menggendong anaknya, tersimpan
di Tropenmuseum Amsterdam dengan judul "Portret van een vrouw met kind
uit Sarolangoen te Djambi (Foto Seorang Wanita dengan Anaknya di Sarolangun, Jambi)".
Foto di atas adalah Syaikhah Hajjah Rangkayo Rahmah El
Yunusiyah rahimahallah (1900 - 1969), berjilbab hitam di tengah bersama
wanita koleganya. Bisa dibaca di sini.
Foto di atas adalah anggota Nasyi'atul Aisyiyah cabang
Payakumbuh tahun 1952.
Foto di atas adalah siswi-siswi Sekolah Guru Puteri
sekitar tahun 1950-an.
Foto di atas adalah anak-anak kaum muslimin TK Aisyiyyah Bustanul-Athfal
Angkatan pertama tahun 1919. Mereka sudah diajari dari kecil untuk berjilbab
(meskipun sebagian gurunya belum sempurna dalam mengenakan hijab). Yang
digarisbawahi adalah mengajarkan pakaian menutup aurat semenjak kecil - dengan
segala keterbatasan yang ada zaman itu.
Itulah sedikit dokumentasi jejak sejarah
pakaian muslimah di Indonesia. Jilbab telah dipakai semenjak dulu, pra-kemerdekaan.
Adapun jika saat ini ada orang yang mengatakan
jilbab adalah budaya Arab, basi. Kuno, nggak ada nilainya. Apalagi pernyataan
sosok wanita kacau istri orang kacau tempo hari yang mengatakan jilbab tidak
wajib. Mungkin dia ingin melestarikan budaya pra Islam dengan mengambil
setengah-setengah : setengah pagan, setengah Islam (Nusan***a).
Allaahul-musta’aan.
Semoga Allah ta’ala senantiasa memberikan
petunjuk kepada kita dan mengokohkan kita menjalankan syari’at Islam. Semoga
Allah ﷻ memberikan petunjuk kepada orang yang menginginkan syari’at Islam tercampuri budaya pagan di negeri kita; atau mengistirahatkannya sehingga kita juga dapat istirahat dari gangguannya.
[abul-jauzaa’ – 25012020].
[1] Sejenis pakaian yang terdiri dari satu potong
yang dijahit sehingga memiliki dua celah/lubang.
[2] Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata
tentang hadits ini:
قَدْ حَكَى الْحَاكِم الِاتِّفَاق عَلَى تَصْحِيح حَدِيث بَهْز بْن
حَكِيم عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدّه وَنَصَّ عَلَيْهِ الْإِمَام أَحْمَد وَعَلِيّ بْن
الْمَدِينِيّ وَغَيْرهمَا . وَاللَّهُ أَعْلَم
“Al-Haakim
menghikayatkan adanya kesepakatan ulama dalam menshahihkan hadits Bahz bin Hakiim,
dari ayahnya, dari kakeknya. Dan hal tersebut juga dikatakan oleh Ahmad, ‘Aliy
bin Al-Madiiniy, dan yang lainnya, wallaahu a’lam” [Mukhtashar Sunan
Abi Daawud wa ma’ahu Ma’aalimus-Sunan wa Tahdziibu Sunan Abi Daawud, 4/15].
[3] Shaalih Ad-Dahhaan dalam sanad atsar ini adalah Shaalih bin Ibraahiim Ad-Dahhaan, Abu Nuuh. Ahmad bin Hanbal
berkata : “Tidak mengapa dengannya”. Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Shaalih
Ad-Dahhaan tsiqah”. [Al-Jarh wat-Ta’diil, 4/393-394 no. 1722 dan Al-‘Ilal
oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal no. 3191]. Ibnu Hibbaan memasukkanya
dalam Ats-Tsiqaat (6/457) dan ia menyebutkan Syu’bah bin Al-Hajjaaj
meriwayatkan hadits darinya.
[4] Untuk menambah pengetahuan tentang pembahasan
QS. An-Nuur ayat 31, silakan baca artikel : Apa
Makna Perhiasan dalam QS. An-Nuur : 31 ?.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar