Para
ulama berbeda pendapat mengenai hukum ucapan seseorang ‘Allaahu wa Rasuuluhu
a’lam (Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui)’ terhadap hal-hal yang tidak
diketahui sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagian
ulama melarangnya, karena menurut mereka asal dari perkataan dalam permasalahan
ini adalah Allaahu a’lam saja, sedangkan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam hanyalah mengetahui sesuatu yang diberitahukan Allah
kepadanya saja. Oleh karena itu, perkataan ‘Allaahu wa Rasuuluhu a’lam’
hanya disyari’atkan diucapkan saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
masih hidup. Perkataan ‘Allaahu wa Rasuuluhu a’lam’ merupakan adab
para shahabat saat berinteraksi dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa
sallam. Adapun setelah wafat, maka yang disyari’atkan adalah ucapan ‘Allaahu
a’lam’ saja, karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
mengetahui apa yang terjadi setelahnya. Diantara ulama yang berpegang pada
pendapat ini adalah ulama Lajnah Daaimah semasa dipimpin oleh Asy-Syaikh Ibnu
Baaz rahimahullah:
وقوله:
"الله ورسوله أعلم" يجوز في حياة الرسول صلى الله عليه وسلم، أما بعد
وفاته فيقول: الله أعلم؛ لأن الرسول صلى الله عليه وسلم بعد وفاته لا يعلم ما يحدث
بعد وفاته
“Dan
perkataan ‘Allaahu wa Rasuuluhu a’lam’ boleh diucapkan sewaktu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam masih hidup. Adapun setelah
meninggal, maka hendaklah mengatakan : ‘Allaahu a’lam’, karena
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mengetahui apa yang
terjadi setelah wafatnya” [Fataawaa Al-Lajnah Ad-Daaimah, 3/241 – sumber
: sini].
Hal
yang sama dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah dalam Ashlu Shifaatu
Shalaatin-Nabiy 3/1019 (Maktabah
Al-Ma’aarif, Cet. 1/1427) dan Asy-Syaikh Shaalih Al-Fauzaan hafidhahullah dalam
I’aanatul-Mustafiidh
bi-Syarh Kitaabit-Tauhiid hal. 403.
Mereka berdalil dengan ayat:
وَلَوْ
كُنتُ أَعْلَمُ الغَيْبَ لَاسْتَكْثَرْتُ مِنَ الخَيْرِ وَمَا مَسَّنِيَ السُّوءُ
“Dan
sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudaratan"
[QS. Al-A’raaf : 188].
Juga dengan riwayat:
أَخْبَرَنَا
أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الصَّفَّارُ، ثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ إِسْحَاقَ، ثَنَا
سُلَيْمَانُ بْنُ حَرْبٍ، ثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ، ثَنَا أَيُّوبُ، عَنِ ابْنِ
أَبِي مُلَيْكَةَ، أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ تَلا
هَذِهِ الآيَةَ أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ مِنْ نَخِيلٍ
وَأَعْنَابٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الأَنْهَارُ لَهُ فِيهَا مِنْ كُلِّ
الثَّمَرَاتِ إِلَى هَا هُنَا فَأَصَابَهَا إِعْصَارٌ فِيهِ نَارٌ فَاحْتَرَقَتْ،
فَسَأَلَ عَنْهَا الْقَوْمَ، وَقَالَ: " فِيمَا تَرَوْنَ أَنَزَلَتْ
أَيَوَدُّ أَحَدُكُمْ أَنْ تَكُونَ لَهُ جَنَّةٌ ؟ "، فَقَالُوا: اللَّهُ
وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، فَغَضِبَ عُمَرُ، وَقَالَ: قُولُوا: نَعْلَمُ أَوْ لا
نَعْلَمُ........
Telah
mengkhabarkan kepada kami Abu ‘Abdillah Ash-Shaffaar : Telah menceritakan
kepada kami Ismaa’iil bin Ishaaq : Telah menceritakan kepada kami Sulaimaan bin
Harb : Telah menceritakan kepada kami Hammaad bin Zaid : Telah menceritakan
kepada kami Ayyuub, dari Ibnu Abi Mulaikah : Bahwasannya ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu pernah membaca ayat ini: ‘Apakah
ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun kurma dan anggur yang
mengalir di bawahnya sungai-sungai; dia mempunyai dalam kebun itu segala macam
buah-buahan, kemudian datanglah masa tua pada orang itu sedang dia mempunyai
keturunan yang masih kecil-kecil. Maka kebun itu ditiup angin keras yang
mengandung api, lalu terbakarlah’ (QS. Al-Baqarah: 266). Lalu ia (‘Umar) bertanya tentang ayat tersebut
kepada satu kaum. ‘Umar berkata: “Menurut kalian, ayat ‘Apakah
ada salah seorang di antaramu yang ingin mempunyai kebun’ turun berkenaan dengan apa ?’. Mereka menjawab: “Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Maka ‘Umar pun marah dan berkata:
“Katakanlah: ‘Kami mengetahui atau kami tidak mengetahui…..” [Diriwayatkan oleh
Al-Haakim dalam Al-Mustadrak 3/542-543, dan ia berkata: “Hadits ini
shahih berdasarkan persyaratan Al-Bukhaariy dan Muslim, namun keduanya tidak
meriwayatkannya[1]”].
Akan tetapi, sanad riwayat ini dla’iif,
karena keterputusan antara Ibnu Abi Mulaikah dengan ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu
‘anhu.
Diriwayatkan juga
oleh:
a. Al-Bukhaariy
no. 4538 dan Ibnu Abi Haatim dalam Tafsiir-nya no. 2773 dari Hisyaam bin
Yuusuf Ash-Shan’aaniy (tsiqah),
b. Al-Haakim 2/283
dan Abu Daawud dalam Az-Zuhd no. 85-86 dari Hajjaaj bin Muhammad (tsiqah
lagi tsabat, akan tetapi berubah hapalannya ketika ia tiba di
Baghdaad sebelum wafatnya),
c. Ibnul-Mubaarak
(tsiqah, tsabat, lagi faqiih) dalam Az-Zuhd 1568
dan darinya Ath-Thabariy dalam Jaami’ul-Bayaan 4/683-684;
semuanya
dari jalan Ibnu Juraij, ia berkata : Aku mendengar ‘Abu Bakr bin Abi Mulaikah
menceritakan hadits dari ‘Ubaid bin ‘Umair, ia berkata : Telah berkata ‘Umar raliyallaahu
‘anhu : “.......(al-atsar)......” – namun dengan menyebutkan perkataan : “Allaahu
a’lam (Allah lebih mengetahui)”.
Riwayat ini shahih.
Diriwayatkan
juga oleh Abu Daawud dalam Az-Zuhd no. 85 : Telah mengkhabarkan kepada
kami Mahmuud bin Khaalid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami
Al-Faryaabiy, dari Sufyaan, dari Ibnu Juraij, dari ‘Athaa’, dari ‘Ubaid bin
‘Umair, ia berkata: ‘Umar berkata kepada mereka tentang ayat : ayawaddu
ahadakum....dst.
Seandainya diasumsikan shahih, dhahir
riwayat Al-Haakim di atas sebenarnya tidak menunjukkan pengingkaran ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu terhadap penyebutan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam dalam jawaban mereka. Yang diinginkan ‘Umar radliyallaahu
‘anhu hanyalah jawaban mereka jika mereka mengetahuinya atau perkataan ‘kami
tidak mengetahui’ jika mereka tidak mengetahui jawabannya. Selain itu, ‘Umar radliyallaahu
‘anhu sendiri pernah mengucapkan ‘Allaahu wa Rasuuluhu a’lam’ saat
tidak berada di hadapan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ، حَدَّثَنِي اللَّيْثُ، عَنْ عُقَيْلٍ، عَنِ ابْنِ شِهَابٍ،
عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ، عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، عَنْ عُمَرَ
بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ، أَنَّهُ قَالَ: " لَمَّا مَاتَ
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ أُبَيٍّ ابْنُ سَلُولَ دُعِيَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيُصَلِّيَ عَلَيْهِ، فَلَمَّا قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَثَبْتُ إِلَيْهِ، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَتُصَلِّي
عَلَى ابْنِ أُبَيٍّ وَقَدْ؟، قَالَ: يَوْمَ كَذَا وَكَذَا كَذَا وَكَذَا
أُعَدِّدُ عَلَيْهِ قَوْلَهُ، فَتَبَسَّمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
وَقَالَ: أَخِّرْ عَنِّي يَا عُمَرُ، فَلَمَّا أَكْثَرْتُ عَلَيْهِ قَالَ: إِنِّي
خُيِّرْتُ فَاخْتَرْتُ لَوْ أَعْلَمُ أَنِّي إِنْ زِدْتُ عَلَى السَّبْعِينَ
فَغُفِرَ لَهُ لَزِدْتُ عَلَيْهَا، قَالَ: فَصَلَّى عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ انْصَرَفَ، فَلَمْ يَمْكُثْ إِلَّا يَسِيرًا
حَتَّى نَزَلَتِ الْآيَتَانِ مِنْ بَرَاءَةٌ وَلا تُصَلِّ عَلَى أَحَدٍ مِنْهُمْ
مَاتَ إِلَى قَوْلِهِ وَهُمْ فَاسِقُونَ، قَالَ: فَعَجِبْتُ بَعْدُ مِنْ جُرْأَتِي
عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَئِذٍ، وَاللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ "
Telah
menceritakan kepada kami Yahyaa bin Bukair : Telah menceritakan kepadaku Al-Laits,
dari 'Uqail, dari Ibnu Syihaab, dari 'Ubaidullah bin 'Abdullah, dari Ibnu 'Abbaas,
dari 'Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu 'anhu, bahwasanya ia berkata:
"Ketika 'Abdullah bin Ubay bin Saluul meninggal dunia, Rasulullah shallallaahu'
alaihi wa sallam diminta untuk menyolatkannya. Ketika beliau sudah berdiri
hendak shalat, aku menghampiri beliau dan aku berkata: "Wahai Rasulullah,
apakah engkau akan menyolatkan anak Ubay padahal dia suatu hari pernah
mengatakan begini begini, begini dan begini” - aku mengulang-ulang ucapan Ibnu
Ubay yang dahulu pernah dikatakan kepada beliau. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
tersenyum seraya bersabda:
"Cukupkanlah ucapanmu dariku wahai 'Umar”. Ketika aku terus berbicara kepada beliau,
maka beliau bersabda: "Sungguh aku telah diberikan pilihan dan aku
memilih seandainya aku mengetahui bila aku menambah lebih dari tujuh puluh kali
permohonan ampun baginya dia akan diampuni, pasti aku akan tambah (permohonan
ampun baginya)". 'Umar berkata: Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi
wa sallam menyolatkannya hingga selesai. Tak lama kemudian, turunlah dua ayat QS. Al-Bara’ah (At-Taubah): "Dan janganlah kamu
sekali-kali menyolatkan
(jenazah) seorang yang mati di antara mereka, dan janganlah kamu berdiri
(mendoakan) di kuburnya. Sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan fasiq’
(QS. At-Taubah: 84). Setelah kejadian itu, aku terheran-heran akan keberanianku
melarang Rasulullah pada saat itu. Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1366].
Ulama lain membolehkannya.
Mereka berdalil dengan keumuman dalil jawaban para shahabat ketika ditanya Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam permasalahan yang tidak mereka
ketahui[2].
Adz-Dzahabiy rahimahullah berkata:
وإن
من العلم أن تقول لما لا تعلم: الله ورسوله أعلم
“Dan
sesungguhnya termasuk bagian dari ilmu adalah engkau mengatakan terhadap
sesuatu yang tidak engkau ketahui: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”
[Al-‘Ulluw, hal. 120; Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 1/1388 H].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
والله
أعلم بالمراد بقوله — ورسوله المبعوث بالفرقان
“Dan
Allah lebih mengetahui maksud firman-Nya – dan Rasul-Nya diutus dengan
Al-Furqaan” [An-Nuuniyyah, melalui Mu’jamul-Manaahiyyil-Lafdhiyyah
oleh Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid, hal. 128; Daarul-‘Aashimah, Cet. 3/1417 H].
Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab
rahimahullah berkata saat memberikan faedah-faedah yang terkandung dalam
hadits Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu:
التاسعة
عشرة: قول المسئول عما لا يعلم: الله ورسوله أعلم
“Faedah
kesembilan belas: Perkataan orang yang ditanya tentang permasalahan yang tidak
ia ketahui adalah : Allaahu wa Rasuuluhu a’lam (Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui)” [Fathul-Majiid, hal. 29; Al-Maktabah At-Taufiqiyyah,
tanpa tahun].
Asy-Syaikh ‘Abdurrahmaan bin
Hasan Aalusy-Syaikh rahimahumullah mengomentari hadits Mu’aadz:
قوله:
"قلت: الله ورسوله أعلم" فيه حسن الأدب من المتعلم، وأنه ينبغي لمن سئل
عما لا يعلم أن يقول ذلك، بخلاف أكثر المتكلفين
“Perkataan
Mu’aadz: ‘Aku berkata: Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’, padanya
terdapat pelajaran tentang baiknya adab dari seorang pelajar. Dan hendaknya bagi seseorang yang ditanya tentang
sesuatu yang tidak ia ketahui untuk menjawab dengan jawaban itu. Berbeda halnya
dengan kebanyakan orang yang memaksakan diri (untuk menjawab)” [idem,
hal. 26].
Adapun Asy-Syaikh Muhammad bin
Shaalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjamak dua pendapat di atas dengan perincian:
قوله
: ( الله ورسوله أعلم ) جائزٌ ، وذلك لأن علم الرسول من علم الله ؛ فالله – تعالى
– هو الذي يعلمه ما لا يدركه البشر ، ولهذا تأتي بالواو.
وكذلك
في المسائل الشرعية ، يقال : الله ورسوله أعلم ، لأن – صلى الله عليه وسلم – أعلم
الخلق بشريعة الله ، وعلمه بها من علم الله الذي علمه ، كما قال تعالى : "
وأنزل عليك الكتاب والحكمة وعلمك ما لم تكن تعلم " [ النساء 113 ] ، وليس هذا
كقوله : ما شاء الله وشئت ، لأن هذا في باب القدرة والمشيئة ، ولا يمكن أن يجعل
الرسول – صلى الله عليه وسلم – مشاركاً لله فيها.
ففي
الأمور الشرعية يقال : الله ورسوله أعلم ، وفي الأمور الكونية : لا يقال ذلك.
ومن
هنا نعرف خطأ وجهل من يكتب الآن على بعض الأعمال {وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى
اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ} لأن رسول الله، صلى الله عليه وسلم، لا يرى العمل
بعد موته.
“Perkataan shahabat : ‘Allah
dan Rasul-Nya lebih mengetahui’ diperbolehkan. Hal itu karena ilmu
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berasal dari ilmu Allah. Dan
Allah ta’ala adalah Yang mengajarkan kepada beliau apa-apa yang tidak
dapat dicapai oleh manusia. Oleh karenanya, perkataan itu disambung dengan
huruf wawu.
Begitu juga dalam permasalahan
syari’at, boleh dikatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’,
karena beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makhluk yang paling mengetahui
tentang syari’at Allah, dan ilmu beliau tentang hal itu berasal dari ilmu Allah
yang diajarkan kepada beliau sebagaimana firman-Nya ta’ala: ‘Dan
(juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah
mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui’ (QS. An-Nisaa’: 118). Hal
ini tidaklah seperti perkataan: ‘Maa syaa-Allah wa syi’ta (atas kehendak
Allah dan kehendakmu)’, karena perkataan ini masuk dalam bab kemampuan dan
kehendak (sehingga dilarang). Tidak mungkin menjadikan Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam sebagai tandingan bagi Allah padanya.
Dalam perkara-perkara syari’at,
boleh dikatakan: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’, namun dalam
perkara-perkara kauniyyah, tidak boleh dikatakan hal itu.
Oleh karena itu dari sini kita
dapat mengetahui kekeliruan dan kebodohan orang yang menuliskan sebagian
amal-amal mereka dewasa ini ayat : ‘Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu,
maka Allah dan Rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu itu’ (QS. At-Taubah :
105), karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak dapat
melihat amal mereka setelah wafat beliau” [Al-Manaahiyyul-Lafdhiyyah,
pertanyaan no. 17 – dapat diunduh di sini].
Asy-Syaikh Bakr Abu Zaid rahimahullah
mengatakan bahwa para ulama yang membolehkan ucapan ‘Allaahu dan
Rasul-Nya lebih mengetahui’ sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dibawa maknanya pada perkara-perkara syari’at selain dari perkara
ghaib dan keduniaan – kecuali yang Allah nampakkan pengetahuannya kepada beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdasarkan dalil [Mu’jamul-Manaahiyyil-Lafdhiyyah,
hal. 128].
Perincian inilah yang raajih.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perumahan ciomas
permai, ciapus, ciomas, bogor – 19021435/22122013 – 15:30].
Dari
Mu’aadz bin Jabal radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
كُنْتُ
رِدْفَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى حِمَارٍ، يُقَالُ لَهُ:
عُفَيْرٌ، فَقَالَ: " يَا مُعَاذُ هَلْ تَدْرِي حَقَّ اللَّهِ عَلَى
عِبَادِهِ وَمَا حَقُّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ؟، قُلْتُ: اللَّهُ وَرَسُولُهُ
أَعْلَمُ، قَالَ: فَإِنَّ حَقَّ اللَّهِ عَلَى الْعِبَادِ أَنْ يَعْبُدُوهُ، وَلَا
يُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا، وَحَقَّ الْعِبَادِ عَلَى اللَّهِ أَنْ لَا يُعَذِّبَ
مَنْ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا، فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَفَلَا
أُبَشِّرُ بِهِ النَّاسَ، قَالَ: لَا تُبَشِّرْهُمْ فَيَتَّكِلُوا
Aku
pernah diboncengkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salam di atas
keledainya yang bernama ‘Ufair. Beliau bersabda : “Wahai Mu’aadz, apakah
engkau mengetahui hak Allah terhadap hamba-Nya dan hak hamba terhadap Allah?”.
Aku berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda: “Sesungguhnya
hak Allah terhadap hamba-hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan
tidak menyekutukan-Nya sedikitpun. Dan hak hamba-hamba terhadap Allah adalah
bahwa Allah tidak mengadzab orang yang tidak menyekutukan-Nya sedikitpun”.
Aku berkata : “Wahai Rasulullah, tidakkah aku sampaikan kabar gembira ini
kepada manusia?”. Beliau menjawab : “Jangan engkau sampaikan kabar gembira
ini kepada mereka sehingga mereka nanti akan bersikap menyandarkan diri”
[Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2856 dan Muslim no. 30].
Dari
Zaid bin Khaalid Al-Juhhaniy, ia berkata:
صَلَّى
لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَاةَ الصُّبْحِ
بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنَ اللَّيْلَةِ، فَلَمَّا
انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ: " هَلْ تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ
رَبُّكُمْ؟ قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، قَالَ: أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي
مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ، فَأَمَّا مَنْ قَالَ مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ
وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ، وَأَمَّا مَنْ قَالَ
بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ "
“Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat mengimami shalat Shubuh di
Hudaibiah di atas bekas-bekas hujan yang turun pada malam harinya. Ketika selesai
shalat, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam (berbalik) menghadapkan ke
orang-orang (makmum) dan bersabda : “Apakah kalian mengetahui apa yang telah
difirmankan oleh Rabb kalian?”. Mereka menjawab: “Allah dan Rasul-Nya
lebih mengetahui”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “(Allah
berfirman:) ‘Pada pagi hari (Shubuh) hari ini ada di antara hamba-hamba-Ku yang
beriman kepada-Ku dan ada pula yang kafir. Barangsiapa yang berkata: ‘Hujan
turun kepada kami karena karunia Allah dan rahmat-Nya’, makadia adalah orang
yang beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Dan barangsiapa yang
berkata: ‘(Hujan turun disebabkan oleh) bintang ini atau itu’, maka dia telah
kafir kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhaariy no. 846 & 1038 & 4147, Muslim no. 71, Abu Daawud no. 3906,
dan yang lainnya].
Dari
Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata:
قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى: " أَتَدْرُونَ أَيُّ
يَوْمٍ هَذَا؟، قَالُوا: اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ، فَقَالَ: فَإِنَّ هَذَا
يَوْمٌ حَرَامٌ........
Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
di Minaa: ‘Apakah kalian mengetahui hari apakah ini?’. Para shahabat
berkata : ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya ini adalah hari haram
(suci)…..” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1742 & 6043].
Dan lain-lain.
Dari Mas Andi Mau Bertanya:
BalasHapusAssalamu`alaikum,ustadz afwan apa sih artinya perkara-perkara kauniyah,saya melihatnya di dalam artikel yang ustadz tulis ini?