29 April 2011

Bekerja

Syari’at Islam datang untuk membawa kemaslahatan. Termasuk kemaslahatan dalam Islam adalah perintah Allah ta’ala kepada manusia yang berkemampuan untuk bekerja, mencari karunia-Nya yang terhampar luas di permukaan bumi.
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الأرْضَ ذَلُولا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِنْ رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
“Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan” [QS. Al-Mulk : 15].

Ketika Allah mewajibkan shalat Jum’at kepada kaum muslimin, Allah menjelaskan kewajiban yang harus mereka tunaikan kepada Allah dan kewajiban yang harus mereka tunaikan untuk (kemaslahatan) diri mereka sendiri.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ * فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الأرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung” [QS. Al-Jum’ah : 9-10].
Ada saatnya beribadah, ada saatnya untuk bekerja. Keduanya akan membawa kemaslahatan jika dikerjakan sesuai yang diperintahkan. Allah ta’ala sama sekali tidak pernah memerintahkan manusia untuk menghabiskan waktunya beribadah kepada Allah ta’ala. Oleh karenanya, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ لِرَبِّكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِنَفْسِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، وَلِأَهْلِكَ عَلَيْكَ حَقًّا، فَأَعْطِ كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ
“Sesungguhnya Rabbmu mempunyai hak atas dirimu. Jiwamu juga mempunyai hak atas dirimu, begitu juga keluargamu/istrimu juga mempunyai hak atas dirimu. Tunaikanlah pada setiap pemilik hak dari haknya itu” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1967, At-Tirmidziy no. 2413, Abu Ya’laa no. 898, Ibnu Khuzaimah no. 2144, Ibnu Hibbaan no. 320, dan yang lainnya].
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam berdoa kepada Allah ta’ala di permulaan siang :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لِأُمَّتِي فِي بُكُورِهَا
“Ya Allah, berikanlah barakah kepada umatku di waktu pagi harinya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2606, At-Tirmidziy no. 1212, Ibnu Maajah no. 2236, Ad-Daarimi no. 2479, Ibnu Hibban no. 4754, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahih Sunan Abi Dawud 2/124].
Barakah tidak akan didapatkan oleh orang yang malas. Karenanya, para ulama memakruhkan tidur di waktu itu.[1] Pagi adalah permulaan hari (siang), waktu dimana manusia diperintahkan bekerja. Allah ta’ala berfirman :
وَجَعَلْنَا نَوْمَكُمْ سُبَاتًا * وَجَعَلْنَا اللَّيْلَ لِبَاسًا * وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا
“Dan Kami jadikan tidurmu untuk istirahat, dan Kami jadikan malam sebagai pakaian, dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan” [QS. An-Nabaa’ : 9-11].
Islam mengharamkan seseorang yang mampu bekerja meminta-minta mengharap belas kasihan orang. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ
“Seseorang yang senantiasa meminta-minta kepada manusia hingga ia datang pada hari kiamat kelak tanpa ada sekerat dagingpun di wajahnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1475, Muslim no. 1040, An-Nasaa’iy no. 2585, dan yang lainnya].
Janganlah pernah memandang rendah pekerjaan seseorang hanya karena pakaiannya yang lusuh dan hasil tak seberapa[2]. Ia lebih mulia daripada peminta-minta atau pengamen yang berkeliaran di bis kota. Ia pun jauh lebih mulia daripada para koruptor berdasi yang hidup bergelimang harta.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ أَحْبُلَهُ ثُمَّ يَأْتِيَ الْجَبَلَ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةٍ مِنْ حَطَبٍ عَلَى ظَهْرِهِ، فَيَبِيعَهَا، فَيَسْتَغْنِيَ بِثَمَنِهَا، خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ، أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ
“Seorang di antara kalian mengambil tali lalu pergi ke gunung dan datang dengan seikat kayu di punggungnya, lalu ia menjualnya sehingga hasil penjualannya itu dapat memenuhi kebutuhannya; lebih baginya daripada meminta-minta manusia, baik mereka memberinya atau menolaknya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 2075, Ahmad 1/164 & 167, Ibnu Maajah no. 1836, Abu Ya’laa no. 675, dan yang lainnya].
Setiap pekerjaan yang sesuai dengan syari’at Islam (halal), maka melakukannya termasuk ibadah, keluarnya dari rumah terhitung fii sabiilillah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ سَعَى عَلَى وَالِدَيْهِ فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى عِيَالِهِ، فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى نَفْسِهِ لِيُعِفَّهَا فَفِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَمَنْ سَعَى عَلَى التَّكَاثُرِ، فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“Barangsiapa yang berusaha/bekerja untuk menafkahi kedua orang tuanya, maka terhitung fii sabiilillah. Barangsiapa yang berusaha/bekerja untuk menafkahi keluarga yang menjadi tanggungannya, maka terhitung fii sabiilillah. Dan barangsiapa yang berusaha/bekerja untuk kehormatan dirinya sendirinya (agar tidak meminta-minta), maka terhitung fii sabiilillah. Akan tetapi siapa saja yang berusaha/bekerja untuk bermegah-megahan, maka terhitung fii sabiilisy-syaithaan (di jalan syaithan)” [Diriwayatkan oleh Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 9/23 dan dalam Syu’abul-iimaan no. 3875, Al-Bazzaar dalam Kasyful-Astaar no. 1867, Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath no. 4214, dan yang lainnya; dishahihkan Al-Albaaniy dalam Ash-Shahiihah no. 2232].
Tapi janganlah kita lupa, rizki itu datangnya dari Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya :
وَكَأَيِّنْ مِنْ دَابَّةٍ لا تَحْمِلُ رِزْقَهَا اللَّهُ يَرْزُقُهَا وَإِيَّاكُمْ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ
“Dan berapa banyak binatang yang tidak (dapat) membawa (mengurus) rezekinya sendiri. Allah-lah yang memberi rezeki kepadanya dan kepadamu dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” [QS. Al-Ankabuut : 60].
إِنَّ اللَّهَ يَرْزُقُ مَنْ يَشَاءُ بِغَيْرِ حِسَابٍ
“Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab” [QS. Aali ‘Imraan : 37].
Konsekuensinya, ada sebagian yang diluaskan rizkinya, ada pula yang disempitkan rizkinya. Allah ta’ala berfirman :
أَوَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
”Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rizki dan menyempitkannya bagi siapa saja yang dikehendaki-Nya ? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman” [QS. Az-Zumar : 52].
اللَّهُ يَبْسُطُ الرِّزْقَ لِمَنْ يَشَاءُ وَيَقْدِرُ وَفَرِحُوا بِالْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا فِي الآخِرَةِ إِلا مَتَاعٌ
“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan di dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit)” [QS. Ar-Ra’d : 26].
Rizki bagaikan ajal, merupakan rahasia Allah ta’ala. Allah ta’ala memerintahkan kaum muslimin mencari rizki dengan bekerja, sedikit atau banyak, karena itu merupakan bagian dari ikhtiyar yang mesti dilakukan. Tidak dibenarkan bagi seorang muslim bermalas-malasan dengan alasan kalaulah rizki itu telah ditaqdirkan sampai kepadanya, maka sampailah ia. Tidak dibenarkan pula ia hidup dalam kemiskinan dan kefaqiran tanpa ada usaha kerja untuk melepaskan diri darinya, dengan dalih : rizki Allah belum datang juga. Bagaimana rizki akan ia peroleh sementara ia duduk bermalas-malasan di kursi rumahnya ?. Burung pun hanya akan kenyang jika ia keluar dari sarangnya, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
لَوْ أَنَّكُمْ كُنْتُمْ تَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرُزِقْتُمْ كَمَا تُرْزَقُ الطَّيْرُ تَغْدُو خِمَاصًا وَتَرُوحُ بِطَانًا
“Seandainya kalian bertawakkal pada Allah dengan sebenar-benar tawakkal, sungguh kalian akan diberikan rizki (oleh Allah) sebagaimana seekor burung diberikan rizki. Pagi hari burung itu pergi dalam keadaan lapar, dan ia pulang dalam keadaan kenyang” [Diriwayatkan oleh At-Tirmidziy no. 2344, Ibnul-Mubaarak dalam Az-Zuhd no. 559, Ahmad 1/30 & 52 dan dalam Az-Zuhd no. 96, ‘Abd bin Humaid no. 10, Ibnu Maajah no. 4164, Abu Ya’laa no. 247, Ibnu Hibbaan no. 730, dan yang lainnya; At-Tirmidziy berkata : “Hasan shahih”].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa berdoa dalam akhir shalatnya (sebelum salam) agar terlepas dari kefaqiran[3] :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْكُفْرِ وَالْفَقْرِ، وَعَذَابِ الْقَبْرِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari kekufuran, kefaqiran, dan adzab kubur”.
Tidak boleh pula bagi seorang muslim yang disempitkan rizkinya, setelah ia berusaha,  mengambil cara-cara yang diharamkan, memakan harta manusia secara tidak hak. Allah ta’ala berfirman :
وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil” [QS. Al-Baqarah : 188].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ، فَإِنَّ نَفْسًا لَنْ تَمُوتَ حَتَّى تَسْتَوْفِيَ رِزْقَهَا، وَإِنْ أَبْطَأَ عَنْهَا، فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَجْمِلُوا فِي الطَّلَبِ خُذُوا مَا حَلَّ وَدَعُوا مَا حَرُمَ
“Wahai sekalian manusia, bertaqwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam mencari (rizki). Sesungguhnya seseorang tidaklah akan mati hingga selesai/habis rizkinya. Apabila ditangguhkan darinya, maka bertaqwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam mencari (rizki). Ambillah apa yang dihalalkan dan tinggalkanlah apa yang diharamkan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Maajah no. 2144, Al-Baihaqiy 5/264-265, Ibnu Hibbaan no. 3239, Al-Haakim 2/4, Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 3/156-157; shahih].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah mencontohkan kepada kita untuk berdoa di pagi hari setelah shalat Shubuh sebelum berangkat bekerja agar diberikan rizki yang baik oleh Allah ta’ala :
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا، وَرِزْقًا طَيِّبًا، وَعَمَلًا مُتَقَبَّلًا
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadamu ilmu yang bermanfaat, rizki yang baik, dan amal yang diterima” [Diriwayatkan oleh Ahmad 6/294 & 305 & 318 & 322, Ibnu Maajah no. 925, ‘Abd bin Humaid no. 1535, dan yang lainnya; dishahihkan oleh Al-Albaaniy[4] dalam Shahih Sunan Ibni Maajah 1/277].
Ini saja yang dapat dituliskan, semoga ada manfaatnya.
Wallaahu a’lam bish-shawwaab.
[abul-jauzaa’ – 1432 – sardonoharjo, ngaglik, sleman, Yogyakarta, Indonesia].


[1]      Ibnul-Qayyim rahimahullah telah berkata tentang keutamaan awal hari dan makruhnya menyia-nyiakan waktu dengan tidur, dimana beliau berkata : “Termasuk hal yang makruh bagi mereka – yaitu orang-orang shalih – adalah tidur antara waktu shalat shubuh dengan terbitnya matahari, karena waktu itu adalah waktu yang sangat berharga. Terdapat kebiasaan yang menarik dan agung sekali mengenai pemanfaatan waktu tersebut dari orang-orang shalih, sampai-sampai walaupun mereka berjalan sepanjang malam mereka tidak toleransi untuk istirahat pada waktu tersebut hingga matahari terbit. Karena ia adalah awal hari dan sekaligus sebagai kuncinya. Ia merupakan waktu turunnya rizki, adanya pembagian, turunnya keberkahan, dan darinya hari itu bergulir dan mengembalikan segala kejadian hari itu atas kejadian saat yang mahal tersebut. Maka seyogyanya tidurnya pada saat seperti itu seperti tidurnya orang yang terpaksa” [Madaarijus-Saalikiin 1/459 - dikutip melalui perantaraan kitab : At-Tabarruk, Anwa’uhu wa Ahkaamuhu karya Dr. Naashir bin ’Abdirahman bin Muhammad Al-Juda’i, hal. 309-310].
[2]      Seperti pemulung, kuli bangunan, dan yang semisal.
[3]      Ada faedah bagus dari Ibnu Qudaamah rahimahullaahu ta’ala :
والدنيا ليست محذورة لعينها، بل لكونها عائقة عن الوصول إلى الله تعالى، والفقر ليس مطلوبا لعينه لكن لأنه فيه العائق عن الله تعالى، وكم من غني لا يشغله الغنى عن الله تعالى كعثمان بن عفان وعبد الرحمن بن عوف رضي الله عنهما. وكم من فقير شغله فقره عن المقصود، وصرفه عن حب الله تعالى والأنس به.
“Dunia itu tidaklah diwaspadai karena dzatnya, akan tetapi karena keberadaannya yang menjadi penghalang tercapainya kedekatan/ketaatan kepada Allah ta’ala. Kefaqiran juga tidaklah dicari karena dzatnya, karena padanya terdapat penghalang tercapainya kedekatan/ketaatan kepada Allah ta’ala. Betapa banyak orang yang kaya yang tidak disibukkan dengan kekayaannya dari beribadah kepada Allah ta’ala, seperti ‘Utsmaan bin ‘Affaan dan ‘Abdurrahmaan bin ‘Auf radliyallaahu ‘anhumaa. Dan betapa banyak orang yang faqir disibukkan oleh kefaqirannya dari ibadah, memalingkannya dari kecintaan kepada Allah ta’ala, dan lupa dengan-Nya” [Minhajul-Qaashidiin, hal. 408 – lihat : http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?flag=1&bk_no=43&ID=606].
[4]      Dengan membandingkan artikel : http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=244324 ; hadits ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut.

8 komentar:

  1. Terima kasih, Ustadz. Sangat bermanfaat. Ada beberapa poin yang 'mengena' banget ke saya, sehingga saya harus mengoreksi ulang (dan memperbaiki) apa saja yang telah saya lakukan.

    JazaakaLLOHu khoyr.

    BalasHapus
  2. BismiLLAAH...`afwan Ustadz,ada yang saya tanyakan:
    Dalam hal bekerja,tentang jual beli pemesanan barang.Beberapa waktu yang yang lalu,sebut saja si A telah memesan barang kepada B dengan harga yang telah di bandrol B.
    A setuju kemudian mengirim DP sebagai tanda jadi,sisa uangnya akan di bayar bila barang yang di pesan sudah kelar.Namun di tengah jalan B memutuskan sepihak dengan membatalkan barang yang telah di pesan A,kemudian uang DP di kembalikan kepada si A...Yang saya tanyakan ditinjau dari hukum jual beli bagaimana posisi B,apakah mendzalimi si A?
    Dari tinjauan Rizki...apakah hal ini bisa dikategorikan menolak jalan rizki dari ALLOH?

    Terima kasih Ustadz,Semoga ALLOH membalas kebaikan dengan yang lebih banyak kepada Ustadz...Aamiin

    BalasHapus
  3. Boleh membatalkan penjualan tersebut dengan mengembalikan DP nya.

    Tidak termasuk menolek rizki Allah.

    BalasHapus
  4. Topik yang sangat menarik.

    Ada istilah : bekerja di tempat yang haram aja susah aplg di tempat yg halal. Dan mayoritas tempat bekerja adalah syubhat. Bagaimana itu ?

    Adakah literatur keislaman kontemporer yang membahas masalah bekerja ini secara detail dan solutif ?

    Dan juga hati2...Mengingat semua sistem keuangan dunia skrg adalah aneh. Hutang amerika 120rb trilyun rupiah, hutang inggris 80 rb trilyun rupiah dll...

    Adakah literatur keislaman klasik yang membahas salaf dalam bekerja secara lengkap ? Dalam mencari hidup dan kehidupan ? Ulama selain menulis, apakah pekerjaannya ? Dari mana dia memperoleh harta ?

    BalasHapus
  5. apa status gaji orang yang bekerja di instansi hukum milik pemerintah, halal atau haram, mohon penjelasannya

    BalasHapus
  6. @mas achmad,....

    status gaji tersebut halal jika perkerjaannya secara dzat adalah halal. misal : peneliti, dosen, dan yang semisalnya. tapi kalau secara dzat pekerjaannya adalah haram atau syubhaat, maka haram. misalnya : pegawai banki

    BalasHapus
  7. ada sebagian orang yg menjauhi kerja di Kantor karena alasannya : ikhtilath dan banyak aturan kantor gak sesuai syariat misalnya upacara bendera, meskipun hakikat kerjaannya adalah haram seperti antum sebut.

    Nah, sebagian 'kalangan' tersebut lebih memilih dagang ke pasar.

    Nah, ana pikir2, bukannya di pasar lebih berbahaya ? Subhanallah, banyak 'ibu' pake daster (maaf) menyingkap roknya sampai terlihat ***sensor* dan itu pemandangan biasa di pasar. Belum lagi mau tidak mau kita pasti berdesakan bahkan 'bergesekkan' dengan bukan mahrom krn saking sempitnya jalan di pasar...
    Di pasar pun kalo kita jadi komunitas situ, mesti ada aturan2 yg gak syar'i

    ada kah udzur utk kerja di tempat demikian ? ato harus 'ndekem' di kamar aja biar bebas ikhtilath -,-

    gimana penjelasan ustadz tentang ikhtilath ini ?

    BalasHapus
  8. Kalau bicara salah, ini sudah salah semenjak awalnya, yaitu membiarkan para wanita berkeliaran secara liar di luar rumah. Area-area yang seharusnya terkonsentrasi laki-laki berkecimpung di dalamnya, terkontaminasi populasi wanita dengan kondisi yang antum sebutkan. Di jalan, di warung, di toko, di pasar, di kantor, di mall, di kendaraan umum, di mana-mana. Termasuk di ladang-ladang tempat mencari nafkah yang laki-laki berkewajiban untuk mencarinya.

    Iktilaath yang seharusnya dijauhi menjadi sesuatu yang 'tidak bisa dihindari'.

    Sebenarnya solusinya gampang : Bikin saja peraturan formal agar para wanita itu tidak boleh berkeliaran secara liar di area-area massal. Lebih khusus lagi, sesuai pembicaraan, di ladang-ladang tempat mencari nafkah bagi laki-laki. Tapi apa mungkin melihat kondisi masyarakat dan tatanan negara seperti sekarang ini ?.

    Fattaqullaaha mastatha'tum...... Jika kita mampu menghindari ikhtilath tersebut, wajib untuk menghindarinya. Jika tidak, maka perbanyak istighfar dan amal shaalih, semoga Allah memaafkan dosa-dosa kita.

    Tidak ada kelebihan antara orang kantoran dengan orang dagangan atau warungan atau pasaran. Semua sama di mata Allah. Kondisi masing-masing pun tidak sama. Tidak selayaknya antar pihak saling mencela. Bahkan yang seharusnya dilakukan adalah saling menasihati dalam kebenaran, kesabaran, dan kasih sayang.

    wallahu ata'ala a'lam.

    BalasHapus