Dari
Jaabir bin 'Abdillah radliyallaahu ‘anhu:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَتَى
النَّبِيَّ ﷺ بِكِتَابٍ أَصَابَهُ مِنْ بَعْضِ أَهْلِ الْكُتُبِ، فَقَرَأَهُ
عَلَّى النَّبِيُّ ﷺ فَغَضِبَ، وَقَالَ: أَمُتَهَوِّكُونَ فِيهَا يَا ابْنَ
الْخَطَّابِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَقَدْ جِئْتُكُمْ بِهَا بَيْضَاءَ
نَقِيَّةً، لَا تَسْأَلُوهُمْ عَنْ شَيْءٍ فَيُخْبِرُوكُمْ بِحَقٍّ فَتُكَذِّبُوا
بِهِ، أَوْ بِبَاطِلٍ فَتُصَدِّقُوا بِهِ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، لَوْ أَنَّ
مُوسَى كَانَ حَيًّا، مَا وَسِعَهُ إِلَّا أَنْ يَتَّبِعَنِي
Bahwasannya
Umar bin Khaththaab pernah mendatangi Nabi ﷺ
sambil membawa kitab yang ia dapatkan dari sebagian Ahli Kitab. Kemudian ia
membacakan kepada Nabi ﷺ kitab tersebut. Nabi ﷺ
pun marah dan bersabda : “Apakah engkau merasa bingung dengan apa yang ada
di dalamnya, wahai Ibnul-Khaththaab?. Demi Dzat yang jiwaku berada di
tangan-Nya. Sungguh aku telah datang kepada kalian dengan membawa sesuatu putih
lagi bersih (jelas). Janganlah kalian bertanya kepada Ahli Kitab tentang satu
hal, karena mungkin mereka akan memberitahu kalian satu kebenaran namun kalian
mendustakannya. Atau mereka menkhabarkan satu kebatilan, akan tetapi kalian
membenarkannya. Demi Dzat, yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya Muusaa
masih hidup, maka wajib baginya untuk mengikutiku” [Diriwayatkan oleh Ahmad
3/387; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil no. 1589].
‘Umar
bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu adalah orang yang cerdas, namun ia
tidak diperkenankan Nabi ﷺ membaca kitab yang berasal dari Ahli Kitab
(Yahudi dan Nashrani). ‘Umar pun dilarang bertanya kepada Ahli Kitab[1],
meskipun Nabi ﷺ tidak mengingkari adanya sebagian kebenaran
dari sisi mereka[2].
Nabi ﷺ mengkhawatirkan ada talbis sehingga yang
benar dianggap salah dan yang salah dianggap benar. Apa yang ada di hadapan
'Umar dan kaum muslimin (para shahabat) – yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah – telah
mencukupi kebenaran yang mereka butuhkan.
Inilah
salah satu prinsip Islam dan prinsip umum dalam dakwah. Ketika ulama dan dai Ahlus-Sunnah
ada, maka tidak dibutuhkan yang selainnya karena itu sudah mencukupi. Jangan
biarkan – atau bahkan menganjurkannya – umat berwisata melancong ke majelis
orang-orang yang menyimpang sehingga syubhat menyambar mereka.
Apakah
Anda akan menganjurkan keluarga, kolega, dan murid Anda (seandainya Anda mendedikasikan
sebagai seorang guru/ustadz) : ‘Ambil yang baik dan buang yang buruk’ ;
sedangkan mereka sendiri masih susah membedakan benar – salah, baik – buruk
dalam timbangan agama?. Atau selalu kampanye : 'Tuntutlah ilmu ke semua orang, aneka
sekte dan pemahaman ?'.
Ada
kisah menarik dari Ibnu ‘Aqiil Al-Hanbaliy rahimahullah.
Ibnu
'Aqiil yang nama lengkapnya Abul-Wafaa' 'Aliy bin 'Aqiil bin Muhammad bin
'Aqiil bin 'Abdillah Al-Baghdaadiy Adh-Dhafariy; adalah seorang ulama yang
sangat cerdas, lautan ilmu, dan susah dicari yang sepadan di zamannya.
Pertama
kali ia tumbuh di lingkungan Ahlus-Sunnah, melahap dengan semangat berbagai
macam perbendaharaan ilmu hingga menjadikannya unggul melebihi kolega-koleganya.
Pikirannya yang sangat terbuka menyebabkan dirinya bergaul dengan orang-orang
Mu'tazilah yang akhirnya ia terpengaruh dengannya.
Adz-Dzahabiy
rahimahullah saat menuliskan biografinya berkata:
كانوا ينهونه عن مجالسة المعتزلة ، ويأبى
حتى وقع في حبائلهم ، وتجسر على تأويل النصوص ، نسأل الله السلامة
"Mereka
(para ulama di zamannya) melarangnya (Ibnu 'Aqiil) untuk bermajelis dengan
Mu'tazilah, namun ia enggan hingga akhirnya terjatuh dalam pemikiran mereka dan
mulai berani mena'wilkan nash-nash. Nas-alullahas-salaam wal-'aafiyyah".
Coba
kita tengok apa jawaban 'klise' Ibnu 'Aqiil ketika mendapat nasihat dari para
ulama untuk menjauhi Mu'tazilah. Adz-Dzahabiy rahimahullah menukil perkataan
Ibnu ‘Aqiil rahimahumallah:
وكان أصحابنا الحنابلة يريدون مني هجران
جماعة من العلماء ، وكان ذلك يحرمني علما نافعا
"Para
ulama Hanabilah menginginkanku menjauhi 'sekelompok ulama'. Dan hal itu bagiku
sama saja melarangku untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat".
Ibnu
'Aqiil mulai mengikuti Mu’tazilah setapak demi setapak, hingga akhirnya
terang-terangan membela pemikiran mereka, sesuatu yang dulu ia mentahdzirnya !
[lihat Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 19/443-dst. atau klik link
ini].
Singkat
cerita, setelah melalui perjalanan yang panjang, akhirnya Ibnu 'Aqiil menyadari
bahwa apa yang ditempuhnya merupakan kekeliruan. Ia pun bertaubat dan menyatakan
taubatnya secara tegas, berlepas diri dari pemikiran Mu'tazillah beserta
orang-orangnya. Ibnu Qudaamah Al-Maqdisiy rahimahullah menukil kisahnya
dalam Tahriimun-Nadhar fii Kutubil-Kalaam (lihat hal. 29-34].
Banyak
pelajaran yang dapat kita ambil dari kisah ini, diantaranya:
1.
Syubhat ahlul-bid'ah
dan pengikut hawa nafsu sangat halus dan cepat menyambar. Seringkali penebar
syubhat ditampakkan di mata orang-orang yang terpedaya sebagai seorang 'alim
yang memberikan ilmu bermanfaat.
2.
Jangan terlalu
percaya diri dengan apa yang ada dalam diri kita. Jika bukan karena pertolongan
Allah ta'ala, niscaya kita susah mendapatkan keistiqamahan dan sikap tsabat/teguh
dalam agama.
3.
Menjauhi bid'ah dan
pelakunya adalah hukum asal perintah dalam agama karena berdekatan dengan
mereka bisa memberikan dampak dalam hati.
Ingatlah
firman Allah ta’ala:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ
أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
“Maka,
hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa fitnah
atau ditimpa adzab yang pedih.” [An-Nuur: 63]
Ibnu
Katsiir rahimahullah berkata:
{ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ } أي: في
قلوبهم، من كفر أو نفاق أو بدعة
“Firman
Allah ta’ala : ‘akan ditimpa fitnah’, yaitu : di hati mereka
berupa kekufuran, kemunafikan, atau bid’ah” [Tafsiir Ibni Katsiir, 6/90].
4.
Allah ta'ala
Maha membolak-balikkan hati manusia. Yang dulunya lurus, dapat berubah menjadi
bengkok. Begitu pula sebaliknya[3].
Oleh
karena itu kita senantiasa diperintahkan berdoa:
يَا
مُقَلِّبَ الْقُلُوبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِينِكَ
“Wahai Dzat yang
Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”.
5.
Seorang muslim harus
senantiasa memberikan nasihat kepada saudaranya yang lain jika melihat
saudaranya keliru atau mulai berdekat-dekatan dengan bid’ah dan pelakunya.
6.
Segera bertaubat jika
melakukan kesalahan.
Semoga
ada manfaatnya.
Wallaahu
a'lam.
[abul-jauzaa’
– rnn – 15 Ramadlaan 1439].
[1] Dalam riwayat yang disebutkan:
عَنْ
عَبْد اللَّهِ بْن عَبَّاسٍ، قَالَ: " يَا مَعْشَرَ الْمُسْلِمِينَ، كَيْفَ
تَسْأَلُونَ أَهْلَ الْكِتَابِ عَنْ شَيْءٍ؟ وَكِتَابُكُمُ الَّذِي أَنْزَلَ
اللَّهُ عَلَى نَبِيِّكُمْ ﷺ أَحْدَثُ الْأَخْبَارِ بِاللَّهِ مَحْضًا لَمْ
يُشَبْ، وَقَدْ حَدَّثَكُمُ اللَّهُ أَنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ قَدْ بَدَّلُوا مِنْ
كُتُبِ اللَّهِ وَغَيَّرُوا، فَكَتَبُوا بِأَيْدِيهِمُ الْكُتُبَ، قَالُوا: هُوَ
مِنْ عِنْدِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِذَلِكَ ثَمَنًا قَلِيلًا، أَوَلَا يَنْهَاكُمْ
مَا جَاءَكُمْ مِنَ الْعِلْمِ عَنْ مَسْأَلَتِهِمْ فَلَا وَاللَّهِ مَا رَأَيْنَا
رَجُلًا مِنْهُمْ يَسْأَلُكُمْ عَنِ الَّذِي أُنْزِلَ عَلَيْكُمْ "
Dari ‘Abdullah
bin ‘Abbaas, ia berkata : “Wahai sekalian kaum muslimin, mengapa kalian
bertanya kepada ahli kitab tentang sesuatu, padahal kitab kalian yang
diturunkan Allah kepada Nabi kalian ﷺ adalah kabar-kabar yang terbaru tentang
Allah, yang murni, tidak tercampur atau ternodai ?. Dan sesungguhnya Allah
telah menceritakan kepada kalian bahwa ahli kitab itu telah mengganti
Kitabullah dan mereka mengubahnya, kemudian mereka menulis dengan tangan-tangan
mereka, kemudian mereka berkata : ‘Ini dari sisi Allah’; yang agar dengan hal
itu mereka membeli atau menukarnya dengan harga yang sedikit, atau apa-apa yang
datang pada kalian berupa ilmu tidak melarang kalian dari bertanya kepada
mereka. Maka sekali-kali jangan! Demi Allah, kami tidak melihat seseorang
diantara mereka bertanya kepada kalian tentang apa-apa yang diturunkan kepada
kalian” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7523].
[2] Contohnya adalah:
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ حَبْرٌ مِنَ الْأَحْبَارِ
إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ: " يَا مُحَمَّدُ، إِنَّا نَجِدُ أَنَّ
اللَّهَ يَجْعَلُ السَّمَوَاتِ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْأَرَضِينَ عَلَى إِصْبَعٍ،
وَالشَّجَرَ عَلَى إِصْبَعٍ، وَالْمَاءَ وَالثَّرَى عَلَى إِصْبَعٍ، وَسَائِرَ
الْخَلَائِقِ عَلَى إِصْبَعٍ، فَيَقُولُ: أَنَا الْمَلِكُ، فَضَحِكَ النَّبِيُّ ﷺ
حَتَّى بَدَتْ نَوَاجِذُهُ تَصْدِيقًا لِقَوْلِ الْحَبْرِ، ثُمَّ قَرَأَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ: وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ وَالأَرْضُ جَمِيعًا قَبْضَتُهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالسَّمَوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ سُبْحَانَهُ
وَتَعَالَى عَمَّا يُشْرِكُونَ "
Dari ‘Abdullah
(bin Mas’uud) radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang pendeta Yahudi mendatangi
Rasulullah ﷺ, kemudian ia berkata : ‘Wahai Muhammad, sesungguhnya kami
mendapati bahwa Allah menjadikan langit-langit dengan satu jari, bumi-bumi
dengan satu jari, pohon dalam satu jari, air dan tanah dengan satu jari, serta
menjadikan seluruh makhluk dengan satu jari. Kemudian Dia berfirman : Aku
adalah Malik (Raja)’. Maka Rasulullah ﷺ tertawa sampai terlihat gigi geraham beliau membenarkan
perkataan pendeta itu. Kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat : ‘Dan mereka tidak mengagungkan Allah dengan
pengagungan yang semestinya. Padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada
hari kiamat, dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Maha Suci Allah dan
Maha Tinggi dari apa yang mereka persekutukan” (QS. Az-Zumar : 67)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 4811].
[3] Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ قَالَ: بَادِرُوا بِالأَعْمَالِ فِتَنًا كَقِطَعِ اللَّيْلِ
الْمُظْلِمِ، يُصْبِحُ الرَّجُلُ مُؤْمِنًا، وَيُمْسِي كَافِرًا، أَوْ يُمْسِي
مُؤْمِنًا، وَيُصْبِحُ كَافِرًا، يَبِيعُ دِينَهُ بِعَرَضٍ مِنَ الدُّنْيَا
Dari
Abu Hurairah, bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Bersegeralah kalian mengerjakan amal-amal
(shalih) sebelum datangnya fitnah yang menyerupai potongan-potongan malam yang
gelap gulita. Dimana seseorang di waktu shubuh masih dalam keadaan beriman,
namun sore harinya telah kafir; atau sore harinya masih beriman, namun
keesokannya telah kafir. Ia menjual agamanya demi secuil (keuntungan) dunia”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 118 & , Ahmad 2/302 & 523, Abu Ya’laa no.
6515, dan yang lainnya].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar