Banyak
sekali hadits shahih yang menjelaskan tentang syahaadah (kesyahidan).
Diantaranya adalah sebagai berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: " الشُّهَدَاءُ خَمْسَةٌ
الْمَطْعُونُ، وَالْمَبْطُونُ، وَالْغَرِقُ، وَصَاحِبُ الْهَدْمِ، وَالشَّهِيدُ
فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dari
Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah bersabda : “Syuhadaa’ (orang
yang mati syahid) itu ada lima : Orang yang mati terkena penyakit tha’un, orang
yang mati terkena penyakit perut, orang yang tenggelam, orang yang tertimpa
reruntuhan/bangunan, dan orang yang mati syahiid di jalan Allah (medan perang)” [Diriwayatkan
oleh Al-Bukhaariy no. 2829 dan Muslim 1914].
عَنْ جَابِر بْن عَتِيكٍ، أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ جَاءَ يَعُودُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ ثَابِتٍ، فَوَجَدَهُ قَدْ غُلِبَ،
فَصَاحَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَلَمْ يُجِبْهُ، فَاسْتَرْجَعَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ
وَقَالَ: " غُلِبْنَا عَلَيْكَ يَا أَبَا الرَّبِيعِ، فَصَاحَ النِّسْوَةُ
وَبَكَيْنَ، فَجَعَلَ ابْنُ عَتِيكٍ يُسَكِّتُهُنَّ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
دَعْهُنَّ، فَإِذَا وَجَبَ فَلَا تَبْكِيَنَّ بَاكِيَةٌ، قَالُوا: وَمَا
الْوُجُوبُ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ قَالَ: الْمَوْتُ، قَالَتِ ابْنَتُهُ: وَاللَّهِ
إِنْ كُنْتُ لَأَرْجُو أَنْ تَكُونَ شَهِيدًا، فَإِنَّكَ كُنْتَ قَدْ قَضَيْتَ جِهَازَكَ،
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: إِنَّ اللَّهَ ﷻ قَدْ أَوْقَعَ أَجْرَهُ عَلَى قَدْرِ
نِيَّتِهِ، وَمَا تَعُدُّونَ الشَّهَادَةَ؟ قَالُوا: الْقَتْلُ فِي سَبِيلِ
اللَّهِ، قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: الشَّهَادَةُ سَبْعٌ، سِوَى الْقَتْلِ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ: الْمَطْعُونُ شَهِيدٌ، وَالْغَرِقُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ ذَاتِ
الْجَنْبِ شَهِيدٌ، وَالْمَبْطُونُ شَهِيدٌ، وَصَاحِبُ الْحَرِيقِ شَهِيدٌ،
وَالَّذِي يَمُوتُ تَحْتَ الْهَدْمِ شَهِيدٌ، وَالْمَرْأَةُ تَمُوتُ بِجُمْعٍ
شَهِيدٌ "
Dari
Jaabir, bahwasannya Rasulullah ﷺ pernah datang menjenguk ‘Abdullah bin
Tsaabit, dan kemudian beliau mendapati dirinya dalam keadaan hampir meninggal.
Maka Rasulullah ﷺ berteriak, namun tidak
seorang pun yang menjawabnya. Kemudian beliau ﷺ ber-istirjaa’ seraya bersabda : “Kami
ingin jika engkau hidup, namun Allah menakdirkanmu untuk mendahului kami (meninggal dunia) wahai
Abur-Rabii’”. Para wanita berteriak dan menangis,
sementara itu Ibnu ‘Atiik berusaha untuk menenangkan mereka. Rasulullah ﷺ bersabda : “Biarkan mereka. Apabila 'kewajiban' telah datang, maka jangan ada di antara mereka yang menangis”.
Para shahabat bertanya : “Apakah yang dimaksud ‘kewajiban’ itu wahai Rasulullah
?”. Beliau ﷺ
menjawab : “Kematian”. Anak wanitanya berkata : “Demi Allah, dulu
kami sangat berharap engkau (yaitu ‘Abdullah bin Tsaabit – Abul-Jauzaa’)
menjadi seorang syahiid, karena engkau telah menghabiskan perbekalanmu (untuk
berjihad)”. Rasulullah ﷺ bersabda : “Sesungguhnya Allah ﷻ telah
memberikan pahalanya sesuai dengan kadar niatnya. Apa yang engkau ketahui tentang
kesyahidan (syahaadah)?”. Para shahabat menjawab : “Terbunuh di
jalan Allah (medan peperangan)”. Rasulullah ﷺ bersabda : “Kesyahidan ada tujuh selain
terbunuh di jalan Allah, yaitu : orang yang mati terkena penyakit tha’un adalah
syahiid, orang yang mati tenggelam adalah syahiid, orang yang mati terkena
sakit lepra adalah syahiid, orang yang mati terkena sakit perut adalah syahiid,
orang yang mati terbakar adalah syahiid, orang yang mati tertimpa reruntuhan
adalah syahiid, dan wanita yang mati karena hamil adalah syahiid”
[Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 3111, An-Nasaa’iy no. 1846, Ahmad 5/446, dan
yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan Abi Daawud 2/277].
عَنْ سَعِيدِ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: سَمِعْتُ
رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ،
وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ
شَهِيدٌ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ ".
Dari
Sa’iid bin Zaid, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Barangsiapa yang terbunuh
karena membela hartanya, maka ia syahid; barangsiapa yang terbunuh karena membela
agamanya, maka ia syahid; barangsiapa yang terbunuh karena membela jiwanya,
maka ia syahid; dan barangsiapa yang terbunuh karena membela keluarganya, maka ia
pun syahid” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 1421, Abu Daawud no. 4772, An-Nasaa’iy
no. 4094, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Ini adalah hadits hasan
shahih”].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ﷺ يَقُولُ: " مَنْ قُتِلَ
دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ "
Dari
‘Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Aku mendengar
Nabi ﷺ
bersabda : “Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya, maka ia syahid”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2480, Muslim no. 141].
عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: كُنْتُ
جَالِسًا عِنْدَ سُوَيْدِ بْنِ مُقَرِّنٍ، فَقَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
" مَنْ قُتِلَ دُونَ مَظْلَمَتِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ "
Dari
Abu Ja’far, ia berkata : Aku pernah duduk di sisi Suwaid bin MUqarrin, lalu ia
berkata : Telah bersabda Rasulullah ﷺ : “Barangsiapa yang terbunuh karena
membela dirinya atas kedhaliman yang menimpanya, maka ia syahiid”
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 4096; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Sunan An-Nasaa’iy 3/101-102].
عَنْ عُقْبَة بْنَ عَامِرٍ، يَقُولُ:
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ: " مَنْ صُرِعَ عَنْ دَابَّتِهِ فِي
سَبِيلٍ اللَّهٍ فَمَاتَ، فَهُوَ شَهِيدٌ "
Dari
‘Uqbah bin ‘Aamir, ia berkata : Aku mendengar Rasulullah ﷺ bersabda : “Barangsiapa yang terlempar
dari hewan tunggangannya lalu meninggal, maka ia syahiid” [Diriwayatkan
oleh Abu Ya’laa no. 1752 dan Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir 17/323 no.
892; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Silsilah Ash-Shahiihah no.
2346].
An-Nawawiy
rahimahullah menjelaskan:
وَاعْلَمْ أَنَّ الشَّهِيد ثَلَاثَة
أَقْسَام أَحَدهَا الْمَقْتُول فِي حَرْب بِسَبَبٍ مِنْ أَسْبَاب الْقِتَال
فَهَذَا لَهُ حُكْم الشُّهَدَاء فِي ثَوَاب الْآخِرَة وَفِي أَحْكَام الدُّنْيَا
وَهُوَ أَنَّهُ لَا يُغَسَّل وَلَا يُصَلَّى عَلَيْهِ . وَالثَّانِي شَهِيد فِي
الثَّوَاب دُون أَحْكَام الدُّنْيَا وَهُوَ الْمَبْطُون ، وَالْمَطْعُون ،
وَصَاحِب الْهَدْم ، وَمَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ ، وَغَيْرهمْ مِمَّنْ جَاءَتْ
الْأَحَادِيث الصَّحِيحَة بِتَسْمِيَتِهِ شَهِيدًا فَهَذَا يُغَسَّل وَيُصَلَّى
عَلَيْهِ وَلَهُ فِي الْآخِرَة ثَوَاب الشُّهَدَاء ، وَلَا يَلْزَم أَنْ يَكُون
مِثْل ثَوَاب الْأَوَّل . وَالثَّالِث مَنْ غَلَّ فِي الْغَنِيمَة وَشِبْهُه مَنْ
وَرَدَتْ الْآثَار بِنَفْيِ تَسْمِيَته شَهِيدًا إِذَا قُتِلَ فِي حَرْب
الْكُفَّار فَهَذَا لَهُ حُكْم الشُّهَدَاء فِي الدُّنْيَا فَلَا يُغَسَّل ، وَلَا
يُصَلَّى عَلَيْهِ ، وَلَيْسَ لَهُ ثَوَابهمْ الْكَامِل فِي الْآخِرَة . وَاَللَّه
أَعْلَم
“Dan
ketahuilah bahwa syahiid itu ada tiga macam. Pertama, orang yang mati di
medan pertempuran dengan sebab-sebab perangan. Maka orang ini dihukumi sebagai syahiid
dalam pahala di akhirat dan dalam hukum-hukum di dunia. Dirinya tidak
dimandikan dan tidak pula dishalati[1].
Kedua, syahiid dalam pahala (akhirat), namun tidak dalam hukum-hukum
dunia, seperti orang yang mati terkena sakit perut, orang yang mati karena terkena
sakit tha’un, orang yang mati karena tertimpa reruntuhan/bangunan, orang
yang terbunuh karena membela hartanya, dan lain-lain yang terdapat dalam hadits
shahih yang menyebutkan penamaan syahiid. Jenis orang ini tetap
dimandikan dan dishalati; serta baginya pahala syahiid di akhirat. Namun
demikian, tidak mesti mereka mendapatkan pahala seperti pahala kesyahidan jenis
pertama. Ketiga, orang yang berbuat ghuluul (khianat) dalam ghaniimah
dan yang semisalnya dari orang-orang yang disebutkan dalam atsar-atsar yang
menafikkan penamaan syahiid apabila terbunuh di medan peperangan melawan kuffaar;
maka orang tersebut dihukumi syahiid di dunia, tidak dimandikan, dan tidak pula
dishalati. Namun ia tidak mendapatkan pahala (kesyahidan) yang sempurna di
akhirat, wallaahu a’lam” [Syarh Shahiih Muslim, 2/164].
Al-Haafidh
Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah berkata :
وَيَتَحَصَّل مِمَّا ذُكِرَ فِي هَذِهِ
الْأَحَادِيث أَنَّ الشُّهَدَاء قِسْمَانِ : شَهِيد الدُّنْيَا ، وَشَهِيد
الْآخِرَة وَهُوَ مَنْ يُقْتَل فِي حَرْب الْكُفَّار مُقْبِلًا غَيْر مُدْبِر
مُخْلِصًا . وَشَهِيد الْآخِرَة وَهُوَ مَنْ ذُكِرَ ، بِمَعْنَى أَنَّهُمْ
يُعْطَوْنَ مِنْ جِنْس أَجْر الشُّهَدَاء وَلَا تَجْرِي عَلَيْهِمْ أَحْكَامهمْ
فِي الدُّنْيَا .
“Dan kesimpulan yang didapatkan dari hadits-hadits yang
disebutkan bahwasannya syuhadaa’ itu ada dua macam. (Pertama), syahiid
di dunia dan syahiid akhirat, yaitu orang yang terbunuh dalam peperangan
melawan orang-orang kafir, teguh melawannya lagi tidak melarikan diri dengan
ikhlash (karena Allah ﷻ). (Kedua) syahiid akhirat. Mereka
adalah orang-orang yang disebutkan (dalam hadits). Mereka diberikan pahala
kesyahidan, namun tetapi tidak berlaku padanya hukum syahid di dunia
(dimandikan, dikafani, dan dishalatkan – Abul-Jauzaa’)” [Fathul-Baariy,
6/44].
Apabila
kita perhatikan, hadits-hadits yang membicarakan kesyahidan di atas adalah umum
yang menyangkut sifat-sifatnya, bukan pada individu personnya. Jika menunjuk
pada person, maka perlu ada dalil khusus, seperti misal penunjukkan Nabi ﷺ atas kesyahidan ‘Umar bin Al-Khaththaab
dan ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhumaa:
عَنْ أَنَس بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ، أَنّ النَّبِيَّ ﷺ صَعِدَ أُحُدًا وَأَبُو بَكْرٍ، وَعُمَرُ، وَعُثْمَانُ
فَرَجَفَ بِهِمْ، فَقَالَ: اثْبُتْ أُحُدُ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ نَبِيٌّ وَصِدِّيقٌ
وَشَهِيدَانِ
Dari
Anas bin Maalik radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi ﷺ pernah mendaki Uhud bersama Abu Bakr,
‘Umar, dan ‘Utsmaan. Tiba-tiba Uhud bergetar. Beliau ﷺ bersabda : “Tenanglah Uhud, karena di
atas hanyalah ada seorang Nabi, seorang shiddiiq, dan dua orang syahiid”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3675].
Yang
dimaksud dengan shiddiiq adalah Abu Bakr, dan dua orang syahiid adalah ‘Umar
dan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum.
Dalam Al-Jaami’ush-Shahiih, Al-Bukhaariy rahimahullah menuliskan :
بَاب لَا يَقُولُ فُلَانٌ شَهِيدٌ
قَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ
اللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَنْ
يُكْلَمُ فِي سَبِيلِهِ "
“Bab
: Tidak boleh mengatakan Fulaan syahiid.
Telah
berkata Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ : “Allah lebih mengetahui orang yang
berjihad di jalan-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang yang terluka di
jalan-Nya”.
Kemudian
Al-Bukhaariy rahimahullah menyebutkan hadits:
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ، حَدَّثَنَا
يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، عَنْ أَبِي حَازِمٍ، عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ
السَّاعِدِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَنّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ الْتَقَى هُوَ
وَالْمُشْرِكُونَ فَاقْتَتَلُوا فَلَمَّا مَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِلَى
عَسْكَرِهِ وَمَالَ الْآخَرُونَ إِلَى عَسْكَرِهِمْ وَفِي أَصْحَابِ رَسُولِ
اللَّهِ ﷺ رَجُلٌ لَا يَدَعُ لَهُمْ شَاذَّةً، وَلَا فَاذَّةً إِلَّا اتَّبَعَهَا
يَضْرِبُهَا بِسَيْفِهِ، فَقَالَ: مَا أَجْزَأَ مِنَّا الْيَوْمَ أَحَدٌ كَمَا
أَجْزَأَ فُلَانٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " أَمَا إِنَّهُ مِنْ أَهْلِ
النَّارِ "، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ أَنَا صَاحِبُهُ، قَالَ: فَخَرَجَ
مَعَهُ كُلَّمَا وَقَفَ وَقَفَ مَعَهُ، وَإِذَا أَسْرَعَ أَسْرَعَ مَعَهُ، قَالَ:
فَجُرِحَ الرَّجُلُ جُرْحًا شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ، فَوَضَعَ نَصْلَ
سَيْفِهِ بِالْأَرْضِ وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَى
سَيْفِهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ، فَخَرَجَ الرَّجُلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ فَقَالَ:
أَشْهَدُ أَنَّكَ رَسُولُ اللَّهِ، قَالَ: وَمَا ذَاكَ، قَالَ الرَّجُلُ: الَّذِي
ذَكَرْتَ آنِفًا أَنَّهُ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، فَأَعْظَمَ النَّاسُ ذَلِكَ،
فَقُلْتُ: أَنَا لَكُمْ بِهِ فَخَرَجْتُ فِي طَلَبِهِ، ثُمَّ جُرِحَ جُرْحًا
شَدِيدًا فَاسْتَعْجَلَ الْمَوْتَ، فَوَضَعَ نَصْلَ سَيْفِهِ فِي الْأَرْضِ
وَذُبَابَهُ بَيْنَ ثَدْيَيْهِ، ثُمَّ تَحَامَلَ عَلَيْهِ فَقَتَلَ نَفْسَهُ،
فَقَالَ: رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عِنْدَ ذَلِكَ إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ
أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ
مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
Telah
menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Ya’quub bin
‘Abdirrahmaan, dari Abu Haazim, dari Sahl bin Sa’d As-Saa’idiy radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Rasulullah ﷺ bertemu
dengan orang-orang musyrik dan terjadilah peperangan di antara keduanya. Ketika
Rasulullah ﷺ kembali ke pasukan beliau dan mereka
(orang-orang musyrik) kembali ke pasukan mereka, ada seorang laki-laki dari
kalangan shahabat Nabi ﷺ yang tidak membiarkan musuh yang lari
kecuali ia mengejarnya dan membunuhnya dengan pedangnya. Salah seorang shahabat
berkata : “Tidak ada seorang pun yang diberikan pahala pada hari ini
sebagaimana Fulaan tersebut diberikan pahala (karena pertempuran yang ia
lakukan)”. Maka Rasulullah ﷺ bersabda : “Adapun dirinya, maka
termasuk penduduk neraka”. Berkatalah seorang laki-laki dari satu kaum : “Aku adalah temannya”. Maka ia keluar bersama Fulaan tersebut.
Apabila Fulaan berhenti, maka ia berhenti bersamanya. Apabila Fulaan pergi,
maka ia pergi bersamanya. Laki-laki (Fulaan) itu akhirnya terluka parah,
sehingga ia ingin mempercepat kematiannya. Lalu ia meletakkan gagang pedangnya
di tanah sedangkan mata/ujung pedangnya di antara dua dadanya. Ia menekan
pedangnya hingga kemudian mati. Maka orang yang mengikuti Fulaan tersebut pergi
menemui Rasulullah ﷺ dan berkata: “Aku bersaksi bahwasannya
engkau benar-benar utusan Allah”. Beliau ﷺ bersabda : “Ada apa gerangan ?”.
Orang itu berkata : “Apa yang engkau sebutkan barusan bahwa dirinya termasuk
penduduk neraka. Orang-orang menganggap besar perkara tersebut (apa yang
dikatakan Nabi ﷺ). Aku katakan : ‘Aku akan membuktikan hal
itu untuk kalian’. Setelah itu aku mencarinya, kemudian aku dapati dirinya
terluka parah sehingga ia ingin mempercepat kematiannya. Ia meletakkan gagang
pedangnya di tanah sedangkan mata/ujung pedangnya di antara dua dadanya. Ia
menekan pedangnya hingga kemudian mati”. Maka Rasulullah ﷺ bersabda tentang peristiwa tersebut : “Sesungguhnya
ada orang yang melakukan amalan penduduk surga seperti yang nampak pada
manusia, padahal dirinya termasuk penduduk neraka. Dan ada pula orang yang
melakukan amalan penduduk neraka seperti yang nampak pada manusia, padahal
dirinya termasuk penduduk surga” [Al-Jaami’ush-Shahiih, 2/331 no.
2898].
Setelah
menyebutkan Bab Tidak Boleh Mengatakan Fulaan Syahiid dalam Al-Jaami’ush-Shahiih
(Shahiih Al-Bukhaariy), Al-Haafidh Ibnu Hajar Al-‘Asqalaaniy rahimahullah
berkata:
أَيْ عَلَى سَبِيلِ الْقَطْعِ بِذَلِكَ
إِلَّا إِنْ كَانَ بِالْوَحْي وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى حَدِيثِ عُمَرَ أَنَّهُ
خَطَبَ فَقَالَ " تَقُولُونَ فِي مَغَازِيكُمْ فُلَانٌ شَهِيدٌ وَمَاتَ
فَلَانٌ شَهِيدًا وَلَعَلَّهُ قَدْ يَكُونُ قَدْ أَوْقَرَ رَاحِلَتَهُ أَلَا لَا
تَقُولُوا ذَلِكُمْ وَلَكِنْ قُولُوا كَمَا قَالَ رَسُول اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " مَنْ مَاتَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ قُتِلَ فَهُوَ
شَهِيدٌ " وَهُوَ حَدِيثٌ حَسَنٌ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَسَيِّدُ بْنُ
مَنْصُور وَغَيْرُهُمَا مِنْ طَرِيقِ مُحَمَّد بْن سِيرِينَ عَنْ أَبِي
الْعَجْفَاءِ
“Yaitu,
dalam hal pemastiannya (hukum syahiid) dengannya, kecuali jika didasari
wahyu. Dan seakan-akan ia (Al-Bukhaariy) mengisyaratkan pada hadits ‘Umar bin
Al-Khaththaab yang ia (‘Umar) berkata : ‘Kalian katakan dalam
peperangan-peperangan kalian ‘Fulaan syahiid’, ‘Fulaan meninggal
dalam keadaan syahiid’. Barangkali dirinya membebani terlalu berat hewan
kendaraannya (ghaniimah). Janganlah kalian mengatakan hal itu, akan
tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ : ‘Barangsiapa yang mati di jalan Allah
atau terbunuh (di jalan Allah), maka ia syahiid’. Ini adalah hadits hasan
yang diriwayatkan oleh Ahmad, Sa’iid bin Manshuur, dan yang lainnya dari jalan
Muhammad bin Siiriin dari Abul-‘Ajfaa’” [Fathul-Baariy, 6/90].
Kemudian
Ibnu Hajar rahimahullah berkata:
فَالْمُرَاد النَّهْي عَنْ تَعْيِينِ
وَصْفٍ وَاحِدٍ بِعَيْنِهِ بِأَنَّهُ شَهِيد بَلْ يَجُوزُ أَنْ يُقَالَ ذَلِكَ
عَلَى طَرِيقِ الْإِجْمَالِ
“Maka
yang dimaksudkan adalah larangan men-ta’yiin seorang individu bahwa
dirinya adalah syahiid. Akan tetapi diperbolehkan mengatakannya secara
umum” [idem].
Hadits
‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang dimaksud adalah sebagaimana
perkataannya:
وَأُخْرَى يَقُولُونَهَا لِمَنْ قُتِلَ فِي
مَغَازِيكُمْ أَوْ مَاتَ قُتِلَ فُلَانٌ شَهِيدًا أَوْ مَاتَ فُلَانٌ شَهِيدًا
وَلَعَلَّهُ أَنْ يَكُونَ قَدْ أَوْقَرَ عَجُزَ دَابَّتِهِ أَوْ دَفَّ رَاحِلَتِهِ
ذَهَبًا أَوْ وَرِقًا يَطْلُبُ التِّجَارَةَ فَلَا تَقُولُوا ذَاكُمْ وَلَكِنْ
قُولُوا كَمَا قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: " مَنْ قُتِلَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، أَوْ
مَاتَ فَهُوَ فِي الْجَنَّةِ "
“Dan
hal lain yang sering mereka katakan terhadap orang yang terbunuh di medan
peperangan kalian atau meninggal : ‘Fulaan terbunuh sebagai syahiid’,
atau ‘Fulaan meninggal sebagai syahiid’. Barangkali saja dirinya
membebani terlalu berat hewan kendaraannya, atau meletakkan emas atau perak
(rampasan perang secara curang) di samping pelana kendaraannya untuk diperdagangkan.
Janganlah kalian mengatakan demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana yang
disabdakan Nabi ﷺ : ‘Barangsiapa yang terbunuh di jalan
Allah atau mati (di jalan Allah), maka baginya (pahala) surga”
[Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 3349; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih
Sunan An-Nasaa’iy 2/451-452].
Perkataan
‘Umar radliyallaahu ‘anhu di atas dijelaskan dalam riwayat berikut:
عَنْ عُمَر بْن الْخَطَّابِ، قَالَ: لَمَّا
كَانَ يَوْمُ خَيْبَرَ، أَقْبَلَ نَفَرٌ مِنْ صَحَابَةِ النَّبِيِّ ﷺ فَقَالُوا:
فُلَانٌ شَهِيدٌ، فُلَانٌ شَهِيدٌ، حَتَّى مَرُّوا عَلَى رَجُلٍ، فَقَالُوا:
فُلَانٌ شَهِيدٌ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: " كَلَّا إِنِّي رَأَيْتُهُ فِي
النَّارِ فِي بُرْدَةٍ غَلَّهَا أَوْ عَبَاءَةٍ، ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ:
يَا ابْنَ الْخَطَّابِ، اذْهَبْ فَنَادِ فِي النَّاسِ، أَنَّهُ لَا يَدْخُلُ
الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ، قَالَ: فَخَرَجْتُ، فَنَادَيْتُ، " أَلَا
إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، إِلَّا الْمُؤْمِنُونَ "
Dari
‘Umar bin Al-Khtahthaab, ia berkata : Ketika terjadi perang Khaibar, sekelompok
shahabat Nabi ﷺ menghadap beliau dan berkata : “Fulaan
syahiid, Fulaan syahiid”, hingga mereka melewati seorang laki-laki.
Mereka berkata : “Fulaan syahiid”. Maka Rasulullah ﷺ bersabda : "Sekali-kali tidak.
Sesungguhnya aku melihatnya di neraka dalam kondisi burdah atau mantel yang ia
curi (dari harta ghaniimah)”. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda : “Wahai Ibnul-Khaththaab,
pergi dan serukanlah kepada manusia bahwa tidak akan masuk surga kecuali
orang-orang yang beriman”. ‘Umar berkata : “Lalu akupun pergi dan berseru :
‘Ketahuilah, tidak akan masuk surga kecuali orang-orang yang beriman”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 114].
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ،
قَالَ: " إِيَّاكُمْ أَنْ تَقُولُوا مَاتَ فُلَانٌ شَهِيدًا، أَوْ قُتِلَ
فُلَانٌ شَهِيدًا، فَإِنَّ الرَّجُلَ يُقَاتِلُ لِيَغْنَمَ، وَيُقَاتِلُ
لِيُذْكَرَ، وَيُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ، فَإِنْ كُنْتُمْ شَاهِدِينَ لَا
مَحَالَةَ، فَاشْهَدُوا لِلرَّهْطِ الَّذِينَ بَعَثَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فِي
سَرِيَّةٍ، فَقُتِلُوا، فَقَالُوا: اللَّهُمَّ بَلِّغْ نَبِيَّنَا ﷺ عَنَّا أَنَّا
قَدْ لَقِينَاكَ، فَرَضِينَا عَنْكَ وَرَضِيتَ عَنَّا
Dari
‘Abdullah bin Mas’uud, ia berkata : “Jauhilah oleh kalian untuk mengatakan ‘Fulaan
mati dalam keadaan syahiid’ atau ‘Fulaan terbunuh dalam keadaan syahiid’.
Sesungguhnya ada seseorang yang berperang agar (sekedar) diberi harta ghaniimah,
disebut-sebut (sebagai pahlawan), dan dilihat manusia kedudukannya. Apabila
kalian harus bersaksi, maka bersaksilah untuk sekelompok shahabat yang
Rasulullah ﷺ
mengutus mereka dalam pasukan perang, lalu mereka terbunuh. Mereka berkata : ‘Ya
Allah, sampaikanlah kepada Nabi kami ﷺ khabar tentang diri kami bahwa kami telah berjumpa
dengan-Mu (meninggal). Kami ridla kepada-Mu dan Engkau pun ridla kepada kami[2]”
[Diriwayatkan oleh Ahmad 1/416; shahih lighairihi[3]].
Ibnun-Nahhaas
rahimahullah menjelaskan:
واعلم أن من غل شيئاً في سبيل الله تعالى
استوجب عقوبتين عقوبة في الدنيا وعقوبة في الآخرة.......وأنه يحرم الفوز بالشهادة،
وإن قتل في جهاده، لقوله ﷺ حين قال الصحابة لمن قتل في سبيل الله - وقد غل - :
فلان شهيد، فقال: (كلا والله، إنه في النار) فنفى أن يكون شهيداً، وأكد ذلك بقسمه
البار ﷺ
“Dan
ketahuilah bahwasannya orang yang melakukan ghuluul (khianat dalam ghaniimah)
di jalan Allah ta’ala, dirinya berhak untuk mendapatkan dua macam hukuman,
yaitu hukuman di dunia dan hukuman di akhirat….. Dan bahwasannya beliau ﷺ mengharamkan keberhasilan mendapatkan syahaadah,
meskipun dirinya terbunuh dalam jihadnya, berdasarkan sabda Nabi ﷺ ketika shahabat berkata kepada orang yang
terbunuh di jalan Allah dalam keadaan berbuat ghuluul : ‘Fulaan
syahiid’, maka beliau ﷺ bersabda : ‘Sekali-kali tidak demi Allah,
dirinya berada di neraka’. Maka beliau menafikkan statusnya sebagai seorang
syahiid, dan beliau ﷺ menekankan dengan sumpahnya…”
[Masyaari’ul-Aswaaq hal. 813].
Nabi
ﷺ
secara jelas mengingkari persaksian para shahabat yang nampak di mata mereka tentang
kesyahidan seseorang. Beliau ﷺ mengetahui apa yang tidak kita ketahui. Para
shahabat mengetahui siapa saja yang mendapatkan kesyahidan, dan siapa pula yang
tidak mendapatkannya. Maka setelah beliau ﷺ wafat,
kita diam dalam hal persaksian kesyahidan orang tertentu kecuali jika ada
keterangannya dalam dalil yang shahih.
Oleh
karena itu Rasulullah ﷺ menegur Ummul-Alaa’ Al-Anshaariyyah ketika
memuji ‘Utsman bin Madh’uan saat meninggal sebagaimana dalam hadits:
عَنْ أُمِّ الْعَلَاءِ الْأَنْصَارِيَّةِ :
أَنَّهُ اقْتُسِمَ الْمُهَاجِرُونَ قُرْعَةً فَطَارَ لَنَا عُثْمَانُ بْنُ
مَظْعُونٍ فَأَنْزَلْنَاهُ فِي أَبْيَاتِنَا، فَوَجِعَ وَجَعَهُ الَّذِي تُوُفِّيَ
فِيهِ فَلَمَّا تُوُفِّيَ وَغُسِّلَ وَكُفِّنَ فِي أَثْوَابِهِ دَخَلَ رَسُولُ
اللَّهِ ﷺ فَقُلْتُ: رَحْمَةُ اللَّهِ عَلَيْكَ أَبَا السَّائِبِ فَشَهَادَتِي
عَلَيْكَ لَقَدْ أَكْرَمَكَ اللَّهُ، فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ: وَمَا يُدْرِيكِ أَنَّ
اللَّهَ قَدْ أَكْرَمَهُ؟، فَقُلْتُ: بِأَبِي أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ، فَمَنْ
يُكْرِمُهُ اللَّهُ؟، فَقَالَ: أَمَّا هُوَ فَقَدْ جَاءَهُ الْيَقِينُ، وَاللَّهِ
إِنِّي لَأَرْجُو لَهُ الْخَيْرَ وَاللَّهِ مَا أَدْرِي وَأَنَا رَسُولُ اللَّهِ
مَا يُفْعَلُ بِي، قَالَتْ: فَوَاللَّهِ لَا أُزَكِّي أَحَدًا بَعْدَهُ أَبَدًا
Dari
Ummul-‘Alaa’ Al-Anshaariyyah : Bahwasannya Nabi ﷺ pernah mengundi pembagian shahabat
Muhaajiriin (untuk tinggal di rumah para shahabat dari kalangan Anshaar), maka
‘Utsmaan bin Madh’uun mendapatkan bagiannya untuk tinggal bersama kami. Lalu
kami bawa dirinya di rumah-rumah kami. ‘Utsmaan kemudian menderita sakit yang
membawanya kepada kematian. Setelah meninggal, ia dimandikan dan dikafani
dengan pakaiannya. Rasulullah ﷺ masuk rumah, lalu aku berkata : “Rahmat
Allah atasmu wahai Abus-Saa’ib!. Aku bersaksi kepadamu bahwa sungguh Allah telah
memuliakan dirimu”. Lalu beliau ﷺ bersabda
: “Apa yang membuatmu mengatakan bahwa Allah telah memuliakannya?”. Aku
katakan : “Akhirnya Ummul-Alaa’ berkata : “Ayahku sebagai tebusannya, wahai
Rasulullah. Lantas siapakah yang layak dimuliakan Allah ?”. Beliau ﷺ bersabda : "Adapun dia, telah
datang kepadanya al-yaqiin (kematian) dan sesungguhnya aku benar-benar berharap
ia berada di atas kebaikan. Demi Allah, meskipun aku ini Rasulullah, aku tidak
tahu apa yang akan dilakukan-Nya terhadapku". Ia (Ummul-‘Alaa’) berkata:
"Demi Allah, setelah ini aku tidak akan membuat kesaksian kepada siapapun”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1243].
‘Utsmaan
bin Madh’uun radliyallaahu ‘anhu yang merupakan salah seorang shahabat
mulia saja dilarang untuk membuat persaksian terhadapnya, apalagi yang lebih
rendah kedudukannya daripadanya dari orang-orang generasi setelahnya?. Perhatikanlah
sabda Nabi ﷺ
: ‘Dan sesungguhnya aku benar-benar berharap ia berada di atas kebaikan’;
maka itulah yang seharusnya diucapkan bagi orang yang meninggal yang
dipersaksikan secara dhahir berada dalam kebaikan.
Pertanyaan
Nabi ﷺ terkait persaksian Ummul-‘Alaa’ terhadap ‘Utsmaan
bin Madh’uun sama dengan pertanyaan ‘Abdullah bin Mas’uud radliyallaahu ‘anhum
kepada orang yang mempersaksikan kesyahidan seseorang:
نا أَبُو الأَحْوَصِ، قَالَ: نا أَشْعَثُ
بْنُ سُلَيْمٍ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَعْقِلٍ، قَالَ: كُنَّا قُعُودًا عِنْدَ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: قُتِلَ فُلانٌ
شَهِيدًا، فَقَالَ عَبْدُ اللَّهِ: " وَمَا يُدْرِيكَ أَنَّهُ قُتِلَ
شَهِيدًا؟ إِنَّ الرَّجُلَ يُقَاتِلُ غَضَبًا، وَيُقَاتِلُ حَمِيَّةً، وَيُقَاتِلُ
رِئَاءً، إِنَّمَا الشَّهِيدُ مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللَّهِ هِيَ
الْعُلْيَا
Telah
menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, ia berkata : Telah menceritakan kepada
kami Asy’ats bin Sulaim, dari ‘Abdullah bin Ma’qil, ia berkata : “Kami pernah
duduk di sisi ‘Abdullah bin Mas’uud . Lalu ada seseorang yang berkata : “Fulaan
terbunuh dalam keadaan syahiid!”. Maka ‘Abdullah berkata : “Apa yang
membuatmu mengatakan bahwa orang (Fulaan) tersebut terbunuh dalam
keadaan syahiid?. Sesungguhnya ada seseorang yang berperang dikarenakan
amarah, berperang karena fanatisme, dan riyaa’. Syahiid itu hanyalah
orang yang berperang agar kalimat Allah tinggi[4]”
[Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur dalam Sunan-nya no. 2545;
sanadnya shahih].
Mempersaksikan
seseorang sebagai seorang syahiid di jalan Allah ta’ala, mempunyai
konsekuensi pemastian balasan surga bagi orang tersebut; dan ini tidak mungkin[5].
Secara
ringkas dikatakan : Orang yang berperang di jalan Allah ada yang ikhlash
semata-mata hanya karena Allah ﷻ, ada yang karena selain-Nya. Yang ikhlash
semata-mata hanya karena Allah ta’ala, maka itu lah syahiid hakiki yang
kelak dibalas dengan surga. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَثَلُ الْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
وَاللَّهُ أَعْلَمُ، بِمَنْ يُجَاهِدُ فِي سَبِيلِهِ كَمَثَلِ الصَّائِمِ الْقَائِمِ،
وَتَوَكَّلَ اللَّهُ لِلْمُجَاهِدِ فِي سَبِيلِهِ، بِأَنْ يَتَوَفَّاهُ أَنْ
يُدْخِلَهُ الْجَنَّةَ، أَوْ يَرْجِعَهُ سَالِمًا مَعَ أَجْرٍ، أَوْ غَنِيمَةٍ
“Perumpamaan
seorang yang berjihad di jalan Allah - dan hanya Allah yang mengetahui siapa
yang berjihad di jalan-Nya – adalah seperti seorang yang melaksanakan puasa dan
shalat terus menerus. Dan Allah berjanji kepada orang yang berjihad di
jalan-Nya, dimana bahwa jika Allah mewafatkannya maka Allah akan dimasukkannya
ke dalam surga atau jika Dia mengembalikannya dalam keadaan selamat, maka ia pulang
dengan membawa pahala atau ghaniimah’ [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
2787 dan Muslim no. 1878].
Adapun
orang yang berperang dengan niat selain-Nya, makai a akan dibalas sesuai dengan
niatnya atau bahkan akan dicampakkan ke dalam neraka karena dosa-dosanya.
Sebagian
ulama salaf dan khalaf memang ada yang membolehkan penyebutan syahiid
terhadap orang yang meninggal berperang di jalan Allah – dan Allah ta’ala lebih
mengetahui siapa yang meninggal di jalan-Nya - .
Akan
tetapi yang lebih hati-hati adalah sebagaimana yang disebutkan, mengucapkan syahiid
diiringi dengan doa dan pengharapan, seperti misal : syahiid insyallah;
dan itu tidak berat di lisan.
Wallaahu
a’lam bish-shawwaab.
Semoga
ada manfaatnya.
[menjelang
adzan Shubuh – abul-jauzaa’ – rnn].
[1] Sebagaimana hadits:
عَنْ جَابِرِ بْنِ
عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَجْمَعُ
بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ مِنْ قَتْلَى أُحُدٍ فِي ثَوْبٍ وَاحِدٍ، ثُمَّ يَقُولُ:
أَيُّهُمْ أَكْثَرُ أَخْذًا لِلْقُرْآنِ؟، فَإِذَا أُشِيرَ لَهُ إِلَى أَحَدِهِمَا
قَدَّمَهُ فِي اللَّحْدِ، وَقَالَ: أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ،
وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ، وَلَمْ يُغَسَّلُوا، وَلَمْ يُصَلَّ
عَلَيْهِمْ
Dari
Jaabir bin ‘Abdillah radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : Nabi ﷺ pernah mengumpulkan dua orang laki-laki yang meninggal di
peperangan Uhid dalam satu kain, kemudian bersabda : “Manakah diantara
keduanya yang paling banyak hapalan Al-Qur’annya ?”. Ketika ada yang
menunjukkan salah satu diantara keduanya (yang paling banyak hapalannya), maka
beliau ﷺ mendahulukannya untuk masuk ke liang lahad dan bersabda : “Aku
bersaksi atas mereka kelak pada hari kiamat”. Beliau ﷺ memerintahkan untuk menguburkan dengan darah yang ada di tubuh
mereka tanpa dimandikan dan dishalatkan [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1343].
[2] Sesuai dengan hadits:
عَنْ
أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ، قَالَ: جَاءَ نَاسٌ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالُوا: أَنِ
ابْعَثْ مَعَنَا رِجَالًا يُعَلِّمُونَا الْقُرْآنَ وَالسُّنَّةَ، فَبَعَثَ
إِلَيْهِمْ سَبْعِينَ رَجُلًا مِنْ الْأَنْصَارِ يُقَالُ لَهُمُ الْقُرَّاءُ،
فِيهِمْ خَالِي حَرَامٌ يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ وَيَتَدَارَسُونَ بِاللَّيْلِ
يَتَعَلَّمُونَ، وَكَانُوا بِالنَّهَارِ يَجِيئُونَ بِالْمَاءِ فَيَضَعُونَهُ فِي
الْمَسْجِدِ وَيَحْتَطِبُونَ، فَيَبِيعُونَهُ وَيَشْتَرُونَ بِهِ الطَّعَامَ
لِأَهْلِ الصُّفَّةِ وَلِلْفُقَرَاءِ، فَبَعَثَهُمُ النَّبِيُّ ﷺ إِلَيْهِمْ
فَعَرَضُوا لَهُمْ فَقَتَلُوهُمْ قَبْلَ أَنْ يَبْلُغُوا الْمَكَانَ، فَقَالُوا:
اللَّهُمَّ بَلِّغْ عَنَّا نَبِيَّنَا أَنَّا قَدْ لَقِينَاكَ فَرَضِينَا عَنْكَ
وَرَضِيتَ عَنَّا، قَالَ: وَأَتَى رَجُلٌ حَرَامًا خَالَ أَنَسٍ مِنْ خَلْفِهِ،
فَطَعَنَهُ بِرُمْحٍ حَتَّى أَنْفَذَهُ، فَقَالَ حَرَامٌ فُزْتُ وَرَبِّ
الْكَعْبَةِ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ لِأَصْحَابِهِ: " إِنَّ
إِخْوَانَكُمْ قَدْ قُتِلُوا وَإِنَّهُمْ قَالُوا: اللَّهُمَّ بَلِّغْ عَنَّا
نَبِيَّنَا أَنَّا قَدْ لَقِينَاكَ فَرَضِينَا عَنْكَ وَرَضِيتَ عَنَّا "
Dari
Anas bin Maalik, ia berkata : Datang serombongan orang kepada Nabi ﷺ, lalu mereka berkata : "Kirimkanlah bersama kami beberapa
orang untuk mengajarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah kepada kami". Maka beliau ﷺ mengirim tujuh puluh orang laki-laki dari
golongan Anshar, dan mereka dinamakan qurraa’ (ahli membaca Al-Qur'an). Diantara
mereka adalah pamanku yang bernama Haraam yang senantiasa membaca dan
mempelajari Al-Qur'an di malam hari dan mengajarkannya, sedangkan di siang hari
mereka mengangkut air ke masjid (untuk digunakan bersuci). Mereka juga mencari
kayu bakar, yang setelah dijual, mereka gunakan uangnya untuk membeli makanan
untuk Ahlus-Suffah dan orang-orang fakir. Lalu Nabi ﷺ mengutus mereka menyertai rombongan tersebut.
Di tengah perjalanan mereka diserang oleh rombongan tersebut, dan akhirnya
mereka dibunuh sebelum sampai ke tempat tujuan. Namun mereka sempat berdoa :
"Ya Allah, sampaikanlah kepada Nabi kami khabar tentang diri kami bahwa
kami telah berjumpa dengan-Mu (meninggal). Kami ridla kepada-Mu dan Engkau pun ridla
kepada kami". Anas berkata : " Ketika itu ada seseorang yang
membuntuti Haraam - paman Anas - dari belakang, namun Haraam dapat menikamnya
dengan tombak hingga ia berhasil membunuhnya. Setelah itu Haram berkata : "Aku
telah menang demi Rabb pemilik Ka'bah". Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda kepada para sahabatnya : "Sesungguhnya
saudara-saudara kalian telah terbunuh, dan (sebelum terbunuh) mereka sempat
berkata : ‘Ya Allah, sampaikanlah kepada nabi kami khabar kami bahwa kami telah
berjumlah dengan-Mu. Kami ridla kepada-Mu dan Engkau pun ridla kepada kami”
[Diriwayatkan oleh Muslim no. 677].
[3] Lihat Marwiyaat Abi ‘Ubaidah bin ‘Abdillah
bin Mas’uud ‘an Abiihi hal. 308.
Hadits
ini diriwayatkan dari beberapa jalur dari ‘Athaa’ bin As-Saaib, dari Abu ‘Ubaidah
bin ‘Abdillah bin Mas’uud, dari ayahnya. Terdapat keterputusan dalam rantai
sanad ini, karena jumhur ulama mutaqaddimiin menafikkan adanya
penyimakan hadits Abu ‘Ubaidah dari ayahnya (Ibnu Mas’uud). Namun demikian,
para ulama mutaqaddimiin menerima riwayat Abu ‘Ubaidah dari ayahnya,
karena ia hanya mendapatkan riwayat Ibnu Mas’uud dari kalangan pembesar
murid-murid Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu sehingga sangat
menguasanya.
‘Aliy
bin Al-Madiiniy rahimahullah berkata tentang riwayat Abu ‘Ubaidah dari
ayahnya :
هو
منقطع، وهو حديث ثبت
“Sanadnya
terputus, namun itu adalah hadits shahih” [Syarh ‘Ilal At-Tirmidziy
1/544].
Ya’quub
bin Syaibah rahimahullah berkata:
إنما
استجاز أصحابنا أن يدخلوا حديث أبي عبيدة عن أبيه في المسند -يعني في الحديث
المتصل- لمعرفة أبي عبيدة بحديث أبيه وصحتها، وأنه لم يأت فيها بحديثٍ منكرٍ
“Rekan-rekan
kami membolehkan memasukkan hadits Abu ‘Ubaidah dari ayahnya dalam Al-Musnad
– yaitu dalam hadits muttashil (bersambung sanadnya) – hanyalah karena
pengetahuan Abu ‘Ubaidah tentang hadits ayahnya dan keshahihannya. Dan ia tidak
membawakan padanya hadits munkar” [idem].
مَنْ
قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَة اللَّه هِيَ الْعُلْيَا فَهُوَ فِي سَبِيل اللَّه
“Barangsiapa
yang berperang agar kalimat Allah tinggi, maka itulah perang di jalan Allah”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 123 dan Muslim no. 1904].
فَإِنَّ
الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ
وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ فَيَدْخُلُ الْجَنَّةَ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ بِعَمَلِ
أَهْلِ الْجَنَّةِ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَهَا إِلَّا ذِرَاعٌ
فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ فَيَدْخُلُ
النَّارَ
“Dan
sesungguhnya ada seseorang yang beramal dengan amalan penduduk neraka hingga
tak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sejengkal saja, lalu ia
didahului oleh ketetapan takdirnya hingga ia beramal dengan amalan penduduk surga
dan kemudian ia masuk surga. Dan sesungguhnya ada juga seseorang yang beramal
dengan amalan penduduk surga hingga tak ada jarak antara dirinya dengan surga
kecuali sejengkal saja, lalu ia didahului oleh ketetapan takdirnya hingga ia
beramal dengan amalan penduduk neraka dan kemudian ia masuk neraka”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3332].
Ustad gimana dengan praktek istisyhadi yg dilakukan banyak mujahidin di suriah dengan mengendarai mobil yg berisi bom, kemudian meledakan diri di tempat musuh???
BalasHapus