Tanya
: Seorang
wanita yang ditinggal suaminya bertahun-tahun tanpa ada kabar berita dan
nafkah, sampai kapan ia mesti menunggu dan kemudian menikah lagi?.
Jawab
: Para
ulama pendapat dalam hal ini. Sebagian ulama berpendapat bahwa ia mesti sabar menunggu
hingga ada keyakinan bahwa suaminya tersebut meninggal atau telah
menceraikannya. Pendapat ini dipegang oleh ‘Aliy bin Abi Thaalib[1],
Abu Haniifah dan shahabat-shahabatnya, ulama Hanaabilah, Syaafi’iyyah, dan Ibnu
Hazm Adh-Dhaahiriy rahimahumullah. Dalil yang melandasi adalah:
عَنِ
الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ امْرَأَتُهُ
حَتَّى يَأْتِيَهَا الْبَيَانُ "
Dari
Mughiirah bin Syu’bah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wanita yang kehilangan
suaminya tetap menjadi istri suaminya itu hingga datang keterangan (kepastian
tentang suaminya itu)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy 7/445 dan Ad-Daaraquthniy
3/312].
Akan
tetapi, hadits ini tidak shahih. Abu Haatim menghukumi hadits ini munkar [Al-‘Ilal
li-Ibni Abi Haatim no. 1298].
Mereka
juga berdalil dengan kaedah al-yaqiinu laa yuzaalu bisy-syakk. Status
pernikahannya adalah yakin, sedangkan hilang atau meninggalnya suami hanyalah
berstatus keraguan, sehingga yang ragu tidak boleh mengalahkan yang yakin.
Ulama
lain berpendapat bahwa ia (istri) menunggu selama 4 tahun berdasarkan keputusan
hakim, lalu wali dari pihak suami menceraikannya, kemudian wanita itu ber-‘iddah
selama 4 bulan sepuluh hari; dan setelah itu ia boleh menikah lagi jika
berkehendak. Pendapat ini dipegang oleh ‘Umar bin Al-Khaththaab[2],
‘Utsmaan bin ‘Affaan[3],
Ibnu ‘Abbaas, Ibnu ‘Umar[4]
– radliyallaahu ‘anhum - , Maalik bin Anas, Asy-Syaafi’iy dalam
pendapatnya yang terdahulu (al-qadiim), dan Ahmad.
Dalil
yang mereka pakai antara lain adalah:
Firman
Allah ta’ala :
وَإِذَا
طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا
“Apabila
kamu menalak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir ‘iddahnya, maka rujukilah
mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang makruf
(pula). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudaratan, karena dengan
demikian kamu menganiaya mereka” [QS. Al-Baqarah : 232].
Sisi
pendalilannya adalah bahwa dengan mempertahankan pernikahan tersebut akan
memberikan kemudlaratan kepada si istri dan merupakan perbuatan aniaya.
Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
لَا ضَرَرَ
وَلَا ضِرَارَ
“Tidak
boleh berbuat sesuatu yang memberikan mudlarat pada diri sendiri dan orang lain”
[Diriwayatkan oleh Maalik no. 2171, Ibnu Maajah no. 2213 & 2340 & 2483
& 2488 & 2643, ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaid-nya 5/326-327, Al-Haakim
2/57, Al-Baihaqiy 6/70, dan yang lainnya].
Sisi
pendalilannya sama seperti sebelumnya.
Dalil
lain adalah bahwasannya seorang istri berhak menuntut cerai apabila tidak
diberikan nafkah dari suaminya.[5]
Jika seorang suami ada wujudnya namun tidak memberikan nafkah, si istri berhak
menuntut cerai; maka apalagi seorang suami yang tidak ada wujudnya dan tidak memberikan
nafkah kepada istri ? (tentu lebih layak untuk diperbolehkan).
Yang
raajih dalam hal ini adalah pendapat kedua, karena mempertahankan
pernikahan tanpa suami dan tanpa nafkah jelas memberikan mudlarat bagi
istri.
Bagaimana
jika ternyata suami pertama (yang diklaim hilang) ternyata kembali setelah si istri menikah kembali dengan orang lain ?. ‘Umar radliyallaahu
‘anhu dan sebagian salaf lainnya memberikan keputusan bahwa sang suami
tersebut diberikan pilihan antara menikahi istrinya kembali atau menerima
pengembalian mahar.
حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ
الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ، وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، قَالَا: " إنْ جَاءَ
زَوْجُهَا خُيِّرَ بَيْنَ امْرَأَتِهِ وَبَيْنَ الصَّدَاقِ الْأَوَّلِ "
Telah
menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid
bin Al-Musayyib : Bahwasannya ‘Umar dan ‘Utsmaan bin ‘Affaan berkata : “Apabila
suaminya kembali (setelah hilang selama empat tahun), maka ia diberikan pilihan
antara kembali memperisterinya atau menerima pengembalian mahar istrinya
tersebut” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/2 (9/211) no. 16988; shahih].
Wallaahu
a’lam.
Semoga
yang ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– 18032014 – 23:00 - sebagian isi artikel mengambil faedah dari buku Al-Qadiim wal-Jadiid min Aqwaalil-Imaam Asy-Syaafi'iy karya Dr. Muhammad bin Samii'iy Ar-Rastaaqiy, hal. 455-459; Daar Ibnu Hazm, Cet. 1/1426 H]
[1] Diantara riwayatnya adalah:
نا أَبُو عَوَانَةَ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنِ الْمِنْهَالِ
بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبَّادٍ، عَنْ عَلِيٍّ، فِي امْرَأَةِ الْمَفْقُودِ، قَالَ:
" هِيَ امْرَأَتُهُ "
[Telah menceritakan
kepada kami Abu ‘Awaanah, dari Manshuur, dari Al-Minhaal bin ‘Amru, dari
‘Abbaad, dari ‘Aliy tentang istri yang ditinggal suaminya, ia berkata : Ia (si
wanita) tetap berstatus sebagai istrinya [Diriwayatkan oleh Sa’iid bin Manshuur
no. 1575; lemah karena kelemahan ‘Abbaad, namun ia menjadi kuat dengan riwayat
di bawah].
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ مَنْصُورٍ، عَنِ الْحَكَمِ،
عَنْ عَلِيٍّ، قَالَ: " تَتَرَبَّصُ حَتَّى تَعْلَمَ أَحَيٌّ هُوَ، أَوْ
مَيِّتٌ "
Dari Ats-Tsauriy,
dari Manshuur, dari Al-Hakam, dari ‘Aliy bin , ia berkata : “Si istri menunggu
hingga ia mengetahui apakah suaminya masih hidup ataukah telah meninggal”
[Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 12331; lemah karena keterputusan antara
Al-Hakam dan ‘Aliy].
[2] Riwayatnya adalah:
وَأَخْبَرَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْحَافِظُ،
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ إِسْحَاقَ، أنا مُحَمَّدُ بْنُ غَالِبٍ، نا
مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ، نا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ شُعْبَةُ: سَمِعْتُ
مَنْصُورًا، يُحَدِّثُ عَنِ الْمِنْهَالِ بْنِ عَمْرٍو، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ
بْنِ أَبِي لَيْلَى، قَالَ: " قَضَى عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فِي
الْمَفْقُودِ تَرَبَّصُ امْرَأَتُهُ أَرْبَعَ سِنِينَ ثُمَّ يُطَلِّقُهَا وَلِيُّ
زَوْجِهَا ثُمَّ تَرَبَّصُ بَعْدَ ذَلِكَ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا ثُمَّ
تَزَوَّجُ "
Dan telah
mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Al-Haafidh : Telah mengkhabarkan kepada
kami Abu Bakr bin Ishaaq : Telah mengkhabarkan kepada kami Muhammad bin Ghaalib
: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basysyaar : Telah menceritakan
kepada kami Muhammad bin Ja’far : Telah berkata Syu’bah : Aku mendengar
Manshuur menceritakan hadits dari Al-Minhaal bin ‘Amru, dari ‘Abdurrahmaan bin
Abi Lailaa, ia berkata : ‘Umar radliyallaahu ‘anhu pernah memutuskan
tentang hukum suami yang hilang (mafquud) agar istrinya menunggu selama
empat tahun. (Jika tetap tidak ada kabar beritanya), maka wali dari pihak suami
menceraikannya. Lalu wanita itu menunggu (menjalani ‘iddah) selama empat
bulan sepuluh hari, dan setelah itu boleh menikah kembali” [Diriwayatkan oleh
Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 7/445; shahih].
[3] Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى، عَنْ مَعْمَرٍ، عَنِ
الزُّهْرِيِّ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ،
وَعُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، قَالَا فِي امْرَأَةِ الْمَفْقُودِ: " تَرَبَّصُ
أَرْبَعَ سِنِينَ، وَتَعْتَدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا "
Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, dari Sa’iid bin
Al-Musayyib : Bahwasannya ‘Umar bin Al-Khaththaab dan ‘Utsmaan bin ‘Affaan berkata
tentang wanita yang suaminya hilang agar ia menunggu selama empat tahun, dan
(setelah itu) menjalani masa ‘iddah selama empat bulan sepuluh hari
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/2 (9/209-210) no. 16982; shahih].
[4] Riwayatnya adalah:
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: نَا عَبْدَةُ بْنُ سُلَيْمَانَ،
عَنْ سَعِيدٍ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ أَبِي وَحْشِيَّةَ،، عَنْ عمرو بن هرم عن
جَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، قَالَ: تَذَاكَرَ ابْنُ عَبَّاسٍ، وَابْنُ عُمَرَ امْرَأَةَ
الْمَفْقُودِ فَقَالَا جَمِيعًا: " تَرَبَّصُ أَرْبَعَ سِنِينَ، ثُمَّ
يُطَلِّقُهَا وَلِيُّ زَوْجِهَا، ثُمَّ تَرَبَّصُ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdah bin Sulaimaan, dari Sa’iid, dari Ja’far bin Abi Wahsyiyyah,
dari ‘Amru bin Haram, dari Jaabir bin Zaid, ia berkata : “Ibnu ‘Abbaas dan Ibnu
‘Umar pernah berbincang-bincang mengenai wanita yang suaminya hilang. Mereka
berdua berkata : “Ia menunggu selama empat tahun, kemudian wali suaminya
menceraikannya. Setelah itu ia menunggu (menjalani masa ‘iddah) selama
empat bulan sepuluh hari” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/159 (10/93) no.
19058; shahih].
[5] Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata :
ومن
الحقوق الأبضاع، فالواجب الحكم بين الزوجين بما أمر الله ـ تعالى ـ به، من إمساك
بمعروف أو تسريح بإحسان. فيجب على كل من الزوجين أن يؤدي إلى الآخر حقوقه، بطيب
نفس وانشراح صدر؛ فإن للمرأة على الرجل حقًا في ماله، وهو الصداق والنفقة
بالمعروف. وحقًا في بدنه، وهو العشرة و المتعة؛ بحيث لو إلى منها استحقت الفرقة
بإجماع المسلمين، وكذلك لو كان مجبوبًا أو عنينًا لا يمكنه جماعها فلها الفرقة؛
ووطؤها واجب عليه عند أكثر العلماء.
“Termasuk di antara
hak-hak (yang harus dipenuhi) adalah hubungan intim. Maka wajib hukumnya bagi
suami suami istri melaksanakannya sesuai dengan perintah Allah ta’ala, termasuk
di antaranya mempergauli atau menceraikannya dengan baik. Wajib pula bagi
setiap pasangan suami istri untuk memenuhi haknya satu dengan lainnya dengan
ikhlash dan lapang dada. Sesungguhnya bagi seorang wanita mempunyai hak yang
harus dipenuhi oleh laki-laki (suaminya) dari harta yang berupa mahar dan
nafkah secara ma’ruf, dan hak badan yang berupa jima’ dan
bersenang-senang – dimana jika hak-hak tersebut tidak bisa dipenuhi, maka istrinya
berhak menuntut cerai berdasarkan ijma’ kaum muslimin. Begitu pula
apabila suaminya terpotong kemaluannya atau imponten sehingga tidak
memungkinkan untuk berjima’, maka si istri juga berhak menuntut cerai. Hal itu
dikarenakan menggauli (menjimai) istri hukumnya wajib menurut kebanyakan ulama”
[Majmu’ Al-Fataawaa, 28/383].
Dalam akad nikah yang dibimbing penghulu (petugas KUA), terkadang (atau bahkan sering) dibacakan tentang perjanjian bila tidak diberi nafkah sekian bulan maka otomatis cerai.
BalasHapusBagaimana dengan hal itu?
assalamu'alaikum warahmatullah wabarakatuh ustadz.
BalasHapus.
saya mau tanya ni.
bagaimana kalau setelah si istrinya telah diceraikan oleh hakim, lalu menikah, dan ternyata si suaminya kembali, dan tetap berkeras meminta si istrinya kembali kepadanya?
trima kasih sebelumnya.
jazakallah khairan.
wassalam
putra
Ustadz. Bagaimana kalau mantan istri sdh menikah lagi dengan laki2 lain. Apakah si suami tdk punya pilihan lg kcuali menerima pengembalian mahar.
BalasHapusJazakallahu Khoiron
Kan di atas sudah disebutkan riwayatnya dari 'Umar bahwa ia diberikan pilihan antara menikahi istrinya kembali atau menerima pengembalian mahar.
BalasHapusUstadz, saya memiliki beberapa pertanyaan:
BalasHapus1. Istri menunggu selama 4 tahun, apakah masa 4 tahun itu dihitung sejak kepergian suami atau sejak suami dinyatakan hilang?
2. Apabila suaminya yg hilang kembali setelah istrinya menikah dengan lelaki lain, maka jika suami pertama tersebut memilih menikahi istrinya kembali, apakah harus dengan pernikahan baru lagi dan memberi mahar lagi?
3. Lalu jika suami pertama ingin kembali kepada istinya lagi maka bagaimana status pernikahan wanita tersebut dengan suami keduanya, Apakah fasakh atau khulu'? dan apakah wanita itu harus mengembalikan mahar ke suami keduanya jika dia kembali ke suami pertama?
Syukran, jazaakallaahu khayr.