Dalam
artikel Hukum Seputar Shaf dalam Shalat Berjama'ah dan Menempelkan Pundak dan Kaki dalam Shaff, telah dijelaskan pensyari’atan meluruskan dan
merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah. Artikel kali ini – setelah beberapa
saat libur – akan dituliskan keterangan tambahan tentang makna kaifiyyah
merapatkan shalat, yang sebenarnya, dalam artikel sebelumnya juga telah
dijelaskan. Hanya untuk memperkuat saja….
عَنْ أَنَس، قَالَ: أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ
فَأَقْبَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ ﷺ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: " أَقِيمُوا
صُفُوفَكُمْ وَتَرَاصُّوا فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي "
Dari
Anas, ia berkata : “Iqamat dikumandangkan, kemudian Rasulullah ﷺ menghadap kami dengan wajahnya lalu
bersabda : ‘Luruskan shaff-shaff kalian dan rapatkanlah, karena aku melihat
kalian dari balik punggungku” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 719].
Ibnul-Atsiir
rahimahullah berkata: “Makna tarashshuu fish-shufuuf, yaitu saling
menempel/bersentuhan hingga tidak ada diantara kalian celah….. (رص البناء – يرصه - رصا), yaitu : ‘jika bangunan menempel satu
dengan yang lainnya sehingga menyatu” [An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits,
hal. 360; Daar Ibnil-Jauziy, Cet. 1/1421 H].
Keterangan
yang sama disampaikan oleh As-Sindiy rahimahullah dalam Hasyiyyah
As-Sindiy ‘alaa Sunan An-Nasaa’iy 2/426 (Daarul-Ma’rifah, Cet. 1990 M).
Ibnu
Rajab Al-Hanbaliy rahimahullah menjelaskan:
التراص : هوَ التضام والتداني والتلاصق .
ومنه قوله تعالى : { إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الَّذِينَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِهِ
صَفّاً كَأَنَّهُمْ بُنْيَانٌ مَرْصُوصٌ } [ الصف : 4 ] .
“At-taraashsh
maknanya bergabung, berdekatan, dan menempel. Dan darinya adalah firman Allah ta’ala
: ‘Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam
barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun
kokoh’ (QS. Ash-Shaff : 4)” [Fathul-Baariy, 6/719; Maktabah
Al-Ghurabaa’ Al-Atsariyyah, Cet. 1/1416].
As-Suyuuthiy
rahimahullah berkata:
وَفِي الصَّحِيح أَيْضا حَدِيث أقِيمُوا
صفوفكم وتراصوا قَالَ الشُّرَّاح المُرَاد بأقيموا اعتدلوا وبتراصوا تلاصقوا
بِغَيْر خلل
“Dalam
juga kitab Ash-Shahiih, hadits ‘aqiimuu shufuufakum wa tarashshuu’,
para pensyarah berkata : ‘Yang dimaksudkan dengan kata ‘aqiimuu’ adalah
luruskanlah, dan kata ‘tarashshuu’ adalah saling menempel tanpa ada
celah” [Basthul-Kaff
fii Itmaamish-Shaff, hal. 13].
Perintah
Nabi ﷺ
untuk merapatkan shaff dalam shalat berjama’ah adalah benar-benar
merapatkan dengan menempelkan badan antara satu dengan yang lainnya sehingga
tidak ada celah. Seperti halnya dalam hadits ‘Aaisyah radliyallaahu ‘anhaa
tentang merapatkan tumit ketika sujud:
فَقَدْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَكَانَ مَعِي
عَلَى فِرَاشِي، فَوَجَدْتُهُ سَاجِدًا رَاصًّا
عَقِبَيْهِ، مُسْتَقْبِلا بِأَطْرَافِ أَصَابِعِهِ الْقِبْلَةَ،
فَسَمِعْتُهُ، يَقُولُ: " أَعُوذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَبِعَفْوِكَ
مِنْ عُقُوبَتِكَ، وَبِكَ مِنْكَ، أُثْنِيَ عَلَيْكَ لا أَبْلُغُ كُلَّ مَا فِيكَ
“Aku
kehilangan Rasulullah ﷺ yang sebelumnya bersamaku di tempat tidur.
Lalu aku dapati beliau ﷺ ternyata sedang bersujud dengan menempelkan tumitnya, ujung-ujung jemarinya
menghadap kiblat. Aku mendengar beliau ﷺ mengucapkan : ‘Aku berlindung dengan
ridla-Mu dari murka-Mu, (berlindung) dengan ampunan-Mu dari siksa-Mu. Dengan-Mu
(aku berlindung) dari (azab)-Mu, aku memujimu dan aku tidak dapat meraih semua
apa yang ada pada-Mu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1/328/no. 652].[1]
Makna
rashshan ‘aqibaihi adalah benar-benar menempelkan/merapatkan tumit
(ketika sujud). Oleh karena itu, Al-Baihaqiy rahimahullah memasukkan
hadits tersebut dalam bab Maa Jaa-a fii Dlammil-‘Aqibaini fis-Sujuud (Beberapa
Riwayat tentang Mengumpulkan/Menggabungkan Kedua Tumit Ketika Sujud).
Nabi
ﷺ
telah menjelaskan sebab perintah merapatkan shaff tersebut dengan
sabdanya:
رَاصُّوا صُفُوفَكُمْ وَقَارِبُوا
بَيْنَهَا وَحَاذُوا بِالْأَعْنَاقِ فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ إِنِّي
لَأَرَى الشَّيَاطِينَ تَدْخُلُ مِنْ خَلَلِ الصَّفِّ كَأَنَّهَا الْحَذَفُ
“Rapatkan
shaff-shaff kalian, dekatkanlah antara shaf-shaf, dan sejajarkanlah
leher-leher. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, sesungguhnya
aku melihat setan-setan masuk dari celah-celah shaff seperti seekor anak
kambing kecil” [Diriwayatkan Abu Daawud no. 667, An-Nasaa’iy no. 815, Ahmad
3/260, dan lain-lain; shahih].
أَقِيمُوا الصُّفُوفَ وَحَاذُوا بَيْنَ
الْمَنَاكِبِ وَسُدُّوا الْخَلَلَ وَلِينُوا بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، لَمْ يَقُلْ
عِيسَى: بِأَيْدِي إِخْوَانِكُمْ، وَلَا تَذَرُوا فُرُجَاتٍ لِلشَّيْطَانِ، وَمَنْ
وَصَلَ صَفًّا وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَ صَفًّا قَطَعَهُ اللَّهُ
“Tegakkanlah
(luruskanlah) shaff-shaff, sejajarkanlah antara pundak-pundak, tutuplah
celah-celah, dan berlemah-lembutlah terhadap kedua tangan saudara-saudara
kalian[2]
– ‘Iisaa (perawi) tidak menyebutkan ‘kedua tangan saudara kalian’ – .
Dan janganlah kalian membiarkan celah-celah itu untuk setan. Barangsiapa yang menyambung
shaff, maka Allah akan menyambungnya; dan barangsiapa yang memutusnya, maka
Allah Allah akan memutusnya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 666;
shahih].
Al-‘Iraaqiy
rahimahullah saat menjelaskan hadits Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu[3],
berkata:
فِيهِ فَوَائِدُ: الأُولَى: فِيهِ الأَمْرُ
بِإِقَامَةِ الصُّفُوفِ فِي الصَّلاةِ وَالْمُرَادُ بِالصَّفِّ الْجِنْسُ،
وَيَدْخُلُ فِي إقَامَةِ الصَّفِّ اسْتِوَاءُ الْقَائِمِينَ عَلَى سَمْتٍ وَاحِدٍ
وَالْتِصَاقُ بَعْضِهِمْ لِبَعْضٍ بِحَيْثُ لا يَكُونُ بَيْنَهُمْ خَلَلٌ
وَتَتْمِيمُ الصُّفُوفِ الْمُقَدَّمَةِ أَوَّلا فَأَوَّلا
“Dalam
hadits tersebut terdapat beberapa faedah. Pertama : Padanya terdapat perintah
untuk menegakkan (meluruskan) shaff-shaff dalam shalat, sedangkan yang
dimaksud dengan shaff adalah jenisnya. Dan yang masuk dalam perintah menegakkan
(meluruskan) shaff adalah lurusnya orang-orang yang berdiri (makmum) di
atas satu garis/barisan, saling menempel sebagian dengan sebagian yang lain
tanpa ada celah di antara mereka, serta menyempurnakan shaff yang
pertama baru shaff berikutnya” [Tharhut-Tatsriib, 2/509].
Peniadaan
celah dalam shaff dengan menempelkan badan seseorang dengan yang lainnya
merupakan perbuatan para shahabat di belakang Nabi ﷺ sebagaimana
diriwayatkan oleh Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu:
عَنْ أَنَسِ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ:
" أَقِيمُوا صُفُوفَكُمْ فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي، وَكَانَ
أَحَدُنَا يُلْزِقُ مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ "
Dari
Anas, dari Nabi ﷺ yang bersabda : “Tegakkanlah
(luruskanlah) shaff-shaff kalian, karena sesungguhnya aku melihat kalian dari
belakang punggungku”. (Anas berkata) : “Seseorang diantara kami yang
menempelkan bahunya dengan bahu temannya dan telapak kakinya dengan telapak
kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 725].
Dalam
riwayat Abu Ya’laa terdapat tambahan perkataan Anas setelah menceritakan apa
yang diperbuat sahabat ketika melaksanakan perintah Nabi ﷺ untuk merapatkan shaff:
لَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْزِقُ
مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ، وَلَوْ ذَهَبْتَ تَفْعَلُ
ذَلِكَ الْيَوْمَ لَتَرَى أَحَدَهُمْ كَأَنَّهُ بَغْلٌ شَمُوسٌ
“Dan
seandainya engkau melakukan yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau
akan melihat salah satu dari mereka seperti bighal liar (yang melarikan diri)”
[Musnad Abi Ya’laa no. 3720].
Dalam
riwayat lain disebutkan dengan lafadh yulshiqu :
فَلَقَدْ رَأَيْتُ أَحَدَنَا يُلْصِقُ
مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَقَدَمَهُ بِقَدَمِهِ....
“Dan
sungguh aku melihat salah seorang diantara kami melekatkan/menempelkan
pundaknya dengan pundak temannya, telapak kakinya dengan telapan kaki temannya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Fawaaris dalam Al-Fawaaid Al-Muntaqaah hal.
187 no. 92; shahih].
Dalam
riwayat lain disebutkan perkataan Anas:
فَلَقَدْ يَتَبَارَى الرَّجُلُ بِلَزْقِ
مَنْكِبِهِ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ إِذَا قَامَ فِي الصَّلاةِ
“Dan
sungguh ada seorang sahabat berlomba-lomba menempelkan pundaknya kepada pundak
temannya apabila berdiri dalam shalat (berjama’ah)” [Diriwayatkan oleh Ibnu
Basyraan dalam Al-Amaaliy no. 40; shahih].
Riwayat
Anas di atas menunjukkan:
1.
kaifiyyah merapatkan
shaff dalam shalat berjama’ah dan semangat para shahabat dalam
melakukannya;
2.
persetujuan Nabi ﷺ terhadap apa yang dilakukan dilakukan
sahabat dalam hal menempelkan bahu dan telapak kaki[4];
3.
makna menempelkan antar
bahu dan antar telapak kaki adalah sebagaimana dhahirnya;
4.
pengingkaran Anas terhadap
fenomena yang terjadi di waktu itu – sepeninggal Nabi ﷺ - berupa : tidak merapatkan shaff
dengan menempelkan pundak dan telapak kakinya dalam shalat berjama’ah. Jika
sunnah tersebut diamalkan, niscaya banyak orang yang enggan seperti bighal liar
yang lari menjauh.[5]
‘Utsmaan
Al-Bakriy Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
يستحب إلصاق المناكب مع التسوية، بحيث لا
يكون أحد متقدما على أحد ولا متأخرا عنه، فذلك هو السنة.
“Dan
disunnahkan menempelkan bahu-bahu bersamaan dengan kelurusannya (dalam shaff)
dimana tidak ada seorangpun yang lebih maju atau lebih mundur daripada yang
lain. Maka itulah sunnah” [I’aanatuth-Thaalibiin, 2/28].
Adapun
hadits:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ
يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا، وَيَقُولُ: لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ
قُلُوبُكُمْ، وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى
الصُّفُوفِ الْأُوَلِ
Dari
Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : “Rasulullah ﷺ biasanya memasuki celah-celah shaff
dari sisi/ujung shaff ke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada
dan pundak-pundak kami, seraya bersabda : ‘Janganlah kalian berselisih
(dalam shaff), sehingga hati kalian akan berselisih juga’. Beliau ﷺ juga
bersabda : ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang
yang berada di) shaff-shaff pertama” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 664]
maknanya
bukan : Nabi ﷺ menerjang shaff-shaff sehingga
dengannya menunjukkan adanya celah untuk orang lewat antara satu orang dengan
orang sebelahnya dalam satu shaff.
Dalam
riwayat lain disebutkan dalam bentuk jamak (ash-shufuuf):
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ
الصُّفُوفَ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا وَصُدُورَنَا
“Rasulullah
ﷺ
biasanya memasuki celah-celah shaff-shaff dari sisi/ujung shaff
ke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami”
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 811].
Dalam
riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ يَأْتِي نَاحِيَةَ الصَّفِّ إِلَى
نَاحِيَتِهِ، يُسَوِّي صُدُورَهُمْ، وَمَنَاكِبَهُمْ
“Dan
beliau datang (berjalan) dari sisi/ujung shaff hingga ujung/sisi lainnya
meluruskan dada-dada dan pundak-pundak-pundak mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad
4/285; shahih].
Maknanya,
Rasulullah ﷺ
berjalan horizontal dari sisi/ujung shaf pertama ke sisi/ujung lainnya, lalu
dilanjutkan ke berjalan ke shaff kedua, ketiga, dan seterusnya dengan
cara yang sama. Celah yang dilewati adalah celah antar shaff, bukan di
dalam shaff.
Al-Bukhaariy
rahimahullah meletakkan hadits Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu
dalam bab :
إِلْزَاقِ الْمَنْكِبِ بِالْمَنْكِبِ
وَالْقَدَمِ بِالْقَدَمِ فِي الصَّفِّ
“Menempelkan
pundak dengan pundak, kaki dengan kaki dalam shaff” [Shahiih Al-Bukhaariy,
1/238].
Bab
ini menunjukkan dhahir fiqh beliau rahimahullah pada perkara merapatkan shaff
dalam shalat berjama’ah, karena sesuai dengan metode pemberian judul bab yang
lain dalam kitab Jaami’ush-Shahiih-nya. Bukan makna majaziy.
Al-Haafidh
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan:
قوله : ( باب إلزاق المنكب بالمنكب والقدم
بالقدم في الصف ) المراد بذلك المبالغة في تعديل الصف وسد خلله
“Dan
perkataan Al-Bukhaariy : Bab Menempelkan Pundak dengan Pundak dan Kaki dengan
Kaki dalam Shaff; maksudnya adalah berlebih-lebihan dalam meluruskan shaff
dan menutup celah” [Fathul-Baariy, 2/211].
Sebagian
orang ada yang memahami perkataan Al-Haafidh ‘al-mubaalaghah’ adalah
majazi. Atau secara ringkas (menurut mereka) dikatakan : perkataan Al-Bukhaariy
tersebut merupakan ungkapan majaz dalam meluruskan shaff dan menutup
celah. Tidak benar-benar menempel. Justru ini tidak benar, karena menyalahi
makna dhahirnya. Yang dimaksudkan Al-Haafidh dalam mubaalaghah di sini
adalah penyangatan dan kesungguhan. Seakan-akan beliau rahimahullah berkata
: Disyari’atkan menempelkan pundak dengan pundak dan telapak kaki dengan
telapak kaki, dalam rangka mubaalaghah (berlebihan, bersungguh-sungguh)
dalam pencapaian kelurusan shaff dan menutup celah [lihat : At-Tatimmaat
li-ba'dli Masaailish-Shalaah oleh Asy-Syaikh Dr. Muhammad bin 'Umar Bazmuul,
hal. 42].
Yang
menguatkan makna ini, Al-Haafidh rahimahullah saat menjelaskan hadits
Anas ‘aqiimush-shufuufakum wa tarashshuu’ berkata:
قوله وتراصوا بتشديد الصاد المهملة أي تلاصقوا
بغير خلل
“Sabda
beliau ﷺ
: ‘tarashshuu’ (rapatkanlah), maknanya saling menempelkan tanpa
ada celah” [Fathul-Baariy, 2/208].
Nampak
madzhab beliau rahimahullah dalam hal ini adalah rapat dengan saling
menempelkan hingga tidak ada celah. Sangat selaras.
Setelah
menyebutkan hadits An-Nu’maan bin Basyiir dan Anas bin Maalik radliyallaahu
‘anhumaa, Ibnu Baththaal rahimahullah berkata:
هذه الأحاديث تفسر قوله عليه السلام: « تراصُّوا فى الصف » ، وهذه هيئة التراص
“Hadits-hadits
ini menasfirkan sabda beliau ﷺ : ‘Rapatkanlah shaff’, dan inilah
bentuk merapatkan tersebut” [Syarh Shahiih Al-Bukhaariy oleh Ibnu
Baththaal, 2/347-348].
Bukankah
ketika Anas menyebutkan pengingkarannya : ‘Dan seandainya engkau melakukan
yang demikian itu pada hari ini, sungguh engkau akan melihat salah satu dari mereka
seperti bighal liar (yang melarikan diri)’; yang lebih pas dimaknai sesuai
dengan dhahirnya ?. Dan inilah fakta yang banyak terjadi sekarang. Banyak orang
enggan dan bahkan lari hanya sekedar untuk menempelkan bahu dan telapak
kakinya. Silakan direnungkan !
Selain
alasan makna yang dimaksud majazi (dan ini tidak valid), ada yang mengatakan bahwa
sahabat yang menempelkan pundak dan telapak kakinya hanya satu orang saja,
sedangkan yang lain tidak. Perbuatan seorang sahabat tidak menjadi dalil.
Dari
mana disimpulkan sahabat yang lain tidak menempelkan pundak dan telapak kakinya
?. Tidak ada keterangan sama sekali dalam riwayat. Jika dikatakan ‘ahadunaa’
– dalam hadits Anas – bukan berarti yang lain tidak melakukannya. Misalnya saja
hadits:
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا أَمَرَنَا
بِالصَّدَقَةِ انْطَلَقَ أَحَدُنَا إِلَى السُّوقِ
فَيُحَامِلُ فَيُصِيبُ الْمُدَّ وَإِنَّ لِبَعْضِهِمْ الْيَوْمَ لَمِائَةَ أَلْفٍ
Dari
Abu Mas’uud Al-Anshaariy radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : “Dulu apabila
Rasulullah ﷺ memerintahkan kami bershadaqah, maka salah
seorang diantara kami akan berangkat menuju pasar lalu dia bekerja dengan
sungguh-sungguh hingga mendapatkan rezeki satu mud (untuk dishadaqahkan). Adapun
hari ini sebagian dari mereka bisa mendapatkan seratus ribu kalinya"
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2273].
Hadits
ini tidak menunjukkan hanya satu orang saja diantara banyak sahabat yang hadir yang
mencari rizki dan bershadaqah darinya. Hadits ini hanya menunjukkan sifat/sikap
para shahabat jika ketika mendengar perintah dari Nabi. Tentu aneh jika
dipahami hanya satu orang saja dari banyak sahabat yang mendengar melaksanakan
perintah beliau ﷺ.
عَنْ زَيْدُ بْنُ أَرْقَمَ: إِنْ كُنَّا
لَنَتَكَلَّمُ فِي الصَّلَاةِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ ﷺ يُكَلِّمُ أَحَدُنَا
صَاحِبَهُ بِحَاجَتِهِ حَتَّى نَزَلَتْ: حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ،
فَأُمِرْنَا بِالسُّكُوتِ "
Dari
Zaid bin Arqam, ia berkata : “Dahulu kami di zaman Nabi ﷺ saling berbicara ketika shalat. Salah
seorang diantara kami mengajak temannya berbicara untuk satu keperluan, hingga
kemudian turun ayat : ‘Peliharalah shalat-shalat-(mu), dan (peliharalah)
shalat wusthaa’ (QS. Al-Baqarah : 283). Setelah itu, kami diperintahkan
untuk diam (ketika shalat)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1199].
Hadits
di atas menjelaskan bahwa fenomena berbicara ketika shalat sebelum turun
larangan adalah jamak, umum dilakukan para shahabat. Ketika dikatakan oleh Zaid
: ‘salah seorang diantara kami mengajak temannya berbicara untuk satu
keperluan’, bukan artinya hanya satu orang saja yang berbicara dengan
temannya.
Dan
lain-lain.
Seandainya
pun benar seperti yang mereka katakan bahwa hanya satu orang shahabat saja yang
menempelkan pundak dan bahu mereka ketika meluruskan dan merapatkan shaff;
bukankah menjadi janggal sementara mereka sendiri menguatkan makna perkataan
Anas tersebut hanyalah majazi, bukan sebenarnya?. Perbuatan meluruskan dan
merapatkan shaff tanpa menempelkan pun menjadi bukan hujjah karena hanya
dilakukan oleh seorang shahabat saja.
Terakhir,
sebagian orang mengatakan bahwa tidak mungkin untuk menempelkan lutut dengan
lutut seperti dalam riwayat An-Nu’maan bin Basyiir radliyallaahu ‘anhu,
sehingga makna yang terambil bukan pada dhahirnya, tapi majazi. Hadits
An-Nu’maan bin Basyiir tersebut adalah:
عَنْ النُّعْمَان بْن بَشِير، يَقُولُ:
أَقْبَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى النَّاسِ بِوَجْهِهِ، فَقَالَ: " أَقِيمُوا
صُفُوفَكُمْ ثَلَاثًا، وَاللَّهِ لَتُقِيمُنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ
اللَّهُ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ "، قَالَ: فَرَأَيْتُ الرَّجُلَ يَلْزَقُ
مَنْكِبَهُ بِمَنْكِبِ صَاحِبِهِ وَرُكْبَتَهُ بِرُكْبَةِ صَاحِبِهِ وَكَعْبَهُ
بِكَعْبِهِ
Dari
An-Nu’maan bin Basyiir, ia berkata : “Rasulullah ﷺ pernah
menghadap ke arah jama’ah shalat dan bersabda : ‘Tegakkanlah (luruskanlah)
shaff-shaff kalian’ – sebanyak tiga kali - . Demi Allah, hendaklah kalian benar-benar menegakkan
shaff-shaff kalian; atau jika tidak, maka Allah akan membuat hati-hati kalian
saling berselisih’. An-Nu’maan berkata : “Aku melihat ada seorang laki-laki
menempelkan bahunya dengan bahu temannya, lututnya dengan lutut temannya, dan
mata kakinya dengan mata kaki temannya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 662;
shahih].
Pada
dasarnya hujjah ‘aqliyyah ini mudah dijawab. Pertama, menempelkan lutut dengan
lutut bukannya tidak mungkin; akan tetapi bisa meski tidak setiap orang dapat
melakukannya (tergantung bentuk kaki dan ukuran badan). Saya jawab demikian
karena saya adalah pelakunya, sering melakukannya, walau tidak selalu. Kedua, perkataan
An-Nu’maan ini menunjukkan bahwa merapatkan shalat dilakukan pada keseluruhan
shalat. Menempelkan lutut dengan lutut mudah dilakukan ketika sujud dan duduk,
sehingga dengannya seseorang berusaha tidak membiarkan adanya celah antara
dirinya dengan saudaranya ketika shalat berjama’ah [At-Tatimmaat li-ba'dli
Masaailish-Shalaah, hal. 44].
Sebagai
penutup,…. menempelkan bahu dengan bahu, telapak kaki (mata kaki) dengan
telapak kaki, atau bahkan lutut dengan lutut (sebagaimana keterangan di atas)
mudah dilakukan bagi yang terbiasa, insyaallah. Justru saya tidak habis
pikir ketika kita datang masuk ke dalam shaff dengan menempelkan bahu
dan telapak kaki (mata kaki) kita dengan bahu dan telapak kaki (mata kaki) saudara
kita muslim (tanpa ekstrim mepet dengan tubuhnya), ia malah menjauh. Saya
pribadi malah pernah dihardik. Opo salahku ?. Kalau memang saudara kita
menjauh atau bahkan ‘lari’, kita tak perlu kejar-kejaran karena kita bukan mau
lari atletik. Urusan dia lah mau lari atau sprint….
Ini
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya, wallaahu a’lam
bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’
– rnn – 13052018].
[1] Keshahihan hadits ini diperbincangkan para
ulama. Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah menshahihkannya dalam Shifatu
Shalaatin-Nabiy, hal. 142; Maktabah Al-Ma’aarif. Adapun beberapa ulama
lainnya melemahkannya.
[2] Abu Daawud rahimahullah setelah
menyebutkan hadits tersebut menjelaskan makna ‘berlemah-lembutlah terhadap
kedua tangan saudara-saudara kalian’:
إِذَا
جَاءَ رَجُلٌ إِلَى الصَّفِّ فَذَهَبَ يَدْخُلُ فِيهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يُلِينَ
لَهُ كُلُّ رَجُلٍ مَنْكِبَيْهِ حَتَّى يَدْخُلَ فِي الصَّفِّ
“Apabila
seseorang datang dan kemudian hendak masuk shaff, hendaknya setiap orang
agar melunakkan kedua pundaknya hingga ia dapat masuk ke dalam shaff” [Sunan
Abi Daawud no. 666].
Hadits
ini berkaitan dengan perintah/anjuran untuk menyambung/merapatkan shaff
dan menutup celah (jika ada celah), karena konteks haditsnya adalah demikian.
Maka, jika ada seseorang datang dan ingin masuk shaff untuk menutup
celah; hendaknya orang-orang melunakkan pundaknya sehingga ia dapat masuk dan
celah dapat tertutup.
Senada dengan hadits yang lain:
عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: خِيَارُكُمْ أَلْيَنُكُمْ
مَنَاكِبَ فِي الصَّلَاةِ
Dari
Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Sebaik-baik kalian adalah yang mempunyai bahu paling
lembut di dalam shalat” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 672; shahih].
Al-Manaawiy
menjelaskan hadits ini semisal dengan penjelasan Abu Daawud rahimahumallah:
إذا
جاء من يريد الدخول في الصف فوضع يده على منكبه لان وأوسع له ليدخل
“Apabila
ada orang yang hendak masuk (mengisi) ke dalam shaff lalu ia meletakkan
tangannya ke pundaknya, hendaknya ia memberikan kelonggaran untuknya agar dapat
masuk (mengisi shaff)” [Faidlul-Qadiir, 2/96].
عَنْ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: خِيَارُكُمْ
أَلْيَنُكُمْ مَنَاكِبًا فِي الصَّلاةِ، وَمَا مِنْ خُطْوَةٍ أَعْظَمُ أَجْرًا
مِنْ خُطْوَةٍ مَشَاهَا رَجُلٌ إِلَى فُرْجَةٍ فِي صَفٍّ فَسَدَّهَا
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling lunak
pundaknya dalam shalat. Dan tidak ada satu langkah yang lebih agung pahalanya
daripada langkah yang diayunkan seseorang untuk menuju celah dalam shaff lalu
ia menutupnya” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath
no. 5217; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah
2/368 no. 743].
Bukankah
perbuatan ini sering kita lakukan menjelang shalat berjama’ah dimulai, yaitu
kita saling mengisi dan merapatkan shaff yang kosong/longgar ?.
Adalah
keliru jika kemudian hadits ini dimaknai bahwa shaff para shahabat di
zaman Nabi ﷺ adalah longgar sehingga orang dapat ‘keluar-masuk’ melewati shaff.
Konteksnya bukan itu.
[3] Yaitu hadits:
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ َقَالَ: " أَقِيمُوا الصَّفَّ فِي
الصَّلَاةِ، فَإِنَّ إِقَامَةَ الصَّفِّ مِنْ حُسْنِ الصَّلَاةِ "
Dari
Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ,
beliau bersabda : “Tegakkanlah (luruskanlah) shaff dalam shalat, karena tegaknya
(lurusnya) shaff termasuk tanda kebagusan shalat” [Diriwayatkan oleh Muslim
no. 689].
فَإِنِّي أَرَاكُمْ مِنْ وَرَاءِ ظَهْرِي....
“Karena
sesungguhnya aku melihat kalian dari belakang punggungku”.
Jika
menempelkan bahu dan telapak kaki adalah kemunkaran (sebagaimana prasangka
sebagian orang), tentu akan diingkari oleh Nabi ﷺ.
[5] PERSIS seperti fenomena sekarang, dan bahkan (yang
sekarang) lebih parah.
Salaam 'alaiik
BalasHapusMohon ustadz dibahas derajad hadits yg berbunyi
"Kullu banii aadama khoththo', dst
Syukron
ini bisa dipraktikkan optimal jika lebar posisi kedua kaki disesuaikan dengan lebar pundak dan lengan.
BalasHapusdan untuk menempelkan antara lutut bisa optimal jika arah kaki dan jari-jarinya terhadap ke kiblat.
iya kan tadz ?
bisa bahas tentang posisi jari-jari kaki disaat shalat tadz ?
MasyaAllah.. Lanjutkan, Ustaz karena salafi lebih butuh pada artikel ilmiah seperti ini.
BalasHapusBagaimana dgn Fatwa Lajnah Daimah
BalasHapusS : Apa hukum menempelkan kedua telapak kaki (dg yg lain) dalam sholat (jama'ah) ?
J : Tidak ada didalam sunnah satupun hadits shahih lagi sharih yang menunjukkan menempelkan kedua telapak kaki (dg yg lain) , saat posisi berdiri dalam sholat ataupun saat sujud.
Atas dasar itu, maka sesuai kaidah, bahwa orang yang sedang sholat (jama'ah) tidak bersusah payah menempelkan keduanya (dg orang lain) tidak pula merenggangkan terlalu lebar, tetapi seimbang antara keduanya.
Saya mau bertanya tentang hadits ini
BalasHapusAdapun hadits:
عَنْ الْبَرَاءِ بْنِ عَازِبٍ، قَالَ: كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ الصَّفَّ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ صُدُورَنَا وَمَنَاكِبَنَا، وَيَقُولُ: لَا تَخْتَلِفُوا فَتَخْتَلِفَ قُلُوبُكُمْ، وَكَانَ يَقُولُ: إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الصُّفُوفِ الْأُوَلِ
Dari Al-Barraa’ bin ‘Aazib, ia berkata : “Rasulullah ﷺ biasanya memasuki celah-celah shaff dari sisi/ujung shaff ke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami, seraya bersabda : ‘Janganlah kalian berselisih (dalam shaff), sehingga hati kalian akan berselisih juga’. Beliau ﷺ juga bersabda : ‘Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bershalawat kepada (orang-orang yang berada di) shaff-shaff pertama” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 664]
maknanya bukan : Nabi ﷺ menerjang shaff-shaff sehingga dengannya menunjukkan adanya celah untuk orang lewat antara satu orang dengan orang sebelahnya dalam satu shaff.
Dalam riwayat lain disebutkan dalam bentuk jamak (ash-shufuuf):
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَتَخَلَّلُ الصُّفُوفَ مِنْ نَاحِيَةٍ إِلَى نَاحِيَةٍ يَمْسَحُ مَنَاكِبَنَا وَصُدُورَنَا
“Rasulullah ﷺ biasanya memasuki celah-celah shaff-shaff dari sisi/ujung shaff ke sisi/ujung lainnya dengan mengusap dada-dada dan pundak-pundak kami” [Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 811].
Dalam riwayat lain disebutkan:
وَكَانَ يَأْتِي نَاحِيَةَ الصَّفِّ إِلَى نَاحِيَتِهِ، يُسَوِّي صُدُورَهُمْ، وَمَنَاكِبَهُمْ
“Dan beliau datang (berjalan) dari sisi/ujung shaff hingga ujung/sisi lainnya meluruskan dada-dada dan pundak-pundak-pundak mereka” [Diriwayatkan oleh Ahmad 4/285; shahih].
Maknanya, Rasulullah ﷺ berjalan horizontal dari sisi/ujung shaf pertama ke sisi/ujung lainnya, lalu dilanjutkan ke berjalan ke shaff kedua, ketiga, dan seterusnya dengan cara yang sama. Celah yang dilewati adalah celah antar shaff, bukan di dalam shaff.
Apakah imam sholat berdosa jika tidak melakukan sebagaimana yg Nabi lakukan, yakni berjalan horizontal dari sisi/ujung shaf pertama ke sisi/ujung lainnya, lalu dilanjutkan ke berjalan ke shaff kedua, ketiga, dan seterusnya dengan cara yang sama.
Dikaitkan dengan hadits
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ