15 Januari 2013

Perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir tentang Berhukum Selain Hukum Allah

Beberapa kalangan takfiriyyuun membawakan perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah dalam kitabnya, ‘Umdatut-Tafsiir[1] (4/156), untuk mengkafirkan para pemimpin/penguasa yang berhukum dengan selain yang diturunkan Allah ta’ala tanpa perincian. Hakekatnya mereka keliru dalam memahami perkataan beliau tersebut. Berikut akan saya bawakan perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah tersebut sebagai berikut :
وهذه الآثار- عن ابن عباس وغيره- مما يلعب به المضللون في عصرنا هذا، من المنتسبين للعلم ، وغيرهم من الجرآء على الدين : يجعلونها عذراً أو إباحة للقوانين الوثنية الموضوعة ، التي ضُرِبت على بلاد الإسلام.
وهناك أثر عن أبي مجلز، في جدال الإباضية الخوارج إياه، فيما كان يصنع بعض الأمراء من الجور، فيحكمون في بعض قضائهم بما يخالف الشريعة ، عمداً إلى الهوى ، أو جهلاً بالحكم.
والخوارج من مذهبهم أن مرتكب الكبيرة كافر، فهم يجادلون يريدون من أبي مجلز أن يوافقهم على ما يرون من كفر هؤلاء الأمراء، ليكون ذلك عذراً لهم فيما يرون من الخروج عليهم بالسيف.
وهذان الأثران رواهما الطبري: (12025،12026)، وكتب عليهما أخي السيد محمود محمد شاكر تعليقاً نفيساً جداً ، قوياً صريحاً؛ فرأيت أن أثبت هنا نص أولى روايتي الطبري، ثم تعليق أخي على الروايتين.
“Atsar-atsar dari Ibnu Abbas dan lainnya ini termasuk yang dipermainkan oleh orang-orang yang membuat kesesatan pada masa kita ini, dari kalangan ulama dan orang-orang yang berani memperalat agama. Mereka menjadikan atsar-atsar ini sebagai alasan atau pembolehan bagi hukum-hukum positif yang diberlakukan di negeri-negeri Islam.
Terdapat atsar Ibnu Mijlaz tentang perdebatan beliau dengan kaum Khawaarij Ibadliyah tentang perbuatan para penguasa dzalim yang menghukumi dalam sebagain keputusan mereka dengan sesuatu yang menyelisihi syari’at, dikarenakan hawa nafsu atau kejahilan atas hukum kasus tersebut.
Kaum Khawarij berpendapat orang yang melakukan dosa besar telah kafir. Mereka mendebat Abu Mijlaz dengan tujuan agar ia menyepakati pendapat mereka yang mengkafirkan para penguasa tersebut, sehingga hal tersebut dapat menjadi alasan bagi mereka untuk memerangi para penguasa tersebut. Kedua atsar ini diriwayatkan oleh Ath-Thabariy (no. 12025 & 12026). Saudara saya, Mahmud Muhammad Syakir telah mengomentarinya dengan sebuah komentar yang sangat bagus, kuat, lagi jelas. Aku pikir baik kiranya untuk menetapkan/membawakan di sini riwayat pertama dari dua riwayat Ath-Thabariy, lalu komentar saudaraku terhadap dua riwayat tersebut..”.
Lalu Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah membawakan riwayat Abu Mijlaz tersebut dan setelah itu berkata :
فكتب أخي السيد محمود؛ بمناسبة هذين الأثرين ما نصه :
اللهم أني أبرأ إليك من الضلالة
وبعد ؛ فإن أهل الريب والفتن ممن تصدّروا للكلام في زماننا هذا، قد تَلَمَّس المعذرة لأهل السلطان في ترك الحكم بما أنزل الله،وفي القضاء في الدماء والأعراض والأموال بغير شريعة الله التي أنزلها في كتابه، وفي اتخاذهم قانون أهل الكفر شريعة في بلاد الإسلام؛ فلما وقف على هذين الخبرين، اتخذهما رأياً يرى به صواب القضاء في الأموال والأعراض والدماء بغير ما أنزل الله، وأن مخالفة شريعة الله في القضاء العام لا تكفر الراضي بها
“Lalu saudaraku As-Sayyid Mahmuud telah menuliskan komentar berkaitan dengan dua atsar tersebut. Dan berikut teksnya :
‘Ya Allah, aku berlepas diri kepadamu dari kesesatan.
Wa ba’d : Sesungguhnya orang-orang yang ragu dan pembawa fitnah dari kalangan orang-orang yang mengeluarkan perkataan di jaman kita ini, telah memberikan alasan/pemakluman bagi sulthaan untuk meninggalkan hukum yang diturunkan Allah, dalam masalah memutuskan (perkara) darah, kehormatan, dan harta; bukan dengan syari’at yang diturunkan Allah dalam kitab-Nya. Dan juga memberikan alasan/pemakluman bagi mereka dalam menjadikan undang-undang orang-orang kafir sebagai syari’at yang berlaku di negeri Islam. Ketika ia menemukan kesesuaian dengan dua atsar ini, ia menjadikan keduanya sebagai dasar pendapat akan benarnya keputusannya yang tidak berdasarkan syari’at Allah dalam masalah harta, kehormatan, dan darah. Dan bahwasannya penyelisihan terhadap syari’at Allah dalam keputusan hukum yang umum, tidaklah menyebabkan kekafiran orang yang meridlainya dan orang yang melakukannya...” [selesai].
Kira-kira itulah potongan perkataan yang sering dikutip kaum takfiriy, terutama takfiriy dalam negeri.
Silakan rekan-rekan membaca dengan pelan dan cermat perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Mahmuud Syaakir rahimahumallah di atas, terutama kalimat yang saya garis bawahi. Perkataan beliau berdua di atas sangatlah jelas dan tidak sesuai dengan keinginan para takfiriy itu yang ingin menghukumi orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah tanpa adanya perincian. Berikut analisanya :
1.     Perhatikan perkataan maksud Asy-Syaikh Ahmad Syaakir di awal mengenai alasan membawakan perkataan saudaranya dalam masalah ini, yaitu : adanya sekelompok orang yang menjadikan atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa[2] dan yang semisalnya sebagai alasan atau pembolehan bagi hukum-hukum positif yang diberlakukan di negeri-negeri Islam. Jelas kita sepakat dengan perkataan beliau ini, karena atsar Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa memang tidak dijadikan para ulama sebagai alasan diberlakukannya hukum positif  atau pembolehannya. Diterapkannya hukum positif tetap dilarang, haram, dan termasuk dosa besar. Hanya saja, dalam masalah pengkafirannya, itu perlu perincian. Inilah yang dijelaskan para ulama Ahlus-Sunnah, dulu hingga sekarang.
2.     Begitu juga dengan maksud pembicaraan Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir rahimahullah, yaitu ditujukan pada golongan yang ia sebut di awal pembicaraannya :
a.      Orang yang telah memberikan alasan/pemakluman bagi sulthan untuk meninggalkan syari’at Allah.
b.      Orang yang telah memberikan alasan/pemakluman bagi orang-orang yang menjadikan undang-undang orang-orang kafir sebagai syari’at yang berlaku di negeri Islam.
Ini sama dengan konteks perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahullah. Baik kondisi pertama maupun kedua adalah diharamkan. Atsar Ibnu Mijlaz bukan dalil bagi sulthan boleh meninggalkan syari’at Allah dan/atau menjadikan undang-undang kafir sebagai gantinya.
3.     Di akhir perkataan Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir rahimahullah menyimpulkan (tidak tertulis dalam kutipan diatas) :
 فمن احتج بهذين الأثرين وغيرهما في غير بابهما، وصرفهما إلى غير معناهما، رغبة في نصرة سلطان، أو احتيالاً على تسويغ الحكم بغير ما أنزل الله، وفرض على عباده؛ فحكمه في الشريعة حكم الجاحد لحكم من أحكام الله: أن يستتاب، فإن أصر وكابر وجحد حكم الله، ورضي بتبديل الأحكام؛ فحكم الكافر المصر على كفره معروف لأهل هذا الدين
“Maka barangsiapa yang berhujjah dengan dua atsar ini dan yang lainnya bukan pada tempatnya, dan memalingkan pada yang bukan maknanya dalam rangka mendukung sulthaan/penguasa, atau bersiasat untuk membolehkan berhukum dengan selain hukum Allah dan mewajibkan hal tersebut pada hamba-hamba-Nya, maka hukumnya menurut syari’at Islam adalah seperti hukum orang yang mengingkari hukum Allah : diminta kepadanya untuk bertaubat. Apabila ia terus melakukannya, sombong, mengingkari hukum Allah, dan ridlaa dengan pengantian hukum (selain hukum Allah); maka hukum orang kafir yang senantiasa berada dalam kekafirannya telah diketahui oleh orang yang memahami agama ini” [selesai – ‘Umdatut-Tafsiir, 4/158].
Nampak bahwa orang yang disinggung syaikh sebagai orang yang salah berdalil dengan atsar Abu Mijlaz dan dihukumi kafir itu adalah orang yang membolehkan (istihlaal), mengingkari, dan ridlaa dengan selain hukum Allah. Ini jelas telah disepakati oleh ulama akan kekafirannya.
4.     Perkataan Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir tersebut, selain dibawakan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir rahimahumallah dalam kitab ‘Umdatut-Tafsiir, juga ada dalam kitab Tafsir Ath-Thabariy. Beliau (Mahmuud Syaakir) berkata kalimat yang tertulis pada no. 3 :
.......فحكم الكافر المصر على كفره معروف لأهل هذا الدين. واقرأ كلمة أبي جعفر بعد ص: 358 ، من أول قوله: "فإن قال قائل". ففيه قول فصل.
“......maka hukum orang kafir yang senantiasa berada dalam kekafirannya telah diketahui oleh orang yang memahami agama ini. Dan bacalah perkataan Abu Ja’far (Ath-Thabariy) setelah halaman 358 dari awal perkataannya : ‘Dan apabila ada orang yang berkata’; maka padanya (yaitu perkataan Abu Ja’far) terdapat perkataan final” [Tafsiir Ath-Thabariy, 10/348].
Perikataan final apa yang dimaksudkan oleh beliau ?. Berikut perkataan Abu Ja’far Ath-Thabariy rahimahumallah yang dimaksud :
فإن قال قائل: فإن الله تعالـى ذكره قد عمّ بـالـخبر بذلك عن جميع من لـم يحكم بـما أنزل الله, فكيف جعلته خاصّا؟ قـيـل: إن الله تعالـى عمّ بـالـخبر بذلك عن قوم كانوا بحكم الله الذي حكم به فـي كتابه جاحدين فأخبر عنهم أنهم بتركهم الـحكم علـى سبـيـل ما تركوه كافرون. وكذلك القول فـي كلّ من لـم يحكم بـما أنزل الله جاحدا به, هو بـالله كافر, كما قال ابن عبـاس.....
”Apabila ada yang berkata : ”Sesungguhnya Allah ta’ala menyebutkan ayat ini bersifat umum bagi setaip orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah, bagaimana engkau bisa menjadikan ayat ini khusus (berlaku pada orang Yahudi) ?”. Maka kita katakan : ”Sesungguhnya Allah menjadikan keumuman tentang suatu kaum yang mereka itu mengingkari hukum Allah yang ada dalam Kitab-Nya, maka Allah mengkhabarkan tentang mereka bahwa dengan sebab mereka meninggalkan hukum Allah mereka menjadi kafir. Demikian juga bagi mereka yang tidak berhukum dengan hukum Allah dalam keadaan mengingkarinya, maka dia kafir sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ’Abbas....” [Tafsir Ath-Thabari, 10/358].
Jadi bukan sekedar dhahir berhukumnya saja sehingga menyebabkan kekafiran, tapi karena adanya pengingkaran.
Walhasil, pendalilan mereka untuk mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan hukum Allah secara mutlak tanpa perincian, dengan membonceng perkataan Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Mahmuud Syaakir rahimahumallah tidak tepat.
Wallaahu a’lam.
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Untuk memperjelas, silakan baca juga artikel yang berkaitan :
[abul-jauzaa – 15012013 – 01:00 – perum ciomas permai, ciapus, ciomas, bogor].

7 komentar:

  1. tadz, sepertinya antum ada sedikit salah terjemah: "fafihi qaul fashl" itu setahu saya bukan: "padanya terdapat perincian," tetapi: "padanya terdapat perkataan/pendapat yang final." wallahu a`lam.

    BalasHapus
  2. Antum benar tadz. Sudah saya perbaiki sesuai dengan koreksian antum. Jazaakallaahu khairan.

    BalasHapus
  3. Ustadz saya mau bertaanya apa hukumnya ijazah sanad keilmuan , sanad Keguruan ,sanad Mahhabah , sanad Akhlaq dan Musyafahan , sanad Al-Quran’nulqarim , sanad Hadits soalnya saya sering lihat orang-orang pada suka minta ijazah kepada syaikh atau habib2nya

    -----------
    Kata Kata Mutiara

    BalasHapus
  4. ustad , mohon maaf ana kurang sependapat dengan beberapa istilah yang dicantumkan , bolehkan ? mohon dikoreksi kalau salah .

    pertama : ..kaum takfiriy, terutama takfiriy dalam negeri.
    Ada kesan bahwa mereka mengkafirkan penguasa atau pemerintahan negri islam.

    kedua : ada kesan bahwa di indonesia ini memang daarul islam .

    ana , kok lebih mantab kalau indonesia ini sebagai daarul murakkabah seperti dijelaskan ust. Basweidan di http://basweidan.com/sebuah-klarifikasi/

    Jadi hadits tentang khawarij kurang tepat kalau di nisbatkan kepada kaum takfiri , meskipun tindakan mereka juga tidak dibenarkan oleh agama kalau sampai merusak , misalnya demo dan bom sana bom sini.

    ataukah justru pemahaman ana yang salah , mohon dibetulkan.


    anang dwicahyo

    BalasHapus
  5. Pertama, memang benar (terutama) kepada mereka tulisan ini ditujukan.

    Kedua, saya tidak membahas Indonesia, Amerika, Argentina, Malaysia, atau yang lainnya. Tapi bahasannya adalah analisa perkataan dua bersaudara : Ahmad dan Mahmuud Syaakir rahimahumallah.

    Tentang Khawaarij, saya telah tuliskan di :Khawaarij.

    Tentang bahasa Daarul-Islaam dan Daarul-Kafir, telah ada tulisannya di : Daarul-Islaam.

    BalasHapus
  6. sukron ustad , antum benar dan ana yang lalai.
    rasanya hampir semua tulisan di bloq ini ana baca , tapi ada saja yang terlupakan atau terlewatkan , maklum karena faktor " U " ....usia hehehe...

    anang dwicahyo

    BalasHapus
  7. Menurut saya,
    ketika kita sudah melakukan
    1. Membuat hukum sendiri dan menetapkannya sebagai hukum tertinggi
    2. Menolak syari'at islam bahkan menghukum orang yang menyeru kepadanya
    3. Dengan tegas secara ucapan menolak segala paham yang anti pancasila
    4. Meminta agar politik dan agama dipisah

    hal tsb sudah cukup dikategorikan sebagai pengingkaran/penghalalan.

    BalasHapus