27 April 2014

Ta’lil Hadits Tayammum : “Ashabtas-Sunnah”

Al-Imaam Abu Daawud rahimahullah berkata:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمَسَيَّبِيُّ، أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ نَافِعٍ، عَنْ اللَّيْثِ بْنِ سَعْدٍ، عَنْ بَكْرِ بْنِ سَوَادَةَ، عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ، عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ، قَالَ: " خَرَجَ رَجُلَانِ فِي سَفَرٍ فَحَضَرَتِ الصَّلَاةُ وَلَيْسَ مَعَهُمَا مَاءٌ فَتَيَمَّمَا صَعِيدًا طَيِّبًا فَصَلَّيَا، ثُمَّ وَجَدَا الْمَاءَ فِي الْوَقْتِ فَأَعَادَ أَحَدُهُمَا الصَّلَاةَ وَالْوُضُوءَ وَلَمْ يُعِدِ الْآخَرُ، ثُمَّ أَتَيَا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَا ذَلِكَ لَهُ، فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: أَصَبْتَ السُّنَّةَ وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ، وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ: لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ "
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ishaaq Al-Masayyabiy : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Naafi’, dari Al-Laits bin Sa’d dari Bakr bin Sawaadah, dari ‘Athaa’ bin Yasaar, dari Abu Sa’iid Al-Khudriy, ia berkata : “Ada dua orang laki-laki melakukan safar, lalu datanglah waktu shalat sedangkan waktu itu mereka tidak memiliki air (untuk berwudlu). Maka mereka bertayammum dengan debu/tanah yang suci dan menunaikan shalat. Kemudian (setelah selesai shalat), mereka mendapatkan air pada waktu itu. Salah seorang di antara mereka mengulangi shalat dan wudlunya, namun yang lain tidak mengulanginya. Kemudian keduanya mendatangi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seraya menyebutkan kejadian itu kepada beliau. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada orang yang tidak mengulangi : “Engkau telah mencocoki sunnah dan shalatmu itu sudah mencukupi”. Dan beliau bersabda kepada orang yang berwudlu dan mengulangi shalatnya : “Bagimu pahala dua kali” [As-Sunan no. 338].
Diriwayatkan juga oleh An-Nasaa’iy no. 433, Ad-Daarimiy no. 771, Ad-Daaraquthniy no. 727, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath 2/234-235 no. 1842 & 8/48 no. 7922, Al-Haakim 1/178-179, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/231 (1/353) no. 1094, dan Al-Khathiib dalam Al-Faqiih wal-Mutafaqqih 1/194; semuanya dari jalan ‘Abdullah bin Naafi’.
Dhahir sanad riwayat ini hasan, semua perawinya tsiqaat kecuali ‘Abdullah bin Naafi’, seorang yang shaduuq, hasan haditsnya.
Akan tetapi ia (‘Abdullah bin Naafi’) diselisihi oleh beberapa perawi yang lebih tsiqah darinya yang meriwayatkan dari Al-Laits bin Sa’d secara mursal, yaitu :
a.     ‘Abdullah bin Al-Mubaarak.
Diriwayatkan oleh An-Nasaa’iy no. 434, Ad-Daaraquthniy no. 728.
‘Abdullah bin Al-Mubaarak adalah seorang imam yang tsiqah lagi tsabt.
b.     Yahyaa bin Bukair.
Diriwayatkan oleh Al-Haakim 1/179, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/231 (1/353) no. 1095.
Yahyaa bin Bukair seorang yang tsiqah.
Selain itu, Al-Laits bin Sa’d dalam periwayatan mursal mempunyai mutaba’ah dari ‘Abdullah bin Lahiiah sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 339, Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 1/231 (1/353) no. 1096.
Ibnu Lahii’ah seorang yang shaduuq, hanya saja ia mengalami ikhtilaath setelah kitab-kitabnya terbakar. Namun di sini perawi yang membawakan riwayat Ibnu Lahii’ah adalah ‘Abdullah bin Maslamah Al-Qa’nabiy, yang ia meriwayatkan darinya sebelum ikhtilaath.[1] Oleh karena itu riwayatnya hasan atau bahkan shahih.
Abu Daawud berkata:
وَذِكْرُ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ فِي هَذَا الْحَدِيثِ: لَيْسَ بِمَحْفُوظٍ وَهُوَ مُرْسَلٌ
“Penyebutan Abu Sa’iid Al-Khudriy dalam hadits ini tidak mahfuudh. (Yang benar) ia adalah mursal” [Sunan Abi Daawud no. 338].
Perkataan Abu Daawud ini juga disebutkan Al-Baihaqiy dan ia mengisyaratkan persetujuannya dengan membawakan penyelisihan yang disebutkan di atas [Al-Kubraa, 1/231 (1/353)].
Ath-Thabaraaniy berkata:
لَمْ يَرْوِ هَذَا الْحَدِيثَ عَنِ اللَّيْثِ مُتَّصِلَ الإِسْنَادِ إِلا عَبْدُ اللَّهِ
“Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Al-Laits secara bersambung sanadnya kecuali ‘Abdullah (bin Naafi’). Al-Musayyabiy bersendirian dengannya” [Al-Ausath 2/234-235 no. 1842 & 8/48 no. 7922].
Ibnul-Qaththaan dalam Bayaanul-Wahm wal-Iihaam (2/434) membawakan mutaba’ah ‘Abdullah bin Naafi’ dalam sanad muttashil  di atas. Ia berkata:
ذكره أبو علي بن السكن، قال : حدثنا أبو بكر بن أحمد الواسطي، قال : حدثنا عباس بن محمد، قال : حدثنا أبو الوليد الطيالسي، فذكره
“Abu ‘Aliy bin Al-Sakan menyebutkannya, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Ahmad Al-Waasithiy, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaas bin Muhammad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abul-Waliid Ath-Thayaalisiy, lalu ia menyebutkan haditsnya[2]”.
Abu Bakr bin Ahmad Al-Waasithiy, belum ditemukan biografinya atau tautsiq-nya dari para imam. Oleh karenanya, mutaba’ah ini tidak bisa menjadi penguat.
Wahm dalam riwayat muttashil ini berasal dari ‘Abdullah bin Naafi’ [At-Talkhiishul-Habiir, 1/163]. Meski ia seorang yang shaduuq – sebagaimana telah disebutkan di atas – para ulama telah mengkritik sisi hapalannya (terutama periwayatannya selain dari Maalik bin Anas).
Kesimpulan : Riwayat ini lemah karena mursal.
Wallaahu a’lam.
[Abul-Jauzaa’ - perumahan ciomas permai, 28 Jumadats-Tsaaniy 1435/27 April 2014 – 18:50 – banyak mengambil faedah dari buku At-Tibyaan fii Takhriij wa Tabwiib Ahaadiitsi Buluughil-Maraam, 2/327-329].




[2]      Maksudnya, hadits dengan sanad muttashil dari Abul-Waliid Ath-Thayaalisiy dari Al-Laits bin Sa’d.

2 komentar:

  1. Assalamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh

    jadi yang bisa diamalkan fiqihnya yang gimana ustadz?

    BalasHapus
  2. Assalamu'alaikum..

    Sudah pernah ngumpulin nama-nama perawi dhoif belum Ustadz..
    Kira-kira jumlahnya ada berapa ya..
    Bukan dengan maksud menguji loh..:)

    BalasHapus