Beliau
rahimahullah pernah ditanya tentang pencalonan anggota Parlemen dan hukum Islam dalam
menggunakan kartu suara (Pemilu) untuk memilih para du’at dan ikhwah yang
taat dalam beragama masuk dalam keanggotaan Parlemen. Lalu beliau memberikan
fatwa sebagai berikut:
إن النبي- صلى الله عليه وسلم- قال:
"إنما الأعمال بالنيات، وإنما لكل امرئ ما نوى"؛ لذا فلا حرجَ في الالتحاقِ
بمجلسِ الشعبِ إذا كان المقصود من ذلك تأييد الحق، وعدم الموافقة على الباطل، لما في
ذلك من نصر الحق، والانضمام إلى الدُعاة إلى الله.
كما أنه لا حَرَجَ كذلك في استخراج البطاقة
التي يُستعان بها على انتخابِ الدُعاة الصالحين، وتأييد الحق وأهله، والله الموفق
“Sesungguhnya
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda : ‘Seluruh
perbuatan hanyalah tergantung pada niatnya, dan setiap orang tergantung pada
apa yang ia niatkan’. Oleh karena itu, tidak mengapa seseorang masuk
menjadi anggota Parlemen apabila ia bermaksud dengannya untuk mendukung
kebenaran (al-haq) dan tanpa menyepakati kebathilan, karena dalam
hal tersebut termasuk menolong kebenaran serta keteguhan dalam berdakwah di
jalan Allah.
Sebagaimana
hal itu diperbolehkan, begitu juga (diperbolehkan) memberikan kartu suara (hak
pilih) yang akan dipergunakan untuk memilih para da’i yang shaalih,
serta mendukung kebenaran dan orang-orangnya. Wallaahul-muwaffiq” [Majalah Liwaaul-Islaam, Vol. 3, Dzulqa’dah,
tahun 1409 H].
Kata kunci:
1.
Orang yang shaalih/taat beragama.
2.
Mendukung kebenaran (al-haq).
3.
Tidak menyepakati kebathilan.
Suplemen :
Penjelasan Asy-Syaikh Mushthafaa bin Al-‘Adawiy hafidhahullah:
Saya memandang pemilu itu wajib sebagaimana syaikh Utsaimin mewajibkannya. MUI juga mengharamkan golput karena mereka tahu kondisi Indonesia lebih detail, yakni musibah yg menimpa umat ketika mereka meninggalkan kotak suara. wallahua'lam.
BalasHapusKepada admin, Ustadz Abul Jauzaa ysh.
BalasHapusAssalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh. Ana harap ustadz terus memposting artikel dengan tema pemilu dalam beberapa hari kedepan, karena memang relevan sekali dengan kondisi saat ini yang insyaallah tgl 9 nanti akan ada pemilu parlemen. Ana memandang tema ini urgen yakni termasuk tema perebutan kekuasaan. Jazakallah khairan.
Zakki
Dalam masalah masuk ke parlemen menurut saya pendapat syaikh Albani lebih tepat. Beliau melarang masuk ke parlemen dngan alasan dewan itu adalah dewan yg berhukum dengan selain hukum Allah.
BalasHapusJika masalah masuk parlemen ini berporos pada pertimbangan maslahat dan mafsadat, maka saya katakan mafsadatnya lbih besar. Berikut perinciannya:
mafsadat masuk ke parlemen,
1. Untuk masuk ke parlemen seorang harus membentuk partai/masuk ke dalam partai, bukankah berpartai-partai ini justru menjadi sumber perpecahan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin sendiri.
2. Dalam kampanye seorang akan banyak memuji dirinya & menyebutkan kelebihan2nya dibanding calon2 yg lain, padahal Allah berfirman: falaa tuzakkuu anfusakum huwa a'lamu bimanit taqaa (An-Najm: 32).
3. Dalan kampanye biasanya partai akan membuat & memajang gambar2 calonnya, padahal syariat melarang membuat & memajang gambar makhluk bernyawa.
4. Seorang yg masuk ke parlemen harus bersumpah untuk setia kepada UUD & pancasila beserta seluruh derivasinya. Tidak bisa dibayangkan jika seorang muslim bersumpah unt mentaati sesuatu secara mutlak selain Al-Qur'an & Hadits Nabi.
5. Biaya demokrasi, partai dan pencalonan itu sangat mahal, sedangkan maslahat yg ingin dicapai belum tentu didapat, ini adalah salah satu bentuk pembelanjaan harta bukan pada jalan yg benar (tabdzir).
maslahat masuk ke parlemen,
1. Sebagai sarana untuk berusaha menerapkan syariat Islam secara kaffah.
2. Agar dapat mendukung setiap RUU yg baik dan sesuai dengan syariat Islam dan menolak setiap RUU yg buruk dan bertentangan dengan syariat Islam.
Bantahan: untuk maslahat pertama sangat sulit dicapai krna mayoritas anggota dewan adalah orang2 sekuler dan kaum muslimin pun yg mayoritsnya awam tentang Islam menolak penerapan syariat Islam (sehingga penerapan syariat Islam itu harusnya dimulai dengan tashfiyah dan tarbiyah di kalangan kaum muslimin), apalagi masarakat yg kafirnya. sehingga bagaimana mungkin kita menerjang semua mafsadat yg jelas untuk mencapai maslahat yg kemungkinanya sangat kecil untuk diperoleh. Ini tidak dapat dibenarkan dalam logika qawaid fiqhiyyah. Adapun untuk maslahat yg kedua, memang kita dapat menyuarakan kebenaran di parlemen, tapi apakah itu bermanfaat jika kita sedikit sedangkan orang sekuler banyak? Bukankah mekanisme penentuan kebenaran di sana dengan menggunakan voting, apakah kita bisa menang dengan cara seperti itu? Apakah untuk hal2 yg sulit diwujudkan seperti ini kita rela menerjang semua mafsadat?
Kesimpulannya: maslahat yang diinginkan sulit tercapai sedangkan mafsadatnya jelas didapat.
Sebenarnya sangat mudah untuk menyelesaikan perbedaan pandangan ini. Kata kuncinya adalah qaidah memilih mafsadat yang lebih kecil, dengan kata lain membuang mafsadat yang lebih besar. Untuk lebih memahami qaidah ini, berikut penjabarannya: Di negara kafir pun dengan semua partainya yg kafir umat harus memilih karena mereka berbeda dalam menyikapi Islam. Ada yang sangat anti pati terhadap Islam sehingga mereka ingin membunuh dan mengusir semua orang Islam di negaranya, ada yang membenci Islam namun tidak akan mengusir atau membunuh umat Islam, ada yang menganganggap semua orang adalah sama, baik muslim maupun non-muslim sehingga harus diperlakukan sama sebagai warga negara, ada juga yang membela kepentingan minoritas (kaum muslimin). Memilih Najasi yang melindungi hak-hak kaum muslimin (hak hidup, hak beragama, dan hak-hak yang lain) lebih baik daripada memilih Quraish. Sama-sama kafir memang, namun berbeda pandangan dan sikap mereka terhadap Islam.
BalasHapusThoyyib, dari sini harus paham dulu, kalau masih belum paham, ada contoh yang lebih ringkas: Kehilangan uang 900rb lebih baik daripada kehilangan 950rb. Sama-sama hilang memang, namun berbeda nilainya.
Jika dari qaidah diatas sudah paham, insyaallah semua syubhat, baik yang rinci maupun yang masih umum otomatis akan terbantah. Untuk contohnya coba ana jawab syubhat diatas sebagai berikut:
Lanjutan...
BalasHapus((1. Untuk masuk ke parlemen seorang harus membentuk partai/masuk ke dalam partai, bukankah berpartai-partai ini justru menjadi sumber perpecahan dan permusuhan di kalangan kaum muslimin sendiri.))
Jawab:
- Dalam kontek saat ini di Indonesia, tidak perlu membentuk partai karena sudah banyak pilihan, tugas kita hanya memilih. Perpecahan umat Islam sudah sudah menjadi catatan siroh sejak zaman dahulu, tugas kita hanyalah sebagaimana qaidah diatas, membuang mafsadat yang lebih besar. Umat Islam Jakarta lebih baik dipimpin muslim, daripada sekarang dipimpin oleh Ahok Nasroni. Pembangunan gereja, kemaksiatan, misionaris dsb akan lebih diatas angin daripada sebelumnya. Ingat, dinegara kafir pun kita harus memilih, bagaimana lagi dengan orang Indonesia yang KTPnya masih Islam?
((2. Dalam kampanye seorang akan banyak memuji dirinya & menyebutkan kelebihan2nya dibanding calon2 yg lain, padahal Allah berfirman: falaa tuzakkuu anfusakum huwa a'lamu bimanit taqaa (An-Najm: 32).))
Jawab:
- Itu urusan mereka bukan urusan kita, yang menjadi point adalah kita memilih yang kejahataannya lebih kecil daripada yang kejahatannya lebih besar agar urusan kaum muslimin lebih mudah. Mungkin semua kandidat adalah buruk, namun keburukan itu bertingkat-tingkat seperti yang qaidah diatas.
((3. Dalan kampanye biasanya partai akan membuat & memajang gambar2 calonnya, padahal syariat melarang membuat & memajang gambar makhluk bernyawa.))
Jawab:
- Itu urusan mereka bukan urusan kita, itu urusan mereka, yang menjadi point adalah kita memilih yang kejahataannya lebih kecil daripada yang kejahatannya lebih besar agar urusan kaum muslimin lebih mudah. Mungkin semua kandidat adalah buruk, namun keburukan itu bertingkat-tingkat seperti yang qaidah diatas..
((4. Seorang yg masuk ke parlemen harus bersumpah untuk setia kepada UUD & pancasila beserta seluruh derivasinya. Tidak bisa dibayangkan jika seorang muslim bersumpah unt mentaati sesuatu secara mutlak selain Al-Qur'an & Hadits Nabi.))
Jawab:
- Seperti no.1,2,3 Itu urusan mereka bukan urusan kita, bahkan dinegara kafir pun kita harus memilih, bagaimana lagi dengan orang Indonesia yang KTPnya masih Islam? yang menjadi point adalah kita memilih yang kejahataannya lebih kecil daripada yang kejahatannya lebih besar agar urusan kaum muslimin lebih mudah. Mungkin semua kandidat adalah buruk, namun keburukan itu bertingkat-tingkat.
((5. Biaya demokrasi, partai dan pencalonan itu sangat mahal, sedangkan maslahat yg ingin dicapai belum tentu didapat, ini adalah salah satu bentuk pembelanjaan harta bukan pada jalan yg benar (tabdzir).
maslahat masuk ke parlemen,
1. Sebagai sarana untuk berusaha menerapkan syariat Islam secara kaffah.
2. Agar dapat mendukung setiap RUU yg baik dan sesuai dengan syariat Islam dan menolak setiap RUU yg buruk dan bertentangan dengan syariat Islam.
Bantahan: untuk maslahat pertama sangat sulit dicapai krna mayoritas anggota dewan adalah orang2 sekuler dan kaum muslimin pun yg mayoritsnya awam tentang Islam menolak penerapan syariat Islam (sehingga penerapan syariat Islam itu harusnya dimulai dengan tashfiyah dan tarbiyah di kalangan kaum muslimin), apalagi masarakat yg kafirnya. sehingga bagaimana mungkin kita menerjang semua mafsadat yg jelas untuk mencapai maslahat yg kemungkinanya sangat kecil untuk diperoleh. Ini tidak dapat dibenarkan dalam logika qawaid fiqhiyyah. Adapun untuk maslahat yg kedua, memang kita dapat menyuarakan kebenaran di parlemen, tapi apakah itu bermanfaat jika kita sedikit sedangkan orang sekuler banyak? Bukankah mekanisme penentuan kebenaran di sana dengan menggunakan voting, apakah kita bisa menang dengan cara seperti itu? Apakah untuk hal2 yg sulit diwujudkan seperti ini kita rela menerjang semua mafsadat?
Kesimpulannya: maslahat yang diinginkan sulit tercapai sedangkan mafsadatnya jelas didapat.))
Jawab:
Dengan contoh-contoh diatas, insyaallah otomatis langsung terjawab bukan? Alhamdulillahirabbil alamin.
lanjutan...
BalasHapusKesimpulan: Mafsadat yang lebih ringan insyaallah bisa didapat. Begitu cemerlangnya visi Al-'alamah as-syaikh Utsaimin dan para ulama yang mewajibkan pemilu ini karena beliau-beliau sangat paham dengan agama ini. Wallahua'lam.
Dari:Pembela Sunnah dan Pembenci Bid`ah
BalasHapusASSALAMU `ALAIKUM
ANA RASA SYARAT DI ATAS MASIH KURANG,SEHARUSNYA KLO UNTUK CALEG INDONESIA ADA TAMBAHAN SELAIN DI ATAS ADALAH :
1.BERDAKWAH TAUHID,MEMBERANTAS KESYIRIKAN DAN KEBID`AHAN,SERTA MEMURNIKAN ISLAM DG MANHAJ SALAF DI DALAM DAN LUAR PARLEMEN.(INILAH YANG MEMBEDAKAN ANTAR IKHWANUL MUSLIMIN DAN SALAFIYYUN)
2. BERHUKUM KEPADA ALLAH DALAM MENGAMBIL KEPUTUSAN/KEBIJAKAN.
MOHON USTADZ ABUL-JAUZAA MENAMBAH INI,HARAP MAKLUM BANYAK KELOMPOK2 ISLAM MEMANFAATKAN ARTIKEL ANTUM UNTUK PEMBENARAN MEREKA ^_^
@ Anonim atas ana,
BalasHapusSyarat-syarat sih bisa ditambah sampai tak terbatas, sampai sempurna tanpa cacat 100%. Namun sekali lagi masalahnya bukan disitu, ini masalah kita sebagai pemilih memilih mafsadat yang lebih kecil, dengan kata lain membuang mafsadat yang lebih besar seperti kaidah yg telah dijabarkan diatas. Wallahua'lam.
pada kenyataannya, sebagian besar pemilih tidak mempunyai pengetahuan siapa dan bagaimana orang yang dipilihnya.....pemilu yang dimaksud oleh para ulama belum bisa diterapkan oleh sebagian rakyat Indonesia saat ini. Jelas kan mendatangkan mafsadat yang jauh lebih besar. Dan saya usul kepada ustadz untuk memberikan wacana mempersiapkan pemilu khususnya di Indonesia pada masa masa yang akan datang dengan cara yang lebih mendekati apa yang diinginkan oleh para ulama
BalasHapusPada kenyataannya, sudah banyak pilihan dan sudah ada search engine. Tinggal pilih, istikharah, bismillah nyonlos no 3 atau, no 9, atau yg lainnya.
BalasHapusUntuk presiden, sudah terdaftar Wiranto-HT, HT orang Nasroni. PDIP menjagogan Jokowi yang meninggalkan pemimpin-pemimpin kristen untuk umat Islam di Solo dan Jakarta.. yang lain masih menunggu, tinggal dicari mana yang paling busuk untuk ditinggalkan. Wallahua'lam.
Mas zakki, saya yang menulis perajihan pendapat syaikh Albani di atas.
BalasHapusBantahan antum tersebut jauh panggang daripada api alias tidak pas pada tempatnya (mohon jangan dipahami kasar perkataan saya ini).
Masalah perajihan yang saya tuliskan di atas itu berkaitan dengan HUKUM MASUK KE PARLEMEN atau HUKUM MENJADI CALEG, bukan HUKUM IKUT/NYOBLOS DALAM PEMILU, Itu dua perkara yang berbeda. Coba antum cermati lagi pada awal-awal komentar saya di atas. Sehingga saya tidak perlu memberikan bantahan balik apapun kepada antum disini.
Kalo masalah ikut pemilu, saya setuju kok dengan antum, syaikh Albani pun yang melarang MASUK KE PARLEMEN/PENCALONAN KE DPR tetap menganjurkan untuk IKUT PEMILU dan memilih calon-calon muslim yg taat dengan tujuan untuk meminimalisir keburukan atau menolak mafsadat yg lebih besar dengan melakukan mafsadat yg lbih kecil.
Zakaria:
BalasHapusAlhamdulillah Ustadz2 senior salafiyyun yaitu Usatdz Abdul Hakim dan Ustadz Yazid sudah menjelaskan ttg Syi`ah masuk parlemen,ya intinya Ustadz Abdul Hakim heran ama sebagian thalibul ilmi gara2 6 orang Syi`ah masuk parlemen semuanya jadi kebakaran jenggot,jangan samakan antara Suriah dan Indonesia. ANA PRIBADI: HMMM PAKISTAN ADA SYI`AH SEJAK ERA KEMERDEKAAN BAHKAN KOLONIAL TAPI KOK PAKISTAN BUKAN DAULAH SYI`AH
Ada kaidah juga untuk berilmu sebelum beramal .
BalasHapuspertanyaannya :
Bagaimana bila seseorang tidak mengetahui tentang politik ?
tidak mengetahui " mafsadat yang lebih kecil, dengan kata lain membuang mafsadat yang lebih besar "
Tidak bisa dipungkiri bahwa mayoritas pemilih tidak paham siapa yang dipilihnya , apa misi partai yang dipilihnya , apalagi kalau dimasukkan pertimbangan , bagaimana partai tersebut memperjuangkan syariat Allah dll.
Mohon maaf ust Abul Jauzaa saya mohon tidak keberatan kalau akhi Zakki bisa share- partai apa yang mafsadatnya paling kecil ke kami dengan rinciannya ? insya Allah akan sangat berguna bagi orang2 semisal ana yang nggak paham politik.
Anang dwicahyo
Afwan akhi Anonim, biasanya HTI dan khariji gak mau nyoblos dengan alasan yang mirip2 contoh diatas, jadi terbawa deh. Sekali lagi mohon maaf. Mungkin ada ikhwah yg masih gak mau nyoblos ana ada data beberapa ulama kibar yg mewajibkannya, tapi harus korek2 data, soalnya lupa tempatnya. Terimakasih.
BalasHapus@Zakaria, Antum orang pakistan, bukan? Lha wong sudah terbukti didepan mata antum Sendiri Ahok Nasroni jadi pemimpin umat Islam jakarta, Felix jadi pemimpin umat Islam Solo. Apa mau Presiden dan parlemen diisi orang2 sekuler dan Nasoro? Makanya qaedah diatas otomatis membantah semua syubhat yg ada.
BalasHapus@Anonim,
Kalau buta sama sekali tentang peta politik Indonesia, silakan tanya ustadz antum atau ustadz Abul Jauza mau share pilih partai apa?
Semua partai busuk, tapi yang paling busuk harus ditinggalkan.
Kalau ana pribadi pilih no. 3 dengan alternatif no. 9. Afwan ini tanpa rincian, insyaallah akan ana istikhorohi sebelum mencoblos.
Allahu a'lam.
Zaki dah tahu soal isi kajian dari ustadz abdul hakim dan ustadz yazid serta jawaban syubhat2 atas kekikutsertaan memilih dan menjadi anggota parlemen
BalasHapus@Anonim, kan semua syubhat anti nyoblos otomatis sudah terbantah dengan qoidah diatas, bagian mana dari keterangan diatas yang antum belum paham? apa perlu ana copas lagi comment diatas? Trims.
BalasHapusDilihat dari jawaban-jawabannya Zakki Rosyadi ini simpatisan PKS. Jadi ngga ada gunanya diskusi dengan ybs.
BalasHapus@Anonim, kalau PDIP lebih baik otomatis saya pilih PDIP, gitu aja kok repot.
BalasHapusMas Zaki
BalasHapusKesimpulan: Mafsadat yang lebih ringan insyaallah bisa didapat. Begitu cemerlangnya visi Al-'alamah as-syaikh Utsaimin dan para ulama yang mewajibkan pemilu ini karena beliau-beliau sangat paham dengan agama ini. Wallahua'lam.
Oh insya allah kaidah ini dah dibahas dan dibantah oleh Syaikh Muhammad bin Abdillah Al-Imam
@Anonim,
BalasHapusQoidah kok dibantah, ulama yang membolehkan mencoblos dalam rangka membuang mafsadat yang lebih besar itu banyak, ulama yang mewajibkan mencoblos lebih banyak lagi. Syubhat antum otomatis telah terbantah.
Bagaimana dengan kaidah Menolak Mafsadat Lebih Didahulukan daripada Mencari Maslahat.
BalasHapusDengan mengikuti pemilu (di Indonesia) berarti kita sudah pasti terjatuh dalam perbuatan dosa. Sementara maslahat yang dicari belum tentu didapat karena ahlussunnah jumlahnya sedikit dibanding awam.
Selain itu mafsadatnya lagi jika ahlussunnah mengikuti pemilu, maka akan dilihat oleh orang awam bahwa ahlussunnah mendukung demokrasi.
@Anonim,
BalasHapusKebalik ya akhi, mencoblos itu berpahala sedangkan meninggalkannya berdosa. Kalau antum golput maka antum membiarkan yang lebih bejat bisa berkuasa, itulah kenapa berdosa. Antum nyoblos atau tidak nyoblos sistem akan tetap berjalan. Itulah mengapa kalau antum golput justru antumlah yg mendukung demokrasi. Syubhat otomatis terbantah.
@Zakki
BalasHapuskalau mencoblos itu berpahala, kenapa antum gunakan kaidah "memilih mafsadat yang lebih kecil"?
- Syubhat otomatis terbantah. -
Wahai ikhwah, kalaulah dikatakan masalah pemilu ini adalah masalah ijtihadiyah. Bukankah diantara yang berijtihad salah satunya bisa benar dan yang lain bisa salah?
Maka kenalilah kebenaran itu, maka kita akan bisa mengenali orang-orang yang bersamanya.
Baarakallahu fiikum
Kalau antum sudah mengakui ini masalah ijtihadiyyah, so apa masalahnya ?. Kalau ada orang meyakini pendapat yang berseberangan dengan yang antum pegang adalah pendapat yang benar, maka perkataan 'Aliy yang antum nukil itu telah diamalkan.
BalasHapusMasalahnya adalah karena ada pihak pihak yang tetap bertahan untuk mengamalkan yang salah dengan berdalih ini adalah masalah ijtihadiyah. Menggunakan kaidah-kaidah untuk membungkus sesuatu yang salah dengan tujuan membuatnya seolah-olah ilmiah karena menggunakan kaidah-kaidah.
BalasHapusDi komentar sebelumnya juga juga ana sebutkan "Kalaulah ini masalah ijtihadiyah"
Ana cuma menginginkan persatuan di atas kebenaran. Karena berselisih itu tercela.
Salah itu menurut perspektif pendapat yang berseberangan. Bagi orang yang memegang pendapat itu sendiri, tentu akan menganggapnya benar.
BalasHapusPersatuan bagus,.... tapi itu tidak diwujudkan dengan adanya 'Persatuan Pendapat'. Persatuan pendapat hanya dikenal di kalangan hizbiyyiin. Selama pendapat itu masih dalam ruang untuk diperbolehkan adanya perbedaan, dan juga tidak keluar dari bimbingan ulama; maka persatuan mudah diwujudkan, yaitu dengan adanya sikap bijaksana dan saling menghormati.
Syubhat lagi: "Persatuan pendapat hanya dikenal di kalangan hizbiyyiin."
BalasHapusBahkan Allah memerintahkan untuk bersatu (di atas kebenaran tentunya)
Atau lupakah kita ketika Abdullah bin Mas'ud yang mengingkari Khalifah Utsman yang tidak meng-qashar shalat ketika di Mina namun beliau shalat 4 raka'at juga di Mina.
Antum mau menuduh para shahabat radhiyallahu 'anhum adalah hizbiyyin?
Sungguh banyak tanggapan-tanggapan yang disini yang berbau syubhat dan tidak ilmiah (tidak berdasarkan dalil dan atsar para shahabat).
Hati-hati yaa ikhwah...
Bagaimana Anda dapat berkomentar dengan menyimpulkan dengan baik sedangkan Anda sendiri tidak memahami apa yang Anda katakan.
BalasHapusApakah sama antara persatuan pendapat dengan persatuan di atas kebenaran ?.
Persatuan pendapat adalah : pokoknya pendapat yang harus saya dan Anda katakan adalah satu, meski saya meyakini pendapat Anda salah. Apakah seperti itu ?.
Tentu saja ini di luar konteks pengambilan keputusan dalam hal-hal mubah yang memang diperbolehkan dilakukan dengan suara paling banyak.
So, tidak pahamkah Anda konteks yang saya bicarakan ?
Afwan ikut komentar ustadz,
BalasHapuskarna ini masalah ijtihadiyyah, marilah kita membahasnya dengan elegan dengan saling mengemukakan dalil2 kita masing2 dan saling memberikan sanggahan kepada yang berbeda pendapat dengan kita dengan bahasa yang santun dan ilmiah, tanpa harus memaksakan pendapat kita untuk dianut orang lain. Jadikanlah diskusi ini sebagai sarana kita untuk menampakkan kebenaran, mempertajam keilmuan, dan mempererat persaudaraan sesama muslim.
Kita sepakat masalah ikut pemilu adalah masalah khilafiyah ijtihadiyyah yang berporos pada maslahat vs mafsadat.
Memang benar bahwa qaidah asalnya dalam hal ini adalah menolak mafsadat lebih didahulukan daripada mencari maslahat. Tapi qaidah tersebut telah ada pengecualiannya, bahwa kita diperbolehlan melakukan mafsadat/keburukan yanh lebih kecil untuk mendapatkan kemaslahatan yang lebih besar. Dalilnya adalah para sahabat pernah memeriksa/melihat bulu kemaluan anak2 yahudi bani quraizhah untuk mengetahui mana yang bulu kemaluannya sudah tumbuh dan mana yang belum, yang sudah tumbuh dibunuh dan yang belum tumbuh dilepaskan.
Maka tinggal ditimbang maslahat dan mafsadatnya ikut pemilu, lalu tinggal disesuaikan dengan qaidah di atas. Apakah ikut pemilu masuk ke kaidah asal yg pertama (jika mafsadatnya lebih besar) ataukah masuk ke kaidah kedua yang telah dikecualikan (jika mafsadatnya lebih kecil).
Kalau pun ada yang mengatakan bahwa kemaslahatan ikut pemilu itu sulit dicapai, sehingga pemilu itu isinya hanya mafsadat, maka masih ada qaidah: apabila bertentangan dua mafsadat maka dilihat mana mafsadat yang lebih besar, agar dapat dilakukan/diambil mafsadat yg lebih kecil.
Jika dikatakan ikut pemilu adalah mafsadat, maka jika kita kaum muslimin tidak ikut pemilu pun akan mendatangkan mafsadat, dimana orang2 kafir, liberal dan syiah beserta seluruh istri, kerabat dan anak cucu mereka beramai-ramai mendatangi TPS untuk memilih caleg/capres yg paling mirip atau bahkan sama ideologinya dengan mereka.
Ingat, negara kita ini menganut ideologi demokrasi, sehingga syaithan pun asal menang pemilu bisa jadi presiden di Indonesia ini. Apakah kita ingin jika pemimpin dan pembuat kebijakan di negara kita ini diduduki oleh orang2 anti Islam dan anti Sunnah?
Saya masih optimis jika para asatidz di mimbar2 dan pengajian2 mereka terus memperingatkan umat agar tidak memilih orang2 kafir, liberal, syiah dan yg semisalnya dan para asatidz tersebut juga memberitahukan calon2 yg paling sedikit keburukannya untuk dipilih, maka insya Allah mafsadat yang lebih kecil bisa diambil untuk menolak mafsdat yg lebih besar.
Ahmad.
@Anonim,
BalasHapusYa tentu berpahalah lah, masak yang memilih mafsadat yg kecil berdosa sedang memilih mafsadat lebih besar berpahala? Kebalik ya akhi. Bagi yang abstain tidak memilih gimana? ya dosa, karena tidak memilih yg mafsadatnya kecil sehingga yg mafsadatnya besar bisa menjadi penguasa-penguasa umat Islam. Contoh Ahok Nasori menjadi pemimpin umat Islam Jakarta. Felix Catolik Roma jadi pemimpin umat Islam Solo. Tragis memang.
Zakki :
BalasHapusAfwan ente sebelumya dah pernah membaca ttg Kitab "Menggugat Demokrasi dan Pemilu" karya Syaih Muhammad ibn Abdillah Al Imam lum? Kok menjawabnya seperti orang gak ilmiah. Nah kebetulan di kitab ini menjawab/membantah syubhat sebagian hizbiyyun masuk parlemen yaitu syubhat "IKUT PEMILU MEMILIH BAHAYA YANG PALING RINGAN" dan ada syarat2 soal memilih mafsadat ringan dari 2 mafsadat. Info buku:
Menggugat Demokrasi dan Pemilu Menyingkap Borok-borok Pemilu dan Membantah Syubhat Para Pemujanya
Judul Asli : Tanwir Azh-Zhulumat bi Kasyfi Mafasid wa Syubuhat al-Intikhabaat
Penulis : Abu Nashr Muhammad bin 'Abdillah al-Imam
Penerbitan Asli : Maktabah Al-Furqan
Penerjemah : Abu Muqbil Ahmad Yuswaji, Lc dan Abu Nizar Arif Mufid. Mf
Murajaah : Ustadz Ja'far Shalih
Cetakan : Kelima, Muharram 1430H/ Januari 2009M
Penerbit : Pustaka Salafiyyah
Ukuran : 14,5 cm x 20,5 cm
Jumlah Halaman : 281
Cover : cover dov, shrink (plastik)
Kertas Isi : HVS 60 gr, cetak hitam putih
Berat : 400 gram
Jumlah Grosir : 2
Zaki: Info aja ya akhi soal Syi`ah,Ustadz Abdul hakim dan Ustadz Yazid berpesan jangan terlalu paranoid dg Syi`ah masuk parlemen di Indonesia(masih was-was semata). Ingat akhi sangat jauh Suriah dan Indonesia ya.
BalasHapus@Ahmad
BalasHapusBagaimana dengan mafsadat yang sudah pasti sementara maslahat yang dicari masih hanya persangkaan/dugaan saja.
Apakah kaidah mencari mafsadat yang lebih ringan masih berlaku?
Tidakkah kita belajar dari beberapa kali pemilu di Indonesia bahwa tidak pernah partai Islam menjadi pemenang? Apakah dengan ikut sertanya ahlussunnah maka partai Islam/Caleg dari partai Islam bisa dijamin menang?
Tidakkah kita belajar dari Imam Ahmad yang pada saat itu penguasanya lebih zhalim (bahkan sampai berani membunuh 'ulama) namun beliau tetap bersabar. Sampai kemudian Allah yang menakdirkan untuk mengganti pemimpin yang membela sunnah. Imam Ahmad tidak melakukan pemberontakan meskipun banyak pendukungnya karena itu bukanlah cara yang sesuai syar'i. Sama halnya dengan demokrasi. Semua ketakutan itu hanyalah persangkaan belaka.
@Anonim
BalasHapusMasuk parlemen dengan Mencoblos itu 2 hal yang berbeda. Disini yg wajib adalah hukum mencoblos, bukan masuk parlemennya. Karena antum gak nyoblos pun itu masuk dalam ruang lingkup demokrasi. Misalnya antum milih dipukul pake besi apa pake kayu? golput pun akan tetap kena pukul, karena hukum golput sudah diatur oleh demokrasi.
@Anonim
Aneh sekali kalau tidak khawatir. FAKTA sudah didepan mata antum sendiri bahwa Ahok Nasroni jadi pemimpin umat Islam di Jakarta. Ini fakta apa bukan? gak usah jauh-jauh Suriah atau Pakistan.
@Anonim
Kita juga gak memberontak kok. Antum golput itu juga masuk dalam hukum demokrasi. Jadi yang golput yang justru mendukung demokrasi PLUS membantu mafsadat yg lebih besar menjadi penguasa-penguasa umat Islam. BUKTI nyata sekarang Ahok Nasroni menjadi pemimpin umat Islam Jakarta.
Dari Ahmad untuk anonim,
BalasHapusJaminan memang tidak ada akhi, tapi Insya Allah kemungkinan itu tetap ada, mesir telah membuktikan bahwa partai Islam & pemimpin dari partai Islam bisa menang untuk jadi presiden (walaupun sekarang dikudeta).
Saya sudah katakan cara untuk semakin memperbesar kemungkinan partai Islam menang adalah para asatidznya memperingatkan umat agar jangan memilih partai sekuler dan pilihlah partai yg pro ke Islam dalam pemilu.
Adapun Imam Ahmad tidak melakukan kudeta karna memang syariat ini melarang mlakukan pemberontakan kepada penguasa selama dia masih berstatus sebagai muslim, salah satu syarat bolehnya memberontak kpada penguasa adalah jika kita melihat kekafiran yg nyata dari penguasa trsebut. Sehingga tdak ada cara lain pada saat itu kecuali bersabar & menasehati pemimpin jika memungkinkan.
Mafsadat ikut pemilu tidak bisa disamakan dengan mafsadat memberontak kpda pemimpin yg muslim.
Ikut pemilu memang ada mafsadatnya, tapi apakah tidak mafsadat jika kita sampai dipimpin oleh orang kafir atw wanita? Apakah tidak mafsadat jika mentri agama kita nanti beraliran syiah? (saya ada mendengar isu bahwa jalaludin rahmat akan jadi mentri agama jika jokowi jadi presiden, wallahu a'lam). Itu semua harus dipertimbangkan akhi.
@Ahmad
BalasHapusBukankah saat itu sudah bisa memberontak karena khalifah-nya mewajibkan pada rakyatnya untuk mengatakan sebuah kalimat kufur yakni ”al Qur’an adalah Makhluk”.
Para 'ulama sudah sepakat. “Barangsiapa yang menyangka Al-Qur’an makhluk maka dia kafir kepada Allah Yang Maha Agung dengan kekafiran yang mengeluarkan dari Islam, dan barangsiapa yang ragu dengan kekafirannya –dari orang yang sudah memahami masalah- maka dia juga kafir.
Kemungkinan memang ada, tapi kecil bahkan mustahil. Kenapa tidak belajar dari Pemilu-pemilu sebelumnya di Indonesia.
Jangan terlalu mudah mempercayai isu-isu. Kadang isu tersebut dihembuskan oleh pihak-pihak yang ingin mendapatkan suara. Sementara mafsadat yang sudah pasti diterjang begitu saja.
Baarokallahu fiikum
@Anonim
BalasHapusAhok Nasroni menjadi pemimpin umat Islam Jakarta itu fakta atau isu? Tolong dijawab.
Dari Ahmad untuk anonim,
BalasHapusSaya sepakat bahwa siapa yg mengatakan Al-Qur'an itu makhluk maka dia kafir dengan kufur akbar, tpi tdak stiap org yg mengatakan perkataan kufur otomatis jadi kafir, saya rasa tulisan ustadz Abul jauzaa mengenai masalah ini sdah banyak dan bisa kita baca2 lagi. Bukankah untuk menjatuhkan vonis kafir kita harus melakukan iqamatul hujjah & memeriksa dulu apakah ada mawaniut takfir pada org yg akan divonis?
Bukankah bisa jadi penguasa pda saat itu bisa salah ta'wil atw bodoh dll sehingga menghalangix unt divonis kafir, oleh krna itu imam Ahmad tidak mengkafirkanya dan memberontak kpdanya. Penguasa pd saat itu memaksa rakyatnya untuk mengatakan khalqul Qur'an ats dasar kebodohanya tadi, sehingga di tdak dikafirkan.
Maaf mas anonim, antum terlalu terburu-buru mengatakan mustahil, saya rasa lembaran sejarah sudah cukup jadi bukti (partai FIS di Aljazair & IM di mesir) bahwa menangnya partai Islam di suatu negri bkan hal yg mustahil.
Sandaran saya bukan hanya isu, kita pernah dipimpin oleh presiden wanita, presiden liberal itu adlah fakta, orang2 kafir menjadi kepala daerah yg masyarakatnya mayorits muslim adalah fakta.
Perlu berapa banyak fakta lagi sih kita agar bisa sadar bahwa ini adalah mafsadat?
@Zakki
BalasHapusAntum ngigau ya? Memangnya ahok jadi pemimpin akibat golput umat Islam Begitu?
Ya Akhii, santunkan bahasa antum.....
@Ahmad
BalasHapusTolong jangan samakan Mesir dengan Indonesia.
Saya setuju ini adalah fakta: orang2 kafir menjadi kepala daerah yg masyarakatnya mayorits muslim
kenapa kita tidak belajar dari fakta bahwa meskipun masyarakatnya mayoritas muslim pun yang menang calon kafir. Apakah dengan ikut sertanya ahlussunnah maka bisa merubah hal itu?
Biarlah orang-orang awam yang ikut serta dalam pemilu karena mereka mungkin masih jahil mengenai hukumnya.
Bukankah ada hadits
“Kadang kala Allah meneguhkan agama ini lewat orang yang fajir (keji, ahli maksiat)”
Biarkan saja yang ikut-ikutan pemilu atau demokrasi berbuat itu (mereka yang bermaksiat).
Sewaktu dipimpin oleh presiden wanita, atau daerah yang dipimpin oleh orang kafir, apakah mereka mengganggu kaum muslimiin atau bahkan sampai mengganggu ahlussunnah?
Zaki:
BalasHapusafwan hal ini menunjukkan ketidakcermatan antum dalam realita masyarakat. Pertama2 berapa sih Syi`ah masuk Parlemen,terus dg mereka masuk Parlemen apa iya bisa mempengaruhi semua orang. Kedua,sedikit info ya dulu PKI mau menguasai Indonesia itu perlu membentuk Angkatan V mengingat mereka tak bisa menguasai militer,kuncinya adalah Militer lah wong TNI,POLRI,dan aparat keamanan lainnya itu nurutnya ama Kaum Sunni terutama NU. Ketiga,menurut info dari Ustadz Yazid dulu era 1970-an aja klo gak coblos kaum PKI akan menguasai ternyata tak ada buktinya. Cobalah belajar mencermati ya jangan gara2 Syi`ah Suriah memerangi Sunni maka akan terjadi Indonesia
ana mau nanya sama ustadz di muslim.or.id ttg kaidah "menolak mafsadat diutamakan daripada mencari kemaslahatan" via komentar di halaman http://muslim.or.id/manhaj/nasehat-pemilu-2014.html kenapa ga ditampilin ya? padahal udah 2 hari yang lalu dan 2 kali juga ana post komentarnya di hari yang berbeda.
BalasHapusSilakan ditanyakan kepada redaksi muslim.or.id
BalasHapus@Anonim
BalasHapusLho kok aneh, ana kan tanya baik-baik kok ana di bilang ngigau tapi ana juga yang disuruh berkata santun. Sudah pertanyaan ana gak dijawab, di ngigau-ngigauin, disuruh santun pula. Sekarang antum yg bertanya ana jawab: "Bisa jadi, karena ini banyak2kan suara." Antum kira kalau golput tidak mendukung demokrasi? salah besar! mencoblos dan golput itu satu paket dalam hukum demokrasi. Sudah diatur hukumnya. Kalo antum gak nyoblos, justru antum mendukung demokrasi PLUS membantu mafsadat yg lebih besar menjadi penguasa-penguasa umat Islam.
@Anonim
Kita tidak bicara syiah saja tapi sekuler, liberal, nasoro, murtaddin, hindu, kristen, katolik, budha dsb apa jumlah mereka sedikit di parlemen? kan tidak. Kalau tidak diimbangi atau bahkan tidak dikalahkan ya susah, ngajuin RUU (ini baru RUU dan masih usul) anti pornografi dan anti porno aksi saja susahnya bukan main karena tari ulur dengan PDIP dan parlemen kafir lain. Luar biasa, membuat stres banyak tekanan yg luar biasa. Ini baru satu RUU akhi, banyak sekali aturan yang harus kita amandemen. Ya ini yang harus kita bantu, dengan apa? dengan mencoblos. Ingat, mencoblos dan golput itu satu paket dalam hukum demokrasi, sudah diatur hukumnya. yang golputlah yang sebenarnya mendukung demokrasi. Kalo antum gak nyoblos, justru antum mendukung demokrasi PLUS membantu mafsadat yg lebih besar menjadi penguasa-penguasa umat Islam.
Assalamu'alaikum,
BalasHapusAna hanya mau share pengalaman saat ana memilih pendapat ulama yang membolehkan mencoblos karena alasan menghindari Mafsadat yang besar, di DAPIL ana ada dua orang CALEG syiah yang mencalonkan diri,untuk DPRD Kota dan DPRD Prop. belum lagi CALEGN KAFIR / MUSYRIK (Konghucu) dari beberapa partai sekuler lainya, saat ana hendak pergi ke TPS, ana menjumpai seorang ikhwah yang duduk, maka ana bertanya apakah antum tidak menggunakan hak suaranya utk memilih CALEG dari salah satu partai Islam, lalu beliau menjawab saya tidak mau memilih, lalu ana tanya apakah tidak berbahaya kalau nanti Syiah / KAFIRUNG yang masuk ke DPRD Kota atau DPRD Propinsi, beliau menjawb TIDAK MENGAPA BIARIN SAJA. ana sempat tertegun, mungkinkah jawaban beliau karena alasan bahwa PEMILU itu haram...? ya tapi ana lanjutkan saja langkah ke TPS, alhamdulillah ana memilih salah satu CALEG dari partai ISLAM yang kebetulan sering ceramah agama dekat masjid lingkungan ana untuk DPRD Kota, adapun untuk DPRD Propinsi dan juga utk DPR Nasional ana berhusnudhzon kepada CALEG PKS. Padahal saat beberapa hari sebelumnya ada seorang dai/penceramah aktif dari Dewan Dakwah yang menyampaikan seruan saat kuliah subuh didekat masjid lingkungan ana yang menyeru Muslimin utk menggunakan hak suaranya karena sedemikian, keras dan ketatnya CALEG non Muslim dan Syiah yang masuk ke DPRD/DPR, salah satu yang ana tangkap dari ceramah beliau bahwa saat ini kita bicaranya di bukan lagi di ranah apakah ini HITAM atau PUTIH. Menurut beliau ranah PEMILU ini jelas HITAMNYA menurut para ULAMA SAUDI, tapi ranah yang kita ada didalamnya saat ini adalah apakah kita akan membiarkan KAFIR/MUSYRIK dan SYIAH menguasai Parlemen atau tidak.. Wallohul'alam. Sekali lagi ana hanya mengikuti pendapat para ULAMA Ahlussunnah yang membolehkan mencoblos karena alasan mafsadat yg lebih keci, dan ana belum tahu utk PILPRES ini, Insya Alloh partai Islam bisa mencalokan SOSOK pemimpin yang beragama ISLAM dan Bukan KAFIR/MUSYRIK seperti AHOK itu. Kalau sampai ada calon PRESIDEN/WAPRES yang agamanya MUSYRIK/KAFIR lagi dari PDIP yang suaranya hampir 20% di Parlemen DPR. maka, tentunya ana akan menggunakan hak suara lagi utk memilih yang beragama ISLAM. Wallohul'alam.
Dari Ukasyah Abdul Azis.
@Zakki
BalasHapusJawaban antum "Bisa jadi, karena ini banyak2kan suara." berdasarkan was-was antum ya akhii..
Adapun janji Allah terhadap mereka beramal soleh, beriman dan mentauhidkan Allah menjadi penguasa di muka bumi itu pasti...
Sekarang dibalik, apakah antum kira nyoblos itu tidak mendukung demokrasi???? Melanggengkannya, mendukung hukum yang tidak berdasarkan apa yang diturunkan Allah...
Lalu apakah antum bisa pastikan, mereka yang antum pilih tidak gontok-gontokan sendiri di Parlemen? Lalu mana efek dari pilihan kita?
Kita lihat saja nanti, dalam politik ya Akhii, yang penting menguntungkan, bukan wala dan bara berdasarkan alquran dan sunnah...
Sebentar lagi pemilu presiden, kita lihat partai yang antum pilih akan koalisi dengan siapa dan apakah pertimbangan mereka Al-quran dan sunnah...
Wallahu A'lam...
@Anonim
BalasHapusWas-was? gontok-gontokan? tidak berefek? isu? khawatir? Makanya ana tanya Ahok Nasroni jadi pemimpin umat Islam Jakarta itu Fakta atau Isu? Nyata atau was-was? Sudah jelas 2 lebih banyak dari 1 anak kecil saja yang otaknya belum sempurna sudah tahu itu.
Memang enak dituduh mendukung demokrasi? Nggak pake dibalik pun, sudah jelas orang yg Golput-lah yang mendukung, melanggengkan, memuja, menyembah, mengamalkan hukum yang tidak berdasarkan apa yang diturunkan Allah. Golput dan mencoblos itu satu paket dalam hukum demokrasi. Sudah diatur hukumnya. Kalo antum gak nyoblos, justru antum mendukung dan melanggengkan demokrasi PLUS membantu mafsadat yg lebih besar menjadi penguasa-penguasa umat Islam.
Biar antum lebih jelas, ini perbedaan Demokrasi VS Islam
DEMOKRASI
Ada 2 cara suksesi dalam demokrasi maupun dalam Islam, namun perbedaannya sangat jauh. Demokrasi terdiri dari:
A. Memilih, yaitu rakyat bisa memilih sesuai dengan kehendaknya.
B. Abstain, yaitu yg biasa dikenal dengan kata Golput alias tidak memilih, bagi siapa saja.
ISLAM
A. Khalifah menunjuk, yaitu dengan persetujuan ahlul halli wal aqdi.
B. Musyawarah, yaitu, Ahlul halli wal aqdi bermusyawarah untuk suksesi kepemimpinan.
Dari sini sudah jelas bahwa dalam sistem Islam tidak dikenal istilah GOLPUT. Karena gak ada hubungannya dengan rakyat. Golput hanya ada didalam sistem demokrasi baik secara Lughowi, Maknawi maupun Hukum. Maka dari itu, jangan mengira kalo antum golput tidak mendukung sistem demokrasi, bahkan sebaliknya yaitu sangat mendukung dan melanggengkan sistem demokrasi tersebut PLUS membantu mafsadat yg lebih besar menjadi penguasa-penguasa umat Islam.
DEMOKRASI
BalasHapusAda 2 yang ditawarkan dalam hukum demokrasi maupun dalam hukum Islam, namun perbedaannya sangat jauh. Demokrasi Menawarkan:
A. Memilih, yaitu rakyat bisa memilih sesuai dengan kehendaknya.
B. Abstain, yaitu yg biasa dikenal dengan kata Golput alias tidak memilih, bagi siapa saja.
ISLAM
Islam tidak menawarkan kepada rakyat, Islam menawarkan:
A. Khalifah menunjuk, yaitu dengan persetujuan ahlul halli wal aqdi.
B. Musyawarah, yaitu, Ahlul halli wal aqdi bermusyawarah untuk suksesi kepemimpinan.
Dari sini sudah jelas bahwa dalam sistem Islam tidak dikenal istilah GOLPUT. Karena gak ada hubungannya dengan rakyat. Golput hanya ada didalam sistem demokrasi baik secara Lughowi, Maknawi maupun Hukum. Maka dari itu, jangan mengira kalo antum golput tidak mendukung sistem demokrasi, bahkan sebaliknya yaitu sangat mendukung dan melanggengkan sistem demokrasi tersebut PLUS membantu mafsadat yg lebih besar menjadi penguasa-penguasa umat Islam.
@Zakki
BalasHapusTambah aneh logika antum ya akhii,jawaban antum tidak menyentuh inti masalah pertanyaan,
Ada yang tanya bahwa Memangnya Ahok jadi pemimpin karena umat Islam Golput?
Nah Jawaban Antum: "Bisa jadi, Karena ini banyak-banyakkan suara"..
Ini apa kalau bukan was-was dan hanya dugaan-dugaan... Memangnya antum punya data Umat Islam yang GOLPUT berapa, trus Umat Islam yang memilih lawannya Jokowi-Ahok berapa?
Atau antum juga punya data semua umat Non Muslim milih ahok?
Karena dari dulu di Umat Islam tidak dikenal sistem suara terbanyak, makanya tidak ada istilah GOLPUT... Jadi Demokrasi memang tidak diatur dalam Islam sehingga Istilah-Istilah yang digunakan juga tidak bakal antum temui.. Ya Akhii, mereka yang "memilih untuk tidak memilih" ada banyak ragam motifnya, dan salah satunya adalah tidak mau menabrak "Firman Allah", ini dikalangan Ikhwah salafiyyin sudah ma'ruf...
Trus apakah mereka yang tidak memilih diam saja? Lihat dari kalangan asatizdah salafiyyin yang berdakwah dan menyebarkan kebaikan dimana-mana, mereka memahamkan umat dari "ilmu"... Bukankah kebaikan umat dibangun dari Jiwa2 mereka?
@Anomin
BalasHapusIni bukan logika aneh. Tapi ini menurut akal sehat dan dalil kuat. Memang jawabanya tepatnya "Bisa jadi, Karena ini banyak-banyakkan suara" Mayoritas muslim tapi pemimpinnya kafir, itu fakta. Itulah sebabnya para ulam kibar memilih langkah nyoblos daripada golput. Silakan baca fatwa-fatwa Syaikh Albani, Lajnah Daimah, Syeikh Abdul Aziz Alu as-Syeikh, Syaikh Utsaimin Dll.. di http://addariny.wordpress.com/2014/01/08/tentang-memberikan-suara-di-pemilu-2/
Mohon dibaca pelan-pelan dan dipahami dengan ikhlas link diatas kalau yang antum inginkan memang kebenaran.
Itulah tujuan ana, biasanya orang golput memandang bahwa orang yang nyoblos sama dengan mendukung demokrasi, melanggengkan demokrasi dll. Padahal tidak ada maksud kesana sama sekali. Itulah ketika saya merasa 'dituduh' mendukung demokrasi, tuduhan itu bisa saya balik dengan maksud bahwa baik yang memilih maupun yg golput tidak ada maksud mendukung demokrasi.
@Zakki
BalasHapusYa memang itulah was-was antum yakhii, terbukti antum tidak bisa menampilkan data yang "SECARA AKAL" (Menurut antum) dapat dijadikan pertimbangan....
Kalau masalah fatwa, silahkan antum search saja di yuvid atau yang lain, baik yang melarang ataupun yang membolehkan, sudah banyak bertebaran...
Apa mau diadu-aduin fatwa-fatwa tersebut? Itu manhaj antum?
Dan silahkan dilihat pula yang membolehkan, secara umum pasti ada keterikatan dengan daerah tertentu ataupun ada syaratnya...
Nah dalam tataran tathbiq nya ini yang banyak muskilnya, dalam artian terjadi silang pendapat dalam menilainya...
Ya kalau semakin banyak masyarakat paham "ilmu" agama atau mengenal dakwah salaf, tentu peradaban akan berubah dengan sendirinya...
Begitu pula sebaliknya, jika semakin sedikit yang paham agama, apakah syariat Islam bisa diterapkan? Walaupun yang duduk di parlemen banyak orang muslim, yang menurut antum "madhorotnya paling sedikit" itu....
@Anonim
BalasHapusItu bukan was-was dan tidak perlu data, karena menurut akal sehat, muslim itu lebih baik dari dari kafir bukan? apalagi masalah kepemimpinan. Begitu ada pemilu, yang satu menyediakan paket pemimpin kafir, yang lain menyediakan paket pemimpin muslim sudah barang tentu secara akal yang sehat, muslim akan segera bergerak memilih yg muslim. Antum sudah baca pelan-lan pelan2 link tersebut?
http://addariny.wordpress.com/2014/01/08/tentang-memberikan-suara-di-pemilu-2/
Dengan membaca seluruh fatwa tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum mencoblos itu wajib. Coba tolong tunjukkan fatwa dari 3 ulama kibar yaitu Syaikh Albani, Syaikh Bin Baaz, dan Syaikh Utsaimin yang melarang mencoblos atau menyatakan bahwa mencblos itu haram. Ingat, mencoblos beda hukumnya dengan masuk parlemen.
Kata antum "Begitu pula sebaliknya, jika semakin sedikit yang paham agama, apakah syariat Islam.......". Ini menunjukkan antum belum membaca fatwa-fatwa ulama tersebut. Atau takut melihat kebenaran?. Ini tidak ada hubungannya dengan syariat Islam bisa diterapkan atau tidak. Coba tolong dibaca keseluruhan fatwa tersebut pelan-pelan JIKA MEMANG KEBENARAN YANG ANTUM INGINKAN. Apakah antum tidak menginginkan KEBENARAN?
Assalamualaikum.
BalasHapusSaat ini dakwah ahlussunnah tetap gencar dilakukan dan insya Alloh ini bertujuan untuk membuat perubahan ummat Islam nenjadi lebih paham masalah agamanya. TAPI saat ini pula Di tengah ummat Islam ditawarkan oleh Negara melalui yang namanya Pemilu itu ;apakah kamu akan memilih wakilmu dan pemimpinmu yang agamanya SYIAH, MUSYRIK, KAFIR atau ISLAM..?
Kalo masalah DEMOKRASI dan Turunanya itu HARAM sepertinya..Ulama Ahlussunnah semuanya SEPAKAT. Tapi, ketika menimbang mafsadat dan mudhorat atas penawaran NEGARA kepada Ummat ISLAM untuk memilih wakil dan Pemimpin yang agamanya BERANEKA RAGAM maka Para ULama Khilaf. ada yg tetap mengHARAMkan ada yang memBOLEHkan karena urusan negara yg kaitanya dengan ummat ISLAM harus di urus oleh Manusia yg Agamanya ISLAM. Sekali lagi ghirah agama ana memilih.untuk mengikuti.pendapat Ulama yg menganjurkan menCOBLOS, karena ana TIDAK RIDHO kalau yg tampil nanti orang selain Islam. Adapun hasilnya yg jadi nanti orang selain Islam, ya Qadarullohu masya a faal, ana telah berusaha. Kalaupun yg jadi nanti orang ISlam, Alhamdulillah. Itulah yg menjadi harapan kita bersama. Semoga Alloh Azza waJalla.menetapkan yang terbaik buat ummat Islam di Indonesia ini.
Ukasyah Abdul Azis.
@Zakki
BalasHapusYa, subhanaAllah... Rupanya antum memang ndak paham dengan inti pertanyaan "Apakah Ahok, jadi pemimpin karena Umat Islam Golput?"
Hanya beretorika, membela apa yang antum pegangi dan mengannggap orang lain berdosa karena tidak mencoblos...
Alhamdulillah ana sudah baca link yang antum berikan itu, bahkan link2 yang lain juga, maka muncul komentar ana sebelumnya ".....,secara umum pasti ada keterkaitan......"
Kalau masalah fatwa, rasanya komentar sebelum ini sudah cukup, kalau antum saja menyarankan orang lain untuk mensearch informasi caleg atau partai, pasti antum orang yang tidak malas mensearch fatwa...
Satu kondisi yang lebih jelas saja, seperti pemilihan gubernur seperti contoh di atas, antum tidak bisa memberikan data sebagai pertimbangan apakah coblosan kita "ngefek" atau endak... Apalagi pada pemilihan caleg kemarin??? Sebagian besarnya tidak dikenali, seperti apa kondisi agama, tentu kita lebih tidak tahu lagi ngefek apa ndak...
Tidak semua umat islam di Indonesia ini mengenal dakwah salaf, sehingga selalu mendasarkan keputusannya dengan pertimbangan Al-qur'an dan Sunnah dalam mengambil keputusannya... Lalu jika dipersentase, berapa jumlah ikhwah salfiyyin? Diantara merekapun tidak ada jaminan memakai "standart madhorot terkecil" yang sama...
Jika standart kaum muslimin saja berbeda-beda, apakah pasti yang terpilih adalah yang memiliki madhorot paling kecil???
Alhamdulillah, ustadz2 kami mengajarkan untuk "menerima" kebenaran dari siapapun, walaupun dari iblis (setelah ditimbang dengan Al-qur'an dan sunnah tentunya)dan itulah yang ana pegangi sampai sekarang... Dan ini termasuk yang dibahas pada kajian Ust. Yazid Jawwas pada 2 pertemuan sebelum pemilu di masjid Imam Ahmad Bogor (tanyakan ke ust. abul jauzaa klo gak percaya)...
Rasanya memang akal sehat versi antum dengan versi ana berbeda, sehingga antum hanya melihatnya dari satu arah... Nah kalau demikian pasti tidak akan ketemu...
Dengan demikian ana ucapkan....
مع السلامة
@Anonim
BalasHapusDalam link tersebut para ulama kibar tidak mempermasalahkan masalah data. Dan tidak pula masalah ngefek apa nggak ngefek. Makanya jawaban ana seperti yg telah saya tulis diatas "Bisa jadi,...". Ini bukan masalah 'data & efek' tapi muslim vs kafir yang mana muslim harus mendukung muslim. Ini wajib sebagaimana yg disampaikan Syaikh Albani.
Untuk parlemen sudah ma'ruf diketahui banyak pihak mana partai sekuler dan mana partai dengan background Islam. Ana kira tidak perlu ditanyakan ini ngefek apa nggak ngefek atau ini minoritas apa moyoritas. Apa antum sudah membaca kisah nabi Musa vs Fir'aun yang disampaikan syaikh Utsaimin? Akal sehat mana yang bisa menerima?. Perebutan kekuasaan antar sesama orang kafir sendiri saja kita wajib mendukung salah satunya yg lebih kecil mafsadatnya terhadap ummat Islam apatah lagi ini Sekuler VS Islam.