Beberapa
kalangan takfiriyyuun membawakan perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah
dalam kitabnya, ‘Umdatut-Tafsiir[1]
(4/156), untuk mengkafirkan para pemimpin/penguasa yang berhukum dengan
selain yang diturunkan Allah ta’ala tanpa perincian. Hakekatnya mereka
keliru dalam memahami perkataan beliau tersebut. Berikut akan saya bawakan
perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah tersebut sebagai berikut
:
وهذه الآثار- عن ابن عباس وغيره- مما يلعب
به المضللون في عصرنا هذا، من المنتسبين للعلم ، وغيرهم من الجرآء على الدين : يجعلونها
عذراً أو إباحة للقوانين الوثنية الموضوعة ، التي ضُرِبت على بلاد الإسلام.
وهناك أثر عن أبي مجلز، في جدال الإباضية
الخوارج إياه، فيما كان يصنع بعض الأمراء من الجور، فيحكمون في بعض قضائهم بما يخالف
الشريعة ، عمداً إلى الهوى ، أو جهلاً بالحكم.
والخوارج من مذهبهم أن مرتكب الكبيرة كافر،
فهم يجادلون يريدون من أبي مجلز أن يوافقهم على ما يرون من كفر هؤلاء الأمراء، ليكون
ذلك عذراً لهم فيما يرون من الخروج عليهم بالسيف.
وهذان الأثران رواهما الطبري: (12025،12026)،
وكتب عليهما أخي السيد محمود محمد شاكر تعليقاً نفيساً جداً ، قوياً صريحاً؛ فرأيت
أن أثبت هنا نص أولى روايتي الطبري، ثم تعليق أخي على الروايتين.
“Atsar-atsar
dari Ibnu Abbas dan lainnya ini termasuk yang dipermainkan oleh orang-orang
yang membuat kesesatan pada masa kita ini, dari kalangan ulama dan orang-orang
yang berani memperalat agama. Mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai alasan
atau pembolehan bagi hukum-hukum positif yang diberlakukan di negeri-negeri
Islam.
Terdapat
atsar Ibnu Mijlaz tentang perdebatan beliau dengan kaum Khawaarij Ibadliyah
tentang perbuatan para penguasa dzalim yang menghukumi dalam sebagain keputusan
mereka dengan sesuatu yang menyelisihi syari’at, dikarenakan hawa nafsu atau kejahilan
atas hukum kasus tersebut.
Kaum
Khawarij berpendapat orang yang melakukan dosa besar telah kafir. Mereka
mendebat Abu Mijlaz dengan tujuan agar ia menyepakati pendapat mereka yang
mengkafirkan para penguasa tersebut, sehingga hal tersebut dapat menjadi alasan
bagi mereka untuk memerangi para penguasa tersebut. Kedua atsar ini
diriwayatkan oleh Ath-Thabariy (no. 12025 & 12026). Saudara saya, Mahmud
Muhammad Syakir telah mengomentarinya dengan sebuah komentar yang sangat bagus,
kuat, lagi jelas. Aku pikir baik kiranya untuk menetapkan/membawakan di sini riwayat
pertama dari dua riwayat Ath-Thabariy, lalu komentar saudaraku terhadap dua
riwayat tersebut..”.
Lalu
Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah membawakan riwayat Abu Mijlaz
tersebut dan setelah itu berkata :
فكتب أخي السيد محمود؛ بمناسبة هذين الأثرين
ما نصه :
اللهم أني أبرأ إليك من الضلالة
وبعد ؛ فإن أهل الريب والفتن ممن تصدّروا
للكلام في زماننا هذا، قد تَلَمَّس المعذرة لأهل السلطان في ترك الحكم بما أنزل الله،وفي
القضاء في الدماء والأعراض والأموال بغير شريعة الله التي أنزلها في كتابه، وفي اتخاذهم
قانون أهل الكفر شريعة في بلاد الإسلام؛ فلما وقف على هذين الخبرين، اتخذهما رأياً
يرى به صواب القضاء في الأموال والأعراض والدماء بغير ما أنزل الله، وأن مخالفة شريعة
الله في القضاء العام لا تكفر الراضي بها
“Lalu
saudaraku As-Sayyid Mahmuud telah menuliskan komentar berkaitan dengan dua
atsar tersebut. Dan berikut teksnya :
‘Ya
Allah, aku berlepas diri kepadamu dari kesesatan.
Wa
ba’d
: Sesungguhnya orang-orang yang ragu dan pembawa fitnah dari kalangan orang-orang
yang mengeluarkan perkataan di jaman kita ini, telah memberikan alasan/pemakluman
bagi sulthaan untuk meninggalkan hukum yang diturunkan Allah, dalam masalah
memutuskan (perkara) darah, kehormatan, dan harta; bukan dengan syari’at yang
diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Dan juga memberikan alasan/pemakluman bagi
mereka dalam menjadikan undang-undang orang-orang kafir sebagai syari’at yang
berlaku di negeri Islam. Ketika ia menemukan kesesuaian dengan dua atsar
ini, ia menjadikan keduanya sebagai dasar pendapat akan benarnya
keputusannya yang tidak berdasarkan syari’at Allah dalam masalah harta,
kehormatan, dan darah. Dan bahwasannya penyelisihan terhadap syari’at Allah
dalam keputusan hukum yang umum, tidaklah menyebabkan kekafiran orang yang
meridlainya dan orang yang melakukannya...” [selesai].
Kira-kira
itulah potongan perkataan yang sering dikutip kaum takfiriy, terutama takfiriy
dalam negeri.
Silakan
rekan-rekan membaca dengan pelan dan cermat perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir
dan Mahmuud Syaakir rahimahumallah di atas, terutama kalimat yang saya
garis bawahi. Perkataan beliau berdua di atas sangatlah jelas dan tidak sesuai
dengan keinginan para takfiriy itu yang ingin menghukumi orang yang
tidak berhukum dengan hukum Allah tanpa adanya perincian. Berikut analisanya :
1.
Perhatikan
perkataan maksud Asy-Syaikh Ahmad Syaakir di awal mengenai alasan membawakan
perkataan saudaranya dalam masalah ini, yaitu : adanya sekelompok orang yang
menjadikan atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa[2]
dan yang semisalnya sebagai alasan atau pembolehan bagi hukum-hukum positif
yang diberlakukan di negeri-negeri Islam. Jelas kita sepakat dengan perkataan
beliau ini, karena atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa memang
tidak dijadikan para ulama sebagai alasan diberlakukannya hukum positif atau pembolehannya. Diterapkannya hukum
positif tetap dilarang, haram, dan termasuk dosa besar. Hanya saja, dalam
masalah pengkafirannya, itu perlu perincian. Inilah yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah,
dulu hingga sekarang.
2.
Begitu juga dengan
maksud pembicaraan Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir rahimahullah, yaitu
ditujukan pada golongan yang ia sebut di awal pembicaraannya :
a.
Orang yang telah
memberikan alasan/pemakluman bagi sulthan untuk meninggalkan syari’at Allah.
b.
Orang yang telah
memberikan alasan/pemakluman bagi orang-orang yang menjadikan undang-undang
orang-orang kafir sebagai syari’at yang berlaku di negeri Islam.
Ini sama dengan konteks
perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah. Baik kondisi pertama
maupun kedua adalah diharamkan. Atsar Ibnu Mijlaz bukan dalil bagi sulthan boleh
meninggalkan syari’at Allah dan/atau menjadikan undang-undang kafir sebagai gantinya.
3.
Di akhir perkataan
Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir rahimahullah menyimpulkan (tidak tertulis
dalam kutipan diatas) :
فمن احتج بهذين الأثرين وغيرهما في غير بابهما، وصرفهما إلى
غير معناهما، رغبة في نصرة سلطان، أو احتيالاً على تسويغ الحكم بغير ما أنزل الله،
وفرض على عباده؛ فحكمه في الشريعة حكم الجاحد لحكم من أحكام الله: أن يستتاب، فإن
أصر وكابر وجحد حكم الله، ورضي بتبديل الأحكام؛ فحكم
الكافر المصر على كفره معروف لأهل هذا الدين
“Maka barangsiapa
yang berhujjah dengan dua atsar ini dan yang lainnya bukan pada tempatnya, dan
memalingkan pada yang bukan maknanya dalam rangka mendukung sulthaan/penguasa,
atau bersiasat untuk membolehkan berhukum dengan selain hukum Allah dan
mewajibkan hal tersebut pada hamba-hamba-Nya, maka hukumnya menurut syari’at
Islam adalah seperti hukum orang yang mengingkari hukum Allah : diminta
kepadanya untuk bertaubat. Apabila ia terus melakukannya, sombong, mengingkari
hukum Allah, dan ridlaa dengan pengantian hukum (selain hukum Allah); maka
hukum orang kafir yang senantiasa berada dalam kekafirannya telah diketahui
oleh orang yang memahami agama ini” [selesai – ‘Umdatut-Tafsiir, 4/158].
Nampak bahwa orang
yang disinggung syaikh sebagai orang yang salah berdalil dengan atsar Abu
Mijlaz dan dihukumi kafir itu adalah orang yang membolehkan (istihlaal),
mengingkari, dan ridlaa dengan selain hukum Allah. Ini jelas telah disepakati
oleh ulama akan kekafirannya.
4.
Perkataan
Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir tersebut, selain dibawakan oleh Asy-Syaikh
Ahmad Syaakir rahimahumallah dalam kitab ‘Umdatut-Tafsiir, juga
ada dalam kitab Tafsir Ath-Thabariy. Beliau (Mahmuud Syaakir) berkata kalimat
yang tertulis pada no. 3 :
.......فحكم الكافر المصر على كفره معروف لأهل هذا الدين. واقرأ كلمة أبي جعفر بعد ص: 358 ، من أول قوله: "فإن
قال قائل". ففيه قول فصل.
“......maka hukum
orang kafir yang senantiasa berada dalam kekafirannya telah diketahui oleh
orang yang memahami agama ini. Dan bacalah perkataan Abu Ja’far (Ath-Thabariy)
setelah halaman 358 dari awal perkataannya : ‘Dan apabila ada orang yang
berkata’; maka padanya (yaitu perkataan Abu Ja’far) terdapat perkataan final” [Tafsiir
Ath-Thabariy, 10/348].
Perikataan final apa yang
dimaksudkan oleh beliau ?. Berikut perkataan Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahumallah
yang dimaksud :
فإن قال قائل: فإن الله تعالـى ذكره قد عمّ بـالـخبر بذلك
عن جميع من لـم يحكم بـما أنزل الله, فكيف جعلته خاصّا؟ قـيـل: إن الله تعالـى عمّ
بـالـخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به فـي كتابه جاحدين فأخبر عنهم
أنهم بتركهم الـحكم علـى سبـيـل ما تركوه كافرون. وكذلك القول فـي كلّ من لـم يحكم
بـما أنزل الله جاحدا به, هو بـالله كافر, كما قال ابن عبـاس.....
”Apabila ada yang berkata : ”Sesungguhnya Allah ta’ala menyebutkan ayat ini bersifat umum bagi
setaip orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana engkau bisa
menjadikan ayat ini khusus (berlaku pada orang Yahudi) ?”. Maka kita katakan :
”Sesungguhnya Allah menjadikan keumuman tentang suatu kaum yang mereka itu
mengingkari hukum Allah yang ada dalam Kitab-Nya, maka Allah mengkhabarkan
tentang mereka bahwa dengan sebab mereka meninggalkan hukum Allah mereka
menjadi kafir. Demikian juga bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah
dalam keadaan mengingkarinya, maka dia kafir sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Abbas....”
[Tafsir Ath-Thabari, 10/358].
Jadi bukan sekedar
dhahir berhukumnya saja sehingga menyebabkan kekafiran, tapi karena adanya
pengingkaran.
Walhasil,
pendalilan mereka untuk mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hukum
Allah secara mutlak tanpa perincian, dengan membonceng perkataan Asy-Syaikh
Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir rahimahumallah tidak tepat.
Wallaahu
a’lam.
Ini
saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Untuk
memperjelas, silakan baca juga artikel yang berkaitan :
[abul-jauzaa – 15012013 – 01:00 – perum ciomas permai,
ciapus, ciomas, bogor].
[1] Pembaca bisa baca via Google Books di :
[2] Mengenai bahasan atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhumaa ini, silakan baca artikel : Shahih Atsar Ibnu ‘Abbas : Kufrun Duuna Kufrin – Menjawab
Sebagian Syubhat Takfiiriyyuun.
tadz, sepertinya antum ada sedikit salah terjemah: "fafihi qaul fashl" itu setahu saya bukan: "padanya terdapat perincian," tetapi: "padanya terdapat perkataan/pendapat yang final." wallahu a`lam.
BalasHapusAntum benar tadz. Sudah saya perbaiki sesuai dengan koreksian antum. Jazaakallaahu khairan.
BalasHapusUstadz saya mau bertaanya apa hukumnya ijazah sanad keilmuan , sanad Keguruan ,sanad Mahhabah , sanad Akhlaq dan Musyafahan , sanad Al-Quran’nulqarim , sanad Hadits soalnya saya sering lihat orang-orang pada suka minta ijazah kepada syaikh atau habib2nya
BalasHapus-----------
Kata Kata Mutiara
ustad , mohon maaf ana kurang sependapat dengan beberapa istilah yang dicantumkan , bolehkan ? mohon dikoreksi kalau salah .
BalasHapuspertama : ..kaum takfiriy, terutama takfiriy dalam negeri.
Ada kesan bahwa mereka mengkafirkan penguasa atau pemerintahan negri islam.
kedua : ada kesan bahwa di indonesia ini memang daarul islam .
ana , kok lebih mantab kalau indonesia ini sebagai daarul murakkabah seperti dijelaskan ust. Basweidan di http://basweidan.com/sebuah-klarifikasi/
Jadi hadits tentang khawarij kurang tepat kalau di nisbatkan kepada kaum takfiri , meskipun tindakan mereka juga tidak dibenarkan oleh agama kalau sampai merusak , misalnya demo dan bom sana bom sini.
ataukah justru pemahaman ana yang salah , mohon dibetulkan.
anang dwicahyo
Pertama, memang benar (terutama) kepada mereka tulisan ini ditujukan.
BalasHapusKedua, saya tidak membahas Indonesia, Amerika, Argentina, Malaysia, atau yang lainnya. Tapi bahasannya adalah analisa perkataan dua bersaudara : Ahmad dan Mahmuud Syaakir rahimahumallah.
Tentang Khawaarij, saya telah tuliskan di :Khawaarij.
Tentang bahasa Daarul-Islaam dan Daarul-Kafir, telah ada tulisannya di : Daarul-Islaam.
sukron ustad , antum benar dan ana yang lalai.
BalasHapusrasanya hampir semua tulisan di bloq ini ana baca , tapi ada saja yang terlupakan atau terlewatkan , maklum karena faktor " U " ....usia hehehe...
anang dwicahyo
Menurut saya,
BalasHapusketika kita sudah melakukan
1. Membuat hukum sendiri dan menetapkannya sebagai hukum tertinggi
2. Menolak syari'at islam bahkan menghukum orang yang menyeru kepadanya
3. Dengan tegas secara ucapan menolak segala paham yang anti pancasila
4. Meminta agar politik dan agama dipisah
hal tsb sudah cukup dikategorikan sebagai pengingkaran/penghalalan.