02 Juni 2018

Beberapa Adab Pergaulan Islam – Tafsir Al-Hujuraat : 9-13


Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah
Allah berfirman :
 وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُواْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَىَ الاُخْرَىَ فَقَاتِلُواْ الّتِي تَبْغِي حَتّىَ تَفِيَءَ إِلَىَ أَمْرِ اللّهِ فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوَاْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ *  إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ وَاتّقُواْ اللّهَ لَعَلّكُمْ تُرْحَمُونَ
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.  Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu mendapatkan rahmat” (QS. Al-Hujuraat : 9-10).

Allah berfirman seraya memerintahkan agar mendamaikan antara dua kelompok yang bertikai sesama mereka : 
وَإِن طَآئِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُواْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا
Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya”.
Allah masih tetap menyebut mereka sebagai orang-orang mukmin meskipun mereka tengah berperang. Dan dengan itu pula, Imam Al-Bukhari dan yang lainnya mengambil kesimpulan bahwa seseorang tidak keluar dari keimanan hanya karena berbuat maksiat meskipun dalam wujud yang besar, tidak seperti apa yang dikemukakan oleh kaum Khawarij dan yang sejalan dengan mereka dari kalangan Mu’tazilah dan yang semisalnya. Demikianlah yang ditetapkan dalam kitab Shahih Al-Bukhari dari hadits Al-Hasan, dari Abu Bakrah radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita :
 إن رسول الله ﷺ خطب يوماً, ومعه على المنبر الحسن بن علي radliyallaahu ‘anhuما, فجعل ينظر إليه مرة, وإلى الناس أخرى ويقول: إن ابني هذا سيد ولعل الله ﷻ أن يصلح به بين فئتين عظيمتين من المسلمين
”Sesungguhnya Rasulullah pernah berkhutbah pada suatu hari di atas mimbar, sedang bersama beliau terdapat Al-Hasan bin ‘Ali radliyallaahu ‘anhumaa , lalu sesekali beliau melihat kepadanya dan pada orang-orang pada kali lainnya seraya bersabda : “Sesungguhnya puteraku ini adalah seorang sayyid. Mudah-mudahan Allah akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin (yang tengah bertikai)
Dan kenyataan yang ada sama seperti yang beliau sabdakan, dimana Allah telah mendamaikan antara penduduk Syam dan penduduk Iraq dengan perantaraan Al-Hasan setelah mengalami masa peperangan yang panjang dan berbagai peristiwa yang mengerikan.
Dan firman Allah :
فَإِن بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَىَ الاُخْرَىَ فَقَاتِلُواْ الّتِي تَبْغِي حَتّىَ تَفِيَءَ إِلَىَ أَمْرِ اللّهِ
Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah”.
Maksudnya, kembali kepada perintah Allah dan Rasul-Nya serta mendengar kebenaran dan mentaatinya, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah bersabda :
انصر أخاك ظالماً أو مظلوماً» قلت: يا رسول الله, هذا نصرته مظلوماً, فكيف أنصره ظالماً ؟ قال ﷺ: تمنعه من الظلم فذاك نصرك إياه
Tolonglah saudaramu yang berbuat dhalim maupun yang didhalimi”. Lalu kutanyakan : “Ya Rasulullah, menolong orang yang didhalimi itu aku dapat mengerti. Lalu bagaimana aku menolong orang yang berbuat dhalim?”. Beliau menjawab : “Yaitu engkau mencegahnya dari berbuat dhalim, dan itulah pertolonganmu untuknya
Imam Ahmad meriwayatkan : ‘Aarim memberitahu kami, Mu’tamir memberitahu kami, ia bercerita : Aku pernah mendengar ayahku memberitahukan bahwa Anas radliyallaahu ‘anhu bercerita :
 قيل للنبي ﷺ, لو أتيت عبد الله بن أبي, فانطلق إليه النبي ﷺ, وركب حماراً وانطلق المسلمون يمشون, وهي أرض سبخة, فلما انطلق النبي ﷺ إليه قال: «إليك عني فوالله لقد آذاني ريح حمارك» فقال رجل من الأنصار: والله لحمار رسول الله ﷺ أطيب ريحاً منك. قال: فغضب لعبد الله رجال من قومه, فغضب لكل واحد منهما أصحابه, قال: فكان بينهم ضرب بالجريد والأيدي والنعال, فبلغنا أنه أنزلت فيهم {وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما}
Pernah ditanyakan kepada Nabi : “Seandanya engkau mendatangi ‘Abdullah bin Ubay”. Maka beliau pun berangkat menemuinya dengan menaiki keledai,lalu kaum muslimin berjalan kaki di tanah yang bersemak. Setelah Nabi datang menemuinya, Abdullah bin Ubay berkata : “Menjauhlah engkau dariku. Demi Allah, bau keledaimu telah mengganggu hidungku”. Kemudian ada seseorang dari kaum Anshar yang berkata : “Demi Allah, keledai Rasulullah itu lebih wangi daripada baumu”. Hingga banyak orang-orang dari kaum ‘Abdullah bin Ubay yang marah kepadanya, lalu setiap orang dari kedua kelompok marah. Dan diantara mereka telah terjadi pemukulan dengan menggunakan pelepah daun kurma dan juga tangan serta terompah. Perawi hadits melanjutkan : Telah sampai kepada kami berita bahwasannya telah turun ayat yang berkenaan dengan mereka, yaitu : “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya”.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab Ash-Shulh (dalam Shahih-nya), dari Musaddad; dan Muslim dalam bab Al-Maghazi (dalam Shahiih-nya) dari Muhammad bin ‘Abdil A’la; keduanya dari Mu’tamir bin Sulaiman dari ayahnya.
Dan firman Allah selanjutnya :
فَإِن فَآءَتْ فَأَصْلِحُواْ بَيْنَهُمَا بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوَاْ إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
Jika golongan itu telah kembali (pada perintah Alah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”. 
Maksudnya, bersikap adil dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi di antara keduanya.
 إِنّ اللّهَ يُحِبّ الْمُقْسِطِينَ
”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa , ia berkata :
 إن رسول الله ﷺ قال: إن المقسطين في الدنيا على منابر من لؤلؤ بين أيدي الرحمن عز وجل بما أقسطوا في الدنيا
Sesungguhnya Rasulullah telah bersabda : “Sesungguhnya orang-orang yang berbuat adil di dunia, kelak akan berada di atas mimbar yang terbuat dari mutiara di hadapan Ar-Rahman atas keadilan yang pernah dia lakukan di dunia
Dan diriwaytkan oleh An-Nasa’i, dari Muhammad bin Al-Mutsanna, dari ‘Abdul A’la dengan lafadhnya. Dan sanad hadits ini jayyid qawiy, dan para rijalnya berdasarkan pada syarat shahih. Dan Muhammad bin ‘Abdullah bin Zaid memberitahu kami, dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhumaa, dari Nabi , beliau bersabda :
المقسطون عند الله ﷻ يوم القيامة على منابر من نور على يمين العرش, الذين يعدلون في حكمهم وأهاليهم وماولوا
Orang-orang yang berbuat adil di sisi Allah pada hari Kiamat kelak berada di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya di sebelah kanan ‘Arsy, yaitu mereka yang berbuat adil dalam hukum, keluarga, dan semua yang berada di bawah kekuasaan mereka”.
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh Muslim dan An-Nasa’i dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah.
Dan firman Allah :
إِنّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
”Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara”,
maksudnya : Seluruh kaum muslimin merupakan satu saudara karena agama. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah :
المسلم أخو المسلم لا يظلمه ولا يسلمه
Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, tidak boleh mendhalimi dan membiarkannya (didhalimi)” (HR. Muslim, At-Tirmidzi, Abu Dawud, dan Ahmad).
Dan dalam hadits shahih disebutkan :
والله في عون العبد ما كان العبد في عون أخيه
Allah akan terus menolong seorang hamba selama hamba itu senantiasa menolong saudaranya
Dan juga dalam hadits yang lain :
إذا دعا المسلم لأخيه بظهر الغيب قال الملك آمين ولك مثله
Jika seorang muslim mendoakan saudaranya darikejauhan, maka malaikat akan mengucapkan : Amin, dan bagimu sepertinya
Dan hadits yang membahas masalah ini cukup banyak. Dalam hadits shahih lainnya disebutkan :
مثل المؤمنين في توادهم وتراحمهم وتواصلهم كمثل الجسد الواحد, إذا اشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالحمى والسهر
Perumpamaan orang-orang mukmin dalam hal cinta dan kasih sayang mereka adalah seperti satu tubuh. Jika salah satu bagian tubuh merasa sakit, maka seluruh anggota badan akan merasa demam dan susah tidur
Dalam hadits shahih lain :
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضاً. وشبك بين أصابعه ﷺ
Seorang mukmin terhadap orang mukmin lainnya adalah seperti satu bangunan yang sebagian dengan sebagian yang lainnya saling menguatkan”. Dan pada saat itu Rasulullah menjalinkan jari-jemari beliau.
Imam Ahmad meriwayatkan, Ahmad bin Al-Hajjaj memberitahu kami, ‘Abdullah memberitahu kami, Mush’ab bin Tsabit memberitahu kami, Abu Hazim memberitahuku, ia berkata : Aku pernah mendengar Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radliyallaahu ‘anhu menceritakan hadits dari Rasulullah , beliau bersabda :
إن المؤمن من أهل الإيمان بمنزلة الرأس من الجسد, يألم المؤمن لأهل الإيمان كما يألم الجسد في الرأس
Sesunggunya (hubungan) orang mukmin dengan orang-orang yang beriman adalah seperti (hubungan) kepala dengan seluruh badan. Seorang mukmin akan merasakan sakit karena orang mukmin lainnya sebagaimana badan akan merasa sakit karena sakit pada kepala” (Hadits ini diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad).
Dan firman-Nya :
فَأَصْلِحُواْ بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ
Karena itu, damaikanlah antara kedua saudaramu”;
yaitu golongan yang saling bertikai.
Firman-Nya :
 وَاتّقُواْ اللّهَ
Dan bertaqwalah kepada Allah
yaitu, dalam seluruh urusan kalian.
Firman-Nya :
لَعَلّكُمْ تُرْحَمُون
Supaya engkau mendapatkan rahmat”.
Hal tersebut merupakan penegasan dari Allah , dimana Dia akan memberikan rahmat kepada orang yang bertaqwa kepadanya.
Firman Allah :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مّن قَوْمٍ عَسَىَ أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مّن نّسَآءٍ عَسَىَ أَن يَكُنّ خَيْراً مّنْهُنّ وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالألْقَابِ بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإَيمَانِ وَمَن لّمْ يَتُبْ فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah ssuatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.  Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman. Dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang dhalim”. (QS. Al-Hujuraat : 11)
Allah melarang dari mengolok-olok orang lain, yaitu mencela dan menghinakan mereka. Sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih, dari Rasulullah , beliau bersabda :
الكبر بطر الحق وغمص الناس
Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia
Dan dalam riwayat lain disebutkan :
وغمط الناس
Dan meremehkan manusia
Yang dimaksudkan dengan hal tersebut adalah menghinakan dan merendahkan mereka. Hal itu sudah jelas haram. Karena terkadang orang yang dihina itu lebih terhormat di sisi Allah dan bahkan lebih dicintai-Nya daripada orang yang menghinakan. Oleh karena itu Allah berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ يَسْخَرْ قَوْمٌ مّن قَوْمٍ عَسَىَ أَن يَكُونُواْ خَيْراً مّنْهُمْ وَلاَ نِسَآءٌ مّن نّسَآءٍ عَسَىَ أَن يَكُنّ خَيْراً مّنْهُنّ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah ssuatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokan) lebih baik daripada wanita (yang mengolok-olokkan)”. 
Dengan demikian, ayat di atas memberikan larangan terhadap kaum laki-laki yang kemudian disusul dengan larangan terhadap kaum wanita.
Dan firman Allah selanjutnya :
 وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُم
Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri”.
Artinya , dan janganlah kalian mencela orang lain. Orang yang mengolok dan mencela orang lain, baik orang laki-laki dan perempuan, maka mereka itu sangat tercela dan terlaknat, sebagaimana firman Allah  :
ويل لكل همزة لمزة
Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela” (QS. Al-Humazah : 1).
Kata al-hamz (الهمز) berarti celaan dalam bentuk perbuatan, sedangkan kata al-lamz (اللمز) berarti celaan dalam bentuk ucapan. Sebagaimana yang difirmankan Allah :
هماز مشاء بنميم
Yang banyak mencela, yang kian kemari menghamburkan fitnah” (QS. Al-Qalam : 11).
Artinya, mencela orang-orang dan menghinakan mereka dengan sewenang-wenang dan berjalan kesana kemari untuk melakukan namimah (mengadu domba), dan adu domba ini berarti celaan dalam bentuk ucapan.  Oleh karena itu, di sini Allah berfirman :
وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ
Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri”,
sebagaimana firman-Nya :
ولا تقتلوا أنفسكم
Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri” (QS. An-Nisaa’ : 29).
Maksudnya, janganlah sebagian kalian membunuh sebagian yang lain.
Mengenai firman Allah : { وَلاَ تَلْمِزُوَاْ أَنفُسَكُمْ }, Ibnu ‘Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, Qatadah, dan Muqatil bin Hayyan mengemukakan : “Artinya, janganlah sebagian kalian menikam sebagian yang lain”.
Dan firman Allah selanjutnya :
وَلاَ تَنَابَزُواْ بِالألْقَابِ
Dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk”.
Maksudnya, janganlah kalian memanggil dengan menggunakan gelar-gelar buruk yang tidak enak didengar.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Asy-Sya’bi, ia bercerita bahwa Abu Jubairah bin Adl-Dlahhak memberitahunya, ia bercerita : “Ayat ini : ‘Dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk’, turun berkenaan dengan Bani Salamah”. Ia mengatakan : Rasulullah pernah tiba di Madinah dan di antara kami tidak seorang pun melainkan mempunyai dua atau tiga nama. Dan jika beliau memanggil salah seorang dari mereka dengan nama-nama tersebut, maka mereka berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya ia marah dengan pangilan nama tersebut”. Maka turunlah ayat : ‘Dan janganlah kamu pangil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk’.
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Musa bin Isma’il, dari Wahb, dari Dawud.
Dan firman Allah :
بِئْسَ الاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الإَيمَانِ
Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah beriman”.
Maksudnya, seburuk-buruk sebutan dan nama panggilan adalah pemberian gelar dengan gelar-gelar yang buruk. Sebagaimana orang-orang Jahiliyyah dahulu pernah bertengkar setelah kalian masuk Islam dan kalian memahami keburukan itu.
 وَمَن لّمْ يَتُبْ
Dan barangsiapa yang tidak bertaubat” - dari perbuatan tersebut.
فَأُوْلَـَئِكَ هُمُ الظّالِمُون
Maka mereka itulah orang-orang yang dhalim
Allah telah berfirman :
يَأَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ اجْتَنِبُواْ كَثِيراً مّنَ الظّنّ إِنّ بَعْضَ الظّنّ إِثْمٌ وَلاَ تَجَسّسُواْ وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتّقُواْ اللّهَ إِنّ اللّهَ تَوّابٌ رّحِيمٌ
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan memakan bangkai saudaranya yang sudah mati? Maka, tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Mahapenerima taubat lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Hujuraat : 12).
Allah melarang hamba-hamba-Nya yang beriman dari banyak prasangka, yaitu melakukan tuduhan dan pengkhianatan terhadap keluarga dan kaum kerabat serta keseluruhan yang tidak pada tempatnya, karena sebagian prasangka itu murni menjadi perbuatan dosa. Maka, jauhilah banyak berprasangka sebagai suatu kewaspadaan.
Kami telah meriwayatkan dari Amirul-Mukminin ‘Umar bin Al-Khaththab radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya ia pernah berkata :
ولا تظنن بكلمة خرجت من أخيك المؤمن إلا خيراً, وأنت تجد لها في الخير محملاً
”Janganlah kalian berprasangka terhadap ucapan yang keluar dari saydara mukminmu kecuali dengan prasangka yang baik. Sedangkan engkau sendiri mendapati adanya kemungkinan ucapan itu mengandung kebaikan”
Abu Abdillah bin Majah meriwayatkan, Abul-Qasim bin Abi Dlamrah Nadlr bin Muhammad bin Sulaiman Al-Hamshi memberitahu kami, ayahku memberi tahu kami, ayahku memberi tahu kami, ‘Abdullah bin Abi Qais An-Nadlari memberi tahu kami, dari Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia bercerita :
رأيت النبي ﷺ يطوف بالكعبة ويقول: ما أطيبك وأطيب ريحك ما أعظمك وأعظم حرمتك, والذي نفس محمد بيده لحرمة المؤمن أعظم عند الله ﷻ حرمة منك, ماله ودمه وأن يظن به إلا خيراً
Aku pernah melihat Rasulullah melakukan thawaf mengelilingi Ka’bah seraya berucap : “Sungguh indah dirimu, sangat harum aromamu, dan sungguh agung dirimu, dan agung pula kehormatanmu. Demi Rabb yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya kemuliaan seorang mukmin sangat agung di sisi Allah harta dan darahnya daripada dirimu (wahai Ka’bah). Dan ia tidak berprasangka melainkan melainkan prasangka yang baik
Hadits di atas diriwayatkan sendiri oleh Ibnu Majah di sisi ini.
Malik meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita : “Rasulullah pernah bersabda :
إياكم والظن فإن الظن أكذب الحديث, ولا تجسسوا ولاتحسسوا ولا تنافسوا ولاتحاسدوا, ولا تباغضوا ولا تدابروا, وكونوا عباد الله إخواناً
Jauhilah prasangka, karena prasangka itu adalah sedusta-dusta perkataan. Janganlah kalian meneliti rahasia orang lain, mencuri dengar, bersaing yang tidak baik, saling dengki, saling membenci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian ini sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara
Hadits di atas diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, dari Abdullah bin Yusuf, dan Imam Muslim, dari Yahya bin Yahya. Juga Abu Dawud dari Al-‘Atabi, dari Malik dengan lafadhnya.
Sufyan bin ‘Uyainah meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Anas radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita : Telah bersabda Rasulullah :
لا تقاطعوا ولا تدابروا ولا تباغضوا ولا تحاسدوا, وكونوا عباد الله إخواناً, ولا يحل لمسلم أن يهجر أخاه فوق ثلاثة أيام
Janganlah kalian saling memutuskan hubungan, jangan pula saling membelakangi, saling membenci dan saling mendengki. Dan jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Dan tidak dibolehkan seorang muslim mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari
Hadits di atas diriwayatkan oleh Muslim dan At-Tirmidzi serta dishahihkannya dari hadits Sufyan bin ‘Uyainah.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Dajin, juru tulis ‘Uqbah, ia bercerita : “Aku pernah mengatakan kepada ‘Uqbah : ‘Sesungguhnya kami mempunyai beberapa orang tetangga yang meminum khamr, dan aku memberi syarat kepada mereka dan mereka pun menerimanya’. Maka ‘Uqbah berkata : ‘Jangan lakukan itu, tetapi nasihati dan kecamlah mereka’. Lalu ia pun melakukan hal tersebut, namun mereka tidak juga menghentikan perbuatan itu”.  Kemudian Dajin mendatanginya dan berkata : “Sesungguhnya aku telah melarang mereka, tetapi mereka tidak juga menghentikannya. Dan sesungguhnya aku telah memberikan persyaratan kepada mereka, lalu mereka menerimanya”. Maka ‘Uqbah berkata kepadanya : “Celaka engkau, jangan lakukan itu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah  bersabda :
من ستر عورة مؤمن فكأنما استحيا موؤدة من قبرها
Barangsiapa menutupi aurat orang mukmin, maka seakan-akan ia telah menghidupkan seorang mayat anak kecil yang dibunuh dari dalam kuburnya
Hadits senada juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dan An-Nasa’I dari hadits Laits bin Sa’ad dengan lafadhnya.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Mu’awiyyah, ia bercerita : Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda :
إنك إن اتبعت عورات الناس أفسدتهم أو كدت أن تفسدهم
Sesungguhnya jika kamu mengintai aurat orang lain, berarti kamu telah merusak mereka atau hampir merusak mereka
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud sendiri, dari hadits Ats-Tsauri.
Firman-Nya :
وَلاَ تَجَسّسُواْ
Dan janganlahkamu mencari-cari kesalahan orang lain”.
Maksudnya, atas sebagian kalian. Kata at-tajassas (التجسس) lebih sering digunakan untuk kejahatan. Dan dari kata itu muncul kata al-jaasuus (الجاسوس) (mata-mata).  Sedangkan kata at-tahassasu (التحسس) seringkali digunakan untuk hal yang baik. Sebagaimana yang difirmankan Allah yang menceritakan tentang Ya’qub, dimana ia berkata :
يا بني اذهبوا فتحسسوا من يوسف وأخيه ولا تيأسوا من روح الله
Wahai anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentangYusuf dan saudaranya dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah” (QS. Yusuf : 87).
Terkadang, kedua istilah tersebut digunakan untuk menunjukkan hal yang buruk, sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits shahih, bahwasannya Rasulullah bersabda :
لا تجسسوا ولا تحسسوا ولا تباغضوا ولا تدابروا, وكونوا عباد الله إخواناً
Janganlah kalian mencari-cari keburukan dan mengintai kesalahan orang lain. Janganlah saling membenci dan juga saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara
Al-Auza’i mengatakan : “Kata التجسس berarti mencari-cari sesuatu, sedangkan التحسس berarti mencuri dengar terhadap pembicaraan suatu kaum padahal mereka tidak menyukai hal tersebut, atau mendengarkan dari balik pintu-pintu mereka. Adapun at-tadaabaru (التدابر) berarti memutuskan hubungan (الصرم)”.
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim.
Dan firman Allah :
وَلاَ يَغْتَب بّعْضُكُم بَعْضاً
Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain”.
Pada potongan ayat tersebut terdapat larangan berbuat ghibah. Rasulullah telah menafsirkannya sebagaimana yang ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قيل يا رسول الله ما الغيبة ؟ قال ﷺ: ذكرك أخاك بما يكره
قيل: أفرأيت إن كان في أخي ما أقول ؟ قال ﷺ: إن كان فيه ما تقول فقد اغتبته, وإن لم يكن فيه ما تقول فقد بهته
Ditanyakan : “Ya Rasulullah, apakah ghibah itu ?”. Beliau menjawab : “Engkau menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya”. Ditanyakan lagi : “Bagaimanakah bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang kukatakan ?”. Rasulullah menjawab : “Bila keadaan saudaramu sesuai dengan yang kau katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Dan jika padanya tidak terdapat apa yang engkau katakan, maka engkau telah berbuat bohong
Hadits di atas juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari Qutaibah, dari Ad-Darawurdi. At-Tirmidzi berkata : “Hadits tersebut hasan shahih”. Demikianlah apa yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, Masruq, Qatadah, Abu Ishaq, dan Mu’awiyyah bin Qurrah. Abu Dawud meriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia bercerita :
قلت للنبي ﷺ حسبك من صفية كذا وكذا. قال غير مسدد: تعني قصيرة, فقال ﷺ: لقد قلت كلمة لو مزجت بماء البحر لمزجته قالت: وحكيت له إنساناً فقال ﷺ: ما أحب أني حكيت إنساناً وإن لي كذا وكذا
Pernah kukatakan kepada Nabi : “Cukuplah bagimu Shafiyyah seperti demikian”. Yang dimaksud oleh ‘Aisyah di sini adalah bahwa Shafiyyah itu seorang wanita yang pendek. Maka Nabi bersabda : “Sungguh engkau telahmengatakan suatukalimat (yang buruk) yang seandainya dicampurkan dengan air laut, niscaya akan tercampur semuanya (menjadi busuk)”. Lebih lanjut ‘Aisyah berkata : “Lalu kuceritakan tentang seseorang kepada beliau , maka beliau pun bersabda : “Aku tidak suka menceritakan seseorang, sedangkan aku sendiri begini dan begitu
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari hadits Yahya Al-Qaththan, ‘Abdurrahman bin Mahdi, dan Waki’, yang ketiganya meriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa. Dan At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih.
Menurut kesepakatan, ghibah merupakan perbuatan yang diharamkan, dan tidak ada pengecualian dalam hal itu kecuali jika terdapat kemaslahatan yang lebih kuat, seperti misalnya dalam hal jarh (menilai cacat dalam masalah hadits), ta’dil (menilai baik/peninjauan kembali dalam masalah hadits), dan nasihat. Hal itu sebagaimana sabda Rasulullah ketika ada seorang jahat yang meminta ijin kepada beliau :
ائذنوا له بئس أخو العشيرة!
Berikanlah oleh kalian ijin kepadanya, ia adalah seburuk-buruk teman kabilah” (HR. Bukhari dan Abu Dawud).
Dan seperti sabda Rasulullah kepada Fathimah bintu Qais radliyallaahu ‘anhaa, ketika dilamar oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm : ”Adapun Mu’awiyyah adalah orang yang tidak mempunyai harta. Sedangkan Abul-Jahm adalah orang yang tidak pernah meletakkan tongkat dari pundaknya ( = ringan tangan)”. (HR. Muslim, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Abu Dawud).
Demikianlah yang memang terjadi dan berlangsung. Kemudian selain dari hal di atas, maka haram hukumnya, yang karenanya pelakunya diberikan ancaman keras. Oleh karena itu Allah menyerupakannya dengan memakan daging manusia yang telah mati. Sebagaimana yang difirmankan-Nya :
أَيُحِبّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتاً فَكَرِهْتُمُوهُ
”Sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik padanya”.
Artinya, sebagaimana kalian membenci hal ini secara naluriah, maka kalian pun harus membencinya berdasarkan syari’at. Karena hukumnya lebih keras dari hanya sekedar melakukannya (memakan daging). Dan hal itu merupakan upaya menjauhkan diri dari perbuatan tersebut dan bersikap waspada terhadapnya. Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah tentang orang yang mengambil kembali apa yang telah diberikan :
كالكلب يقيء ثم يرجع في قيئه
Seperti anjing yang muntah, lalu ia memakan kembali muntahannya tersebut
Dan beliau juga telah bersabda :
ليس لنا مثل السوء
Kita tidak boleh mempunyai teladan dalam hal keburukan” (HR. Bukhari).
Dan dalam kitab Shahiih, Hasan, dan Musnad telah ditegaskan, bahwa Rasulullah telah bersabda dalam khutbahnya pada haji Wada’ :
إن دماءكم وأموالكم وأعراضكم عليكم حرام كحرمة يومكم هذا في شهركم هذا في بلدكم هذا
Sesungguhnya darah, harta benda, dan kehormatan kalian adalah haram bagi kalian seperti haramnya hari ini, bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini
‘Utsman bin Abi Syaibah memberitahu kami, dari Abu Burdah Al-Balawi, ia berkata : Rasulullah bersabda :
يا معشر من آمن بلسانه ولم يدخل الإيمان في قلبه, لا تغتابوا المسلمين ولا تتبعوا عوراتهم, فإنه من يتبع عوراتهم يتبع الله عورته, ومن يتبع الله عورته يفضحه في بيته
Wahai sekalian orang-orang yang beriman dengan lisannya dan yang imannya tidak masuk dalam hatinya, janganlah kalian berbuat ghibah terhadap orang-orang muslim dan jangan pula kalian mencari aib-aib mereka. Karena sesungguhnya barangsiapa mencari aib-aib mereka, maka Allah akan mencari aibnya. Dan barangsiapa yang dicari-cari aibnya oleh Allah, maka Dia akan mempermalukan di rumahnya
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Abu Dawud dari hadits Al-Barra’ bin ‘Azib.
Pada suatu hari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa pernah mengarahkan pandangannya ke Ka’bah, lalu ia berkata :
ما أعظمك وأعظم حرمتك وللمؤمن أعظم حرمة عند الله منك
Sungguh besar engkau dan agung pula kehormatanmu, dan bagi orang mukmin mempunyai kehormatan di sisi Allah yang lebih agung darimu
Abu Dawud meriwayatkan dari Waqqash bin Rabi’ah, dari Al-Miswar, dimana ia pernah memberitahukan kepadanya, bahwa Nabi bersabda :
من أكل برجل مسلم أكلة فإن الله يطعمه مثلها في جهنم, ومن كسا ثوباً برجل مسلم فإن الله يكسوه مثله في جهنم, ومن قام برجل مقام سمعة ورياء فإن الله ﷻ يقوم به مقام سمعة ورياء يوم القيامة
Barangsiapa memakan seorang muslim, maka sesungguhnya Allah akan memberinya makan seperti itu di Jahannam kelak. Dan barangsiapa yang memakaikan pakaian seorang muslim, maka Allah akan memakaikan pakaian yang sama kepadanya di Jahannam. Barangsiapa yang membantu seseorang karena sum’ah dan riya’, maka sesungguhnya pada hari Kiamat kelak Allah akan menempatkan dirinya pada posisi sum’ah dan riya’”.
Hadits di atas hanya diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Ibnu Mustahafa memberitahu kami, Baqiyyah dan Mughirah memberitahu kami, dari Anas bin Malik radliyallaahu ‘anhu, ia bercerita, Rasulullah bersabda :
لما عرج بي مررت بقوم لهم أظفار من نحاس يخشمون وجوههم وصدورهم, قلت: من هؤلاء يا جبريل ؟ قال: هؤلاء الذين يأكلون لحوم الناس ويقعون في أعراضهم
Ketika aku diangkat (Mi’raj) ke langit, aku melewati kaum yang berkuku tembaga yang mencakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya : ‘Siapakah mereka itu wahai Jibril?’. Jibril menjawab : ‘Mereka adalah orangyang selalu memakan daging-daging orang lain dan tenggelam dalam menodai kehormatan mereka” (HR. Abu Dawud).
Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Ahmad, dari Abul-Mughiirah ‘Abdul-Quddus bin Al-Hajjaj Asy-Syaami dengan lafadhnya.
Diriwayatkan oleh Al-Hafidh Al-Baihaqi dari ‘Ubaid, maula Rasulullah , bahwasannya ada dua orang wanita yang berpuasa pada jaman Rasulullah .  Ada seseorang yang mendatangi beliau seraya berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya di sini terdapat dua orang wanita yang tengah berpuasa, dan sesungguhnya keduanya hampir meninggal karena kehausan”. Aku lihat ia berucap, lalu beliau berpaling darinya atau mendiamkannya. Kemudian ia berkata,”Wahai Nabi Allah, demi Allah, sesungguhnya mereka berdua sudah meninggal atau hampir saja meninggal”. Maka beliau berkata : ”Panggillah keduanya”. Lalu kedua wanita itu pun datang. Kemudian dibawakan gelas besar dan mangkuk besar, lalu beliau berkata : ”Muntahkanlah”. Maka wanita itupun mengeluarkan muntah darah dan nanah sampai mengeluarkannya setengah gelas besar. Kemudian beliau berkata kepada seorang wanita satunya : ”Muntahkanlah”. Maka wanita itupun mengeluarkan muntah darah, nanah, daging, dan darah segar, juga yang lainnya sehingga memenuhi gelas besar. Kemudian beliau bersabda :
إن هاتين صامتا عما أحل الله ﷻ لهما وأفطرتا على ما حرم الله عليهما, جلست إحداهما إلى الأخرى فجعلتا تأكلان لحوم الناس
Sesungguhnya wanita ini berpuasa dari apa yang dihalalkan Allah kepada keduanya dan tidak berpuasa dari apa yang diharamkan Alah bagi keduanya. Lalu salah seorang dari keduanya mendatangi wanita yang lainnya, selanjutnya keduanya memakan daging orang-orang (mengumpat/menggunjing)
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ahmad.
Al-Hafidh Abu Ya’la meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa , ia berkata kepada Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwa Ma’iz pernah datang kepada Rasulullah seraya berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya aku telah berzina”. Maka beliau berpaling darinya, sehingga ia mengucapkan empat kali. Dan pada ucapannya yang kelima beliau bertanya : ”Tahukah engkau apa zina itu?”. “Ya, aku telah mencampurinya secara haram sebagaimana seorang suami mencampurinya secara halal”. Kemudian beliau bertanya : ”Apa yang kamu inginkan dari perkataan ini?”. Ia menjawab : “Aku ingin engkau menyucikan diriku”. Maka Rasulullah bersabda : ”Apakah engkau memasukkan kemaluanmu ke dalam kemaluan wanita itu sebagaimana menghilangnya kuas celak ke dalam botol celak atau timba ke dalam sumur?”. Ia menjawab : ”Benar ya Rasulullah”. Maka Rasulullah memerintahkan untuk memberlakukan rajam terhadapnya. Lalu Nabi mendengar dua orang yang salah seorang dari mereka berkata kepada temannya : “Tidakkah engkau melihat orang ini yang telah Allah tutupi kepadanya lalu ia tidak ditinggalkan oleh nyawanya sehingga ia dirajam seperti merajam anjing?”. Kemudian Nabi berjalan sampai akhirnya melewati bangkai seekor keledai, maka beliau bertanya : ”Dimanakah si Fulan dan si Fulan? Berhenti dan makanlah keledai ini”.  Maka kedua orang itu berkata : “Semoga Allah memberikan ampunan kepadamu ya Rasulullah. Mana mungkin bangkai ini dimakan?”. Maka Rasulullah bersabda :
فما نلتما من أخيكما آنفاً أشد أكلاً منه, والذي نفسي بيده إنه الاَن لفي أنهار الجنة ينغمس فيها

Kalau begitu, apa yangtelah kalian peroleh dari saudara kalian adalah lebih menjijikkan daripada bangkai tersebut. Demi Rabb yang jiwaku berada di Tangan-Nya, sesungguhnya ia (Ma’iz) sekarang telah berada di sungai-sungai surga dan menyelam ke dalamnya” (HR. Abu Dawud dengan sanad shahih).
Dan firman Allah :
وَاتّقُواْ اللّهَ
Dan bertaqwalah kepada Allah”,
yaitu dalam segala perintah dan larangan-Nya yang diberikan kepada kalian. Jadikanlah ia sebagaipengawas kalian dalam hal itu dan takutlah kepada-Nya.
Firman-Nya :
إِنّ اللّهَ تَوّابٌ رّحِيمٌ
”Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 
Jumhur ulama mengatakan : “Jalan taubat yang harus ditempuh orang yang berbuat ghibah adalah dengan melepaskan diri darinya dan berkemauan keras untuk tidak mengulanginya kembali”.
Apakah dalam taubat itu disyaratkan  adanya penyesalan atas segala yang telah berlalu dan meminta maaf kepada orang yang digunjingkannya itu?  Mengenai hal itu, terdapat perbedaan pendapat. Ada ulama yang mensyaratkan agar meminta maaf kepada orang yang digunjingkan. Ada pula yang berpendapat, tidak disyaratkan baginya meminta maaf kepadanya. Karena jika ia memberitahu apa yang telah digunjingkannya itu kepadanya, barangkali ia akan merasa lebih sakit daripada jika ia tidak diberitahu. Dengan demikian, cara yang ditempuh adalah dengan memberi sanjungan kepada orang yang telah digunjungkannya itu di tempat-tempat dimana ia telah mencelanya. Selanjutnya, ia menghindari gunjingan orang lain atas orang itu sesuai dengan kemampuannya. Sehingga gunjingan dibayar dengan pujian. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ahmad dari Abdullah bin Sulaiman, bahwa Isma’il bin Yahya Al-Mu’afiri memberitahukan kepadanya bahwa Sahl bin Mu’adz bin Anas Al-Juhani memberitahunya dari ayahnya radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda :
من حمى مؤمناً من منافق يغتابه, بعث الله ﷻ إليه ملكاً يحمي لحمه يوم القيامة من نار جهنم, ومن رمى مؤمناً بشيء يريد سبه حبسه الله ﷻ على جسر جهنم حتى يخرج مما قال
Barangsiapa melindungi orang mukmin dari orang munafik yang menggunjingnya, maka Allah mengutus malaikat yang akan melindungi dagingnya pada hari Kiamat kelak dari neraka Jahannam. Sedangkan barangsiapa melemparkan suatu tuduhan yang dengannya ia bermaksud mencelanya, maka Allah akan menahannya di atas Jahannam sehingga keluarlah apa yang dikatakannya itu”. (Dla’if, didla’ifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Dla’iiful-Jaami’ nomor 5564).
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abu Dawud.
Firman Allah :
يَأَيّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقْنَاكُم مّن ذَكَرٍ وَأُنْثَىَ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوَاْ إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ إِنّ اللّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS. Al-Hujuraat : 13)
Allah berfirman seraya memberitahukan kepada umat manusia bahwa Dia telah menciptakan mereka dari satu jiwa, dan darinya Dia menciptakan pasangannya, yaitu Adam dan Hawwa’.  Dan selanjutnya Dia menjadikan mereka berbangsa-bangsa. Kata شُعُوباً (berbangsa-bangsa) lebih umum daripada kata القَبَآئِلُ (bersuku-suku). Dan setelah القَبَآئِلُ ini berurutan tatanan yang lain, seperti الفصائل والعشائر والعمائر والأفخاذ, dan lain-lain.
Ada juga yang menyatakan : “Yang dimaksud dengan الشُعُوب adalah penduduk-penduduk negeri lain, sedangkan القَبَآئِلُ adalah penduduk Arab, sebagaimana الأسباط dimaksudkan sebagai penduduk Bani Isra’il”. Dan mengenai hal ini telah saya ringkas dalam muqaddimah tersendiri yang saya kumpulkan dari kitab Al-Asybaah karya Abu ‘Umar bin Abdil-Barr, juga kitab Al-Qashdu wal-Umam fii Ma’rifati Ansaabil-‘Arab wal-‘Ajam.  Dengan demikian, dalam hal kemuliaan, seluruh umat manusia dipandang dari sisi ketanahannya dengan Adam dan Hawwa’ ‘alaihimas-salaam adalah sama. Hanya saja kemudian mereka itu bertingkat-tingkat jika dilihat dari sisi keagamaan, yaitu ketaatan kepada Allah dan kepatuhan mereka kepada Rasul-Nya. Oleh karena itu, setelah melarang perbuatan ghibah dan mencaci antar sesama, Allah mengingatkan bahwa mereka itu sama dalam hal sisi kemanusiaan.
Firman-Nya :
يَأَيّهَا النّاسُ إِنّا خَلَقْنَاكُم مّن ذَكَرٍ وَأُنْثَىَ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوَاْ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakanmu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikanmu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal”.
Maksudnya, agar saling kenal-mengenal sesama mereka, yang masing-masing kembali ke kabilah mereka.
Mengenai firman Allah : ”Supaya kamu saling kenal-mengenal”, Mujahid berkata,”Sebagaimana yang dikatakan Fulan bin Fulan dari anu dan anu atau dari kabilah anu dan kabilah anu”. Sufyan Ats-Tsauri berkata : “Orang-orang Humair menasabkan diri kepada kampung halaman mereka. Sedangkan Arab Hijaz menasabkan diri kepada kabilah mereka”. Abu ‘Isa At-Tirmidzi meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, dari Nabi , beliau bersabda :
تعلموا من أنسابكم ما تصلون به أرحامكم, فإن صلة الرحم محبة في الأهل مثراة في المال منسأة في الأثر
Pelajarilah silsilah kalian yang dengannya kalian akan menyambung tali kekeluargaan, karena menyambung tali kekeluargaan itu dapat menumbuhkan kecintaan dalam keluarga, kekayaan dalam harta, dan panjang umur umur
Kemudian At-Tirmidzi mengemukakan : “Hadits tersebut adalah gharib yang kami tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini saja”.
Dan firman-Nya :
إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ
”Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”.
Maksudnya, yang membedakan derajat kalian di sisi Allah hanyalah ketaqwaan, bukan keturunan. Ada beberapa hadits yang menjelaskan hal tersebut yang diriwayatkan langsung dari Nabi . Imam Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
سئل رسول الله ﷺ أي الناس أكرم ؟ قال: «أكرمهم عند الله أتقاهم» قالوا: ليس عن هذا نسألك. قال: فأكرم الناس يوسف نبي الله, ابن نبي الله, ابن نبي الله ابن خليل الله» قالوا: ليس عن هذا نسألك. قال: «فعن معادن العرب تسألوني ؟ قالوا: نعم. قال: فخياركم في الجاهلية خياركم في الإسلام إذا فقهوا
Rasulullah pernah ditanya : “Siapakah orang yang paling mulia?”. Maka beliau menjawab : “Yang paling mulia di antara mereka di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa diantara mereka”. Para shahabat bertanya : “Bukan masalah ini yang kami tanyakan kepadamu”.  Beliau menjawab : “Jadi, orang yang paling mulia adalah Nabi Allah Yusuf putera Nabi Allah, putera Nabi Allah, putera kekasih Allah”. Para shahabat berkata lagi : “Bukan ini yanghendak kami tanyakan kepadamu”. “Kalau begitu, apakah yang kalian tanyakan kepadaku itu tentang orang-orang Arab yang paling mulia?”, tanya beliau .  “Ya”,jawab mereka. Beliau bersabda : “Yang terbaik dari mereka di masa Jahiliyyah adalah yang terbaik dari mereka pada masa Islam, jika mereka benar-benar memahami”.
Hadits tersebut diriwayatkan oleh Al-Bukhari di tempat yang lain melalui jalan Abdah bin Sulaiman. Juga diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam kitab At-Tafsiir, dari hadits ‘Ubaidullah, dia adalah Ibnu ‘Umair Al-‘Umari.
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah  bersabda:
إن الله لا ينظر إلى صوركم وأموالكم ولكن ينظر إلى قلوبكم وأعمالكم
Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian. Akan tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian  (Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ahmad bin Sinan, dari Katsir bin Hisyam).
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu, ia menceritakan bahwa Nabi pernah bersabda kepadanya :
انظر فإنك لست بخير من أحمر ولا أسود إلا أن تفضله بتقوى الله
Lihatlah, sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang berkulit) merah dan hitam kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketaqwaan kepada Allah
Hadits di atas diriwayatkan sendiri oleh Imam Ahmad rahimahullah.
Imam Ahmad rahimahullah juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amirah, suami Darrah binti Abi Lahab, dari Darrah binti Abi Lahab radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
قام رجل إلى النبي ﷺ وهو على المنبر فقال: يا رسول الله أي الناس خير ؟ قال ﷺ: خير الناس أقرأهم وأتقاهم لله عز وجل, وآمرهم بالمعروف وأنهاهم عن المنكر وأوصلهم للرحم
Ada seorang laki-laki yang berdiri menemui Nabi yang ketika itu beliau tengah berada di atas mimbar, lalu ia berkata : “Ya Rasululah, siapakah orang yang paling baik itu?”. Rasulullah menjawab : “Sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik bacaan (Al-Qur’an)nya, paling bertaqwa kepada Allah , paling gigih menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, dan paling giat menyambung silaturahim
Dan firman Allah selanjutnya :
إِنّ اللّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Maksudnya, Maha Mengetahui (tentang) kalian semua dan Maha Mengenal semua urusan kalian, sehingga dengan demikian Dia akan memberikan petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki, menyesatkan siapa yang Dia kehendaki pula, menyayangi siapa yang Dia kehendaki, menimpakan siksaan kepada siapa yang Dia kehendaki, mengutamakan siapa yang Dia kehendaki, dan juga Maha Bijaksana, Maha Mengetahui, dan Maha Mengenal tentang semuanya itu. Ayat mulia dan hadits-hadits syarif ini telah dijadikan dalil oleh beberapa ulama’ yang berpendapat bahwa kafa-ah (sederajat) di dalam masalah nikah itu tidak dijadikan syarat, dan tidak ada yang dipersyaratkan kecuali agama. Hal itu didasarkan pada firman Allah :
إِنّ أَكْرَمَكُمْ عَندَ اللّهِ أَتْقَاكُمْ
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”.
Sedangkan ulama lainnya mengambil dalil-dalil lain yang terdapat dalam buku-buku fiqh. Dan kami telah menyebutkan sekilas mengenai hal itu dalam kitab Al-Ahkaam. Segala puji dan sanjungan hanya bagi Allah semata.

[selesai – repost tulisan lama 12 Juni 2006].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar