Salah
satu akhlaq terpuji dari kalangan salaf adalah penjagaan lisan mereka untuk
tidak berkata-kata buruk/kotor yang mengandung maksiat. Mereka sangat
perhitungan dan selektif atas apa yang akan keluar dari lisan-lisan mereka.
Bahkan sebagian diantara mereka mengulangi wudlu’ dan memperingatkan orang lain
melakukan hal serupa ketika mengucapkan perkataan buruk/kotor atau munkar.
Diantara riwayatnya adalah:
1.
‘Abdullah bin Mas’uud
radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
لَأَنْ
أَتَوَضَّأَ مِنْ كَلِمَةٍ خَبِيثَةٍ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَتَوَضَّأَ مِنْ
طَعَامٍ طَيِّبٍ
“Aku berwudlu karena
mengucapkan kalimat yang buruk/kotor lebih aku sukai daripada aku berwudlu
karena makan makanan yang baik”.
Shahih.[1]
2.
‘Aaisyah radliyallaahu
‘anhaa, ia berkata:
يَتَوَضَّأُ
أَحَدُكُمْ مِنَ الطَّعَامِ الطَّيِّبِ وَلَا يَتَوَضَّأُ مِنَ الْكَلِمَةِ
الْخَبِيثَةِ يَقُولُهَا لِأَخِيهِ !
“Salah
seorang diantara kalian berwudlu karena makan makanan yang baik, namun
(anehnya) tidak berwudlu karena perkataan buruk/kotor yang diucapkannya kepada
saudaranya !”.
Hasan.[2]
3.
‘Ubaidah As-Salmaaniy
rahimahullah
عَنْ
مُحَمَّدٍ: قُلْتُ لِعَبِيدَةَ: مِمَّا يُعَادُ الْوُضُوءُ؟ قَالَ: " مِنَ
الْحَدَثِ وَأَذَى الْمُسْلِمِ
Dari
Muhammad (bin Siiriin), ia berkata : Aku bertanya kepada ‘Ubaidah
(As-Salmaaniy) : “Apa yang menyebabkan diulangi wudlu ?”. Ia menjawab : “Dari
sebab hadats dan menyakiti seorang muslim (dengan lisannya)”.
Shahih.[3]
‘Ubaidah
bin ‘Amru As-Salmaaniy termasuk imam dari kibaarut-taabi’iin. Wafat sebelum
tahun 70 H.
4.
Muhammad bin Siiriin rahimahullah
berkata:
نُبِّئْتُ
أَنَّ شَيْخًا مِنَ الْأَنْصَارِ كَانَ يَمُرُّ بِمَجْلِسٍ لَهُمْ فَيَقُولُ:
أَعِيدُوا الْوُضُوءَ فَإِنَّ بَعْضَ مَا تَقُولُونَ أَشَرُّ مِنَ الْحَدَثِ
“Aku
diberi tahu bahwasannya ada seorang syaikh dari kalangan Anshaar pernah
melewati majelis mereka dan berkata : “Ulangilah wudlu’ (kalian), sesungguhnya
sebagian perkataan yang kalian ucapkan lebih jelek daripada hadats”.
Shahih
hingga Ibnu Siiriin.[4]
Muhammad
bin Siiriin Al-Anshaariy adalah seorang imam yang tinggi kedudukannya dari
generasi taabi’iin yang wafat tahun 110 H.
5.
‘Athaa’ bin Abi Rabbaah rahimahullah
عَنْ
مُوسَى بْنِ أَبِي الْفُرَاتِ قَالَ: سَأَلَ رَجُلَانِ عَطَاءً، فَقَالا: مَرَّ
بِنَا رَجُلٌ فَقُلْنَا: الْمُخَنَّثُ.قَالَ: " قُلْتُمَا لَهُ قَبْلَ أَنْ
تُصَلِّيَا أَوْ بَعْدَ مَا صَلَّيْتُمَا؟ "، فَقَالَا: قَبْلَ أَنْ
نُصَلِّيَ. فَقَالَ: " تَوَضَّآ وَعُودَا لِصَلَاتِكُمَا فَإِنَّكُمَا لَمْ
تَكُنْ لَكُمَا صَلَاةٌ "
Dari
Muusaa bin Abil-Furaat (Al-Makkiy), ia berkata : Ada dua orang laki-laki
bertanya kepada ‘Athaa’ : “Seorang laki-laki melewati kami, lalu kami berkata (terhadapnya)
: ‘Mukhannats![5]”.
Maka ‘Athaa’ berkata : “Kalian katakan itu kepadanya sebelum shalat ataukah
setelah shalat ?”. Mereka berkata : “Sebelum shalat”. ‘Athaa’ berkata : “Berwudlulah
dan ulangi shalat kalian, karena tidak ada shalat bagi kalian”.
Shahih.[6]
‘Athaa’
bin Abi Rabaah Al-Qurasyiy adalah seorang ulama besar lagi faqiih dari
kalangan generasi taabi’iin. Wafat tahun 114 H.
6.
Thalhah bin Musharrif
rahimahullah
عَنِ
الْحَسَنِ بْنِ عَمْرٍو، قَالَ: قَالَ لِي طَلْحَةُ بْنُ مُصَرِّفٍ: " لَوْلا
أَنِّي عَلَى وُضُوءٍ لأَخْبَرْتُكَ بِمَا تَقُولُ الرَّافِضَةُ "
Dari
Al-Hasan bin ‘Amru, ia berkata : Thalhah bin Musharrif berkata kepadaku : “Seandainya
aku tidak dalam keadaan wudlu (suci), niscaya akan aku khabarkan kepadamu apa
yang dikatakan Raafidlah”.
Shahih.[7]
Atsar
ini menunjukkan betapa jelek perkataan Raafidlah terhadap Islam dan kaum
muslimin sehingga Thalhah tak mau menjadi sebab pembicaraan tentangnya sebagai ‘noda’
atas kesucian dirinya.
Thalhah
bin Musharrif bin ‘Amru Al-Hamdaaniy adalah seorang yang tsiqah, ahli
qira’at, dan mempunyai banyak keutamaan; termasuk thabaqah ke-5 yang wafat
tahun 112 H.
7.
Ibraahiim An-Nakha’iy
rahimahullah berkata:
إِنِّي
أُصَلِّي الظُّهْرَ، وَالْعَصْرَ، وَالْمَغْرِبَ بِوُضُوءٍ وَاحِدٍ، إِلا أَنْ
أُحْدِثَ، أَوْ أَقُولَ مُنْكَرً
“Sesungguhnya
aku shalat Dhuhur, ‘Ashar, dan Maghrib dengan satu kali wudluu’, kecuali jika
aku berhadats atau mengucapkan perkataan munkar”.
Shahih.[8]
Ia
(Ibraahiim) juga berkata:
الْوُضُوءُ
مِنَ الْحَدَثِ وَأَذَى الْمُسْلِمِ
“Berwudlu
itu karena hadats dan menyakiti seorang muslim”.
Shahih.[9]
Ibraahiim
bin Yaziid bin Qais An-Nakha’iy adalah seorang ulama faqiih dari
kalangan shighaarut-taabi’iin. Wafat tahun 196 H.
8.
Dan lain-lain.
Meskipun perkataan buruk/kotor dan maksiat
bukan termasuk perkara yang membatalkan wudlu’, akan tetapi mereka berwudlu’ sebagai
upaya menjauhkan diri dari perkataan buruk/kotor/maksiat dan sekaligus
bertaubat darinya, wallaahu a’lam.
Bahan bacaan : Tadzkiiru Ath-Thaaifah
Al-Manshuurah bi-Ba’dlis-Sunan Al-Mahjuurah oleh Abu Mu’aadz Mahmuud bin
Imaam bin Manshuur Aalu Muwaafiy, hal. 51; Daaru ‘Ibaadir-Rahmaan.
[abul-jauzaa – dps – 29012018].
[1] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf
1/127 no. 469, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath 1/232 no. 135, Ath-Thahawiy
dalam Syarh Ma’aanil-Aatsar 1/68 no. 411, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir
9/284-285 no. 9222-9223; dari beberapa jalan (Ma’mar, Ats-Tsauriy, dan Hajjaaj
bin Arthaah) semuanya dari Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari ayahnya,
dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Jalan riwayat di atas
diselesihi oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/133 (1/245) no.
1434, Hanaad bin As-Saariy dalam Az-Zuhd hal. 571 no. 1199, dan Ibnu Abi
‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 54 no. 114 yang meriwayatkan dari jalan Abu
Mu’aawiyyah, dari Al-A’masy, dari Ibraahiim At-Taimiy, dari Al-Haarits bin Suwaid,
dari Ibnu Mas’uud radliyallaahu ‘anhu.
Jalan pertama lebih
kuat daripada jalan yang kedua. Namun demikian, Sufyaan Ats-Tsauriy dan Abu Mu’aawiyyah
adalah dua orang yang paling shahih/menguasai riwayat Al-A’masy, sehingga tidak
menutup kemungkinan riwayat tersebut memang ada dua jalan, yaitu (1) dari Al-Haarits
bin Suwaid dari Ibnu Mas’uud; dan (2) dari Yaziid bin Syariik At-Taimiy (ayah
Ibraahiim) dari Ibnu Mas’uud. Seandainya pun dihukumi idlthiraab, kedua
jalan tersebut shahih sehingga dlthiraab tersebut tidak
memudlaratkannya. Adapun ‘an’anah Al-A’masy dari Ibraahiim At-Taimiy,
maka menurut Adz-Dzahabiy dihukumi bersambung kecuali jika ada qarinah
yang menunjukkan kebalikanya [Natslun-Nabaal oleh Abu Ishaaq
Al-Huwainiy, hal. 1913].
[2] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf
1/127 no. 470, Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/133 (1/245) no. 1435,
Al-Khaththaabiy dalam Ghariibul-Hadiits no. 1155, Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan
7/68 no. 4659, Ibnul-Mundzir dalam Al-Ausath 1/232 no. 136, Ibnu
Abid-Dunyaa dalam Ash-Shamt hal. 287 no. 658, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd
hal. 54 no. 115 & 124; semua dari jalan Sufyaan Ats-Tsauriy, dari ‘Aashim
bin Abin-Nujuud, dari Abu Shaalih Dzakwaan, dari ‘Aaisyah.
Semua
perawinya tsiqah, kecuali ‘Aashim bin Abin-Nujuud, ia seorang yang shaduuq,
hasan haditsnya.
Sufyaan
Ats-Tsauriy mempunyai mutaba’ah dari Syariik bin ‘Abdillah sebagaimana
diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Syau’abul-Iimaan 9/89 no. 6297.
[3] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
1/133 (1/246) no. 1437, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 55 no. 117, Al-Baihaqiy
dalam Syu’abul-Iimaan 9/90 no. 6300, dan Ad-Diinawariy dalam Al-Mujaalasah
no. 911; semuanya dari jalan Hisyaam bin Hassaan, dari Muhammad bin Siiriin.
[4] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
1/133 (1/246) no. 1436, Ibnu Abi ‘Aashim hal. 55 no. 116, dan Al-Baihaqiy dalam
Syu’abul-Iimaan 9/90 no. 6299 dari jalan Ibnu ‘Ulayyah, dari Ayyuub,
dari Muhammad bin Siiriin.
Semua
perawinya tsiqah.
Ayyuub
mempunyai mutaba’ah dari Hisyaam bin Hassaan sebagaimana diriwayatkan
oleh Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 9/90 no. 6300.
[5] Laki-laki yang bertingkah laku seperti
wanita.
Silakan
baca artikel : Bolehkah
Banci Menjadi Imam ?.
[6] Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf
1/134 (1/246) no. 1439 dan Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 55-56 no.
119; dari jalan Humaid bin ‘Abdirrahmaan, dari Muusaa bin Abil-Furaat.
Semua
perawinya tsiqah.
[7] Diriwayatkan oleh Ibnul-Muqri’ dalam Al-Mu’jam
hal. 123 no. 651 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul-Auliyaa’ 5/15;
semuanya dari jalan Ahmad bin Yuunus, dari Abu Syihaab (Al-Hannaath), dari
Al-Hasan bin ‘Amru (Al-‘Aqiimiy).
Semua
perawinya tsiqah.
[8] Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq dalam Al-Mushannaf 1/127
no. 471 dari Ats-Tsauriy, dari Az-Zubair bin ‘Adiy, dari Ibraahiim.
[9] Diriwayatkan oleh Ibnu Abid-Dunyaa dalam Ash-Shamt
hal. 91 no. 106, Ibnu Abi ‘Aashim dalam Az-Zuhd hal. 56 no. 123, dan
Al-Baihaqiy dalam Syu’abul-Iimaan 9/91 no. 6302 dari jalan dari Manshuur
(bin Al-Mu’tamir), dari Ibraahiim.
Semua
perawinya tsiqah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar