Ibnu
Baththah Al-‘Ukbariy rahimahullah adalah ulama Ahlus-Sunnah kenamaan di
masanya. Nama aslinya adalah Abu ‘Abdillah ‘Ubaidullah bin Muhammad bin
Muhammad bin Hamdaan bin ‘Umar bin ‘Iisaa bin Ibraahiim bin Sa’d bin ‘Itbah bin
Farqad Al-‘Ukbariy Al-Hanbaliy. Ia lahir pada tahun 304 H dan wafat tahun 387
H. Adz-Dzahabiy berkata : “Ia seorang imam dalam sunnah dan fiqh[1]”
[Miizaanul-I’tidaal, 3/15 no. 5394].
وَذَلِكَ أَنَّ أَصْلَ الإِيمَانِ بِاللَّهِ
الَّذِي يَجِبُ عَلَى الْخَلْقِ اعْتِقَادُهُ فِي إِثْبَاتِ الإِيمَانِ بِهِ ثَلاثَةُ
أَشْيَاءَ:
أَحَدُهَا: أَنْ يَعْتَقِدَ الْعَبْدُ آنِيَّتَهُ
لِيَكُونَ بِذَلِكَ مُبَايِنًا لِمَذْهَبِ أَهْلِ التَّعْطِيلِ الَّذِينَ لا يُثْبِتُونَ
صَانِعًا،
وَالثَّانِي: أَنْ يَعْتَقِدَ وَحْدَانِيَّتَهُ،
لِيَكُونَ مُبَايِنًا بِذَلِكَ مَذَاهِبَ أَهْلِ الشِّرْكِ الَّذِينَ أَقَرُّوا بِالصَّانِعِ،
وَأَشْرَكُوا مَعَهُ فِي الْعِبَادَةِ غَيْرَهُ.
وَالثَّالِثُ: أَنْ يَعْتَقِدَهُ مَوْصُوفًا
بِالصِّفَاتِ الَّتِي لا يَحُوزُ إِلا أَنْ يَكُونَ مَوْصُوفًا بِهَا مِنَ الْعِلْمِ،
وَالْقُدْرَةِ، وَالْحِكْمَةِ، وَسَائِرِ مَا وَصَفَ بِهِ نَفْسَهُ فِي كِتَابِهِ،
إِذْ قَدْ عَلِمْنَا أَنَّ كَثِيرًا مِمَّنْ يُقَرِّبُهُ، وَيُوَحِّدُهُ بِالْقَوْلِ
الْمُطْلَقِ قَدْ يُلْحِدُ فِي صِفَاتِهِ، فَيَكُونُ إِلْحَادُهُ فِي صِفَاتِهِ قَادِحًا
فِي تَوْحِيدِهِ ؛
وَلأَنَّا نَجِدُ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ خَاطَبَ
عِبَادَهُ بِدُعَائِهِمْ إِلَى اعْتِقَادِ كُلِّ وَاحِدَةٍ فِي هَذِهِ الثَّلاثِ وَالإِيمَانِ
بِهَا، .......
“Hal
itu disebabkan karena pokok keimanan kepada Allah yang diwajibkan kepada
makhluknya untuk meyakininya dalam menetapkan keimanan kepada-Nya mencakup tiga
hal :
1.
Agar seorang hamba
meyakini keberadaan/wujud Allah ta’ala agar dapat menjadi pemisah dengan
madzhab ahluth-ta’thiil (mu’aththilah) yang tidak menetapkan
adanya Pencipta.
2.
Agar (seorang hamba)
meyakini keesaan-Nya (wahdaniyyah) agar dapat menjadi pemisah dengan
madzhab orang-orang musyrik yang mengakui adanya Pencipta, akan tetapi mereka
menyekutukan-Nya dalam peribadahan dengan selain-Nya.
3.
Agar (seorang hamba)
meyakini-Nya mempunyai sifat-sifat yang memang harus dimiliki oleh-Nya berupa
ilmu, kekuasaan (qudrah), hikmah, dan seluruh yang telah Allah sifatkan
bagi diri-Nya dalam Kitab-Nya (Al-Qur’an). Karena kita mengetahui bahwa kebanyakan
orang yang mendekatkan diri dan mengesakan-Nya dengan perkataan yang mutlak, namun
ternyata menyimpang dalam masalah sifat-sifat-Nya dimana penyimpangannya dalam
masalah sifat-sifat Allah tersebut merusak ketauhidannya.
Selain
itu kita juga mendapatkan bahwa Allah ta’ala telah berbicara kepada
hamba-Nya dengan menyeru mereka untuk meyakini ketiga hal di atas dan sekaligus
mengimaninya…..” [Al-Ibaanah ‘an Syarii’atil-Firqatin-Naajiyyah (Ar-Radd
‘alal-Jahmiyyah), 2/172-173, tahqiq : Dr. Yuusuf Al-Waabil; Daarur-Raayah,
Cet. 1/1415 H].
Abul-Jauzaa’ berkata :
Meskipun Ibnu Baththah tidak mengatakannya
secara eksplisit, namun sangat dapat dipahami bahwa keyakinan yang dituntut pada
hal yang pertama adalah tauhid Rububiyyah, kedua adalah tauhid Uluhiyyah, dan
ketiga adalah tauhid Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Inilah pembagian tauhid
menurut Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Hal yang sama dikatakan oleh imam-imam yang
lain, diantaranya :
Ath-Thahawiy rahimahullah (w.
321 H) berkata :
نقول في توحيد الله معتقدين بتوفيق الله
:
1 - إن الله واحد لا شريك له ،
2 - و لا شيء مثله ،
3 - و لا شيء يعجزه ،
4 - و لا إله غيره
“Kami mengatakan tentang
ketauhidan kepada Allah dengan meyakini – dengan taufiq dari Allah - :
1. Sesungguhnya Allah
adalah satu tidak ada sekutu bagi-Nya[2],
2. Tidak ada sesuatu
pun yang serupa dengan-Nya[3],
3. Tidak ada sesuatu
pun yang dapat melemahkan-Nya[4],
4. Dan tidak ada tuhan
yang berhak disembah kecuali Dia[5]…” [Al-‘Aqiidah
Ath-Thahawiyyah, hal. 8; Daar Ibni Hazm, Cet. 1/1416 H].
Abu Bakr Al-Thurthuusiy rahimahullah[6] (w. 520 H) berkata :
وأشهد له بالربوبيَّة والوحدانية، وبما
شهد به لنفسه من الأسماء الحسنى والصفات العلى والنعوت الأوفى
“Dan aku bersaksi kepada Allah
dengan Rubuubiyyah, Wahdniyyah, dan dengan segala sesuatu yang
Allah persaksikan bagi diri-Nya dari nama-nama yang paling baik serta
sifat-sifat yang tinggi lagi sempurna” [Siraajul-Muluuk, hal. 7, tahqiq
: Muhammad Fathiy Abu Bakr; Ad-Daarul-Mishriyyah, Cet. 1/1414 H].
Mereka semua hidup jauh sebelum
Ibnu Taimiyyah, apalagi Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab rahimahumallah.
Adakah kita pernah berpikir bahwa pembagian tauhid ini bukan ciptaan ulama
Wahabiy ?.
Wallaahul-musta’aan.
[abul-jauzaa’ –
perumahan ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor – 18011435/21112013 – 23:20].
[1] Para ulama mengkritik hapalan Ibnu Baththah
rahimahullah dalam periwayatan hadits. Meskipun begitu, riwayatnya tidaklah
jatuh hingga ke taraf dla’iif. Kedudukannya seperti ‘Aashim bin Bahdalah
dan Hafsh bin Sulaimaan yang dikritik para ulama dari sisi hapalannya, meski
keduanya imam di bidang qiraa’at. Kritikan ulama kepada mereka tidaklah
menjatuhkan keimaman mereka di bidang qiraa’at. Begitu juga dengan Ibnu
Baththah. Meski ia kurang dalam akurasi hapalannya, namun keimaman sunnah dan
fiqh tidaklah jatuh karenanya [baca komentar menarik dari Asy-Syaikh ‘Aliy
Al-Halabiy dalam catatan kakinya terhadap kitab Asy-Syarh wal-Ibaanah ‘alaa
Ushuulis-Sunnah wad-Diyaanah oleh Ibnu Baththah Al-‘Ukbariy, hal. 16-17].
Ibnu
Baththah telah mengambil riwayat dari beberapa ulama antara lain Abul-Qaasim
Al-Baghawiy, Ibnu Shaa’id, Abu Dzarr bin Al-Baaghandiy, Abu Bakr bin Ziyaad An-Naisaabuuriy,
Ismaa’iil Al-Warraaq, Al-Qaadliy Al-Mahaamiliy, Muhammad bin makhlad, Abu
Thaalib bin Nashr Al-Haafidh, dan Muhammad bin Ahmad bin Tsaabit Al-‘Ukbariy,
dan yang lainnya. Adapun ulama yang telah mengambil riwayat darinya antara lain
Abul-Fath bin Al-Fawaarid, Abu Nu’aim Al-Ashbahaaniy, ‘Ubaidullah Al-Azhariy, ‘Abdul-‘Aziiz
Al-Azajiy, Ahmad bin Muhammad Al-‘Atiiqiy, Abu Ishaaq Al-Barmakiy, Abu Muhammad
Al-Jauhariy, Abul-Fadhl Muhammad bin Ahmad bin ‘Iisaa As-Sa’diy, dan yang
lainnya.
Ustadz, ibn battah di situ menggunakan kata shani' untuk Allah. Apakah ini tepat?
BalasHapusIrfan
Selain mereka siapa lagi yg pernah membahas ttg pembagian tauhid lg ustadz,adakah artikel ulasan nya?trims
BalasHapusDalam sebuah hadits disebutkan :
BalasHapusفَإِنَّ اللَّهَ صَانِعٌ مَا شَاءَ لَا مُكْرِهَ لَهُ
"Karena sesungguhnnya Allah berbuat (shaani') apa yang Dia kehendaki tanpa ada yang memaksa-Nya" [HR. Muslim].
Adakah Ibnu Battah termasuk dlm golongan salaffussoleh?
BalasHapus