15 Juli 2011

Imam Ma’shum Tidak Taat pada Orang Tua

Allah ta’ala berfirman :
وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلاهُمَا فَلا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلا كَرِيمًا * وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنَ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil" [QS. Israa’ : 23-24].

Melalui ayat ini Allah ta’ala memerintahkan kepada kita untuk berbakti kepada orang tua, mematuhinya, serta tidak menentangnya. Bahkan hanya dengan perkataan ‘ah’ saja tidak diperbolehkan. Kecuali jika orang tua memerintahkan kemaksiatan kepada Allah ta’ala, maka pada saat ini tidak boleh taat kepadanya. Allah ta’ala berfirman :
وَإِنْ جَاهَدَاكَ عَلى أَنْ تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا
“Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya” [QS. Luqmaan : 15].
حَدَّثَنَا عَبْد اللَّهِ ، حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ الْقَوَارِيرِيُّ ، حَدَّثَنَا ابْنُ مَهْدِيٍّ ، عَنْ سُفْيَانَ ، عَنْ زُبَيْدٍ ، عَنْ سَعْدِ بْنِ عُبَيْدَةَ ، عَنْ أَبِي عَبْدِ الرَّحْمَنِ السُّلَمِيِّ ، عَنْ عَلِيٍّ ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، قَالَ : " لَا طَاعَةَ لِمَخْلُوقٍ فِي مَعْصِيَةِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ "
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Umar Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Mahdiy, dari Sufyaan, dari Zubaid, dari Sa’d bin ‘Ubaidah, dari Abu ‘Abdirrahmaan As-Sulamiy, dari ‘Aliy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah ‘azza wa jalla” [Diriwayatkan oleh Ahmad, 1/131; shahih].
Saya kira, ini satu hal telah diketahui dan disepakati bersama oleh kaum muslimin yang paham akan agamanya.
Lantas, apa hubungannya dengan judul di atas ?.
Perhatikan riwayat berikut :
 وحَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ ، وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ ، وَعَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ ، قَالُوا : حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ عُلَيَّةَ ، عَنْ ابْنِ أَبِي عَرُوبَةَ ، عَنْعَبْدِ اللَّهِ الدَّانَاجِ . ح وحَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْحَنْظَلِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ ، أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ حَمَّادٍ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ الْمُخْتَارِ ، حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ فَيْرُوزَمَوْلَى ابْنِ عَامِرٍ الدَّانَاجِ ، حَدَّثَنَا حُضَيْنُ بْنُ الْمُنْذِرِ أَبُو سَاسَانَ قَالَ : "شَهِدْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ وَأُتِيَ بِالْوَلِيدِ قَدْ صَلَّى الصُّبْحَ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ قَالَ : أَزِيدُكُمْ فَشَهِدَ عَلَيْهِ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا حُمْرَانُ أَنَّهُ شَرِبَ الْخَمْرَ وَشَهِدَ آخَرُ أَنَّهُ رَآهُ يَتَقَيَّأُ ، فَقَالَ عُثْمَانُ : إِنَّهُ لَمْ يَتَقَيَّأْ حَتَّى شَرِبَهَا ، فَقَالَ : يَا عَلِيُّ قُمْ فَاجْلِدْهُ ، فَقَالَعَلِيٌّ : قُمْ يَا حَسَنُ فَاجْلِدْهُ ، فَقَالَ الْحَسَنُ : وَلِّ حَارَّهَا مَنْ تَوَلَّى قَارَّهَا فَكَأَنَّهُ وَجَدَ عَلَيْهِ ، فَقَالَ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ : قُمْ فَاجْلِدْهُ ، فَجَلَدَهُ وَعَلِيٌّ يَعُدُّ حَتَّى بَلَغَ أَرْبَعِينَ ، فَقَالَ : أَمْسِكْ ثُمَّ ، قَالَ : جَلَدَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَرْبَعِينَ ، وَجَلَدَ أَبُو بَكْرٍ أَرْبَعِينَ ، وَعُمَرُ ثَمَانِينَ وَكُلٌّ سُنَّةٌ وَهَذَا أَحَبُّ إِلَيَّ "
Dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abi Syaibah, Zuhair bin Harb, dan ‘Aliy bin Hujr, mereka berkata : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, dari Ibnu Abi ‘Aruubah, dari ‘Abdullah Ad-Danaaj (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Ishaaq bin Ibraahiim Al-Handhaliy – dan lafadh ini miliknya - : Telah mengkhabarkan kepada kami Yahyaa bin Hammaad : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-‘Aziiz bin Al-Mukhtaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Fairuuz maulaa Ibni ‘Aamir Ad-Danaaj : Telah menceritakan kepada kami Hudlain bin Al-Mundzir Abu Saasaan, ia berkata : “Aku menyaksikan ‘Utsmaan bin ‘Affaan, yang waktu itu Al-Waliid dibawa ke hadapannya yang baru saja menyelesaikan shalat Shubuh dua raka’at. (Penyebabnya adalah) Al-Waliid berkata (karena mabuk) : ‘Apakah aku menambah raka’at bagi kalian ?’. Dua orang shahabat memberikan kesaksian padanya. Salah satunya adalah Humraan yang memberikan kesaksian bahwasannya ia (Al-Waliid) telah meminum khamr. Sedangkan yang lain memberikan kesaksian bahwasannya ia melihatnya muntah (karena khamr). ‘Utsmaan berkata : ‘Ia tidak akan muntah jika tidak meminumnya’. Kemudian ia berkata : ‘Wahai ‘Aliy, berdirilah dan deralah orang ini !’. Lalu ‘Aliy berkata : ‘Berdirilah wahai Hasan, dan deralah ia !’. Al-Hasan (bin ‘Aliy) berkata : ‘Suruhlah orang yang menikmati jabatan (maksudnya ‘Utsmaan – Abul-Jauzaa’) yang mengerjakannya !’. Sepertinya Al-Hasan sedang marah kepadanya. Lalu ‘Aliy berkata : ‘Wahai ‘Abdullah bin Ja’far, berdirilah dan deralah ia !’. Lalu ‘Abdulah menderanya, sedangkan ‘Aliy menghitungnya, hingga pada hitungan keempatpuluh, ia berkata : ‘Tahan !’. Lalu ia melanjutkan perkataannya : ‘Nabi shalallaahu ‘alaihi wa sallam telah mendera sebanyak empatpuluh kali, Abu Bakr empatpuluh kali, dan ‘Umar delapanpuluh kali. Semuanya sunnah. Namun ini (yaitu deraan empatpuluh kali) lebih aku sukai” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1707].
Al-Hasan bin ‘Aliy - seorang imam ma’shum menurut kaum Syi’ah – ternyata enggan diperintah ayahnya untuk mendera orang yang dinyatakan bersalah (minum khamr). Bahkan dalam satu jalan riwayat yang shahih disebutkan ‘Aliy bin Abi Thaalib marah dan sempat menghardik Al-Hasan radliyallaahu ‘anhumaa karena keengganannya :
بَلْ عَجَزْتَ وَوَهَنْتَ وَضَعُفْتَ ، قُمْ يَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ جَعْفَرٍ ، فَجَلَدَهُ
“Bahkan kamu ini lemah, loyo, lagi tidak cekatan. Berdirilah wahai ‘Abdullah bin Ja’far". Lalu ia menderanya.
Ada beberapa kemungkinan mengenai hal ini yang dapat diajukan, di antaranya :
1.      Perintah ‘Utsmaan kepada ‘Aliy itu dipandang Al-Hasan sebagai perintah yang melanggar syari’at Allah ta’ala sehingga ia enggan menurutinya.
Kemungkinan ini tidak bisa diterima, sebab hadd bagi orang yang terbukti bersalah minum khamr telah tetap dalam syari’at Islam. Selain hadits di atas yang juga diakui oleh ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu, juga berdasarkan hadits berikut :
حدثنا قتيبة: حدثنا أبو ضمرة أنس، عن يزيد بن الهاد، عن محمد بن إبراهيم، عن أبي سلمة، عن أبي هريرة رضي الله عنه: أتي النبي صلى الله عليه وسلم برجل قد شرب، قال: (اضربوه). قال أبو هريرة: فمنا الضارب بيده، والضارب بنعله، والضارب بثوبه، ....
Telah menceritakan kepada kami Qutaibah : Telah menceritakan kepada kami Abu Dlamrah Anas, dari Yaziid bin Al-Haad, dari Muhammad bin Ibraahiim, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Seorang peminum khamr dibawa ke hadapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan berjalan kaki. Beliau bersabda : “Deralah ia !”. Abu Hurairah berkata : “Di antara kami ada yang menderanya dengan tangannya, ada yang mendera dengan sandalnya, ada yang mendera dengan bajunya...” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 6775].
Jadi, perintah ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhu itu bukan perintah bermaksiat kepada Allah ta’ala.
2.      Al-Hasan bin ‘Aliy merasa ‘Utsmaan bin ‘Affaan radliyallaahu ‘anhum tidak layak memerintahkan dirinya.
Kemungkinan ini tidak bisa diterima, karena terbukti ‘Aliy menyetujui tanpa ada pengingkaran sehingga ia memerintahkan Al-Hasan melaksanakan apa yang diperintahkan ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhum. Seandainya perintah itu memang tidak layak dilakukan Al-Hasan, tentu tidak layak juga bagi ‘Aliy. Sesuatu yang tidak layak bagi ‘Aliy, maka tidak layak seandainya ia memerintahkan keluarganya (Al-Hasan dan ‘Abdullah bin Ja’far) melaksanakannya. Namun kenyataannya lain..... (yaitu ‘Aliy menyepakati dan melaksanakan perintah ‘Utsmaan radliyallaahu ‘anhumaa).
Mengambil kemungkinan ini sama saja mengambil kesimpulan Al-Hasan melanggar perintah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana yang terdapat dalam riwayat berikut :
أَخْبَرَنَا الصُّوفِيُّ بِبَغْدَادَ، قَالَ: حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، قَالَ: حَدَّثَنَا مُدْرِكُ بْنُ سَعْدٍ الْفَزَارِيُّ أَبُو سَعِيدٍ، عَنْ حَيَّانَ أَبِي النَّضْرِ، سَمِعَ جُنَادَةَ بْنَ أَبِي أُمَيَّةَ، سَمِعَ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّي اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: " يَا  عُبَادَةَ ". قُلْتُ: لَبَّيْكَ، قَالَ: " اسْمَعْ وَأَطِعْ فِي عُسْرِكَ وَيُسْرِكَ، وَمَكْرَهِكَ وَأَثَرَةٍ عَلَيْكَ، وَإِِنْ أَكَلُوا مَالَكَ وَضَرَبُوا ظَهْرَكَ، إِِلا أَنْ تَكُونَ مَعْصِيَةً لِلَّهِ بَوَاحًا "
Telah mengkhabarkan kepada kami Ash-Shuufiy di Baghdaad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Al-Haitsam bin Khaarijah, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Mudrik bin Sa’d Al-Fazaariy Abu Sa’d, dari Hayyaan Abun-Nadlr, ia mendengar Junaadah bin Abi Umayyah, ia mendengar ‘Ubaadah bin Ash-Shaamit berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Wahai ‘Ubaadah”. Aku (‘Ubaadah) berkata : “Aku penuhi panggilanmu”. Beliau bersabda : Mendengar dan taatlah (kepada ulil-amri) dalam keadaan engkau susah, mudah, dan terpaksa. Meskipun ia berlaku sewenang-wenang terhadapmu. Dan meskipun mereka memakan/mengambil hartamu dan memukul punggungmu. (Tetap harus mendengar dan taat), kecuali jika nampak kemaksiatan kepada Allah yang nyata” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibbaan, 10/428-429 no. 4566; shahih].
Banyak hadits yang semisal di atas.
‘Utsmaan tidak sedang berlaku dhalim kepada Al-Hasan, tidak mengambil hartanya, tidak memukul punggungnya, dan memerintahkannya dalam ketaatan kepada Allah ta’ala; maka sudah selayaknya Al-Hasan mematuhi perintah ‘Utsmaan sebagaimana ayahnya mematuhinya.
3.      Atau,..... keengganan atau penolakan seorang anak terhadap perintah pemimpin atau orang tua dalam ketaatan kepada Allah ta’ala memang diperbolehkan dan tidak dipandang dosa oleh orang-orang Syi’ah ?.
4.      Atau, doktrin kema’shuman Al-Hasan versi Syi’ah ini yang perlu direkonstruksi ? sehingga penolakan dan kemarahan Al-Hasan ini merupakan satu kekeliruan yang sifatnya manusiawi yang bisa menimpa siapa saja dari makhluk ciptaan Allah ta’ala yang bernama manusia.[1]
5.      Atau......
6.      Atau......
7.      Atau......
Silakan ditambah kemungkinan-kemungkinan lain yang dirasa tepat untuk menyelamatkan kedudukan (kema’shuman) Imam Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhumaa.
Ini saja yang dapat saya tuliskan.
Bagi rekan-rekan Syi’ah, selamat bereksperimen !!
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciomas, bogor, 1432 H].


[1]      Saya hanya mengingatkan keyakinan kema’shuman para imam menurut teologi Syi’ah :
Muhammad Ridlaa Al-Mudlaffar berkata :
Al-‘Ishmah itu pengertiannya adalah suci dari dosa-dosa dan dari kemaksiatan yang besar maupun yang kecil. Juga suci dari kesalahan dan lupa, bahkan harus suci pula dari perkara yang mubah tetapi mengurangi kewibawaan, seperti terlalu banyak makan, tertawa terbahak-bahak, dan dari segala perkara yang dianggap rendah oleh masyarakat. Al-‘Ishmah seperti ini ada pada para Nabi dan para Imam dari kalangan Ahlul-Bait” [‘Aqiidatul-Imaamah 'Aqaaidul-Imaamiyyah oleh Muhammad Ridla Al-Mudlaffar, hal. 53-54; Al-Maktabah Al-Islamiyyah Al-Kubraa, tanpa tahun].
Muhammad Al-Husain Kaasyiful-Ghithaa’ menyatakan :
“…..dan para imam itu disyaratkan pula harus sebagai orang-orang yang ma’shum seperti Nabi, yaitu terjaga dari kesalahan dn terjaga pula dari berbuat salah….” [Ashlusy-Syii’ah wa Ushuuluhaa oleh Muhammad Al-Husain Kasyful-Ghithaa’, hal. 102; Manshurat Maktabah Al-Irfan, Beirut, Cet. 9].
Ia menambahkan :
“….. dan bahwasannya Muhammad itu adalah penutup para Nabi dan junjungan para Rasul. Dan bahwasannya ia adalah seorang yang ma’shum (terjaga dari kesalahan dan perbuatan salah). Dan bahwasannya ia tidak pernah berbuat kemaksiatan sepanjang umurnya dan tidaklah berbuat suatu apapun kecuali yang sesuai dengan ridla Allah subhaanahu wa ta’alaa sehingga Allah mewafatkannya” [idem, hal. 106].

Tidak ada komentar:

Posting Komentar