Para ulama berbeda pendapat akan hal tersebut. Ibnu Hazm rahimahullah dan kalangan madzhab Dhaahiriy berpendapat wajib bagi janin yang telah ditiupkan ruh yang berusia 120 hari di dalam perut ibunya sebelum lewat fajar malam Fithri [Al-Muhallaa, 6/131-132; Daarul-Fikr].
Dalil utama yang dipakai Ibnu Hazm dan yang menyepakatinya adalah :
حدثنا يحيى بن محمد بن السكن: حدثنا محمد بن جهضم: حدثنا إسماعيل ابن جعفر، عن عمر بن نافع، عن أبيه، عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: فرض رسول الله صلى الله عليه وسلم زكاة الفطر، صاعا من تمر أو صاعا من شعير، على العبد والحر، والذكر والأنثى، والصغير والكبير، من المسلمين، وأمر بها أن تؤدى قبل خروج الناس إلى الصلاة.
Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Muhammad bin As-Sakan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Jahdlam : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Ja’far, dari ‘Umar bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa, ia berkata : “Rasululah shallallaahu ‘alaihi wa salam mewajibkan zakat fithri satu shaa’ tamr (kurma) atau satu shaa’ gandum atas budak, orang merdeka, laki-laki, wanita, anak kecil, dan orang tua dari kaum muslimin. Dan beliau memerintahkan untuk menunaikannya sebelum orang-orang keluar menuju shalat ‘Ied (di lapangan)” [Diriwayatan oleh Al-Bukhaariy no. 1503].
Menurut Ibnu Hazm, setiap hukum yang diwajibakan atas anak kecil (ash-shaghiir), maka berlaku pula atasnya (janin yang telah ditiupkan ruh). Dalam hal ini, Ibnu Hazm dan orang yang bersamanya juga mengetengahkan dalil :
عن معمر عن أيوب عن أبي قلابة قال : كان يعجبهم أن يعطوا زكاة الفطر عن الصغير والكبير حتى على الحبل في بطن أمه
Dari Ma’mar, dari Ayyuub, dari Abu Qilaabah, ia berkata : “Sesuatu yang mereka sukai adalah menunaikan zakat dari anak kecil dan orang tua, hingga janin yang masih dalam perut ibunya” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq, 3/319 no. 5788; shahih. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah 3/172 (4/281 - tahqiq Hamd Al-Jum’ah & Muhammad Al-Luhaidaan) dari jalan Ibnu ‘Ulayyah, dari Ayyuub].
Abu Qilaabah, namanya adalah ‘Abdullah bin Zaid bin ‘Amru, seorang ulama dari kalangan tabi’iy pertengahan. Oleh karena itu yang dimaksud ‘mereka’ dalam perkataan Abu Qilaabah ini adalah para shahabat dan tabi’iin yang pernah sejaman dengannya.
حدثني أبي قال حدثنا معمر بن سليمان التيمي عن حميد بن بكر وقتادة أن عثمان كان يعطي صدقة الفطر عن الصغير والكبير والحمل
Telah menceritakan kepadaku ayahku, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Ma’mar bin Sulaimaan At-Taimiy, dari Humaid bin Bakr dan Qataadah : Bahwasannya ‘Utsmaan membayarkan zakat fithri dari anak kecil, orang tua, dan wanita hamil” [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal dalam Al-Masaail, no. 644; dla’iif].
Di pihak lain, jumhur fuqahaa’ berpendapat tidak wajib membayarkan zakat bagi janin yang masih dalam kandungan. Bahkan disebutkan oleh Ibnul-Mundzir rahimahullah adanya ijma’ mengenai hal ini.
وأجمعوا على أن لا زكاة على الجنين في بطن أُمه، وانفرد ابن حنبل: فكان يحبه ولا يوجبه.
“Mereka (para ulama) telah bersepakat tidak ada kewajiban zakat atas janin yang masih ada di dalam perut ibunya. Dan Ibnu Hanbal[1] bersendirian dimana menganggapnya sunnah dan bukan satu kewajiban” [Al-Ijmaa’, hal. 47 no. 111, tahqiq : Fuaad bin ‘Abdil-Mun’im; Daarul-Muslim, Cet. 1/1425 H].
Namun klaim ijma’ ini perlu diteliti kembali, sebab Al-Imaam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dalam satu riwayat menyatakan wajib [lihat : Al-Inshaaf oleh Al-Mardawiy, 3/168, tahqiq : Muhammad bin Haamid Al-Faqiy; Cet. 1/1375 H].
Maalik bin Anas rahimahullah berkata :
لا تؤدى الزكاة عن الحَبَل
“Tidak dibayarkan zakat dari janin dalam kandungan” [Al-Mudawwanah, 1/388, tahqiq : Zakariyyaa ‘Umairaat; Daarul-Kutub Al-‘Ilmiyyah].
An-Nawawiy rahimahullah berkata :
لا تجب فطرة الجنين لا على أبيه ولا في ماله بلا خلاف عندنا ولو خرج بعضه قبل غروب الشمس وبعضه بعد غروبها ليلة الفطر لم تجب فطرته لانه في حكم الجنين ما لم يكمل خروجه منفصلا
“Tidak wajib zakat bagi janiin, tidak atas ayahnya (untuk membayarkannya), tidak pula pada hartanya tanpa ada perselisihan di sisi kami (madzhab Syaafi’iyyah). Meskipun sebagian tubuh janin keluar sebelum tenggelamnya matahari dan sebagian lainnya keluar setelahnya pada malam ‘Iedul-Fithr, tidak wajib zakat fithri atasnya karena ia tetap dihukumi sebagai janin selama belum lahir secara sempurna (dari perut ibunya)” [Al-Majmuu’, 6/67; Daaru ‘Aalamil-Kutub, Cet. Thn. 1423 H].
Dalil jumhur adalah hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa sebelumnya. Dalam hadits disebutkan ash-shaghiir, yang artinya : anak kecil. Maka, janiin tidak dapat disebut ‘anak kecil’ dan masuk dalam cakupan ini; sama saja apakah janin itu sudah ditiupkan ruhnya ataukah belum.[2]
Tarjih :
Yang raajih dalam hal ini adalah pendapat jumhur, karena tidak ada dalil yang menunjukkan kewajiban zakat fithri bagi janin yang masih dalam perut. Penyamaan hukum antara janin dengan anak kecil tidak bisa diterima, karena penyamaan ini (dalam wasiat dan warisan) tetap dibatasi dengan persyaratan bahwa janin tersebut lahir dalam keadaan hidup.
Adapun atsar Abu Qilaabah atas perbuatan para shahabat dan tabi’iin menunjukkan perbuatan tersebut masyhur di kalangan salaf, dan maksimal hanya menunjukkan hukum sunnah saja. Yaitu, membayarkan zakat pada janin jika berusia 120 hari yang telah ditiupkan ruh padanya.[3]
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’ – perum ciomas permai, ciomas, bogor, 1432 H].
".....وذلك لأن النص ورد بإخراجها عن الصغير والكبير، فلا تدخل في ذلك الأجنّة التي في بطون الأمهات سواءً قبل نفخ الروح فيهم أو بعده....."
“Hal itu dikarenakan nash datang dengan menyebutkan kewajiban pengeluarannya dari anak kecil (ash-shaghiir) dan orang tua (al-kabiir). Maka tidak masuk padanya janin yang masih ada dalam perut ibu-ibu mereka, sama saja sebelum atau setelah ditiupkannya ruh kepada mereka...” [lihat : http://ibn-jebreen.com/ftawa.php?view=vmasal&subid=399&parent=964].
[3] Sebab, jika usianya belum genap 120 hari, maka itu hanyalah disebut gumpalan daging saja (yang belum bernyawa).
Jazakallahu khairul jazaa'
BalasHapusterima kasih atas pembahasannya, ustadz...
Assalamu`alaikum
BalasHapusMenurut saya,pendapat yang menenangkan hati dan terkuat serta prinsip kehati-hatian adalah pendapat Ibnu Hazm berdasarkan atas perbuatan para sahabat,bahkan Khalifah Utsaman pun melakukannya.
Assalamu`alaikum
BalasHapusAna mau bertanya kepada admin abu-jauzaa.blogspot.com ada yang ana tak mengerti kenapa sebuah atsar dari para sahabat dan tabi`in tak bisa dijadikan dalil wajib padahal mereka para sahabat atau tabi`in lebih menyukai menzakati fitri tapi lebih menguatkan jumhur ulama? Mohon penjelasan
Wa'alaikumus-salaam.
BalasHapusKarena dhahir riwayat tabi'iin atau shahabat di atas tidak menunjukkan wajibnya. Begitu pula dengan riwayat dari Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam.