Shalat
seorang ahli bid’ah yang kebid’ahannya tidak sampai pada batas kekafiran adalah
sah. Maka, seseorang yang shalatnya sah bagi dirinya sendiri, maka sah pula
shalat orang yang bermakmum di belakangnya (tidak menjadi batal). Pelaku bid’ah
(ahli bid’ah) yang tidak sampai pada batas kekafiran sama kedudukannya dengan
orang fasik. Batasan kebid’ahan yang masih masuk dalam wilayah Islam inilah
yang dibahas dalam artikel.
Dalil
kebolehan dan keabsahan shalat seseorang yang bermakmum di belakang ahli bid’ah
diantaranya:
1.
Hadits Abu Dzarr radliyallaahu
‘anhu
عَنْ
أَبِي ذَرٍّ، قَالَ: قَالَ لِي رَسُولُ اللَّهِ: " كَيْفَ أَنْتَ، إِذَا
كَانَتْ عَلَيْكَ أُمَرَاءُ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا، أَوْ
يُمِيتُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا؟ قَالَ: قُلْتُ: فَمَا تَأْمُرُنِي؟ قَالَ:
صَلِّ الصَّلَاةَ لِوَقْتِهَا، فَإِنْ أَدْرَكْتَهَا مَعَهُمْ، فَصَلِّ،
فَإِنَّهَا لَكَ نَافِلَةٌ "
Dari Abu Dzarr, ia
berkata : Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku : "Bagaimana halnya
jika engkau dipimpin oleh para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya
atau mematikan shalat[1]
dari waktunya?”. Abu Dzarr berkata : Aku katakan : “Lantas, apa yang engkau
perintahkan kepadaku?”. Beliau ﷺ bersabda : "Kerjakanlah shalat pada
waktunya. Apabila engkau dapati shalat bersama mereka, maka shalatlah, karena
shalat tersebut bagimu adalah naafilah (shalat sunnah)"
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 648].
Sisi pendalilannya, Rasulullah
ﷺ tetap memerintahkan kita shalat di
belakang penguasa yang melakukan kemaksiatan atau kebid’ahan. Perbuatan menunda-nunda
shalat dan mengakhirkan shalat hingga hampir habis waktu adalah kefasikan.
حَدَّثَنَا
أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ، عَنِ الْأَسْوَدِ،
وَعَلْقَمَةَ، قَالَا: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ: " إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ
أُمَرَاءٌ يُؤَخِّرُونَ الصَّلَاةَ عَنْ وَقْتِهَا وَيَخْنُقُونَهَا إِلَى شَرَقِ
الْمَوْتَى، فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمْ قَدْ فَعَلُوا ذَلِكَ ؛ فَصَلُّوا فِي
بُيُوتِكُمْ، ثُمَّ اجْعَلُوا صَلَاتَكُمْ سُبْحَةً "
Telah menceritakan
kepada kami Abu Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim, dari Al-Aswad dan ‘Alqamah,
keduanya berkata : Telah berkata ‘Abdullah (bin Mas’uud) : “Kelak akan datang
kepada kalian para penguasa yang mengakhirkan shalat dari waktunya dan
mengundur-undur pelaksanaannya hinga hampir habis. Apabila kalian melihat
mereka melakukan perbuatan tersebut, maka shalatlah di rumah-rumah kalian kemudian
jadikan shalat kalian (bersama mereka) sebagai shalat sunnah” [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah 3/375 no. 7665; shahih].
حَدَّثَنَا
وَكِيعٌ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنِ الْأَعْمَشِ، قَالَ: " رَأَيْتُ
إِبْرَاهِيمَ، وَخَيْثَمَةَ يُصَلِّيَانِ الظُّهْرَ، وَالْعَصْرَ فِي
بُيُوتِهِمَا، ثُمَّ يَأْتِيَانِ الْحَجَّاجَ فَيُصَلِّيَانِ مَعَهُ "
Telah menceritakan
kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Al-A’masy, ia
berkata : “Aku pernah melihat Ibraahiim dan Khaitsamah mengerjakan shalat
Dhuhur dan ‘Ashar di rumah-rumah mereka, kemudian mendatangi Al-Hajjaaj[2]
lalu shalat bersamanya” [idem no. 7667; shahih].
عَنِ
ابْنِ جُرَيْجٍ، عَنْ عَطَاءٍ، قَالَ: أَخَّرَ الْوَلِيدُ مَرَّةً الْجُمُعَةَ
حَتَّى أَمْسَى، قال: فَصَلَّيْتُ الظُّهْرَ قَبْلَ أَنْ أَجْلِسَ، ثُمَّ
صَلَّيْتُ الْعَصْرَ وَأَنَا جَالِسٌ وَهُوَ يَخْطُبُ
Dari Ibnu Juraij,
dari ‘Athaa’, ia berkata : “Al-Waliid (bin ‘Abdil-Malik) pernah sekali
mengakhirkan pelaksanaan shalat Jum’at hingga sore. Maka aku shalat Dhuhur
sebelum aku duduk, kemudian aku shalat ‘Ashar dalam keadaan duduk[3]
(dan berisyarat) sedangkan ia (Al-Waliid) berkhuthbah…” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq
2/385 no. 3795; shahih].
2.
Hadits Abu Hurairah radliyallaahu
‘anhu
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ
أَصَابُوا فَلَكُمْ، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Dari Abu Hurairah :
Bahwasannya Rasulullah ﷺ
bersabda : “Mereka shalat mengimami kalian. Apabila mereka benar, kalian
mendapatkan pahala; namun apabila mereka keliru/dosa, kalian tetap mendapatkan
pahala dan bagi mereka dosanya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 694].
Al-Haafidh rahimahullah
berkata saat menjelaskan hadits di atas:
قَالَ
الْمُهَلَّبُ : فِيهِ جَوَاز الصَّلَاة خَلْفَ الْبَرِّ وَالْفَاجِر إِذَا خِيفَ
مِنْهُ . وَوَجَّهَ غَيْرُهُ قَوْلَهُ إِذَا خِيفَ مِنْهُ بِأَنَّ الْفَاجِر
إِنَّمَا يَؤُمُّ إِذَا كَانَ صَاحِبَ شَوْكَةٍ
“Al-Muhallab berkata
: ‘Dalam hadits ini terdapat dalil kebolehan shalat di belakang orang yang faajir/durhaka
apabila khawatir terhadap (kejahatan)-nya. Dan sebagian ulama lain menjelaskan perkataannya
‘apabila khawatir terhadap (kejahatan)-nya’ adalah karena orang yang faajir
hanya dapat mengimami (satu kaum) apabila dirinya seorang yang memiliki
kekuasaan/kekuatan” [Fathul-Baariy, 2/188].
Dulu,
sebagian shahabat – diantaranya Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu – pernah
shalat di belakang Hajjaaj bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy:
عَنْ نَافِعٍ، أَنَّ ابْنَ عُمَرَ
اعْتَزَلَ بِمِنًى فِي قِتَالِ ابْنِ الزُّبَيْرِ وَالْحَجَّاجُ بِمِنًى فَصَلَّى
مَعَ الْحَجَّاجِ
Dari
Naafi : Bahwasannya Ibnu ‘Umar pernah memisahkan diri di Mina saat terjadi
peperangan Ibnuz-Zubair, sedangkan saat itu Al-Hajjaaj ada di Minaa. Maka Ibnu
‘Umar shalat bersama Al-Hajjaaj” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad
hal. 350 no. 237, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath 4/115 no. 1863
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/121 no. 5301; shahih].
Begitu
juga, Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhu pernah shalat di belakang Najdah
Al-Haruuriy (salah seorang pemimpin kelompok Khawaarij):
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ يُونُسَ، قَالَ:
حَدَّثَنَا أَبُو شِهَابٍ، عَنْ يُونُسَ، عَنْ نَافِعٍ، قَالَ: قِيلَ لابْنِ
عُمَرَ زَمَنَ ابْنِ الزُّبَيْرِ، وَالْخَوَارِجِ، وَالْخَشَبَيَّةِ: أَتُصَلِّي
مَعَ هَؤُلاءِ وَمَعَ هَؤُلاءِ وَبَعْضُهُمْ يَقْتُلُ بَعْضًا؟ قَالَ: فَقَالَ:
" مَنْ قَالَ: حَيَّ عَلَى الصَّلاةِ أَجَبْتُهُ، وَمَنْ قَالَ: حَيَّ عَلَى
الْفَلاحِ أَجَبْتُهُ، وَمَنْ قَالَ: حَيَّ عَلَى قَتْلِ أَخِيكَ وَأَخْذِ مَالِهِ
قُلْتُ: لا
Telah
mengkhabarkan kepada kami Ahmad bin Yuunus, ia berkata : Telah menceritakan
kepada kami Abu Syihaab, dari Yuunus, dari Naafi’, ia berkata : Pernah
dikatakan kepada Ibnu ‘Umar pada zaman (fitnah) Ibnuz-Zubair, Khawaarij, dan
Khasyabiyyah[4] :
“Apakah engkau shalat bersama mereka dan mereka, sedangkan sebagian mereka
membunuh sebagian yang lain?”. Maka Ibnu ‘Umar menjawab : “Barangsiapa yang
mengatakan ‘hayya ‘alash-shalaah’ (mari kita mengerjakan shalat), maka
aku menjawab seruannya. Barangsiapa yang mengatakan ‘hayya ‘alal-falaah’
(mari kita menuju kemenangan), maka akupun menjawab seruannya. Namun
barangsiapa yang mengatakan : ‘mari kita membunuh saudaramu dan mengmbil
hartanya’, maka aku tidak menjawab seruannya itu” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 4/404; shahih].
Dalam
riwayat lain dari Sawwaar bin Labiib, ia berkata:
حَجَّ نَجْدَةُ الْحَرُورِيُّ فِي
أَصْحَابِهِ، فَوَادَعَ ابْنَ الزُّبَيْرِ، فَصَلَّى هَذَا بِالنَّاسِ يَوْمًا
وَلَيْلَةً وَهَذَا بِالنَّاسِ يَوْمًا وَلَيْلَة، فَصَلَّى ابْنُ عُمَرَ
خَلْفَهُمَا، فَاعْتَرَضَهُ رَجُلٌ، فَقَالَ: يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ
أَتُصَلِّي خَلْفَ نَجْدَةَ الْحَرُورِيِّ؟ فَقَالَ ابْنُ عُمَرَ: " إِذَا
نَادَوْا: حَيَّ عَلَى خَيْرِ الْعَمَلِ أَجَبْنَا، وَإِذَا نَادَوْا: حَيَّ عَلَى
قَتْلِ نَفْسٍ، قُلْنَا: لا، وَرَفَعَ بِهَا صَوْتَهُ "
“Najdah
Al-Haruuriy pernah menunaikan haji[5]
bersama kawan-kawannya, lalu ia mengadakan perdamaian dengan Ibnuz-Zubair. Ibnuz-Zubair
mengimami manusia shalat selama sehari dan semalam, dan Najdah juga mengimami
shalat manusia selama sehari dan semalam. Ibnu ‘Umar shalat di belakang
keduanya. Ada seseorang yang merasa keberatan terhadap apa yang dilakukannya
seraya berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahmaan, apakah engkau shalat di belakang
Najdah Al-Haruuriy?”. Ibnu ‘Umar menjawab : “Apabila mereka menyeru ‘marilah
kita mengerjakan sebaik-baik amalan (yaitu shalat – Abul-Jauzaa’),
aku menjawab seruannya’. Apabila mereka menyeru : ‘marilah kita membunuh
jiwa’, kami katakan : ‘Tidak !’ – seraya meninggikan suaranya [Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Zamaniin dalam Ushuulus-Sunnah hal. 283 no. 209].
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
ومما يدل على أن الصحابة لم يكفروا الخوارج
أنهم كانوا يصلون خلفهم وكان عبد الله بن عمر رضي الله عنه وغيره من الصحابة يصلون
خلف نجدة الحروري
“Dan
termasuk dalil yang menunjukkan para shahabat tidak mengkafirkan Khawaarij
adalah bahwa mereka shalat di belakang Khawaarij. ‘Abdullah bin ‘Umar dan yang
lainnya dari kalangan shahabat pernah shalat di belakang Najdah Al-Haruuriy” [Minhaajus-Sunnah,
5/247].
Atsar lain:
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ
خِيَارٍ، أَنَّهُ دَخَلَ عَلَى عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ
وَهُوَ مَحْصُورٌ، فَقَالَ: إِنَّكَ إِمَامُ عَامَّةٍ، وَنَزَلَ بِكَ مَا نَرَى،
وَيُصَلِّي لَنَا إِمَامُ فِتْنَةٍ وَنَتَحَرَّجُ، فَقَالَ: " الصَّلَاةُ
أَحْسَنُ مَا يَعْمَلُ النَّاسُ، فَإِذَا أَحْسَنَ النَّاسُ فَأَحْسِنْ مَعَهُمْ،
وَإِذَا أَسَاءُوا فَاجْتَنِبْ إِسَاءَتَهُمْ "، وَقَالَ الزُّبَيْدِيُّ:
قَالَ الزُّهْرِيُّ: لَا نَرَى أَنْ يُصَلَّى خَلْفَ الْمُخَنَّثِ إِلَّا مِنْ
ضَرُورَةٍ لَا بُدَّ مِنْهَا
Dari
‘Ubaidullah bin ‘Adiy bin Khiyaar : Bahwasannya ia pernah keluar menemui
‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhu yang saat itu dirinya sedang
terkepung/diblokade. ‘Ubaidullah berkata : “Sesungguhnya engkau adalah imam
bagi seluruh rakyat dan saat ini engkau sedang tertimpa musibah pemblokadean sebagaimana
yang kami saksikan. Kami shalat di belakang imam fitnah dan kami khawatir
tertimpa dosa (karenanya)”. ‘Utsmaan berkata : “Shalat adalah sebaik-baik
amalan yang dilakukan manusia. Apabila manusia melakukan kebaikan (dengan
mendirikan shalat), maka lakukanlah kebaikan bersama mereka. Apabila mereka
mengerjakan kejelekan, maka jauhilah”. Az-Zubaidiy (yaitu perawi – Abul-Jauzaa’)
berkata : Az-Zuhriy berkata : “Kami tidak berpendapat bolehnya shalat di
belakang orang banci kecuali alasan darurat yang mengharuskannya” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 695].
Al-Bukhaariy
rahimahullah meletakkan hadits/atsar di atas dalam Bab : Keimaman Orang
yang Terfitnah dan Mubtadi’ (بَاب إِمَامَةِ
الْمَفْتُونِ وَالْمُبْتَدِعِ) [Al-Jaami’ush-Shahiih, 1/231].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:
ظَاهِره أَنَّهُ رَخَّصَ لَهُ فِي
الصَّلَاة مَعَهُمْ كَأَنَّهُ يَقُول لَا يَضُرُّك كَوْنُهُ مَفْتُونًا ، بَلْ
إِذَا أَحْسَنَ فَوَافِقْهُ عَلَى إِحْسَانه وَاتْرُكْ مَا اِفْتَتَنَ بِهِ ،
وَهُوَ الْمُطَابِق لِسِيَاقِ الْبَاب
“Yang
nampak dari atsar tersebut bahwa ‘Utsmaan memberikan keringanan (rukhshah)
baginya untuk shalat bersama mereka, seakan-akan ia berkata : ‘Tidak
membahayakanmu keberadaan dirinya yang terfitnah’. Bahkan, apabila ia berbuat
baik maka dukunglah ia dalam kebaikannya itu, serta tinggalkan apa yang dirinya
terfitnah dengannya. Dan itu sesuai dengan konteks bab….” [Fathul-Baariy,
2/189].
Al-Haafidh
rahimahullah melanjutkan:
فِيهِ تَحْذِير مِنْ الْفِتْنَة
وَالدُّخُول فِيهَا وَمِنْ جَمِيع مَا يُنْكَرُ مِنْ قَوْل أَوْ فِعْلٍ أَوْ
اِعْتِقَاد ، وَفِي هَذَا الْأَثَر الْحَضّ عَلَى شُهُود الْجَمَاعَة وَلَا
سِيَّمَا فِي زَمَن الْفِتْنَة لِئَلَّا يَزْدَادَ تَفَرُّقُ الْكَلِمَة ، وَفِيهِ
أَنَّ الصَّلَاة خَلْفَ مَنْ تُكْرَهُ الصَّلَاة خَلْفَهُ أَوْلَى مِنْ تَعْطِيل
الْجَمَاعَة ، وَفِيهِ رَدٌّ عَلَى زَعْمِ أَنَّ الْجُمُعَة لَا يُجْزِئُ أَنْ
تُقَامَ بِغَيْرِ إِذْنِ الْإِمَامِ
“Dalam
atsar ini terkandung dalil peringatan terhadap fitnah, masuk ke dalamnya, dan
seluruh apa yang diingari baik berupa perkataan, perbuatan, maupun keyakinan.
Dalam atsar ini terdapat himbauan untuk menghadiri shalat berjama’ah, lebih
khusus lagi pada zaman fitnah, agar tidak semakin bertambah perpecahan kalimat
(persatuan kaum muslimin). Dalam atsar ini juga terdapat dalil bahwa shalat di
belakang orang yang dibenci shalat di belakangnya lebih utama dibandingkan
meniadakan jama’ah. Dalam atsar ini juga terkandung bantahan terhadap anggapan
bahwa shalat Jum’at tidak sah ditegakkan tanpa izin imam” [idem, 2/190].
Setelah
menyebutkan judul bab, Al-Bukhaariy menyebutkan atsar mu’allaq dari Al-Hasan
(Al-Bashriy) rahimahumallah[6]:
صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ
“Shalatlah (bersamanya) dan dosa kebid’ahannya menjadi
tanggungannya sendiri” [Al-Jaami’ush-Shahiih, 1/231].
Masih
atsar Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah:
عَنِ الْحَكَمِ بْنِ عَطِيَّةَ، قَالَ:
سَأَلْتُ الْحَسَنَ، فَقُلْتُ: رَجُلٌ مِنَ الْخَوَارِجِ يَؤُمُّنَا أَنُصَلِّي
خَلْفَهُ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَدْ أَمَّ النَّاسَ مَنْ هُوَ أَشَرُّ مِنْهُ
Dari
Al-Hakam bin ‘Athiyyah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Al-Hasan. Aku
berkata : “Ada seorang laki-laki dari kalangan Khawaarij mengimami kami. Apakah
kami boleh shalat di belakangnya ?”. Ia menjawab : “Ya, boleh. Sungguh manusia pernah
diimami seseorang yang lebih jelek daripadanya[7]”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Zamaniin dalam Ushuulus-Sunnah hal. 284 no.
211; shahih].
Sebagian
orang mentaqyiid bolehnya shalat di belakang imam/waliyul-amri dari kalangan
pelaku bid’ah adalah hanya khusus shalat Jum’ah dan ‘Iedain saja berdasarkan beberapa
atsar di bawah:
Sufyaan
Ats-Tsauriy (w. 161 H) pernah berkata kepada Syu’aib bin Harb (w. 197 H) rahimahumallah:
يَا شُعَيْبُ لا يَنْفَعُكَ مَا كَتَبْتَ
حَتَّى تَرَى الصَّلاةَ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ، وَالْجِهَادَ مَاضِيً إِلَى
يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَالصَّبْرَ تَحْتَ لِوَاءِ السُّلْطَانِ جَارَ أَمْ عَدَلَ
". قَالَ شُعَيْبٌ: فَقُلْتُ لِسُفْيَانَ: يَا أَبَا عَبْدِ اللَّهِ:
الصَّلاةُ كُلُّهَا؟ قَالَ: " لا، وَلَكِنْ صَلاةُ الْجُمُعَةِ
وَالْعِيدَيْنِ ، صَلِّ خَلْفَ مَنْ أَدْرَكْتَ، وَأَمَّا سَائِرُ ذَلِكَ فَأَنْتَ
مُخَيَّرٌ، لا تُصَلِّ إِلا خَلْفَ مَنْ تَثِقُ بِهِ، وَتَعْلَمُ أَنَّهُ مِنْ
أَهْلِ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ
“Wahai
Syu’aib, apa yang engkau tulis tidak memberikan manfaat kepadamu hingga dirinya
berpandangan (bolehnya) shalat di belakang sulthan yang baik maupun faajir/durhaka.
Dan jihad akan terus ada hingga hari kiamat, bersabar di bawah bendera sulthan yang
faajir/durhaka maupun ‘adil”. Syu’aib berkata : Aku bertanya kepada
Sufyaan : ‘Wahai Abu ‘Abdillah, semua shalat (di belakang sulthan yang faajir/durhaka
maupun ‘adil) ?. Sufyaan menjawab : “Tidak, akan tetapi (hanya) shalat Jum’at
dan ‘Iedain saja. Shalatlah di belakang penguasa yang engkau temui. Adapun
seluruh shalat, maka dirimu boleh memilih[8].
Jangan engkau shalat kecuali di belakang orang yang dipercaya agamanya dan
engkau ketahui dirinya termasuk Ahlus-Sunnah wal-Jamaa’ah…” [Diriwayatkan oleh
Al-Laalikaa’iy dalam Syarh Ushuulil-I’tiqaad no. 314].
Yuusuf
bin Muusaa rahimahullah berkata:
أَنَّ أَبَا عَبْدَ اللَّهِ، قِيلَ لَهُ:
" صَلاةُ الْجُمُعَةِ وَالْعِيدَيْنِ جَائِزَةٌ خَلْفَ الأَئِمَّةِ، الْبَرِّ
وَالْفَاجِرِ مَا دَامُوا يُقِيمُونَهَا؟ قَالَ: نَعَمْ "
Bahwasannya
pernah ditanyakan kepada Abu ‘Abdillah (Ahmad bin Hanbal) : “Apakah shalat Jum’at
dan ‘Iedain boleh dilakukan di belakang para pemimpin yang adil maupun faajir/durhaka
selama mereka menegakkannya?”. Ia menjawab : “Iya” [Diriwayatkan oleh
Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 6; shahih].
Ahmad
bin Hanbal rahimahullah berkata:
والخروج مع كل إمام خرج في غزوة وحجة
والصلاة خلف كل بر وفاجر صلاة الجمعة والعيدين
“Keluar
bersama setiap imam, (yaitu) keluar dalam peperangan dan haji. Shalat di
belakangan semua pemimpin yang baik maupun yang faajir/durhaka, yaitu
shalat Jum’at dan ‘Iedain” [Al-Madkhal ilaa Madzhabi Al-Imaam Ahmad bin
Hanbal, hal. 57].
وأرى الصلاة خلف كل بر وفاجر وقد صلى ابن
عمر خلف الحجاج يعني الجمعة والعيدين
“Dan
aku berpandangan bolehnya shalat di belakang setiap imam yang baik maupun faajir/durhaka.
Dan Ibnu ‘Umar pernah shalat di belakang Al-Hajjaaj, yaitu shalat Jum’at dan
‘Iedain” [Risaalatu ‘Abduus hal. 65 no. 29; sebagaimana disebutkan dalam
I’tiqaad Al-Imaam Al-Munabbal Abi ‘Abdillah Ahmad bin Hanbal oleh
Abul-Fadhl ‘Abdul-Waahid bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Hanbaliy (w. 410 H) hal.
79].
Qutaibah
bin Sa’iid rahimahullah (w. 240 H) berkata:
هَذَا قَوْلُ الأَئِمَّةِ الْمَأْخُوذِ فِي
الإِسْلامِ وَالسُّنَّةِ: الرِّضَا بِقَضَاءِ اللَّهِ، ..... وَالْجِهَادُ مَعَ
كُلِّ خَلِيفَةٍ جِهَادُ الْكُفَّارِ، لَكَ جِهَادُهُ وَعَلَيْهِ شَرُّهُ،
وَالْجَمَاعَةُ مَعَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ، يَعْنِي الْجُمُعَةَ وَالْعِيدَيْنِ
“Inilah
perkataan para imam yang diambil pendapatnya dalam Islam dan Sunnah : Ridlaa dengan
qadla’ Allah;…. berjihad bersama setiap khalifah, yaitu jihad memerangi
orang-orang kafir, bagimu pahala jihadnya, dan baginya dosa kejelekannya;
shalat berjama’ah bersama setiap (pemimpin) yang baik maupun faajir/durhaka,
yaitu shalat Jum’at dan ‘Iedain….” [Diriwayatkan Abu Ahmad Al-Haakim dalam Syi’aar
Ashhaabil-Hadiits, hal. 30-31 no. 17; shahih].
Ibnu
Abi Zamaaniin rahimahullah berkata:
وَحَدَّثَنِي وَهْبٌ، عَنِ ابْنِ وَضَّاحٍ،
قَالَ: سَأَلْتُ حَارِثَ بْنَ مِسْكِينٍ: هَلْ نَدَعُ الصَّلاةَ خَلْفَ أَهْلِ
الْبِدَعِ؟ فَقَالَ: أَمَّا الْجُمُعَةُ خَاصَّةً فَلا، وَأَمَّا غَيْرُهَا مِنَ
الصَّلاةِ فَنَعَمْ، قَالَ ابْنُ وَضَّاحٍ: وَسَأَلْتُ يُوسُفَ بْنَ عَدِيٍّ عَنْ
تَفْسِيرِ حَدِيثِ النَّبِيِّ ﷺ خَلْفَ كُلِّ بَرٍّ وَفَاجِرٍ، قَالَ: الْجُمُعَةُ
خَاصَّةً، قُلْتُ: وَإِنْ كَانَ الإِمَامُ صَاحِبَ بِدْعَةٍ؟ قَالَ: نَعَمْ،
وَإِنْ كَانَ صَاحِبَ بِدْعَةٍ، لأَنَّ الْجُمُعَةَ فِي مَكَانٍ وَاحِدٍ لَيْسَ
تُوجَدُ فِي غَيْرِه
Dan
telah menceritakan kepadaku Wahb, dari Ibnu Wadldlaah, ia berkata : Aku pernah
bertanya kepada Haarits bin Miskiin (w. 250 H) : “Apakah aku boleh meninggalkan
shalat di belakang seorang mubtadi’ ?”. Ia menjawab : “Untuk shalat
Jum’at secara khusus, maka jangan kamu tinggalkan. Adapun shalat-shalat yang
lain, maka boleh”. Ibnu Wadldlaah berkata : Aku juga pernah bertanya kepada
Yuusuf bin ‘Adiy (w. 232 H) tentang tafsir hadits Nabi ﷺ : ‘(Shalatlah di belakang setiap
pemimpin muslim) yang baik maupun yang faajir/durhaka’, ia menjawab : “Khusus
shalat Jum’at saja”. Aku katakan : “Meskipun imam seorang pelaku bid’ah (ahli
bid’ah)?”. Ia menjawab : “Iya, meskipun ia seorang pelaku bid’ah/ahli bid’ah,
karena shalat Jum’at dilaksanakan di satu tempat saja dan tidak didapatkan
pelaksanaannya di tempat lainnya” [Ushuulus-Sunnah hal. 284 no. 212;
shahih].
Pengkhususan
ini perlu ditinjau kembali, karena ‘illat yang nampak dari sebagian
atsar di atas tentang larangan meninggalkan bermakmum dengan imam mubtadi’
dalam shalat berjama’ah adalah jika tidak ditemukan imam atau masjid lain yang
menyelenggarakan shalat tersebut. Maka, jika penyelenggaraan shalat lima waktu di
suatu daerah hanya ada pada satu masjid yang dipimpin oleh seorang imam mubtadi’,
maka kita tidak boleh meninggalkannya juga. Shalat di belakangnya lebih utama
daripada shalat sendirian.
Syaikhul-Islaam
Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
وأما الصلاة خلف المبتدع فهذه المسألة فيها
نزاع وتفصيل فإذا لم تجد إماما غيره كالجمعة التي لا تقام إلا بمكان واحد
وكالعيدين وكصلوات الحج خلف إمام الموسم فهذه تفعل خلف كل بر وفاجر باتفاق أهل
السنة والجماعة وإنما تدع مثل هذه الصلوات خلف الأئمة أهل البدع كالرافضة ونحوهم
ممن لا يرى الجمعة والجماعة إذا لم يكن في القرية إلا مسجد واحد فصلاته في الجماعة
خلف الفاجر خير من صلاته في بيته منفردا لئلا يفضي إلى ترك الجماعة مطلقا
وأما إذا أمكنه أن يصلي خلف غير المبتدع فهو
أحسن وأفضل بلا ريب
“Adapun
shalat bermakmum di belakang mubtadi’, maka terdapat perselisihan dan
perincian dalam permasalahan tersebut. Apabila tidak didapatkan imam selain
dirinya seperti (pelaksanaan) shalat Jum’at yang tidak didirikan kecuali di
satu tempat saja, shalat ‘Iedain, shalat-shalat sewaktu ibadah haji di
belakang imam musim haji, maka hal ini tetap dilakukan di belakang setiap imam
yang baik maupun faajir/durhaka berdasarkan kesepakatan Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah. Orang yang meninggalkan shalat di belakang para imam hanyalah ahli
bid’ah seperti Raafidlah dan semisalnya yang tidak berpendapat disyari’atkannya
penegakan shalat Jum’at dan jama’ah. Apabila tidak didapatkan di daerahnya
kecuali hanya satu masjid saja, maka shalatnya bersama jama’ah di belakang
orang yang faajir/durhaka lebih baik daripada shalatnya di rumahnya
sendirian (munfarid) karena (perbuatan tersebut) akan menyebabkan
meninggalkan jama’ah secara mutlak.
Adapun
jika memungkinkan bagi dirinya untuk shalat di belakang orang yang bukan mubtadi’,
maka itu lebih baik dan lebih utama tanpa keraguan” [Al-Fataawaa Al-Kubraa,
2/308].
Begitu
juga seandainya didapatkan ‘masjid sunnah’ atau dimungkinkan untuk shalat
bermakmum di belakang selain imam dari kalangan ahli bid’ah, namun kita
khawatir terjadi fitnah jika kita meninggalkan si imam mubtadi’ –
semisal akan akan terjadi intimidasi, teror, penyerangan, dan berbagai mudlarat
yang lainnya - , maka kedudukannya seperti hanya didapatkan satu masjid atau
satu imam saja, sehingga shalat di belakangnya lebih utama. Perhatikan beberapa
hadits dan atsar yang telah disebutkan di atas.
Dapat pula diambil faedah bolehnya kita memilih-milih masjid untuk melaksanakan
shalat berjama’ah yang diimami oleh seorang Ahlus-Sunnah yang shalih - bukan ahli
bid’ah lagi faajir/fasik - dan minim dari praktek-praktek bid’ah, maksiat,
apalagi kesyirikan[9]. Tentu
dengan catatan : jika tidak khawatir menimbulkan fitnah lebih besar.
Wallaahu
a’lam.
Semoga
yang sedikit ini ada manfaatnya saya dan Pembaca sekalian.
[abul-jauzaa
– rnn – 15011440].
[1] An-Nawawiy rahimahullah menjelaskan
makna ‘yumiituunash-shalaah’:
مَعْنَى
يُمِيتُونَ الصَّلَاة : يُؤَخِّرُونَهَا ؛ فَيَجْعَلُونَهَا كَالْمَيِّتِ الَّذِي
خَرَجَتْ رُوحه ، وَالْمُرَاد بِتَأْخِيرِهَا عَنْ وَقْتهَا ، أَيْ عَنْ وَقْتهَا
الْمُخْتَار لَا عَنْ جَمِيع وَقْتهَا
“Makna
yumiituunash-shalaah adalah mengakhirkannya, sehingga ia mengjadikannya
(shalat) seperti mayit yang telah keluar ruhnya. Sedangkan yang dimaksud dengan
mengakhirkan waktunya adalah mengakhirkan dari waktu yang terpilih (hingga
hampir habis), bukan (keluar dari) keseluruhan waktunya” [Syarh Shahiih
Muslim, 5/147].
[2] Al-Hajjaaj bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy sering
mengakhirkan pelaksanaan shalat.
[3] Al-Haafidh Ibnu Hajar menjelaskan perbuatan ‘Athaa’
rahimahumallah ini:
وَإِنَّمَا
فَعَلَ ذَلِكَ عَطَاء خَوْفًا عَلَى نَفْسِهِ مِنْ الْقَتْلِ
“’Athaa’
melakukannya hanyalah karena khawatir terhadap dirinya dari pembunuhan” [Fathul-Baariy,
2/14].
Sekelas
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah rahimahullah melakukan hal tersebut dalam
shalatnya menandakan fitnah yang terjadi di zamannya terkait dengan penguasa
sangat besar.
[4] Satu kelompok Syi’ah generasi awal.
[5] Ketika Najdah melaksanakan haji, ia sempat
menuliskan surat untuk bertanya kepada ‘Abdullah bin ‘Abbaas beberapa hal,
sebagaimana riwayat:
كَتَبَ
نَجْدَةُ بْنُ عَامِرٍ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: فَشَهِدْتُ ابْنَ عَبَّاسٍ
حِينَ قَرَأَ كِتَابَهُ وَحِينَ كَتَبَ جَوَابَهُ، وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ:
وَاللَّهِ لَوْلَا أَنْ أَرُدَّهُ عَنْ نَتْنٍ يَقَعُ فِيهِ مَا كَتَبْتُ إِلَيْهِ
وَلَا نُعْمَةَ عَيْنٍ، قَالَ: فَكَتَبَ إِلَيْهِ إِنَّكَ سَأَلْتَ عَنْ سَهْمِ
ذِي الْقُرْبَى الَّذِي ذَكَرَ اللَّهُ مَنْ هُمْ؟، وَإِنَّا كُنَّا نَرَى أَنَّ
قَرَابَةَ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ هُمْ نَحْنُ، فَأَبَى ذَلِكَ عَلَيْنَا قَوْمُنَا،
وَسَأَلْتَ عَنِ الْيَتِيمِ مَتَى يَنْقَضِي يُتْمُهُ؟، وَإِنَّهُ إِذَا بَلَغَ
النِّكَاحَ، وَأُونِسَ مِنْهُ رُشْدٌ وَدُفِعَ إِلَيْهِ مَالُهُ فَقَدِ انْقَضَى
يُتْمُهُ، وَسَأَلْتَ هَلْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَقْتُلُ مِنْ صِبْيَانِ
الْمُشْرِكِينَ أَحَدًا؟، فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ لَمْ يَكُنْ يَقْتُلُ
مِنْهُمْ أَحَدًا وَأَنْتَ فَلَا تَقْتُلْ مِنْهُمْ أَحَدًا، إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تَعْلَمُ مِنْهُمْ مَا عَلِمَ الْخَضِرُ مِنَ الْغُلَامِ حِينَ قَتَلَهُ،
وَسَأَلْتَ عَنِ الْمَرْأَةِ وَالْعَبْدِ هَلْ كَانَ لَهُمَا سَهْمٌ مَعْلُومٌ
إِذَا حَضَرُوا الْبَأْسَ؟، فَإِنَّهُمْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ سَهْمٌ مَعْلُومٌ،
إِلَّا أَنْ يُحْذَيَا مِنْ غَنَائِمِ الْقَوْمِ
Najdah
bin 'Aamir pernah menulis surat kepada Ibnu 'Abbaas. (Yaziid bin Hurmuz
berkata) : Lalu aku menyaksikan Ibnu 'Abbaas ketika membaca suratnya dan ketika
menuliskan surat jawabannya. Ibnu 'Abbaas menjawab : "Demi Allah,
sekiranya aku tidak khawatir ia akan memandangku jelek, niscaya aku tidak akan
membalas suratnya dan juga memuliakannya". Yaziid berkata : "Lantas
Ibnu 'Abbaas menulis surat balasannya : 'Sesungguhnya engkau bertanya tentang
bagian 'dzil-qurbaa' sebagaimana disebutkan Allah (dalam Al-Qur'an),
siapakah mereka itu?. Sesungguhnya kami berpendapat bahwa kerabat Rasulullah ﷺ adalah kami, namun kaum kami keberatan atas hal itu terhadap
kami. Engkau bertanya mengenai kapankah terputusnya keyatiman? Sesungguhnya
terputusnya keyatiman adalah jika seseorang itu telah menikah, mampu mengurus
dirinya sendiri, dan dapat mempergunakan hartanya dengan semestinya, maka
dengan itu semua keyatiman telah terputus darinya. Dan engkau bertanya mengenai
apakah Rasulullah ﷺ pernah membunuh anak-anak orang musyrik?. Sesungguhnya
Rasulullah ﷺ tidak pernah sama
sekali membunuh anak-anak mereka (orang-orang musyrik), oleh karena itu
janganlah kamu membunuh anak-anak kecuali jika engkau mengetahui dari mereka
sebagaimana yang diketahui oleh Khidlr saat membunuh seorang anak kecil (dan
itu tidak mungkin – Abul-Jauzaa’). Engkau bertanya mengenai seorang
wanita dan hamba/budak, apakah keduanya dapat bagian tertentu (dari ghaniimah)
jika keduanya ikut serta dalam peperangan?. Sesungguhnya mereka tidak
mendapatkan bagian dari ghaniimah, namun mereka mendapatkan upah yang
diambilkan dari ghanimah" [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1812].
[6] Terkait atsar mu’allaq Al-Hasan
Al-Bashriy, Al-Haafidh rahimahullah menyebutkan versi maushul-nya:
وَصَلَهُ
سَعِيد بْن مَنْصُور عَنْ اِبْن الْمُبَارَك عَنْ هِشَامِ بْن حَسَّانَ أَنَّ
الْحَسَن سُئِلَ عَنْ الصَّلَاة خَلْفَ صَاحِب الْبِدْعَة فَقَالَ الْحَسَن "
صَلِّ خَلْفَهُ وَعَلَيْهِ بِدْعَتُهُ ".
“Disambungkan sanadnya
oleh Sa’iid bin Manshuur, dari Ibnul-Mubaarak, dari Hisyaam bin Hassaan :
Bahwasannya Al-Hasan pernah ditanya tentang shalat di belakang pelaku bid’ah.
Maka Al-Hasan menjawab : “Shalatlah di belakangnya, dan baginya bid’ahnya” [Fathul-Baariy,
2/188 – sanadnya shahih].
[7] Maksudnya, Al-Hajjaaj bin Yuusuf Ats-Tsaqafiy,
wallaahu a’lam.
[9] Ulama Lajnah Daaimah menjelaskan:
وأما
الصلاة خلف المبتدعة : فإن كانت بدعتهم شركية كدعائهم غير الله ونذرهم لغير الله
واعتقادهم في مشايخهم ما لا يكون إلا لله من كمال العلم أو العلم بالمغيبات أو
التأثير في الكونيات : فلا تصح الصلاة خلفهم، وإن كانت بدعتهم غير شركية ؛ كالذكر
بما أثر عن النبي صلى الله عليه وسلم ، ولكن مع الاجتماع والترنحات : فالصلاة
وراءهم صحيحة ، إلا أنه ينبغي للمسلم أن يتحرى لصلاته إماماً غير مبتدع ؛ ليكون
ذلك أعظم لأجره وأبعد عن المنكر
“Adapun
shalat di belakang seorang mubtadi’, apabila kebid’ahannya adalah bid’ah
syirkiyyah seperti berdoa kepada selain Allah, nadzar kepada selain Allah, keyakinan
mereka terhadap para masyayikh mereka yang hanya layak ditujukan kepada
Allah semisal kesempurnaan ilmu, pengetahuan terhadap hal-hal yang ghaib, dan kemampuan
untuk mempengaruhi alam; maka tidak sah shalat di belakang mereka. Namun
apabila bid’ah mereka bukan termasuk jenis bid’ah syirkiyyah seperti dzikir dengan
yang terdapat dalam atsar dari Nabi ﷺ, namun
mereka melakukannya secara jama’iy dan bergoyang-goyang, maka shalat di
belakang mereka sah. Namun seorang muslim hendaknya berusaha mencari imam bukan
dari kalangan pelaku bid’ah untuk shalatnya, sehingga hal itu menjadikan pahala
lebih besar baginya dan lebih jauh dari kemunkaran” [Fataawaa Al-Lajnah
Ad-Daaimah, 7/353].
Assalamu'alaikum , saya mau bertanya , kenapa aisyah bersumpah dengan umurnya setelah wafatnya nabi ?
BalasHapusKetika itu membicarakan qiraah quran bersama muridnya tentang bacaan kata (yg saya agak lupa) يكذّبوا atau يكذبوا pada suatu ayat , saya temukan ini di mukhtasar ibnu katsir tahqiq syaikh ahmad syakir yang hadits didalamnya hanya ada yg shahih insyaaAllah
Baarakallahu fiikum
Assalamualaikum, Ust. Abul Jauza, Bagaimana dg keadaan kita dimana masjid sunnah sulit didapatkan, sementara yg ada hanya masjid yg disi oleh Ahlul bid'ah yg mengikuti sholat jumat di masjid yg khatib nya Ahlul bid'ah, apakah wajib mendengarkan isi ceramahnya..? kalau kita dengarkan dengar kita khawatir terkena syubhat mereka, apa bila kita tidak dengarkan dg menutup kuping atau sengaja kita tidur agar isi khutbahnya tidak masuk ke hati kita, bagaimana status sholat jumat kita, apakah tetap sah dg konsekwensi pahala akan tidak sempurna/tidak sah...mohon penjelasnya..!
BalasHapusAssalamualaikum afwan ustadz bisa bergabung d WA utk belajr agama dengan ustadz?ana masih bingung dengan kondisi ustadz2 kita yg sering terjadi perselisihan padahal sm2 mengajarkan sunnah..syukron jazzakallahu khoir
BalasHapusPenjelasan yang penuh ilmu membuat hati bergetar
BalasHapussubhaanaallah jazaakallahu khoir
@batrisya nafisah, wa'alaikumus-salaam warahmatullaahi wabarakaatuh. Dalam shalat Jum'at, diusahakan mungkin untuk didapatkan masjid Ahlus-Sunnah. Jika tidak didapatkan, maka masjid yang bid'ah atau kerusakannya seminimal mungkin, insyaAllah bisa diusahakan. Baarakallaahu fiikum.
BalasHapus