30 April 2011

Cerita Seseorang tentang NII

Beberapa waktu lalu, santer pemberitaan tentang NII, terutama pasca diculiknya salah satu PNS Kementerian Perhubungan beberapa waktu lalu. Di beberapa perguruan tinggi, tidak terkecuali UGM, diadakan koordinasi untuk mencegah masuknya NII ini di lingkungan kampus. Ada dosen saya yang bilang bahwa salah satu mahasiswanya (S1) disinyalir terkena imbas NII ini. Jarang kuliah, sering ngilang dari kostnya, dan tidak pernah kontak dengan kerabat (termasuk ortunya).

Yah,… NII ini kayaknya memang ‘susah’ untuk diberantas karena komunitasnya sudah berbaur dengan masyarakat pada umumnya. Apalagi masyarakat yang di dalamnya terjalin kontak hanya secara kebatinan saja, seperti masyarakat di kota. Saya bukan hendak memberikan analisa yang bermacam-macam seperti yang ada di banyak media. Saya cuma mau cerita tentang seseorang yang terjebak – katanya – di NII. Singkat kata, orang itu – sebut saja si A - bercerita begini (kurang lebihnya, dengan bahasa saya) :
Si A ini pernah kuliah di salah satu kota besar di Jawa Barat. Si A ini dulunya memang badung. Tapi semenjak masuk kuliah, ia banyak berinteraksi dengan beberapa temannya. Ada yang aktifis, ada pula yang ‘preman’. Kalau dekat dengan teman ‘preman’ alias jagger, itu mah biasa. Di SMA kota asalnya dulu, katanya, ia pun berperan jagger kecil-kecilan. Ini bahasa saya loh, tanpa mengurangi makna yang akan diceritakan. Ia sempat agak kaget datang ke kampus yang memberikan suasana lain dibandingkan kota asalnya dulu. Banyak aktifitas, mulai yang bener sampai yang nggak bener. Ia pingin ‘mencoba’ sesuatu yang baru, yaitu aktif berinteraksi dengan teman-teman yang berbau ‘rohis’. Ia pun kemudian ikut beberapa pengajian. Ia anggap semuanya baik, walau ia sebenarnya bisa bersikap kritis. Ia punya satu teman. Anggaplah namanya B. Si B ini terkenal preman kampus, temen-temennya banyak. Apalagi statusnya sebagai mahasiswa yang tinggal kelas alias nunggak (dalam bahasa Jawa), karena dulu di perguruan tinggi itu menerapkan sistem paket untuk mahasiswa tingkat satu. Yang IP nya di bawah 2,00 tinggal kelas. Si B termasuk golongan ini.
Interaksi awal antara si A dengan si B ini tidaklah begitu akrab. Namun tiba-tiba kok – kata si A – si B ini mendekati dia. Main ke tempat kost dia. Ngomong-ngomong masalah agama. Satu yang diingat si A ini, si B – yang notabene preman kampus waktu itu – sering ngomongin ayat tentang sifat orang yang tidak mau menerima syari’at Allah, seperti anjing yang menjulurkan lidahnya. Mungkin yang dimaksud si B ini adalah ayat :
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir” [QS. Al-A’raf : 176].
Tapi berhubung si A ini sama bodohnya dengan si B waktu itu, ya cuma manggut-manggut saja. Satu ketika, setelah beberapa kali berkunjung ke kost-kostan, si B ini ngomong sama si A bahwa ia ingin memperkenalkan seorang ustadz kepada si A. Si A pikir, apa salahnya kenalan sama ustadz, toh di kampus ia pun kadang ubyang-ubyung ngikut-ngikut ‘ustadz kampus’ yang ngasih asistensi sama adik kelasnya. Setelah sepakat kapan waktu ketemuannya, maka datanglah si B dengan pak Ustadz. Ustadz itu namanya pak Ali, asalnya Surabaya. Nama Ali itu bukan nama sebenarnya, tapi nama setelah menjadi ‘ustadz’.
Pertemuan pertama, diisilah dengan basa-basi dan say hello, siapa kamu dan siapa saya. Tapi tidak lama kemudian, kata si A, sesuai dengan jabatan pak ‘Ali yang diperkenalkan sebagai ustadz oleh si B, maka pembicaraannya dialihkan kepada materi pengajian. Pak Ali, si A, dan si B pun akhirnya berbicara asik bertiga tentang pengajian. Si A ini merasa tertarik sehingga di akhir pertemuan, ia mengusulkan kepada pak Ali agar bisa mengajak teman-temannya ikut serta. Tapi jawaban pak Ali, katanya gak boleh, karena apa yang disampaikan kepada si A ini sifatnya ‘intensif’, pembinaan pribadi. Sebenarnya si A ini merasa agak aneh, kok kalau misalnya baik, kenapa gak boleh ngajak teman ?. Tapi sifat kritisnya itu terkalahkan oleh kebodohannya, begitu kata si A.
Pengajian pun dilanjutkan beberapa kali pertemuan. Kata si A, materi yang disampaikan oleh pak Ali ini melulu berkisar pada masalah hijrah. Hijrah dari kekafiran menuju keimanan. Hijrah dari fase Mekkah ke fase Madinah. Ada pembicaraan lain, tapi akhirnya dikembalikan ke topik inti, masalah hijrah. Ada satu hal yang menurut si A membuatnya terkesan dengan pak Ali. Pernah satu kali, di satu hari, waktu malam, ada janjian pengajian di kamar kost si A. Hari itu mendung, dan mau hujan, dan akhirnya hujan pun turun. Si A pikir, kayaknya pak Ali gak bakal datang karena hujan. Maklum. Namun ternyata, pak Ali datang ke kostannya si A ini dengan baju basah kehujanan. Si A ini nanya sama pak Ali, kenapa ia nekat datang, padahal hari hujan. Besok-besok juga bisa, toh hari bukan hanya hari ini saja. Kata si A, pak Ali ini ngejawab bahwa apa yang ia lakukan ini merupakan jihad. Ya intinya kurang lebih seperti itu. Pikir si A, wah ini baru ustadz jempolan. Tetap datang walau hari hujan, gak seperti ustadz-ustadz yang lain.
Nah,… akhirnya pada satu ketika si B main lagi – seperti biasa – ke kostan si A. Ia ngajak si A, gimana kalau kita main ke rumah pak Ali. Si A bilang, oke saja lah, asal di hari yang gak ada kuliah. Akhirnya pada hari yang ditentukan, si A dan si B bertemu di kostan si A. Kalau gak salah ingat, kata si A, hari itu adalah hari Sabtu siang. Akhirnya mereka berdua berangkat dengan bus umum tigaperempatan menuju rumah pak Ali di sebuah kota besar, yang jaraknya tidak jauh dari kota tempat kampus mereka berdua. Ada hal yang aneh tapi lucu yang diinget si A akan kelakukan si B. Si B ini niatnya mau mbayarin si A, sok ngebos lah… Ketika ditarikin sama keneknya, ternyata si B ini menjalankan aksi premannya dengan menampakkan kesangaran kepada si kenek. Si B ini mbayar dengan ongkos kurang untuk mereka berdua. Tentu saja si kenek minta kekurangannya. Tapi akhirnya si kenek merasa terintimidasi dan membiarkan aksi premanisme ala mahasiswa terjadi di busnya.
Tibalah mereka berdua di sebuah tempat. Si A manut saja diajak si B kemana, soalnya si A ini kuper tentang daerah situ, sementara si B ini, dari gayanya – kata si A - , sepertinya mengenal seluk-beluk daerah tersebut. Mereka berdua pun menyusuri jalan, yang akhirnya tiba di sebuah rumah berukuran sedang. Setelah si B mengucapkan salam, mereka berdua masuk. Ternyata di situ telah ada ada beberapa orang yang membuka halaqah-halaqah kecil secara terpisah. Ada yang di kamar tidur, ada yang di kamar tamu, dan yang lainnya. Nah, ketika datang, ketemulah si A dengan pak Ali. Namun di situ si A hanya bertemu dan ngobrol sebentar. Diperkenalkanlah kemudian si A dengan seseorang yang lebih tua usianya dari pak Ali. Sebut saja pak C. Ngobrol punya ngobrol, kata pak Ali dan pak C, malam nanti akan ada pertemuan, pengajian, wisuda, atau apalah istilahnya, si A ini sudah lupa. Setelah itu, maka pak Ali dan si B, ‘menyerahkan’ si A kepada pak C untuk dibina. Dibawalah si A ke sebuah ruangan untuk diinduksi materi yang isinya tidak jauh dengan yang diomongkan oleh pak Ali sebelumnya. Hijrah. Kafir jadi Mukmin. Si A mendengarkan saja apa yang dikatakan pak C. Di akhir pembicaraan, pak C menginterograsi si A. Siapa nama bapaknya, ibunya, saudaranya, dan kerabat-kerabatnya. Begitu pula dengan pekerjaannya. Ada nggak yang masuk TNI atau Polisi. Si A pun menjawab sebagaimana keadaannya. Hanya satu yang tidak ia katakan, bahwa ia punya saudara – meskipun jauh – anggota TNI di Cijantung[1]. Setelah litsus selesai, pak C melanjutkan dengan membicarakan ayat-ayat shadaqah/zakat. Sistem pak C menyampaikan ini, kata si A, adalah : pak C menyebutkan surat apa dan ayat berapa, kemudian si A disuruh membacanya sendiri. Dibacanyalah ayat itu oleh si A. Intinya, kita, kaum muslimin, lebih khususnya mereka berdua (antara si A dan pak C) mempunyai kewajiban bershadaqah. Langsung saja pak C nembak kepada si A, berapa bisa membayarkan shadaqah kepada pak C (atau kelompoknya pak C). Si A bingung, karena ia statusnya masih mahasiswa yang belum punya penghasilan, sementara shadaqah atau zakat yang diminta oleh pak C ini rutin. Pak C menyebutkan sekian ratus. Si A merasa keberatan. Akhirnya setelah nego, si A hanya bisa sanggup berkomitmen membayarkan sekian puluh ribu yang akan disisihkan dari kiriman bulanan bapak dan ibunya. Nilai uang segitu waktu itu cukup banyak, apalagi jika dibandingkan dengan nilai uang di waktu sekarang.
Ini si A bodoh juga,…. kenapa ia sanggupi komitmen nyetor segitu, padahal bapak ibunya bukan orang kaya, cuma PNS biasa.
Lanjut lagi,…. Setelah selesai pengajian dengan pak C, maka si A dibiarkan istirahat. Pak C bilang, nanti si A mau diajak ke suatu tempat yang lebih besar lagi. Akhirnya, setelah rehat sejenak, pak C mengajak si A pergi ke tempat yang dimaksud dengan naik motor. Puter-puter di kota besar, hingga sampailah pak C dengan si A di suatu rumah. Sepertinya perumahan. Rumahnya lebih kecil daripada sebelumnya. Setelah mengucapkan salam, mereka berdua masuk. Yang menarik, kata si A, istri yang punya rumah kerudungnya nya kerudung gak serius. Pendek. Keluar rumah juga pake daster. Rambutnya sedikit keliatan keluar. Kalau di rumah, kerudungnya kadang dibuka, meski ada beberapa orang tamu, termasuk si A dengan pak C. Nah, yang punya rumah ini adalah pak D. Antara pak C dengan pak D ini, kata si A, kadang ngomong dengan bahasa isyarat atau memakai istilah-istilah khusus yang tidak dipahami oleh oleh si A. Selain si A, di situ ada beberapa orang, termasuk ada anak yang masih berbaju SMA. Mereka beberapa saat duduk, yang sepertinya pak C dan Pak D ini menunggu seseorang.
Sebenarnya si A ini sudah merasa agak janggal semenjak pertemuannya dengan pak C di rumah pertama. Apalagi sekarang si B dan pak Ali kabur begitu saja. Sudah ada rasa kekhawatiran.
Lanjut,… akhirnya yang ditunggu datang juga. Pak E. Seseorang yang disegani oleh pak C dan Pak D. Sepertinya, ia adalah ‘atasan’ mereka berdua. Setelah ngobrol sana, ngobrol sini, dikasih induksi materi yang sama dengan sebelumnya, maka si A kembali diinterograsi. Siapa nama ayahnya, ibunya, saudaranya, kerabatnya, dan seterusnya seperti di tempat pertama. Ketidaksregan si A ini semakin membesar, apalagi ketika mati lampu, kalau gak salah pak D atau pak E ini bilang : ‘Sialan’. Walah,….. dari kualitas ngomongnya saja – pikir si A – lebih level anak rohis kampus. Ini mah, orang biasa saja, gumam kecurigaan si A dalam hati. Apalagi tampang-tampangnya yang sama sekali gak menunjukkan ustadz, apalagi ulama. Mulai dari si B, pak C, pak D, dan Pak E. Dikecualikan pak Ali, yang tampangnya memang sedikit lebih ‘ngustadz’ dibanding yang lain.
Kembali ke cerita interograsi. Si A pun mulai berpikir, bagaimana ia bisa keluar dan pulang dari tempat itu, walau ia sendiri gak tahu jalan pulangnya. Akhirnya ia pun ingat di fase interograsi yang pertama bahwa sesuatu yang ‘dihindari’ dan begitu dicari betul-betul informasinya adalah : Apakah si A ini punya saudara yang kerja di TNI atau kepolisian. Pikiran (sedikit) cerdas si A mulai muncul setelah sebelumnya berpikir bodoh. Akhirnya ia pun mengatakan bahwa ia mempunyai saudara TNI di Cijantung, sesuatu yang tidak ia katakan di fase pertama. Agak kaget memang. Si A pun ditanya : Apakah ia sering ketemu, apakah hubungannya dengan si tentara baik, dan yang semisalnya. Sebenarnya, si A dengan saudaranya yang tentara itu sangat-sangat jarang bertemu. Karena jarang bertemu, ya tentu saja nggak akrab. Namun demi bisa keluar dari tempat itu, si A pun ‘terpaksa’ berbohong dengan mengatakan : Sering ketemu, hubungannya baik dan akrab.
Insting intimidasi premanisme nya semasa SMA yang sebelumnya terpendam, mulai nampak (atau dinampakkan ?). Mungkin si A sudah kesal, karena merasa dikibuli sama si B yang katanya berkunjung ke rumah pak Ali, malah akhirnya ia berada di satu tempat yang sama sekali ia gak kenal. Bicaranya pun agak sedikit meninggi. Kata si A kurang lebih begini : “Saya itu ke sini karena di ajak oleh si B untuk menemui pak Ali. Tapi mengapa kedua orang itu malah gak ada. Dan saya kok malah diajak ke sini”. Ya kurang lebih begitu lah intinya. O iya, dalam pertemuan kedua ini, data-data si A dicatat, termasuk data KTP, alamat kost dan rumah asal, yang kemudian si A disuruh ganti nama. Si A menyebutkan satu nama, tapi ia gak mau disebutkan di sini.
Akhirnya si A di suruh keluar ruangan dengan ditemani pak C, sementara itu pak D dan pak E ‘rapat’. Di luar ruangan si A sempat ngobrol-ngobrol dengan pak C, sebenarnya kelompok pengajian ini apa namanya, dan apakah sudah sejak lama. Tentang identitas kelompok pengajian, pak C belum mau ngaku. Tapi untuk eksistensi, pak C bilang bahwa kelompok pengajiannya ini sudah lama sekali. Sudah sejak tahun 1949. Pikiran liar yang tadi sedikit cerdas, menjadi lebih cerdas lagi, ketika ia mulai ingat pelajaran sejarah di SMA tentang gerakan Kartosuwiryo 1949. Di luar ruangan, pak C masih saja memberikan motivasi agar si A tetap semangat. Namun si A sudah kadung kesal. Ia senyum-senyum manis saja sama pak C walau dalam hati dongkol berat. Akhirnya si A pun dipanggil. Ia masuk bersama pak C. Pak E bilang ke pak C : “Ini, tahu kan maksud saya, harus ditinggal”. Pak C agak sedikit bingung. Lalu pak E kembali mengulangi, yang akhirnya pak C terpaksa paham. Kata si A, sepertinya hanya dia yang dikembalikan, sementara beberapa orang yang lain yang bernasib sama dengannya tetap lanjut. Akhirnya dengan tampang sedikit kecewa, pak C pun bergegas-gegas mengajak si A meninggalkan tempat itu. Dengan berlagak bego, si A bertanya : “Mau kemana pak ?” (padahal ia tahu bahwa ia gak berhasil lulus seleksi – alhamdulillah - , yang akhirnya ia harus dikembalikan). Ikut saya saja, kurang lebih begitu kata pak C, sebagaimana penuturan si A. Dengan kegembiraannya bisa kabur dari tempat itu, si A pun sebenarnya merasa khawatir, jangan-jangan ia akan dicelakai. Dibawa ke satu tempat dan dianiaya. Hari situ sudah menjelang maghrib. Akhirnya mereka berdua naik motor jalan muter-muter. Si A gak tahu sama sekali daerah mana itu. Yang pasti di sekitaran/pinggiran kota besar. Kekhawatiran si A pun terus berlanjut ketika ia dibonceng pak C. Si A dalam hati bilang, katanya, kalau pak C ini macem-macem di jalan, akan dia hajar saja. Gak peduli lah, meskipun sudah setengah baya. Di tengah jalan, adzan maghrib berkumandang. Si A ngingetin agar berhenti di masjid untuk menunaikan shalat Maghrib berjama’ah. Tapi kata pak C, entar saja. Setelah beberapa saat berkendara, berhentilah pak C di sebuah masjid di pojok kota besar itu. Mereka berdua lalu bergegas menunaikan shalat. Seusai shalat, si A keluar hendak menuju tempat dimana motor pak C diparkir. Ternyata, pak C dan motornya sudah lenyap entah kemana. Bingung juga si A, karena ia belum begitu mengenal daerah itu. Tapi, dibalik rasa bingungnya, ia pun merasa gembira karena bisa ‘lepas’ juga dari pak C dan orang-orangnya. Ia tinggal ‘membuat perhitungan’ dengan si B di kampus yang telah menipunya.
Si A pun tanya sana tanya sini tentang kendaraan menuju kota dimana ia tinggal (ngekos/kuliah). Hari sudah malam, uang di saku ngepres lagi. Ia pun berjalan sesuai dengan arahan orang yang ia tanya. Kebetulan jalan raya yang ia telusuri dalam kondisi macet. Maklum, malam Minggu/Ahad. Tidak dinyana-nyana, di tengah ia berjalan, si A ketemu dengan pak C yang meninggalkannya di masjid tadi. Tiba-tiba seperti terserang penyakit gagap, pak C aa’ uu’ minta maaf meninggalkan si A tadi karena ada urusan. Si A pun bilang gak apa-apa, dan minta tolong dibantu nyegat bis jurusan ke kota tempat si A tinggal/ngekos. Mungkin dengan terpaksa, pak C kembali memboncengkan si A dan menurunkannya di pinggir jalan jalur bis yang dimaksudkan si A. Si A pun turun dan mengucapkan terima kasih sambil tetap menyimpan dongkol di hati. Pak C pun lalu berlalu entah kemana dengan sepeda motornya itu. Setelah menunggu beberapa saat, akhirnya bus yang ditunggu pun datang….. akhirnya ia bisa pulang ke tempas kostannya.
Setelah kejadian itu, hari-hari di kost, si B gak muncul-muncul menyambangi si A seperti biasanya. Di kampus pun jarang kelihatan. Tapi akhirnya ia kelihatan juga. Agak rikuh juga si B bertemu dengan si A. Walau si B ini statusnya preman kampus yang kadang rada-rada sadar dikit, tapi ia juga gak bisa semena-mena mengintimidasi si A. Selain karena si A statusnya yang juga mantan preman SMA yang kalau ada yang jual dia beli, si A juga punya jaringan luas pertemanan di kampus itu. Baik yang badung, ataupun yang alim. Pendek kata, deking-annya banyak. Karena mau gak mau si B ketemu sama si A di kampus, yang kebetulan juga satu kelas, ya mau gak mau juga si B mesti sok akrab lagi dengan si A. Tapi semenjak peristiwa itu, si B tidak lagi ngomong-ngomong masalah agama dengan si A. Si A pun akhirnya melupakan peristiwa itu, yang akhirnya lama-kelamaan mereka berdua menjadi ‘akrab’ kembali.
Ceritanya selesai.
Nah, itulah cerita tentang pengalaman si A dengan kelompok NII. Si A ini, setelah peristiwa tersebut, mulai sedikit giat belajar. Membaca apa yang harus dibaca dan mendengar yang harus didengar. Satu saat ia dengar ada temannya yang ikut-ikutan NII. Ia sambangi dan nasihati. Ternyata, temannya ini lapor ke ‘atasannya’. Akhirnya si A berdiskusi dengan ‘atasan’ tersebut sampai larut, dan tidak menemukan kata sepakat. Ya karena si A dan si ‘atasan’ sama-sama masih cetek ilmunya, diskusi pun hanya berputar pada kerangka logika saja. Begitu kata si A.
Apa yang dituliskan di sini telah diketahui oleh si A, dan ia ridla dipublikasikan dengan menyamarkan oknum-oknumnya dan juga tempatnya. Tujuannya adalah sekedar berbagi pengalaman, barangkali ada faedahnya.
Ini bukan tulisan ilmiah untuk membantah kesesatan NII. Ini adalah realitas. Jika kemarin kita mendengar salah seorang PNS yang konon katanya diculik oleh NII, bisa jadi seperti itu. Saya sendiri tidak bisa membayangkan jika yang direkrut itu adalah wanita, lalu ia dibawa ke satu tempat yang tidak ia ketahui. Apalagi tabiat wanita yang mudah sekali ditekan dan diancam.
Sekali lagi, semoga ada manfaatnya.
Abu Al-Jauzaa’ [ngaglik, 1432].


[1]      Kata si A, tentara itu adalah suami anak budhenya (kakaknya bapak si A). 

8 komentar:

  1. khawarij zaman dulu ibadahnya masyaAllah melebihi Shahabat..

    khawarij zaman sekarang ? Engga karuan... Engga jelas... kok tau2 mau tegak syariat Islam ? lalu Siapakah mereka ini (NII) ? mencurigakan -,-

    BalasHapus
  2. NII nggak profesional dalam memanagemen organisasinya , terlalu kasar.

    Harusnya mencontoh LDII , yang bisa mulus sampai sekarang.

    BalasHapus
  3. cerita yang sangat menarik. keimanan itu selalu penuh cahaya, tidak pernah habis dilaksanakan dengan damai. lebih baik terus belajar dan menjadi bermanfaat untuk saudara-saudara di sekitar. pasti hidup lebih indah.

    BalasHapus
  4. Yang kayak ginian ana jg pernah,dan memang ngaku NII,yg pusatnya ada di Indramayu,punya pondok pesantren al-ZAITUN, makanya hati2 sampa ponpes alZAITUN itu..

    BalasHapus
  5. LDII SAMA SESATNYA DENGAN NII.......................................

    BalasHapus
  6. Ternyata NII masih berkeliaran ya,untung aku sudah beerada di manhaj salafush shalih. Alhamdulillahirabil `alamin

    BalasHapus
  7. Satu pertanyaan. Apakah berbohong dalam kondisi seperti pada kasus ini dibenarkan? Yaitu berbohong dengan mengatakan kalau si korban (A) kenal dekat dan akrab dengan saudara TNI nya !!

    Syukron.

    BalasHapus
  8. hidayah adalah di tangan Alloh, alhamdulillah, sia A bisa selamat

    BalasHapus