Tanya
: Apa
makna ihsan yang disebutkan dalam hadits :
الْإِحْسَانُ أَنْ
تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ، فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ
“Ihsaan
adalah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Namun apabila
engkau tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu”.
Jawab
:
Untuk
menjawab pertanyaan tersebut, akan kami ambilkan penjelasan Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin
Al-‘Abbaad hafidhahullah sebagai berikut :
((
“Maknanya adalah engkau beribadah kepada-Nya seakan-akan engkau berdiri di
hadapan-Nya seraya melihat-Nya. Barangsiapa yang dapat melakukannya, maka ia
akan beribadah dengan penuh dan sempurna. Namun barangsiapa yang tidak dapat
beribadah dengan keadaan seperti itu, maka wajib baginya untuk merasa Allah
mengawasinya, tidak ada sesuatupun yang luput dari (pengawasan)-Nya. Oleh
karena itu, ia akan berhati-hati bahwa Allah melihatnya ketika Allah melarangnya,
serta ia beramal ketika dalam kondisi Allah melihatnya ketika Ia memerintahnya.
Ibnu
Rajab dalam kitabnya yang berjudul Jaami’ul-‘Ulum wal-Hikam (1/126) saat
mensyarah hadits ini berkata:
“Dan
perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang penafsiran al-ihsaan
: ‘engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya....dst.’;
mengisyaratkan bahwa seorang hamba beribadah kepada Allah dengan sifat ini,
yaitu ia merasakan kedekatan Allah, merasa ada di hadapan Allah seolah-olah
melihat-Nya. Hal itu menghasilkan rasa takut, segan, dan mengagungkan-Nya
sebagaimana terdapat riwayat Abu Hurairah : ‘Hendaknya engkau takut kepada
Allah seakan-akan engkau melihat-Nya’.[1]
Keadaan seperti itu juga menghasilkan ketulusan dalam beribadah serta berusaha
keras untuk memperbaiki, melengkapi, dan menyempurnakannya”.
Ibnu
Rajab juga berkata (1/128-129) :
“Dan
sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘namun apabila engkau
tidak mampu melihat-Nya, sesungguhnya Ia melihatmu’; dikatakan bahwa sabda
beliau tersebut merupakan ta’liil sabda beliau sebelumnya. Hal itu
dikarenakan seorang hamba apabila diperintahkan untuk merasa selalu diawasi oleh
Allah (muraqabah) dalam ibadah
dan menghadirkan kedekatan Allah dengan hamba-Nya hingga hamba tersebut
seolah-olah melihat-Nya, maka boleh jadi itu sulit baginya. Maka untuk
mewujudkannya, ia meminta bantuan keimanannya bahwa Allah senantiasa
melihatnya, mengetahui apa yang ia lakukan baik yang terang-terangan maupun
rahasia, mengetahui dhahir dan batinnya; tidak ada sedikitpun urusannya yang
tersembunyi dari-Nya. Jika hamba tersebut dapat merealisasikannya, maka mudah
baginya untuk berpindah kepada kedudukan yang kedua, yaitu senantiasa dilingkupi
pengetahuan akan kedekatan Allah dan kebersamaan-Nya dengan hamba-Nya, hingga
seakan-akan hamba itu melihat-Nya.
Dan
dikatakan juga : Bahkan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut
merupakan isyarat bahwa barangsiapa yang merasa berat baginya untuk beribadah
kepada Allah (dalam keadaan) seakan-akan melihat-Nya, hendaklah ia beribadah kepada
Allah dengan menghadirkan bahwa Allah melihatnya dan mengawasinya. Lalu
hendaknya ia merasa malu terhadap penglihatan (pengawasan) Allah kepadanya”.
Ibnu
Rajab melanjutkan (1/130) :
“Terdapat
beberapa hadits shahih yang menganjurkan untuk menghadirkan kedekatan ini dalam
ibadah-ibadah”.
Kemudian
beliau (Ibnu Rajab) menyebutkan sejumlah hadits, lalu berkata :
“Barangsiapa
yang memahami nash-nash ini dengan adanya tasybiih (penyerupaan Allah dengan
makhluk-Nya), huluul (Allah menitis ke tubuh makhluk-Nya), atau ittihaad
(bersatunya Allah dengan makhluk-Nya; maka itu hanyalah disebabkan karena
kebodohannya, buruknya pemahaman terhadap Allah dan Rasul-Nya shallallaahu ‘alaihi
wa sallam – padahal Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari semua hal
tersebut. Maha Suci Allah yang tidak ada sesuatu pun menyerupai-Nya, dan Dia
Maha Mendengar lagi Maha Melihat” )).
[selesai – dari kitab Syarh Hadiits
Jibriil fii Ta’liimid-Diin oleh Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin Al-‘Abbaad Al-Badr
hafidhahullah, hal. 74-75 – abul-jauzaa’ – perumahan ciomas permai,
ciapus, ciomas, bogor - 09041435/08022014
– 21:15].
[1] Diriwayatkan oleh Muslim no. 10, Ishaaq
bin Rahawaih dalam Musnad-nya no. 167, dan Ibnu mandah dalam Al-Iimaan
1/152.- Abul-Jauzaa’
Pak Ustadz, saya suka memancing ikan. Yang saya tanyakan, apakah memancing termasuk perbuatan yang bisa menyakiti binatang? Lantas bagaimana hukumnya?
BalasHapusMatur nuwun atas jawabannya.
Mohon maaf, mau ikutan jawab.
BalasHapusJika memancing tujuanya hanya untuk sekedar menyalurkan hobi atw kpuasan dn kbanggaan dri krna tlah berhasil menaklukkan ikan (spt yg ada di program tv mancing mania), mka ini tidak diperbolehkan, dalilnya adalah hadits "bahwasanya Nabi melaknat orang yg menjadikan makhluk bernyawa sebagai sasaran latihan".
Tpi jka tjuan memancingnya itu karna memang butuh kpada ikan tersebut (baik unt dimakan, dijual, dsb), maka jika antum memiliki cara lain yg tidak mengandung penyiksaan terhadap hewan samasekali (spt dng jala dsb) mka gnakanlah cara itu dan tinggalkanlah cara memancing. Tpi jika antm tdak memiliki cra lain kecuali dng menggunakan pancingan maka gunakanlah ia sekedar untuk memenuhi kebutuhan antum saja (al haajatu tanzilu manzilatad dharurah).
Sambil antum trus berusaha untk mngusahakan cara lain yg tdk mengandung penyiksaan pd hewan (ikan). Jika antum tlah mendapatkanya, mka tinggalkanlah memancing dengan menggunakan mata pancing secara mutlak.
TrimakSih atas penjelasannya ustad,sangt bermanfaat sekali....
BalasHapus